Seekor kuda tampak berlari melintasi jalan yang membelah belantara rimbun. Di atas hewan tunggangan ini, seorang lelaki setengah baya agak berdiri mengapit punggung kuda jantan tersebut. Kedua tangannya menggenggam erat tali kekang.
Wajahnya menyiratkan kecemasan. Keringat sebesar biji jagung menetes di dahi. Dia tampak terburu-buru. Bukan karena dikejar waktu, tetapi sedang menyelamatkan diri dari kejaran beberapa orang yang memburunya.
Sementara itu, tiga orang yang wajahnya ditutupi topeng terbuat dari kayu tipis, berkelebat dari pohon ke pohon menggunakan ilmu meringankan tubuh. Mereka mengejar si penunggang kuda.
Dua orang di kanan dan satu lagi di kiri jalan. Hebatnya, meski kuda berlari begitu kencang, mereka bertiga mampu mengejar bagaikan elang yang terbang sambil meliuk-liuk.
Ketika jaraknya sudah semakin mendekat, sekitar lima tombak lagi bisa mengejar si penunggang kuda. Salah satu orang bertopeng melemparkan senjata berupa anak panah berukuran kecil.
Syutt!
Namun, naluri si penunggang kuda cukup kuat juga. Dia merundukkan badan, maka lewatlah senjata kecil itu hanya menemui tempat kosong.
Syutt!
Sekali lagi serangan datang dari sebelah kanan. Si penunggang kuda merebahkan badannya ke sebelah kiri punggung kuda. Selamat lagi untuk kedua kalinya.
Akan tetapi serangan terus berlanjut. Dalam situasi seperti itu tentu saja si penunggang kuda tidak bisa bergerak bebas. Selain menyelamatkan diri, juga harus mengendalikan kuda dan menjaga barang penting yang dibawanya di balik baju.
Sampai suatu ketika akhirnya tiga orang bertopeng kayu memilih untuk melukai hewan tunggangannya.
Syutt!
Cepp!
Anak panah kecil itu tepat mengenai paha kanan kaki depan. Tak ayal lagi kuda ini langsung tersungkur.
Sementara si penunggang kuda sudah waspada. Sebelum kudanya terjungkal dia sudah melenting ke atas setinggi dua tombak dari punggung kuda. Dia lalu bersalto satu kali guna menyeimbangkan diri.
Begitu mendarat di tanah, posisinya sudah dikepung tiga orang bertopeng yang kini sudah menggenggam senjata masing-masing berupa golok.
Kejap berikutnya tiga serangan beruntun memburu si penunggang kuda ke tiga titik berbahaya pada tubuhnya. Namun, lelaki setengah baya ini mampu menghindari ketiganya dengan sekali berkelit.
Sayangnya si penunggang kuda tidak membawa senjata yang bisa melindungi dan mungkin bisa menyerang balik. Sehingga dia lebih banyak menghindar saja.
Tetapi tentu saja hal itu tidak bisa bertahan lama. Selain karena tenaganya yang mulai menurun, gerakannya juga melambat. Akibatnya senjata lawan berhasil menggoreskan luka di kulitnya.
Srett!
Meski tipis, tapi terasa perih karena bercampur keringat dan ini sangat menggangu konsentrasinya. Akhirnya sabetan demi sabetan menghujani badannya.
Darah menetes dari luka-lukanya yang menguak. Pandangan lelaki setengah baya ini mulai kabur, kepalanya juga terasa berat.
Sementara tiga orang bertopeng ini sepertinya tidak mau memberi ampun. Mereka memang berniat menghabisi si penunggang kuda.
Namun, di saat-saat genting seperti itu tiba-tiba satu sosok berkelebat cepat bersama sebuah pukulan jarak jauh yang terbentuk dari kumpulan tenaga dalam.
Wutt!
Blasss!
Tiga golok yang hampir menebas leher, dada dan perut terpental kembali bagaikan menghantam dinding tak kasat mata.
Seorang pemuda tampan tampak sudah merangkul si penunggang kuda yang hendak roboh karena kelelahan.
"Danurwenda!" seru salah seorang bertopeng kayu.
"Berani sekali kau ikut campur!" maki yang lainnya.
"Gawat, kita menghadapi lawan yang tangguh!" bisik yang satunya lagi.
Danurwenda tampak tenang saja mendudukkan si penunggang kuda ke pinggir jalan. Dia belum melakukan apa pun ketika tiga orang bertopeng menyerbunya.
Namun, begitu satu jangkauan lagi senjata mereka menemui sasaran.
Plakk!
Tiga senjata mereka terlepas dari genggaman. Wajah ketiganya seketika pucat.
"Edan, gerakannya sangat cepat sekali!" ujar salah seorang bertopeng.
"Benar, padahal tadi dia masih membelakangi kita!" sahut yang lain.
"Mau main curang, hah!" hardik Danurwenda.
Danurwenda seorang pendekar muda yang memiliki tubuh gagah ideal. Tidak terlalu kekar, juga tidak kurus. Bentuk wajah yang lonjong dengan garis sempurna membentuk pesona yang memikat kaum wanita.
Tiga orang bertopeng pantang menyerah, mereka kembali menyerang Danurwenda. Namun, permainan jurus mereka dapat diimbangi si pendekar muda yang asal-usulnya cukup misterius ini.
Di dunia persilatan tidak ada yang tahu dari mana Danurwenda berasal. Orang tua, guru dan dari perguruan mana lahir sebagai pendekar, belum ada yang tahu.
"Kepung tiga arah!" ucap salah seorang bertopeng.
Sekarang mereka lebih ke penasaran ingin menjajal kemampuan pendekar muda tersebut.
"Kenapa cuma tiga, bukannya ada delapan arah?" Danurwenda masih bisa bersikap konyol dengan raut wajah seperti linglung. Kini dia diserang dari tiga arah. Kadang datang secara bersamaan, ada pula menyerang dengan cara bergantian.
Walaupun demikian ternyata si pemuda masih mampu mengimbangi tiga lawannya. Jurusnya selalu tidak mudah ditebak.
"Kau tahu jurusnya yang ini?" tanya salah seorang bertopeng kepada temannya ketika mereka saling bertukar tempat.
"Seperti kata orang, jurusnya tidak bisa dikenali!" jawab temannya sambil berpindah tempat, lalu dia memberi isyarat kepada temannya dengan kedipan mata.
Maka lawan yang berada di belakang dengan cepat melemparkan senjata rahasia anak panah kecil ke arah leher Danurwenda.
Wutt!
Tepp!
Senjata tersebut terjepit di antara dua jari tangan Danurwenda yang bergerak cepat ke belakang begitu merasakan ada kesiur angin menerpa lehernya.
Si pemuda tersenyum tipis sambil mengacungkan dua jari yang menjepit senjata itu. "Mau curang lagi?"
"Jurus Jepitan Jari Dewa, ternyata bukan omong kosong!" seru si topeng yang melemparkan senjata tadi.
Hebatnya lagi, sekejap kemudian senjata itu meluncur balik ke arah si pemilik. Kontan saja dia tak bisa menghindar karena saking cepatnya luncuran senjata tersebut.
Crepp!
"Ukh...!"
Anak panah kecil ini tepat menancap di tengah-tengah kening. Si topeng yang satu ini langsung roboh.
Dua temannya terkejut bukan main. Nama besar Danurwenda memang bukan cuma isapan jempol belaka. Namun, sepertinya mereka belum putus asa.
"Kurang ajar, terima pembalasan kami!" teriak si topeng di sebelah kanan.
"Aku kira kalian yang akan menyusul dia!" balas Danurwenda. Pertarungan pun berlanjut.
Dalam satu kesempatan, dua orang bertopeng berhasil memungut kembali senjatanya lalu segera digunakan untuk menyerbu Danurwenda.
Seperti tadi, mereka akhirnya merasakan Jurus Jepitan Jari Dewa. Ujung golok mereka terjepit jari telunjuk dan jari tengah kedua tangan Danurwenda tanpa tergores sedikit pun.
Lebih terkejut lagi keduanya tidak bisa melepaskan senjata masing-masing dari jepitan tersebut.
"Edan, kuat sekali!" Si topeng satu kerahkan seluruh tenaganya, tapi tiada hasil.
Tidak ada cara lain akhirnya mereka melepaskan genggamannya lalu melemparkan senjata anak panah kecil sebelum berbalik mengambil langkah seribu.
Trang!
Trang!
Anak panah kecil itu ditangkis oleh golok yang masih terjepit di jari Danurwenda.
"Ini pembalasan bagi tukang curang!" Danurwenda lemparkan dua golok tersebut ke depan.
Wushh!
Crepp!
Crepp!
Lemparan golok lebih cepat dari gerakan lari mereka. Akhirnya keduanya roboh setelah punggung masing-masing tertembus senjatanya sendiri.
Danurwenda segera berbalik menolong si penunggang kuda. Ternyata kondisinya semakin parah. Sepertinya sudah tidak kuat menahan luka-lukanya.
"Paman, bertahanlah. Aku akan membawa Paman ke tempat tabib!"
"Tidak perlu, Danurwenda!" Si penunggang kuda berkata dengan terpatah-patah karena menahan sakit.
"Jangan khawatir, Paman pasti bisa selamat!"
"Jangan repot-repot, tolong penuhi permintaanku... Ah!"
"Katakan, Paman!"
Si penunggang kuda mengambil sesuatu dari balik bajunya. Sebuah kantung kain tipis, menandakan isinya juga tipis.
"Berikan ini langsung kepada Senapati Mandura!"
Danurwenda menerima bungkusan tersebut yang tidak memakan tempat andai disimpan di balik baju. Sementara si penunggang kuda sudah mulai kejang-kejang.
"Paman, paman!" Danurwenda tampak panik.
"Namaku ... Janitra, ah!"
Si penunggang kuda akhirnya menghembuskan nafas terakhir.
Tiba-tiba telinga Danurwenda menangkap suara angin berdesir dari belakangnya.
Danurwenda berjungkir balik satu kali ke depan lalu balik badan.Tepp!Tepp!Dua tangannya berhasil menjepit dua anak panah kecil, tetapi ternyata yang datang bukan hanya itu. Puluhan senjata lainnya melesat menyerbu Danurwenda.Kontan saja Danurwenda tolakkan dua kaki ke tanah sehingga tubuhnya melenting ke atas sambil berputar. Segelombang angin menghempas dari badan si pemuda.Werrrr!Puluhan anak panah kecil berpentalan ke segala arah karena tidak mampu menembus gelombang angin yang merupakan pertahanan pelindung Danurwenda.Danurwenda sudah mendarat dengan selamat, tatapannya begitu awas mencari si penyerang yang tidak menampakkan diri."Gelo, tidak ada orangnya!"Kalau dilihat dari senjata tadi, sudah pasti si penyerang ini masih satu komplotan dengan orang bertopeng tadi."Hei, tunjukan wujudmu atau kau makhluk yang tak punya wujud?"Beberapa saat Danurwenda menunggu serangan susulan, tapi tidak data
Dalam waktu singkat Danurwenda sudah dikepung belasan prajurit bersenjata lengkap. Tidak ada celah untuk kabur kecuali melawan.Sedangkan dia tidak ingin melawan, sebab dia tidak merasa bersalah. Tetapi untuk bicara baik-baik pun tidak ada gunanya. Semua prajurit ini pasti akan menuruti perintah atasannya.Lalu Danurwenda melihat ke langit-langit, hanya itulah jalan satu-satunya untuk menerobos ke luar. Dalam situasi seperti ini dia tidak bisa bertingkah konyol seperti sebelumnya.Maka ketika beberapa senjata tombak menderu ke arahnya, Danurwenda tolakkan kaki ke lantai kuat-kuat sehingga tubuhnya meluncur ke atas menjebol atap rumah yang terbuat dari 'welit' atau rumbia.Brass!Trakk!Serangan tombak beradu sesama temannya sendiri. Sebagian prajurit sudah berlari keluar mengejar Danurwenda.Pendekar muda itu mendarat indah di halaman belakang rumah. Ternyata di sini ada barak prajurit. Dia salah mengambil langkah.Tadinya dia
Beberapa senjata tampak berseliweran ke atas mengejar sosok Danurwenda yang berkelebat sambil membopong gadis yang menjadi incaran perampok.Tetapi semuanya tidak ada yang menemui sasaran. Lalu kawanan perampok ini segara mengejar. Sayangnya Danurwenda sangat cepat berkat Ilmu Hampang Awak. Sosoknya langsung lenyap dan para pengejar kehilangan jejak.Si gadis merasakan jantungnya melayang ketika mendapati dirinya seolah terbang. Dia juga terpesona menatap wajah si pemuda yang cukup memikat hati.Entah kenapa hatinya langsung percaya kalau di pemuda hendak menolongnya. Padahal belum mengenalnya. Mungkin karena Danurwenda tidak menutup wajahnya, jadi bukan bagian dari kelompok perampok itu.Setelah jauh dari kejaran perampok, Danurwenda mendarat dengan indah lalu menurunkan gadis yang digendongnya."Aku kira mereka tidak akan menemukan kita, di sini sudah aman!"Danurwenda mengajak si gadis duduk di bawah pohon rindang. Angin berhembus pelan t
Tujuh orang bertopeng seperti memukul dinding batu. Tenaga yang sudah terlanjur dilepaskan tidak bisa dihentikan.Akibatnya bagaikan burung terbang menabrakkan diri ke tebing, hancur tubuh sampai ke tulang-tulangnya.Begitu juga yang dirasakan ketujuh orang bertopeng. Tangan mereka yang terkena hantaman jurus Benteng Seribu retak sampai ke tulang. Ketujuhnya terlempar lalu jatuh bergulingan."Hahaha … sekarang kalian jadi manusia cacat!" ejek Danurwenda.Kalau sudah begini apa lagi yang diandalkan. Ibarat burung kalau sayapnya patah sebelah, maka tidak bisa terbang.Akhirnya mereka memilih mundur. Danurwenda sudah berdiri gagah di samping Prabarini. Sedikit peluh terlihat menetes di dahi.Prabarini menarik nafas lega setelah situasi menjadi aman. Gadis ini tidak berhenti mengagumi kepandaian Danurwenda."Mari kita lanjutkan!" ajak Danurwenda.Tanpa bertanya lagi Prabarini mengikuti langkah Danurwenda di sebelahnya.
Serentak puluhan prajurit langsung mengepung ke sekeliling bangunan, tetapi sayang sosok Danurwenda sudah lenyap di kegelapan malam. "Kurang ajar, dia lagi!" bentak Sutasena menyesali tidak bisa menangkap Danurwenda. "Segera edarkan kabar bahwa Danurwenda telah menculik putri senapati, sebagian yang lain tetap cari dia, mungkin saja masih sembunyi di sekitar sini!" "Baik!" Karena Sutasena anaknya Senapati Mandura, maka untuk sementara dia menggantikan posisi ayahnya sampai turun senapati baru. Sementara itu, Danurwenda langsung membawa jauh Prabarini ke tempat yang tersembunyi. Walaupun gelap, tetapi Danurwenda mampu melihat dengan mengerahkan tenaga dalam ke bagian mata. Untuk kedua kalinya Prabarini merasakan digendong yang menurutnya ada sensasi seperti terbang saat Danurwenda melesat menggunakan Ilmu Hampang Awak. Setelah dirasa cukup aman, akhirnya Danurwenda mendarat dengan mantap. Prabarini masih keenakan dalam gendongan si pemu
Orang-orang bertopeng bagai terlempar ke bawah. Prabarini menyaksikan dengan menahan napas. Ilmu Danurwenda yang satu ini cukup dahsyat.Diam-diam gadis putri senapati ini semakin mengagumi Danurwenda.Akan tetapi ada satu orang bertopeng yang masih bertahan. Kuda-kudanya begitu kuat bagaikan tertanam ke tanah. Sementara kedua tangannya memukul setiap gumpalan awan kecil.Desss! Desss!Danurwenda terperangah melihatnya, lalu dia hentikan Pukulan Awan Seribu. Para lelaki setengah baya yang berjumlah lima orang juga sudah berdiri di belakang si pemuda."Kau yang terhebat di antara mereka rupanya!" ujar Danurwenda.Satu orang bertopeng yang tersisa ini membuat gerakan menguatkan diri, lalu sosoknya menerjang ke arah Danurwenda. Senjata goloknya berkelebat cepat.Wutt!"Jepitan Jari Dewa!" seru Danurwenda dengan sedikit menyeringai.Tapp!Dua jari tangan kanan Danurwenda berhasil menjepit bilah golok tepat waktu, sehi
Orang tinggi besar ini menunjukkan muka dingin. Kedua matanya menyorot seperti elang. Hawa sakti memancar kuat dari tubuhnya."Aku Bardasora, senapati pengawal Rahyang Sempakwaja. Akan menangkapmu, pembunuh Senapati Mandura!"Danurwenda pikir tidak bisa tawar menawar dengan si tinggi besar ini. Senapati pengawal bernama Bardasora ini pasti tidak akan menerima penjelasan tentang pembunuhan Senapati Mandura."Dan juga, kembalikan Putri Prabarini!"Si pemuda hampir lupa bahwa dia juga dituduh sebagai penculik putri Senapati. Dia melirik sejenak ke arah gadis itu."Tidak perlu basa-basi, kau tahu sendiri, bukan?" Ucapan Danurwenda ini jelas merupakan tantangan.Derrr!Bardasora menghantamkan gagang tombak ke tanah sampai menimbulkan getaran. Hawa sakti semakin menyeruak seolah hendak mengikat tubuh Danurwenda.Namun, bukan Danurwenda kalau tidak bisa melawan serangan tak kasat mata ini. Bardasora pun sudah menduganya, si pemuda ini memang bukan pendekar rendahan.
Sepasang petani itu tampak ketakutan sampai terlihat gemetar. Walau tidak terlihat wajahnya, tapi tiga orang bertopeng ini bertindak menekan mereka."Ampun, Ki Sanak. Kami tidak membawa apa-apa karena ladang kami belum panen!" Si petani lelaki memelas. Wajahnya sudah penuh peluh."Iya, Den. Kami hanya merapikan kebun kami. Lihat saja, tidak ada yang kami bawa!" timpal istrinya."Bohong, kalian pasti sudah menjualnya. Berikan kepeng hasil penjualannya!" Bentak salah satu orang bertopeng.Sring!Tiga golok sudah mengancam jiwa sepasang petani ini. Wajah keduanya semakin seputih kapas. Mereka saling pandang seolah sedang berdiskusi."Ayo cepat keluarkan, atau nyawa kalian sebagai gantinya!"Akan tetapi sepasang petani ini menjadi kelu. Bingung dan takut. Apa yang harus mereka lakukan? Sedangkan mustahil kalau melawan."Ah, habisi saja mereka lalu ambil kepengnya!" teriak si topeng yang lain.Kemudian dua di antaranya segera m