Tujuh orang bertopeng seperti memukul dinding batu. Tenaga yang sudah terlanjur dilepaskan tidak bisa dihentikan.
Akibatnya bagaikan burung terbang menabrakkan diri ke tebing, hancur tubuh sampai ke tulang-tulangnya.
Begitu juga yang dirasakan ketujuh orang bertopeng. Tangan mereka yang terkena hantaman jurus Benteng Seribu retak sampai ke tulang. Ketujuhnya terlempar lalu jatuh bergulingan.
"Hahaha … sekarang kalian jadi manusia cacat!" ejek Danurwenda.
Kalau sudah begini apa lagi yang diandalkan. Ibarat burung kalau sayapnya patah sebelah, maka tidak bisa terbang.
Akhirnya mereka memilih mundur. Danurwenda sudah berdiri gagah di samping Prabarini. Sedikit peluh terlihat menetes di dahi.
Prabarini menarik nafas lega setelah situasi menjadi aman. Gadis ini tidak berhenti mengagumi kepandaian Danurwenda.
"Mari kita lanjutkan!" ajak Danurwenda.
Tanpa bertanya lagi Prabarini mengikuti langkah Danurwenda di sebelahnya.
Untuk kembali ke perbatasan kota sebelah timur cukup jauh jarak yang akan di tempuh. Sementara tidak mungkin mereka akan melewati perbatasan sebelah utara.
Danurwenda sedang dicari pihak kerajaan. Prabarini yang merupakan putri Senapati Mandura berada di sisinya, ini akan menimbulkan persepsi lain.
Akhirnya sepasang pemuda ini memilih jalur lain asal tidak melewati kota raja. Mereka menapaki jalan-jalan kecil yang melewati hutan, bukit dan kaki gunung.
Ketika matahari hampir tenggelam di langit barat, si gadis dan pemuda ini sudah hampir sampai di tempat tujuan. Kira-kira sejauh seratus tombak lagi markas tugas Senapati Mandura berada.
"Penjagaan pasti sangat ketat," ujar Danurwenda.
Mereka tidak segera bergerak ke sana, tetapi berhenti dulu di tempat tersembunyi.
"Kalau aku yang datang pasti tidak akan mengalami hambatan!"
Sudah pasti orang-orang di sana terutama Sutasena sedang menantikan kedatangan Prabarini.
"Kau alihkan perhatian, aku akan coba menyusup dari belakang, dari arah lereng gunung!"
"Baiklah, kita berbeda jalan, tapi tetap dalam jangkauan penglihatan. Gelapnya malam tidak masalah buatmu, kan?"
"Tentu, bukan masalah!"
"Kalau begitu aku akan melewati jalan utama dan kau mengikuti dari tempat tersembunyi!"
"Baik!"
Prabarini mengambil jalan utama dan satu-satunya menuju markas tugas ayahnya yang kini dipimpin sang kakak sebagai pengganti.
Sementara Danurwenda mengambil jalur tersembunyi. Dia meloncat dari pohon ke pohon. Bahkan dia sudah melesat jauh mendekati markas tugas, tetapi masih bisa melihat sosok Prabarini.
Gadis cantik putri Senapati Mandura ini membiarkan keadaannya yang sedikit kotor karena keringat dan debu.
Awalnya dia dikawal, tapi begitu sampai cuma sendirian dengan kondisi yang cukup memprihatinkan bagi seorang puti senapati yang biasanya selalu dimanjakan dengan kemewahan.
Prajurit jaga yang mengenalinya sejak dari jauh langsung melakukan tindakan penjemputan.
"Itu Gusti Putri, astaga! Kenapa berjalan sendirian?"
Empat prajurit jaga langsung berlari mengawal meski jaraknya sudah dekat. Mereka langsung membawa masuk ke rumah tinggal.
Sang kakak tentu saja terkejut melihat adiknya dalam kondisi sedemikian rupa.
"Rayi, apa yang terjadi?"
Prabarini langsung duduk dengan wajah muram. Dia sengaja berjalan agak cepat agar nafasnya terlihat terengah-engah. Dia tidak segera menjawab pertanyaan kakaknya.
Sutasena mengerti, maka dia membiarkan saja adiknya menenangkan diri terlebih dahulu. Berjalan sendirian tanpa menaiki kereta kuda dan tidak ada pengawalan, sudah pasti terjadi sesuatu hal buruk padanya.
Setelah Prabarini membersihkan diri, barulah dia menceritakan kejadiannya. Bahwa rombongannya dihadang perampok. Semua pengawalnya tewas. Lalu dia berhasil melarikan diri dan selamat. Tentu saja tidak menceritakan tentang Danurwenda.
Sementara Danurwenda sudah berada di atas pohon paling besar yang tumbuh di halaman belakang. Di bawah pohon ini terdapat barak prajurit.
Penjagaan di sini tidak seketat di depan. Tidak ada yang bertugas di pagar pembatas yang berseberangan dengan lereng gunung. Hanya ada penjaga pintu belakang rumah sebanyak empat orang.
Setelah beberapa lama menunggu tampak Prabarini muncul dari pintu belakang. Pura-pura melihat keadaan. Prajurit jaga langsung memberi hormat. Danurwenda mengerti itu merupakan isyarat untuknya.
Maka dengan ilmu Hampang Awak si pemuda melayang ke atap rumah tanpa menimbulkan suara. Danurwenda mengintip sejenak ke bagian dalam. Mencari di mana jasad Senapati Mandura disemayamkan.
Kemudian dengan menggeser atap rumbia itu Danurwenda berhasil menyelinap ke dalam. Kini dia menggantung di langit-langit lalu bergerak ke atas kamar di mana jasad senapati disimpan.
Di sana tampak Prabarini sedang bersimpuh di samping jasad ayahnya ditemani Sutasena. Gadis ini terisak-isak, tentu saja merasa kehilangan atas kepergian ayahnya.
Danurwenda memperhatikan wajah gadis itu lekat-lekat. Lalu pandangannya beralih ke mayat senapati.
Wajah senapati tampak menghijau seperti lumut. Kadang-kadang seperti gosong. Tidak ada luka lain di seluruh tubuh kecuali di wajah saja.
Karena Prabarini tampak larut dalam kesedihan, maka Sutasena meninggalkannya sendirian. Padahal si gadis sengaja agar bisa memberikan kesempatan kepada Danurwenda.
Begitu Sutasena keluar, Prabarini menutup pintu rapat-rapat walau tidak dikunci. Danurwenda tahu gadis itu sadar dan tahu ada dirinya di atas langit-langit kamar.
Jlek!
Danurwenda mendarat indah di samping jasad senapati, lalu dia langsung duduk memeriksa ulang keadaan jasad senapati untuk memastikan sesuai dengan penglihatannya semula.
"Hanya ini yang bisa dijadikan petunjuk!" tunjuk Danurwenda ke wajah senapati. Suaranya sangat pelan hampir berbisik.
Dua remaja ini tetap merasa tegang karena sewaktu-waktu bisa saja Danurwenda ketahuan.
"Apa yang akan kau perbuat?"
"Ijinkan aku mengambil sedikit darahnya di bagian sini,"
"Untuk apa?"
"Memastikan dia terkena racun atau ilmu apa yang bersarang di wajahnya ini!"
"Cepatlah sebelum kakakku kembali lagi!"
Kemudian Danurwenda mencari alat untuk menggores sedikit kulit di wajah senapati. Dia menemukan pisau kecil dan bumbung bambu kecil sebesar jari tangan untuk menyimpan darah.
Tidak butuh waktu lama Danurwenda sudah mendapatkan apa yang diinginkan. Nantinya akan dijadikan petunjuk. Untungnya darahnya belum membeku di bagian kulit yang menghijau ini.
"Sudah selesai!" ujar Danurwenda langsung menyimpan bumbung kecil itu ke balik ikat pinggangnya.
Brakk!
Tiba-tiba pintu kamar terbuka dengan kasar. Sutasena masuk dengan wajah garang.
"Kurang ajar, lancang!"
Putra sulung sang senapati langsung menarik pedang lalu diayunkan dengan cepat ke leher Danurwenda.
Danurwenda mendorong Prabarini agar menjauh, lalu dia sendiri melengkungkan badan ke belakang seperti gerakan kayang.
Swukk!
Ayunan pedang lewat satu jengkal di atas tubuhnya, tetapi pedang itu berputar cepat kini bergerak menebas dari atas ke bawah.
Tepp!
Untungnya Danurwenda lebih cepat menahan tebasan pedang ini dengan Jurus Jepitan Jari Dewa. Lalu dihentakkan sedikit tangannya.
Plakk!
Pedang patah jadi dua, Sutasena terjengkang dua langkah. Lalu dia ambil sebilah golok yang tergantung di dinding kamar seraya langsung dibabatkan ke kepala Danurwenda.
Sayangnya Danurwenda sudah mundur mendekati Prabarini. Digendongnya gadis itu bagaikan mengangkat benda yang sangat ringan.
"Aku bawa adikmu sebagai jaminan!" kata Danurwenda.
Kemudian pendekar muda ini meloncat ke atas menerobos atap. Hebatnya tidak satu pun potongan atap itu menyentuh tubuh Prabarini.
"Ada penculik, kejar dan tangkap dia!"
Serentak puluhan prajurit langsung mengepung ke sekeliling bangunan, tetapi sayang sosok Danurwenda sudah lenyap di kegelapan malam. "Kurang ajar, dia lagi!" bentak Sutasena menyesali tidak bisa menangkap Danurwenda. "Segera edarkan kabar bahwa Danurwenda telah menculik putri senapati, sebagian yang lain tetap cari dia, mungkin saja masih sembunyi di sekitar sini!" "Baik!" Karena Sutasena anaknya Senapati Mandura, maka untuk sementara dia menggantikan posisi ayahnya sampai turun senapati baru. Sementara itu, Danurwenda langsung membawa jauh Prabarini ke tempat yang tersembunyi. Walaupun gelap, tetapi Danurwenda mampu melihat dengan mengerahkan tenaga dalam ke bagian mata. Untuk kedua kalinya Prabarini merasakan digendong yang menurutnya ada sensasi seperti terbang saat Danurwenda melesat menggunakan Ilmu Hampang Awak. Setelah dirasa cukup aman, akhirnya Danurwenda mendarat dengan mantap. Prabarini masih keenakan dalam gendongan si pemu
Orang-orang bertopeng bagai terlempar ke bawah. Prabarini menyaksikan dengan menahan napas. Ilmu Danurwenda yang satu ini cukup dahsyat.Diam-diam gadis putri senapati ini semakin mengagumi Danurwenda.Akan tetapi ada satu orang bertopeng yang masih bertahan. Kuda-kudanya begitu kuat bagaikan tertanam ke tanah. Sementara kedua tangannya memukul setiap gumpalan awan kecil.Desss! Desss!Danurwenda terperangah melihatnya, lalu dia hentikan Pukulan Awan Seribu. Para lelaki setengah baya yang berjumlah lima orang juga sudah berdiri di belakang si pemuda."Kau yang terhebat di antara mereka rupanya!" ujar Danurwenda.Satu orang bertopeng yang tersisa ini membuat gerakan menguatkan diri, lalu sosoknya menerjang ke arah Danurwenda. Senjata goloknya berkelebat cepat.Wutt!"Jepitan Jari Dewa!" seru Danurwenda dengan sedikit menyeringai.Tapp!Dua jari tangan kanan Danurwenda berhasil menjepit bilah golok tepat waktu, sehi
Orang tinggi besar ini menunjukkan muka dingin. Kedua matanya menyorot seperti elang. Hawa sakti memancar kuat dari tubuhnya."Aku Bardasora, senapati pengawal Rahyang Sempakwaja. Akan menangkapmu, pembunuh Senapati Mandura!"Danurwenda pikir tidak bisa tawar menawar dengan si tinggi besar ini. Senapati pengawal bernama Bardasora ini pasti tidak akan menerima penjelasan tentang pembunuhan Senapati Mandura."Dan juga, kembalikan Putri Prabarini!"Si pemuda hampir lupa bahwa dia juga dituduh sebagai penculik putri Senapati. Dia melirik sejenak ke arah gadis itu."Tidak perlu basa-basi, kau tahu sendiri, bukan?" Ucapan Danurwenda ini jelas merupakan tantangan.Derrr!Bardasora menghantamkan gagang tombak ke tanah sampai menimbulkan getaran. Hawa sakti semakin menyeruak seolah hendak mengikat tubuh Danurwenda.Namun, bukan Danurwenda kalau tidak bisa melawan serangan tak kasat mata ini. Bardasora pun sudah menduganya, si pemuda ini memang bukan pendekar rendahan.
Sepasang petani itu tampak ketakutan sampai terlihat gemetar. Walau tidak terlihat wajahnya, tapi tiga orang bertopeng ini bertindak menekan mereka."Ampun, Ki Sanak. Kami tidak membawa apa-apa karena ladang kami belum panen!" Si petani lelaki memelas. Wajahnya sudah penuh peluh."Iya, Den. Kami hanya merapikan kebun kami. Lihat saja, tidak ada yang kami bawa!" timpal istrinya."Bohong, kalian pasti sudah menjualnya. Berikan kepeng hasil penjualannya!" Bentak salah satu orang bertopeng.Sring!Tiga golok sudah mengancam jiwa sepasang petani ini. Wajah keduanya semakin seputih kapas. Mereka saling pandang seolah sedang berdiskusi."Ayo cepat keluarkan, atau nyawa kalian sebagai gantinya!"Akan tetapi sepasang petani ini menjadi kelu. Bingung dan takut. Apa yang harus mereka lakukan? Sedangkan mustahil kalau melawan."Ah, habisi saja mereka lalu ambil kepengnya!" teriak si topeng yang lain.Kemudian dua di antaranya segera m
Tidak lama kemudian lewatlah dua orang lelaki menunggang kuda yang berjalan pelan. Pakaian mereka tampak sederhana seperti rakyat biasa, tapi kuda yang ditunggangi terlalu mewah untuk orang kasta rendah.Tubuh keduanya terlihat tegap dan gagah, wajah bersih memancarkan kewibawaan. Jelas mereka bukan rakyat jelata, tapi orang berpangkat di istana."Kau kenal mereka?" tanya Danurwenda setelah melihat sinar mata Prabarini ketika menatap dua orang tadi."Mereka keluarga istana,""Oh..."Danurwenda memang mempunyai teman yang mempunyai jabatan di kerajaan Galuh, tapi bukan berarti tahu tentang keluarga istana."Yang sebelah kanan adalah Sang Jalantara alias Raden Amara, putra bungsu Prabu Wretikandayun. Yang satu lagi kakaknya Rahyang Jantaka!""Rupanya putra raja, apa mereka juga turun tangan demi membalas kematian ayahmu?""Entahlah, tapi sepertinya mereka ada urusan lain. Mana mungkin kematian ayahku sampai melibatkan mereka. Oh,
Dua orang ini perawakannya sama tegap dan kekar. Pendekar Tongkat Merah memiliki wajah bulat dengan sedikit berewok.Tongkat dari bahan rotan berwarna merah panjangnya setinggi badannya. Dengan senjatanya ini dia bisa menjangkau lawan lebih jauh.Yang sebelahnya berwajah agak lonjong dan kelimis, hanya rambutnya gimbal dibiarkan tanpa ikat kepala. Dia dijuluki Si Pecut Guludug.Danurwenda tahu dua pendekar ini mengincar dirinya demi bayaran tinggi."Menyerah baik-baik saja. Agar kami tidak banyak keluar tenaga!" kata Pendekar Tongkat Merah."Enak saja, harus bekerja dulu biar setimpal dengan upahnya!" hardik Danurwenda."Huh, jumawa!" maki Si Pecut Guludug."Kalian berdua yang mengambil resiko besar, apa itu juga bukan sombong?" balas Danurwenda dengan menyeringai yang membuat kedua orang di depannya naik pitam."Hari ini adalah waktu naasmu, Danurwenda!" teriak Pendekar Tongkat Merah yang sifatnya lebih temperamen dari kawanny
Ketika memasuki hutan tadi, hari baru lewat tengah hari. Di luar sana udara terasa terik. Anehnya setelah masuk ke hutan mendadak suasana berubah seperti malam hari.Benar-benar bagaikan di malam hari. Gelap dengan iringan suara serangga malam. Ramai, tapi terasa sunyi.Prabarini eratkan pegangan, bahkan sampai merangkul ke pinggang Danurwenda. Gadis ini tidak bisa melihat apa-apa, hanya kegelapan yang tampak.Berbeda dengan Danurwenda, dengan mengerahkan tenaga dalam, menjadikan kedua bola matanya mampu menerawang dalam gelap."Hutan ini aneh, tadi di luar masih siang. Kenapa di sini jadi malam? Apa kita tidak salah jalan?""Kalau lewat jalan lain, maka akan membutuhkan waktu lebih lama lagi. Ini jalan pintas menuju gunung Kunci!""Apa kau sanggup melewati hutan aneh ini?" Prabarini khawatir."Tenang saja!"Danurwenda melangkah sedang saja. Dia menyusuri jalan setapak yang berliku-liku. Tidak lupa dia tingkatkan kewaspadaan.
Seolah lupa dengan tujuan mereka, sepasang manusia ini malah memadu asmara sambil berendam di air sungai yang dingin.Namun, mereka tidak merasakan dinginnya air karena terpanaskan oleh tubuh mereka yang mengeluarkan hawa panas saat saling menyatu tanpa penghalang.Gejolak nafsu telah menguasai kedua manusia yang sedang dilanda kasmaran berat ini. Yang ingin dirasakan saat ini adalah mengecap keindahan gelora dalam cinta."Ow! pekik Danurwenda tertahan ketika Prabarini melakukan hal yang berani. Rasanya seperti melayang ke awang-awang. Tubuhnya sedikit menegang."Waktu itu aku belum sempat, sekarang aku ingin memegangnya!" Prabarini mengulas senyum manja malah cenderung nakal. Dia memainkan jari-jari tangannya, membuat Danurwenda mengerang"Aku jadi tidak kuat!" ujar Danurwenda membalas perlakuan si gadis dengan cara yang sama, malah dengan dua tangannya meraba di tubuh indah bagian atas milik Prabarini.Keduanya mendesah tertahan mera