Serentak puluhan prajurit langsung mengepung ke sekeliling bangunan, tetapi sayang sosok Danurwenda sudah lenyap di kegelapan malam.
"Kurang ajar, dia lagi!" bentak Sutasena menyesali tidak bisa menangkap Danurwenda. "Segera edarkan kabar bahwa Danurwenda telah menculik putri senapati, sebagian yang lain tetap cari dia, mungkin saja masih sembunyi di sekitar sini!"
"Baik!"
Karena Sutasena anaknya Senapati Mandura, maka untuk sementara dia menggantikan posisi ayahnya sampai turun senapati baru.
Sementara itu, Danurwenda langsung membawa jauh Prabarini ke tempat yang tersembunyi. Walaupun gelap, tetapi Danurwenda mampu melihat dengan mengerahkan tenaga dalam ke bagian mata.
Untuk kedua kalinya Prabarini merasakan digendong yang menurutnya ada sensasi seperti terbang saat Danurwenda melesat menggunakan Ilmu Hampang Awak.
Setelah dirasa cukup aman, akhirnya Danurwenda mendarat dengan mantap. Prabarini masih keenakan dalam gendongan si pemuda sampai Danurwenda menurunkannya dengan pelan.
"Sudah aman," ujar Danurwenda.
"Gelap sekali di sini, aku tidak bisa melihat apapun," kata Prabarini.
"Nanti aku buat perapian. Sekarang, sampai urusan ini selesai kau harus tetap bersamaku."
Dalam waktu singkat Danurwenda sudah mengumpulkan ranting-ranting kering. Lalu dengan teknik mengubah tenaga dalam menjadi api, dia membakar ranting-ranting tersebut sehingga tempat itu menjadi terang. Kedua orang ini sudah duduk di dekat perapian.
"Apa rencanamu selanjutnya?" tanya Prabarini.
"Menemui Ki Candala, seorang ahli racun. Aku akan menanyakan darah ayahmu ini apakah mengandung racun atau tidak?"
"Baiklah, aku ikut rencanamu saja,"
"Kamu tenang saja, soal makan atau ganti baju biar aku yang tanggung. Biar begini juga aku bukan pendekar melarat!" Danurwenda menggerak-gerakkan kedua alisnya dan bibirnya sedikit melengkung.
"Tidak apa-apa, aku juga masih membawa bekal beberapa kepeng emas."
Prabarini menggeser duduknya hingga menempel dengan Danurwenda. Si pemuda sempat tersirap darahnya merasakan kulit hangat dan lembut.
"Api ini masih kurang hangat," ujar Prabarini, "aku ingin istirahat sambil bersandar di bahumu, boleh, kan?"
"Bo- boleh!"
Tetap saja Danurwenda gugup. Urusan kependekaran dengan urusan wanita sangat berbeda. Dia bisa tegas, keras atau kasar dalam menghadapi lawan, tetapi urusan wanita tidak seperti itu dan dia belum pengalaman.
Akhirnya dengan hati deg-degan Danurwenda membiarkan kepala Prabarini bersandar di bahunya sampai gadis ini terlelap.
Esok harinya di waktu 'Balebat' (subuh) kedua orang ini sudah siap berangkat. Danurwenda belum sempat pejamkan mata karena menahan perasaannya, tetapi hal ini sudah biasa baginya. Seorang pendekar sering 'lelaku' melek demi mendapatkan sebuah ilmu.
"Di mana tempat tinggal Ki Candala?" tanya Prabarini.
"Lumayan jauh di sebelah timur sana, di bukit Grongngong,"
Perjalanan mereka tentu saja tidak melalui jalan umum atau ramai, karena sudah tersiar kabar Danurwenda menculik putri senapati.
Ketika melewati sebuah pasar kecil, selain membeli makanan untuk bekal, mereka juga membeli caping agak lebar yang bisa menghalangi muka ketika dipakai.
Mereka juga membeli seekor kuda untuk tunggangan berdua agar lebih cepat sampai ke tempat tujuan.
Namun, belum setengah jalan mereka sudah mendapat hambatan.
"Mereka lagi, berapa banyak jumlah mereka? Sepertinya selalu mengikuti ke mana kita pergi!" umpat Danurwenda.
Kira-kira ada sebelas orang bertopeng kayu yang bentuknya mirip dengan orang-orang bertopeng kemarin. Sudah pasti mereka masih satu komplotan dengan yang terus mengincar Danurwenda atau Prabarini.
"Kau pergi duluan, biar aku atasi mereka!" Danurwenda kemudian menepuk pinggang kuda bersamaan dengan sosoknya melenting ke udara.
Kuda yang membawa Prabarini langsung lari menerobos barisan orang bertopeng. Beberapa di antara mereka hendak menghentikannya dengan segala cara. Namun, Danurwenda tidak membiarkannya. Di atas udara dia lepaskan pukulan jarak jauh dari ilmunya yang lain.
"Awas kalian!" teriak si pemuda.
Wushh!
Dia menggunakan Ilmu Pukulan Awan Seribu. Dari kedua tangannya melesat puluhan gumpalan putih kecil sekali pukul, bentuknya seperti awan.
Dess! Dess! Dess!
Gumpalan putih ini menghantam beberapa orang yang hendak menghambat lari kuda sampai terjengkang kembali ke belakang.
Prabarini selamat, Danurwenda sudah menukik ke bawah sambil kembali memukulkan kedua tangan di udara.
Wushh! Wushh!
Plak! Plak! Plak!
Belasan orang bertopeng kerepotan dihujani benda mirip awan putih berukuran segenggaman tangan ini. Soalnya benda ini begitu keras bagai batu.
Begitu mendarat, Danurwenda berlari ke depan sambil terus mengeluarkan ilmunya ini.
"Sial! Ilmunya selalu tak terduga!" rutuk salah seorang bertopeng.
"Hahaha... rasakan!" seru Danurwenda.
Orang-orang bertopeng dibuat tak berkutik, mereka memilih menjauh ketika Danurwenda mendekat.
Kali ini Danurwenda tidak memberikan serangan yang sampai membikin cacat, dia hanya memukul mundur lawan saja.
Setelah terbuka jalan, segera dia melesat dengan Ilmu Hampang Awak meninggalkan mereka karena ada yang lebih penting untuk segera dilakukan.
Prabarini terkejut tahu-tahu Danurwenda sudah duduk di belakangnya.
"Kau baik-baik saja?" tanya Danurwenda.
"Tadi aku panik karena tidak bisa mengendalikan kuda ini, lalu aku mencoba tenang membiarkan saja dia lari ke mana. Untungnya kau cepat datang."
"Baiklah, ayo kita lanjutkan!"
Jika dengan berjalan kaki membutuhkan waktu hingga tiga hari, maka dengan berkuda hanya membutuhkan satu hari lebih sedikit saja.
Bukit Grongngong tampak sepi karena jauh dari pemukiman warga. Danurwenda memacu kuda menaiki jalan kecil ke lereng bukit.
Saat itu hari sudah gelap, si kuda tidak bisa lagi berjalan di kegelapan. Akhirnya mereka berhenti lalu menambatkan kuda ke sebuah pohon.
"Mau digendong lagi?" tawar Danurwenda.
Si gadis tersenyum manja dengan tatapan penuh arti. Danurwenda langsung menggendongnya lagi, lalu melesat membelah gelapnya malam menuju lereng bukit.
Belum juga sampai ke sana, dari kejauhan sudah terdengar ribut-ribut seperti suara perkelahian.
"Ada apa, kenapa berhenti di sini?" tanya Prabarini yang pendengarannya tidak setajam telinga Danurwenda.
"Ada sesuatu yang terjadi di sana!"
Danurwenda menggandeng tangan Prabarini, lalu melangkah mendekati tempat kejadian.
Di lereng bukit tanahnya sebagian ada yang mendatar terdapat sebuah rumah yang diterangi beberapa obor di setiap sudutnya.
Di halaman rumah itu tengah terjadi pertarungan beberapa orang bertopeng melawan beberapa laki-laki setengah baya.
"Mereka lagi!" dengus Danurwenda.
Tanpa pikir panjang, pemuda ini langsung berkelebat ke arena pertarungan seraya mengirimkan pukulan jarak jauh dari Ilmu Pukulan Awan Seribu.
"Enyahlah kalian!" teriak Danurwenda.
Wushh! Wushh!
Dess! Dess!
Hujan awan kecil seketika membuat sekelompok orang bertopeng kayu ini kocar-kacir.
"Kurang ajar! Dia datang disaat yang tepat!" maki salah satu orang bertopeng.
Mereka mencoba terus bertahan dengan menghalau hujan awan kecil tersebut menggunakan senjata masing-masing.
Begitu Danurwenda sudah berada di antara para lelaki setengah baya, dia terus memukul mundur kelompok bertopeng, menghujani mereka dengan Pukulan Awan Seribu.
"Haha... Kalian belum merasakan ilmuku yang satu ini!" seru Danurwenda.
***
Jangan lupa vote-nya....
Wutt! Wushh!
Orang-orang bertopeng bagai terlempar ke bawah. Prabarini menyaksikan dengan menahan napas. Ilmu Danurwenda yang satu ini cukup dahsyat.Diam-diam gadis putri senapati ini semakin mengagumi Danurwenda.Akan tetapi ada satu orang bertopeng yang masih bertahan. Kuda-kudanya begitu kuat bagaikan tertanam ke tanah. Sementara kedua tangannya memukul setiap gumpalan awan kecil.Desss! Desss!Danurwenda terperangah melihatnya, lalu dia hentikan Pukulan Awan Seribu. Para lelaki setengah baya yang berjumlah lima orang juga sudah berdiri di belakang si pemuda."Kau yang terhebat di antara mereka rupanya!" ujar Danurwenda.Satu orang bertopeng yang tersisa ini membuat gerakan menguatkan diri, lalu sosoknya menerjang ke arah Danurwenda. Senjata goloknya berkelebat cepat.Wutt!"Jepitan Jari Dewa!" seru Danurwenda dengan sedikit menyeringai.Tapp!Dua jari tangan kanan Danurwenda berhasil menjepit bilah golok tepat waktu, sehi
Orang tinggi besar ini menunjukkan muka dingin. Kedua matanya menyorot seperti elang. Hawa sakti memancar kuat dari tubuhnya."Aku Bardasora, senapati pengawal Rahyang Sempakwaja. Akan menangkapmu, pembunuh Senapati Mandura!"Danurwenda pikir tidak bisa tawar menawar dengan si tinggi besar ini. Senapati pengawal bernama Bardasora ini pasti tidak akan menerima penjelasan tentang pembunuhan Senapati Mandura."Dan juga, kembalikan Putri Prabarini!"Si pemuda hampir lupa bahwa dia juga dituduh sebagai penculik putri Senapati. Dia melirik sejenak ke arah gadis itu."Tidak perlu basa-basi, kau tahu sendiri, bukan?" Ucapan Danurwenda ini jelas merupakan tantangan.Derrr!Bardasora menghantamkan gagang tombak ke tanah sampai menimbulkan getaran. Hawa sakti semakin menyeruak seolah hendak mengikat tubuh Danurwenda.Namun, bukan Danurwenda kalau tidak bisa melawan serangan tak kasat mata ini. Bardasora pun sudah menduganya, si pemuda ini memang bukan pendekar rendahan.
Sepasang petani itu tampak ketakutan sampai terlihat gemetar. Walau tidak terlihat wajahnya, tapi tiga orang bertopeng ini bertindak menekan mereka."Ampun, Ki Sanak. Kami tidak membawa apa-apa karena ladang kami belum panen!" Si petani lelaki memelas. Wajahnya sudah penuh peluh."Iya, Den. Kami hanya merapikan kebun kami. Lihat saja, tidak ada yang kami bawa!" timpal istrinya."Bohong, kalian pasti sudah menjualnya. Berikan kepeng hasil penjualannya!" Bentak salah satu orang bertopeng.Sring!Tiga golok sudah mengancam jiwa sepasang petani ini. Wajah keduanya semakin seputih kapas. Mereka saling pandang seolah sedang berdiskusi."Ayo cepat keluarkan, atau nyawa kalian sebagai gantinya!"Akan tetapi sepasang petani ini menjadi kelu. Bingung dan takut. Apa yang harus mereka lakukan? Sedangkan mustahil kalau melawan."Ah, habisi saja mereka lalu ambil kepengnya!" teriak si topeng yang lain.Kemudian dua di antaranya segera m
Tidak lama kemudian lewatlah dua orang lelaki menunggang kuda yang berjalan pelan. Pakaian mereka tampak sederhana seperti rakyat biasa, tapi kuda yang ditunggangi terlalu mewah untuk orang kasta rendah.Tubuh keduanya terlihat tegap dan gagah, wajah bersih memancarkan kewibawaan. Jelas mereka bukan rakyat jelata, tapi orang berpangkat di istana."Kau kenal mereka?" tanya Danurwenda setelah melihat sinar mata Prabarini ketika menatap dua orang tadi."Mereka keluarga istana,""Oh..."Danurwenda memang mempunyai teman yang mempunyai jabatan di kerajaan Galuh, tapi bukan berarti tahu tentang keluarga istana."Yang sebelah kanan adalah Sang Jalantara alias Raden Amara, putra bungsu Prabu Wretikandayun. Yang satu lagi kakaknya Rahyang Jantaka!""Rupanya putra raja, apa mereka juga turun tangan demi membalas kematian ayahmu?""Entahlah, tapi sepertinya mereka ada urusan lain. Mana mungkin kematian ayahku sampai melibatkan mereka. Oh,
Dua orang ini perawakannya sama tegap dan kekar. Pendekar Tongkat Merah memiliki wajah bulat dengan sedikit berewok.Tongkat dari bahan rotan berwarna merah panjangnya setinggi badannya. Dengan senjatanya ini dia bisa menjangkau lawan lebih jauh.Yang sebelahnya berwajah agak lonjong dan kelimis, hanya rambutnya gimbal dibiarkan tanpa ikat kepala. Dia dijuluki Si Pecut Guludug.Danurwenda tahu dua pendekar ini mengincar dirinya demi bayaran tinggi."Menyerah baik-baik saja. Agar kami tidak banyak keluar tenaga!" kata Pendekar Tongkat Merah."Enak saja, harus bekerja dulu biar setimpal dengan upahnya!" hardik Danurwenda."Huh, jumawa!" maki Si Pecut Guludug."Kalian berdua yang mengambil resiko besar, apa itu juga bukan sombong?" balas Danurwenda dengan menyeringai yang membuat kedua orang di depannya naik pitam."Hari ini adalah waktu naasmu, Danurwenda!" teriak Pendekar Tongkat Merah yang sifatnya lebih temperamen dari kawanny
Ketika memasuki hutan tadi, hari baru lewat tengah hari. Di luar sana udara terasa terik. Anehnya setelah masuk ke hutan mendadak suasana berubah seperti malam hari.Benar-benar bagaikan di malam hari. Gelap dengan iringan suara serangga malam. Ramai, tapi terasa sunyi.Prabarini eratkan pegangan, bahkan sampai merangkul ke pinggang Danurwenda. Gadis ini tidak bisa melihat apa-apa, hanya kegelapan yang tampak.Berbeda dengan Danurwenda, dengan mengerahkan tenaga dalam, menjadikan kedua bola matanya mampu menerawang dalam gelap."Hutan ini aneh, tadi di luar masih siang. Kenapa di sini jadi malam? Apa kita tidak salah jalan?""Kalau lewat jalan lain, maka akan membutuhkan waktu lebih lama lagi. Ini jalan pintas menuju gunung Kunci!""Apa kau sanggup melewati hutan aneh ini?" Prabarini khawatir."Tenang saja!"Danurwenda melangkah sedang saja. Dia menyusuri jalan setapak yang berliku-liku. Tidak lupa dia tingkatkan kewaspadaan.
Seolah lupa dengan tujuan mereka, sepasang manusia ini malah memadu asmara sambil berendam di air sungai yang dingin.Namun, mereka tidak merasakan dinginnya air karena terpanaskan oleh tubuh mereka yang mengeluarkan hawa panas saat saling menyatu tanpa penghalang.Gejolak nafsu telah menguasai kedua manusia yang sedang dilanda kasmaran berat ini. Yang ingin dirasakan saat ini adalah mengecap keindahan gelora dalam cinta."Ow! pekik Danurwenda tertahan ketika Prabarini melakukan hal yang berani. Rasanya seperti melayang ke awang-awang. Tubuhnya sedikit menegang."Waktu itu aku belum sempat, sekarang aku ingin memegangnya!" Prabarini mengulas senyum manja malah cenderung nakal. Dia memainkan jari-jari tangannya, membuat Danurwenda mengerang"Aku jadi tidak kuat!" ujar Danurwenda membalas perlakuan si gadis dengan cara yang sama, malah dengan dua tangannya meraba di tubuh indah bagian atas milik Prabarini.Keduanya mendesah tertahan mera
Sudah diduga sebelumnya, Danurwenda bakal mendapat sambutan yang tidak menyenangkan. Belasan orang bertopeng ini langsung berhamburan menyerang Danurwenda."Hah, di markas sendiri masih malu-malu nunjukin muka! Wajah kalian jelek-jelek, ya!"Danurwenda langsung gunakan Jurus Benteng Seribu sambil meloncat, menghindar serbuan lawan. Dia berniat menerobos masuk, bahkan kalau bisa langsung ke gua yang berada di atas.Namun, anggota Kelompok Macan Ucul yang berada di sini ternyata lebih tangguh daripada yang pernah dia hadapi sebelumnya.Pendekar muda ini harus mengerahkan tenaga dalam lebih besar pula. Serangan lawan lebih cepat dan banyak variasi yang tidak dapat ditebak.Lima pukulan dan tendangan datang bersamaan mengincar titik berbeda. Untungnya Danurwenda sudah menambahkan Ilmu Hampang Awak guna membantu gerakannya.Dalam sekali elak saja, kelima serangan tersebut bisa dihindari dengan mulus walaupun pada kejap berikutnya tujuh serangan l