Beberapa senjata tampak berseliweran ke atas mengejar sosok Danurwenda yang berkelebat sambil membopong gadis yang menjadi incaran perampok.
Tetapi semuanya tidak ada yang menemui sasaran. Lalu kawanan perampok ini segara mengejar. Sayangnya Danurwenda sangat cepat berkat Ilmu Hampang Awak. Sosoknya langsung lenyap dan para pengejar kehilangan jejak.
Si gadis merasakan jantungnya melayang ketika mendapati dirinya seolah terbang. Dia juga terpesona menatap wajah si pemuda yang cukup memikat hati.
Entah kenapa hatinya langsung percaya kalau di pemuda hendak menolongnya. Padahal belum mengenalnya. Mungkin karena Danurwenda tidak menutup wajahnya, jadi bukan bagian dari kelompok perampok itu.
Setelah jauh dari kejaran perampok, Danurwenda mendarat dengan indah lalu menurunkan gadis yang digendongnya.
"Aku kira mereka tidak akan menemukan kita, di sini sudah aman!"
Danurwenda mengajak si gadis duduk di bawah pohon rindang. Angin berhembus pelan terasa menyejukkan dan menghapus keringat setelah beberapa saat dibuat tegang.
"Terima kasih, tapi bagaimana dengan pengawalku?"
"Biarkan saja, aku yang akan mengantarmu. Oh, ya, kau pasti orang penting. Ke mana aku harus mengantarmu pulang?"
"Aku mendapat kabar bahwa ayahku telah dibunuh, jadi aku hendak mengunjungi tempat kerjanya. Di sana juga ada kakakku...."
"Tunggu," sela Danurwenda "siapa ayahmu?"
"Senapati Mandura,"
"Kebetulan sekali, jadi kau putrinya?"
"Iya, kebetulan bagaimana?" Si gadis berpakaian bagus yang menambah aura kecantikannya ini kerutkan kening.
"Siapa dulu namamu?" tanya Danurwenda dengan sedikit senyum membuat jantung si gadis berdetak cepat.
"Prabarini, kau siapa?"
"Aku Danurwenda!" Si pemuda tidak ragu menyebut namanya walau tahu seperti apa sikap si gadis nantinya.
Benar saja Prabarini langsung terkesiap. Wajahnya agak memerah dan secara refleks beringsut menjauh.
"Kau... pembunuh ayahku!" seru Prabarini. Kali ini dia seperti ketakutan. Kiranya lepas dari kejaran singa masuk ke kandang macan.
"Bukan!" tukas Danurwenda.
"Sudah banyak saksinya, bahkan kakakku sendiri yang menyaksikan. Kau masih mengelak?" Suara Prabarini agak meninggi.
"Aku dijebak!"
"Kalau begitu buktikan jika kau tidak bersalah!"
"Ini memang sulit, tapi sesungguhnya aku benar-benar tidak membunuh ayahmu. Aku kira kau juga tidak akan mengerti jika aku jelaskan,"
"Apa lagi yang ingin kau jelaskan?"
"Ini berkaitan dengan dunia kependekaran, aku takut kau tidak akan memahaminya,"
"Jelaskan saja, karena aku juga ingin tahu bagaimana ayahku tewas di tanganmu!"
Danurwenda mendesah keras, tapi dia mengerti apa yang dipikirkan Prabarini. Lalu dia menceritakan kejadiannya dimulai dari mendapatkan titipan dari Bekel Janitra sampai tewasnya Senapati Mandura oleh suara aneh seperti serangga malam.
"Aneh, seperti tidak masuk akal!" ujar Prabarini setelah Danurwenda selesai menjelaskan.
"Sudah kuduga, kau tidak akan mengerti,"
"Lalu apa rencanamu?" tanya si gadis bertubuh sintal ini.
"Kalau kau percaya padaku, akan aku cari orang yang mengeluarkan suara serangga itu. Dia pasti menggunakan semacam ilmu hitam!"
"Bagaimana kalau kau tertangkap lebih dulu sebelum membuktikan kebenarannya?"
Danurwenda terdiam. Perkataan Prabarini memang benar. Sedangkan dia sendiri masih buta siapa musuh yang telah mencemarkan nama baiknya ini.
"Tadinya aku berharap kau mau percaya dan mendukungku untuk membongkar siapa dalang sesungguhnya di balik kejadian ini!" harap Danurwenda.
Diam-diam Prabarini menatap bola mata si pemuda begitu dalam seperti hendak menelannya saja. Dari sorot mata Danurwenda yang sendu itu terdapat sinar kejujuran.
Di samping itu Danurwenda sudah terkenal sebagai pendekar beraliran lurus. Tidak ada motif untuk apa membunuh Senapati Mandura, kecuali dia pembunuh bayaran.
"Baiklah, karena kau sudah menolongku. Aku juga akan membantumu sesuai apa yang aku bisa!"
Wajah Danurwenda berubah cerah setelah murung beberapa saat.
"Terima kasih, walaupun aku belum tahu harus mulai dari mana. Tetapi aku kira bisa dimulai dengan memeriksa kembali jasad ayahmu,"
"Aku setuju, jasad ayahku tidak akan dikubur sebelum aku datang melayatnya untuk yang terakhir kali,"
"Terus, kenapa kamu cuma sendirian tidak bersama ibumu?"
"Ibuku sudah meninggal!"
"Oh, maaf!"
Akhirnya mereka berangkat menuju markas Senapati Mandura. Mungkin kali ini tidak secara terang-terangan sebab status Danurwenda masih buronan.
Ada perasaan lain dari sudut mereka sebagai manusia menuju dewasa. Di mana ada ketertarikan ketika melihat lawan jenis yang begitu membangkitkan gelora.
Usia Prabarini mungkin terpaut dua tahun lebih muda dari Danurwenda. Usia keduanya sudah memasuki masa-masa kasmaran.
Apalagi melihat wajah tampan dan perawakan gagah, juga paras jelita dengan tubuh mulus, kencang dan bentuk yang ideal bagi para wanita.
Sejenak terlupakan masalah yang sedang menimpa mereka ketika masing-masing menikmati pemandangan indah dari teman seperjalanan.
Namun, suasana hati yang berbunga-bunga itu menjadi terganggu ketika tiba-tiba saja mereka dihadang beberapa orang bertopeng. Topeng yang dikenakan mereka begitu tidak asing.
"Kalian lagi!" seru Danurwenda, "kenapa tidak sekalian majikan kalian yang muncul?"
Sebagai jawabannya sebuah serangan bersama dibangun orang bertopeng kayu yang berjumlah tujuh orang ini. Serangan yang bukan hanya mengincar Danurwenda, tapi juga Prabarini.
"Tetap di sini!" kata Danurwenda.
Ilmu Hampang Awak langsung diperagakan. Kali ini dipadukan dengan jurus yang lain yaitu Benteng Seribu.
Dengan ilmu Hampang Awak, Danurwenda bergerak ringan dan cepat dengan Prabarini sebagai porosnya. Lalu jurus Benteng Seribu adalah jurus pertahanan.
Tenaga dalam dialirkan pada tangan dari kepalan sampai siku. Tenaga dalam ini membuat kedua tangannya menjadi sekuat benteng yang terbuat dari batu gunung yang besar.
Dengan tangan yang kuat ini Danurwenda menangkis setiap serangan lawan yang bertubi-tubi datangnya. Bahkan senjata anak panah kecil ciri khas kelompok ini tidak mempan terhadap tangan Danurwenda.
Takk!
Trakk!
Setiap pukulan orang bertopeng seperti menghantam dinding batu dan senjata andalan mereka pun tak mampu memberikan hasil.
"Jangan harap bisa menyentuh kami, ya!" teriak si pemuda.
Danurwenda berputar mengelilingi Prabarini seperti pusaran angin. Tujuh orang bertopeng tidak dapat merangsek maju selalu tertahan Jurus Benteng Seribu.
"Sialan, jurus apa lagi ini?" dengus salah seorang bertopeng.
"Pendekar satu ini memang tidak bisa ditebak!" sahut yang lain.
Sementara biarpun keadaannya terlindungi, tapi tetap saja Prabarini panik. Wajahnya memucat. Sinar kecemasan memancar dari kedua matanya yang lentik.
"Tenang saja, tetap jangan bergerak!" Danurwenda menguatkan hati si gadis.
Sudah selayaknya laki-laki ingin tampil jadi pelindung bagi wanita. Bahkan lelaki yang paling bodoh atau tidak memiliki kemampuan beladiri juga akan melakukan tindakan yang heroik demi wanitanya.
Prabarini pun mulai kagum melihat Danurwenda yang seolah menjelma jadi dewa penolong. Sebelumnya dia hanya merasakan dibawa terbang saja oleh ilmu meringankan tubuh.
Beberapa lama keadaan tampak seperti itu. Tujuh orang bertopeng tidak bisa menembus pertahanan Danurwenda. Cukup membuat hati mereka dongkol.
"Gila, tujuh orang tidak bisa menembus jurus ini!" seru salah satu si topeng lagi.
Berikutnya Danurwenda tambah tenaga dalam lebih besar lagi ke sepasang tangannya. Sampai-sampai kulit tangannya memancarkan cahaya hitam. Masih dengan jurus Benteng Seribu, hanya ke tingkat yang lebih tinggi.
"Sekarang rasakan ini!" seru Danurwenda.
Dengan tangan yang lebih keras lagi, Danurwenda tidak hanya menangkis, tetapi tangkisan itu dijadikan serangan balasan.
Dess!
Krakk!
Krakk!
Tujuh orang bertopeng seperti memukul dinding batu. Tenaga yang sudah terlanjur dilepaskan tidak bisa dihentikan.Akibatnya bagaikan burung terbang menabrakkan diri ke tebing, hancur tubuh sampai ke tulang-tulangnya.Begitu juga yang dirasakan ketujuh orang bertopeng. Tangan mereka yang terkena hantaman jurus Benteng Seribu retak sampai ke tulang. Ketujuhnya terlempar lalu jatuh bergulingan."Hahaha … sekarang kalian jadi manusia cacat!" ejek Danurwenda.Kalau sudah begini apa lagi yang diandalkan. Ibarat burung kalau sayapnya patah sebelah, maka tidak bisa terbang.Akhirnya mereka memilih mundur. Danurwenda sudah berdiri gagah di samping Prabarini. Sedikit peluh terlihat menetes di dahi.Prabarini menarik nafas lega setelah situasi menjadi aman. Gadis ini tidak berhenti mengagumi kepandaian Danurwenda."Mari kita lanjutkan!" ajak Danurwenda.Tanpa bertanya lagi Prabarini mengikuti langkah Danurwenda di sebelahnya.
Serentak puluhan prajurit langsung mengepung ke sekeliling bangunan, tetapi sayang sosok Danurwenda sudah lenyap di kegelapan malam. "Kurang ajar, dia lagi!" bentak Sutasena menyesali tidak bisa menangkap Danurwenda. "Segera edarkan kabar bahwa Danurwenda telah menculik putri senapati, sebagian yang lain tetap cari dia, mungkin saja masih sembunyi di sekitar sini!" "Baik!" Karena Sutasena anaknya Senapati Mandura, maka untuk sementara dia menggantikan posisi ayahnya sampai turun senapati baru. Sementara itu, Danurwenda langsung membawa jauh Prabarini ke tempat yang tersembunyi. Walaupun gelap, tetapi Danurwenda mampu melihat dengan mengerahkan tenaga dalam ke bagian mata. Untuk kedua kalinya Prabarini merasakan digendong yang menurutnya ada sensasi seperti terbang saat Danurwenda melesat menggunakan Ilmu Hampang Awak. Setelah dirasa cukup aman, akhirnya Danurwenda mendarat dengan mantap. Prabarini masih keenakan dalam gendongan si pemu
Orang-orang bertopeng bagai terlempar ke bawah. Prabarini menyaksikan dengan menahan napas. Ilmu Danurwenda yang satu ini cukup dahsyat.Diam-diam gadis putri senapati ini semakin mengagumi Danurwenda.Akan tetapi ada satu orang bertopeng yang masih bertahan. Kuda-kudanya begitu kuat bagaikan tertanam ke tanah. Sementara kedua tangannya memukul setiap gumpalan awan kecil.Desss! Desss!Danurwenda terperangah melihatnya, lalu dia hentikan Pukulan Awan Seribu. Para lelaki setengah baya yang berjumlah lima orang juga sudah berdiri di belakang si pemuda."Kau yang terhebat di antara mereka rupanya!" ujar Danurwenda.Satu orang bertopeng yang tersisa ini membuat gerakan menguatkan diri, lalu sosoknya menerjang ke arah Danurwenda. Senjata goloknya berkelebat cepat.Wutt!"Jepitan Jari Dewa!" seru Danurwenda dengan sedikit menyeringai.Tapp!Dua jari tangan kanan Danurwenda berhasil menjepit bilah golok tepat waktu, sehi
Orang tinggi besar ini menunjukkan muka dingin. Kedua matanya menyorot seperti elang. Hawa sakti memancar kuat dari tubuhnya."Aku Bardasora, senapati pengawal Rahyang Sempakwaja. Akan menangkapmu, pembunuh Senapati Mandura!"Danurwenda pikir tidak bisa tawar menawar dengan si tinggi besar ini. Senapati pengawal bernama Bardasora ini pasti tidak akan menerima penjelasan tentang pembunuhan Senapati Mandura."Dan juga, kembalikan Putri Prabarini!"Si pemuda hampir lupa bahwa dia juga dituduh sebagai penculik putri Senapati. Dia melirik sejenak ke arah gadis itu."Tidak perlu basa-basi, kau tahu sendiri, bukan?" Ucapan Danurwenda ini jelas merupakan tantangan.Derrr!Bardasora menghantamkan gagang tombak ke tanah sampai menimbulkan getaran. Hawa sakti semakin menyeruak seolah hendak mengikat tubuh Danurwenda.Namun, bukan Danurwenda kalau tidak bisa melawan serangan tak kasat mata ini. Bardasora pun sudah menduganya, si pemuda ini memang bukan pendekar rendahan.
Sepasang petani itu tampak ketakutan sampai terlihat gemetar. Walau tidak terlihat wajahnya, tapi tiga orang bertopeng ini bertindak menekan mereka."Ampun, Ki Sanak. Kami tidak membawa apa-apa karena ladang kami belum panen!" Si petani lelaki memelas. Wajahnya sudah penuh peluh."Iya, Den. Kami hanya merapikan kebun kami. Lihat saja, tidak ada yang kami bawa!" timpal istrinya."Bohong, kalian pasti sudah menjualnya. Berikan kepeng hasil penjualannya!" Bentak salah satu orang bertopeng.Sring!Tiga golok sudah mengancam jiwa sepasang petani ini. Wajah keduanya semakin seputih kapas. Mereka saling pandang seolah sedang berdiskusi."Ayo cepat keluarkan, atau nyawa kalian sebagai gantinya!"Akan tetapi sepasang petani ini menjadi kelu. Bingung dan takut. Apa yang harus mereka lakukan? Sedangkan mustahil kalau melawan."Ah, habisi saja mereka lalu ambil kepengnya!" teriak si topeng yang lain.Kemudian dua di antaranya segera m
Tidak lama kemudian lewatlah dua orang lelaki menunggang kuda yang berjalan pelan. Pakaian mereka tampak sederhana seperti rakyat biasa, tapi kuda yang ditunggangi terlalu mewah untuk orang kasta rendah.Tubuh keduanya terlihat tegap dan gagah, wajah bersih memancarkan kewibawaan. Jelas mereka bukan rakyat jelata, tapi orang berpangkat di istana."Kau kenal mereka?" tanya Danurwenda setelah melihat sinar mata Prabarini ketika menatap dua orang tadi."Mereka keluarga istana,""Oh..."Danurwenda memang mempunyai teman yang mempunyai jabatan di kerajaan Galuh, tapi bukan berarti tahu tentang keluarga istana."Yang sebelah kanan adalah Sang Jalantara alias Raden Amara, putra bungsu Prabu Wretikandayun. Yang satu lagi kakaknya Rahyang Jantaka!""Rupanya putra raja, apa mereka juga turun tangan demi membalas kematian ayahmu?""Entahlah, tapi sepertinya mereka ada urusan lain. Mana mungkin kematian ayahku sampai melibatkan mereka. Oh,
Dua orang ini perawakannya sama tegap dan kekar. Pendekar Tongkat Merah memiliki wajah bulat dengan sedikit berewok.Tongkat dari bahan rotan berwarna merah panjangnya setinggi badannya. Dengan senjatanya ini dia bisa menjangkau lawan lebih jauh.Yang sebelahnya berwajah agak lonjong dan kelimis, hanya rambutnya gimbal dibiarkan tanpa ikat kepala. Dia dijuluki Si Pecut Guludug.Danurwenda tahu dua pendekar ini mengincar dirinya demi bayaran tinggi."Menyerah baik-baik saja. Agar kami tidak banyak keluar tenaga!" kata Pendekar Tongkat Merah."Enak saja, harus bekerja dulu biar setimpal dengan upahnya!" hardik Danurwenda."Huh, jumawa!" maki Si Pecut Guludug."Kalian berdua yang mengambil resiko besar, apa itu juga bukan sombong?" balas Danurwenda dengan menyeringai yang membuat kedua orang di depannya naik pitam."Hari ini adalah waktu naasmu, Danurwenda!" teriak Pendekar Tongkat Merah yang sifatnya lebih temperamen dari kawanny
Ketika memasuki hutan tadi, hari baru lewat tengah hari. Di luar sana udara terasa terik. Anehnya setelah masuk ke hutan mendadak suasana berubah seperti malam hari.Benar-benar bagaikan di malam hari. Gelap dengan iringan suara serangga malam. Ramai, tapi terasa sunyi.Prabarini eratkan pegangan, bahkan sampai merangkul ke pinggang Danurwenda. Gadis ini tidak bisa melihat apa-apa, hanya kegelapan yang tampak.Berbeda dengan Danurwenda, dengan mengerahkan tenaga dalam, menjadikan kedua bola matanya mampu menerawang dalam gelap."Hutan ini aneh, tadi di luar masih siang. Kenapa di sini jadi malam? Apa kita tidak salah jalan?""Kalau lewat jalan lain, maka akan membutuhkan waktu lebih lama lagi. Ini jalan pintas menuju gunung Kunci!""Apa kau sanggup melewati hutan aneh ini?" Prabarini khawatir."Tenang saja!"Danurwenda melangkah sedang saja. Dia menyusuri jalan setapak yang berliku-liku. Tidak lupa dia tingkatkan kewaspadaan.