Beranda / Fantasi / Cundhamani (Panah Api) / 108. Titik Akhir Prabu Ranajaya

Share

108. Titik Akhir Prabu Ranajaya

Penulis: A.R. Ubaidillah
last update Terakhir Diperbarui: 2024-10-29 19:42:56
Melihat Senopatinya melarikan diri, prajurit yang menyusun perisai menjadi goyah. Dinding perisai itu tak kokoh lagi. Terdapat celah yang amat rentan untuk diserang. Sejatinya Prabu Ranajaya bukan lah orang sembarangan. Pria yang dulu menyandang gelar Patih pasti memiliki ilmu kanuragan yang mumpuni. Namun orang seperti Waradhana saja mampu dikalahkan, alih-alih pria yang lebih sering berada dalam bilik selir-selirnya itu.

Tusuk konde membara milik Rara Anjani melesat nyaris tak terlihat andai tak membara. Semakin bertabrakan dengan udara, maka semakin ia mengganda. Desis bara besi bergesekan dengan angin membuat suara serupa hembusan badai namun sedikit lebih tinggi. Bersamaan dengan dinding perisai yang bercerai berai, ribuan tusuk konde itu menghunjam apa pun yang berada dalam jalurnya.

Prabu Ranajaya kembali mencabut keris Astratama demi menghalau serangan tusuk konde api itu. Pendar cahaya biru dari pamor pusaka Astagina itu memang berhasil menangkal lesatan tusuk konde yang ter
Bab Terkunci
Membaca bab selanjutnya di APP

Bab terkait

  • Cundhamani (Panah Api)   109. Penyesalan dan Harapan

    Sakuntala berusaha bangkit. Namun Prabu Ranajaya menggenggam pergelangan kaki kirinya dengan erat. Tak bisa dilepaskan meski pemuda itu meronta-ronta sekuat tenaga. Beberapa kali bahkan ia hempaskan kaki kanannya ke kepala pria yang mulai terbakar itu. Tak ada lagi pergerakan dan suara dari Prabu Ranajaya. “Prajurit! Apa yang kalian lihat? Tangkap pembunuh itu!” seru Senopati Sakuntala di tengah kepanikannya. Prajurit-prajurit itu mulai meragu. Meski Arya adalah pembunuh Prabu Ranajaya, tapi ia tetap seorang Patih. Sedang orang yang baru saja memberi perintah memang seorang Senopati, tapi ia orang yang meninggalkan mereka dan raja mereka dalam bahaya tadi. “Lihat lah, Sakuntala. Ini buah dari perbuatanmu. Tak ada yang menaruh hormat pada orang yang mementingkan diri sendiri!” seru Arya. “Kurang ajar kalian!” teriak Senopati Sakuntala geram. Sesungguhnya sekarang ia hanya ingin cengkeraman Prabu Ranajaya di kakinya terlepas. Tubuh penguasa Astagina itu sudah tak utuh lagi. Bahkan d

  • Cundhamani (Panah Api)   110. Pria Berjubah Hitam

    Sanggageni bernapas lega. Entah sudah berapa kali meremas bahu pria di sisinya melihat kemampuan anaknya mengendalikan kekuatan api. Ia bahkan sempat bersorak saat Arya menikam punggung Prabu Ranajaya dengan keris pusaka Astagina. Ada haru yang tiba-tiba menyeruak. Tampak dari rongga hidung penuh air. Lalu lelehan air mata, menandakan betapa bangganya pria itu pada putranya. Ia tak pernah ragu pada Arya. Putranya itu kini sudah melampauinya. Dari sisi pengendalian diri dan kekuatan api itu Arya jauh berada di atasnya. Pula saat anak semata wayangnya itu memberikan keris Astratama pada Senopati Sakuntala demi menyelamatkannya dari api Cundhamani. Arya mengerti api itu tak bisa dipadamkan. Namun ia memberikan pilihan pada pemuda itu. Memilih mati atau memotong kakinya sendiri dengan senjata yang tersedia. “Harusnya kau melihat ini, Gantari,” lirih Sanggageni sembari menyeka air matanya. Pria itu bangkit, ia ingin sekali memeluk putranya yang kini tengah berbincang dengan Rara Anjani.

  • Cundhamani (Panah Api)   111. Perlindungan

    "Maaf. Tuan. Meski Anda tak mau, kami akan tetap memaksa!" Sungguh sebuah kalimat yang begitu percaya diri sekaligus merendahkan seorang Arya Nandika. Pemuda yang mereka panggil Tuan itu tersenyum tipis. Lengannya separuh merentang akan sebuah perlindungan pada perempuan di belakangnya. Meski Rara Anjani sudah tak ingin lagi bergantung pada Arya. "Baik lah, aku punya penawaran bagus untuk kalian!" ucap Arya seolah baru saja mendapatkan sebuah ide yang terlintas begitu saja di kepala. Bahkan Rara Anjani menatapnya dengan heran. Bagaimana bisa membuat sebuah kesepakatan dengan pria yang tak jelas. "Jangan mencoba berkilah! Tugas kami sudah jelas, melindungi Ksatria Cundhamani dari siapa pun yang mencoba menjadikannya senjata!" tegas pria di sebelah kiri. "Lantas, siapa yang memberi kalian tugas?" Pertanyaan yang sudah pasti membuat dua pria berjubah itu diam. Arya yakin mereka pasti berkilah. "Tuan tak perlu tahu hal itu," ucap pria di sebelah kanan lirih. Arya tertawa dengan jumaw

  • Cundhamani (Panah Api)   112. Takdir Jenar

    “Benar, Gusti. Pada saat terjadi kudeta itu, seorang abdi datang kepada hamba sambil menggendong bayi perempuan. Dia hamba rawat hingga sekarang. Apa yang terjadi, Gusti?” tanya Ki Bayanaka. Ia merasa ada hal janggal yang akan menimpa Jenar. “Kudeta apa yang kau maksud, Ki Bayanaka?” cerca seorang Punggawa berpangkat menengah. Pria itu bertolak pinggang dengan pongahnya. Ia lupa bahwa pria tua di hadapan mereka adalah saksi hidup pergantian kekuasaan yang dipaksakan itu. “Birawa! Bersikap lah santun terhadap orang yang lebih tua darimu!” hardik Tumenggung Ramatungga. Pria seusia Ki Bayanaka itu bahkan belum kembali ke wilayahnya sejak pengangkatan Arya karena mengunjungi keluarganya di Astagina. “Mengapa aku harus bersikap santun pada pria tua yang berkhianat ini, Kakanda Tumenggung?” teriak Birawa masih penuh dengan kesombongan. Tumenggung Ramatungga menghela napasnya. Memang benar kata pendahulu. Sesuatu yang salah bila dilakukan oleh orang banyak secara terus-menerus akan beruba

  • Cundhamani (Panah Api)   113. Celah

    “Apa yang terjadi, Arya? Mengapa kau tak kuasa melawan mereka berdua?” tanya Rara Anjani setelah mendapati Arya tersungkur tak jauh dari kakinya. Padahal dua pria berjubah hitam itu hanya bersenjatakan pedang kayu. “Aku pun tak tahu, Rara. Yang aku tahu kayu Sarayu bukan lah kayu biasa,” ucap Arya seraya bangkit memegangi dadanya. “Lalu apa rencanamu?” Rara Anjani mulai memasang kuda-kuda. Selendang sudah ia lilitkan beberapa kali hingga cukup kuat serupa tongkat. Paling tidak mampu menangkis serangan sebuah pedang kayu. “Aku akan menyibukkan mereka sekali lagi. Kau cari lah celah di tempat ini. Tak mungkin sebuah tempat tak memiliki pintu keluar,” ujar Arya dan mengambil posisi Rara Anjani untuk bersiap menyerang kembali. “Belum juga menyerah, Tuan?” Pria sebelah kanan meletakkan pedang kayu di pundaknya. Sebuah bahasa tubuh yang lagi-lagi begitu meremehkan musuhnya. “Sepertinya aku harus merebut pedang itu,” batin Arya. “Sudah aku bilang, tanpa busurmu dan logam, kau hanya rema

  • Cundhamani (Panah Api)   114. Pewaris Tahta

    Jenar menatap wajah ayahandanya tak percaya. Pria tua yang selalu menceritakan bagaimana rupa seorang ibu itu kini menunduk lesu. Gadis itu berusaha mencari sorot mata teduh penuh ketenagan itu dari ayahandanya. Namun yang ia dapati adalah bola mata cembung yang meneteskan air mata. “Apa yang Ayahanda katakan? Bayi perempuan itu aku, bukan?” Jenar mengguncangkan bahu Ki Bayanaka yang masih tertunduk lesu. Pria tua itu mengurai air mata dan menghirup cairan dalam rongga hidungnya. Ia berkata, “Ya, dan aku tak tahu siapa orang tuamu....” Ki Bayanaka menghela napas berat. “Sampai hari ini.” “Dan aku tak peduli siapa orang tuaku sesungguhnya! Cukup lah Ayahanda sebagai orang tuaku!” pekik Jenar. Gadis itu bangkit dan berusaha untuk masuk ke dalam rumah. Namun Ki Bayanaka mencegah dengan menggenggam pergelangan tangan putrinya. “Jenar, dengarkan Ayah,” lirih Ki Bayanaka. “Ayahanda ingin mengembalikan aku pada orang tua kandungku, bukan? Apa maksudnya ini, Ayahanda? Aku anak yang tak di

  • Cundhamani (Panah Api)   115. Ambang Kematian

    Arya sudah tak kuasa lagi menggerakkan kedua kakinya. Energinya sudah begitu banyak terkuras. Sedang Rara Anjani pun tak jauh berbeda. Tanpa luka dalam, perempuan itu sudah begitu kesulitan mengatur napasnya. Mereka berdua berada di sebuah lembah dengan tepian curam di sebelah kiri. “Tidak, Rara ... Aku tak kuat,” lirih Arya dengan napas tersengal. Dadanya naik turun dengan cepat. Pemuda itu bersandar pada dinding batu cadas yang teraliri air dari atas. Sesekali ia teguk air itu setelah ia kumpulkan di telapak tangan. “Terserah kau, sejak kejadian tadi malam pun sebenarnya aku sudah pasrah,” ucap perempuan itu seraya duduk di sisi Arya yang terkulai. “Aku tak peduli bila pun kali ini kita akan tertangkap dan mati.” Arya memejamkan kedua matanya. Tak seperti luka luar yang segera sembuh, luka dalamnya harus segera diobati. Hal yang sama saat ia terkena tendangan Patih Waradhana tempo hari. Namun untuk mencapai Astagina dan meminta pertolongan pada Ki Bayanaka, ia rasa adalah suatu ha

  • Cundhamani (Panah Api)   116. Musuh Lama

    “Arya!” “Ayahanda?” lirih Arya seraya memaksa untuk membuka matanya. “Apa yang terjadi? Kakanda!” seru Sanggageni setelah dilanda panik melihat kondisi putranya. Ki Bayanaka mengerti maksud Sanggageni. Pria itu segera memeriksa kondisi Arya dan Rara Anjani. Tanpa berkata apa pun, Ki Bayanaka segera memberikan pemindahan energi ke tubuh Arya. Telapak tangannya yang hangat segera memendarkan aura merah ke dada pemuda itu. “Aku kira kalian burung pemakan bangkai,” lirih Arya lagi. Kali ini ucapnya lebih jelas karena sudah mendapatkan sedikit energi dari Ki Bayanaka. Sanggageni mengusap matanya yang mengembun. Memang benar ia tadi mengusir tiga ekor burung pemakan bangkai yang sudah mengintai mereka berdua. Entah bagaimana jadinya bila ia datang terlambat sekejap saja. Mungkin Arya dan Rara Anjani sudah menjadi mangsa. “Bagaimana dengan Rara Anjani? Dia sudah tak bergerak lagi, bukan?” “Diam lah, Arya!” potong Ki Bayanaka. “Aku butuh konsentrasi, dia akan aku obati setelah kau! Lagi

Bab terbaru

  • Cundhamani (Panah Api)   228 Penerus

    “Bukan kah prajurit udaramu tadi sudah memeriksa semua kapal ini, Braja?” tanya Ki Bayanaka. “Ya, sepertinya kapal satu ini luput dari pemeriksaan. Atau....” Seorang pria bertubuh kurus dan berkulit cerah tertawa di atas kapal yang separuhnya sudah terbakar. Ia merasa jumawa melihat dua pria tua, seorang perempuan dan seorang pemuda yang sudah tidak berdaya. Dengan senjata berkekuatan besar, ia merasa di atas angin. “Siapa sebenarnya mereka?” tanya Jenar sembari mengernyitkan kening. Belum juga terjawab, bentuk kapal, senjata dan panji asing itu. “Entah lah, Jenar. Tapi orang ini pasti lemah. Merasa kuat karena memiliki senjata yang mampu melontarkan bola-bola api itu,” ucap Ki Bayanaka begitu yakin. “Bagaimana Ayahanda bisa begitu yakin?” tanya Jenar. “Coba lah kau perhatikan gelagatnya. Orang dengan kemampuan tinggi tak mungkin bertingkah seperti itu. Bukan begitu, Braja?” ucap Ki Bayanaka melemparkan kalimat kepada Sanggageni. “Hmm, jadi siapa yang akan memberinya pelajaran?”

  • Cundhamani (Panah Api)   227. Terkurung

    Tak ada yang bisa dilakukan Jenar setelah sampai di pantai selatan kerajaannya. Pagar api setinggi pagar Astagina itu menghalangi apa pun dan siapa pun. Tak mungkin melaluinya dengan selamat. Perempuan itu tampak mulai meneteskan air mata. Bagaimana mungkin suaminya berbuat sedemikian rupa. Hatinya berkecamuk, sungguh ia tak ingin kehilangan Arya secepat ini.“Arya, dasar bodoh! Apa yang kau lakukan?” umpat Jenar dengan kedua tangan mengepal. Ia merasa begitu hina sebagai raja tak mengetahui patih sekaligus suaminya di dalam sana berjuang seorang diri.Raja Astagina itu mulai terisak. Rasa panas mendera wajahnya dari jarak lima tombak ini. Keningnya mengernyit keras. Ia merasa harus berbuat sesuatu. Berdiam diri tak akan berdampak apa pun. Berada di istananya jauh lebih baik.“Pasukan udara milik Kakanda Sanggageni, dimana mereka?” tiba-tiba Jenar teringat akan sepuluh orang prajurit yang direkrut oleh Sanggageni demi mewujudkan idenya memiliki serangan udara.“Gunakan ini!” Danapati

  • Cundhamani (Panah Api)   226. Kepercayaan

    Arya melepaskan sekali lagi Sasra Sayaka-Cundhamani dengan sisa amarahnya. Anak panah logam hitam berlumur darahnya sendiri melesat ke arah ribuan prajurit yang mulai terkikis keberaniannya. Serupa dengan tenaga dan kesadaran Arya. Pemuda itu menjatuhkan busur Agnitama pada mulanya. Disusul dengan tubuh lemah dan compang-campingnya.Arya mendengus berusaha melihat apa yang terjadi dengan serangannya itu. Tubuh-tubuh musuh yang tercerai berai. Terburai anggota tubuhnya. Terbakar api Cundhamani hingga meronta-ronta, berguling di tanah dan masuk ke dalam air laut. Semua berusaha menyelamatkan dirinya sendiri.“Sisanya aku serahkan padamu, Raden Danapati!” gumam Arya sembari mengubah posisi kepalanya. Menoleh kepada Aswabrama dan memastikan kembali bahwa Danapati benar-benar pergi.Binatang dan tuan itu saling pandang. Tak ada kata dari mereka yang dimengerti. Namun tatapan bola mata itu sudah menjelaskan semuanya. Berjuang bersama-sama. Melewati bahaya, nyaris kehilangan nyawa, dan kini

  • Cundhamani (Panah Api)   225. Mati Di Samping Aswabrama

    “Tapi bagaimana caranya, Braja? Kau lihat sendiri api Cundhamani menghalangi kita?” pungkas Ki Bayanaka. Pria tua itu memang peragu yang luar biasa. Itu sebab dahulu ia menjadi pelatih prajurit alih-alih bergabung bersama Baka Nirdaya memerangi kedzaliman.“Pantai selatan memang sudah menjadi lautan api. Tapi tidak dengan langitnya!” timpal Sanggageni. “Pengawal! Kau pengawal raja, bukan?” tanyanya.Seorang pengawal raja yang sejak tadi bertugas melindungi dua penasihat itu maju selangkah dengan penuh penghormatan. Ia berkata lantang, “Benar, Tuan! Mohon katakan titah Tuan!”“Cari pasukan udaraku! Bawa secepatnya mereka ke sini!” titah Sanggageni lantang. Pria itu berdiri tegak menatap lautan api dengan memegangi lengan kanannya. Tak ada artinya hidup dengan sebelah tangan namun tak mampu menyelamatkan putranya sendiri.“Sendika, Tuan!”Ki Bayanaka bangkit berdiri di sisi Sanggageni. Tak ada yang menyangka Astagina akan berada di ujung tanduk seperti ini. Pria itu menyentuh pundak adi

  • Cundhamani (Panah Api)   224. Asa Ksatria Cundhamani

    Pantai selatan Astagina kini tak ubahnya seperti gerbang api. Tak ada tempat untuk melarikan diri. Bagi bala tentara asing itu, juga bagi Arya. Suara desis api Cundhamani bertemu air laut mengepulkan asap putih buah dari air yang menguap. Arya melepaskan Sasra Sayaka-Cundhamani sekali lagi. Kali ini ke arah deretan kapal-kapal perang yang sebagian telah terbakar.“Kau yakin hal ini, Gusti?” tanya Danapati manakala sudah mengenakan jubah pemberian Arya.“Apa kau meragukanku, Raden?” tanya Arya kembali. Pemuda itu menoleh dan tersenyum. Memperlihatkan deretan giginya yang memerah karena darah. Tak ada yang tahu bahwa Patih Astagina itu sudah melampaui batas ketahanan tubuhnya sendiri.“Gusti, kau....”Tak sempat Danapati berkata lebih banyak, Arya terlanjut menyentak tali kekang Aswabrama. Ia songsong ratusan pasukan berkuda musuh sendirian. Atau hanya berdua saja dengan kudanya. Arya menghunuskan anak panah logamnya. Kali ini dengan posisi tubuh setengah berdiri. Danapati terhenyak, ya

  • Cundhamani (Panah Api)   223. Menebus Dosa

    “Arya? Bagaimana dengan Ayahandamu?” tanya Jenar tak menyangka suaminya akan hadir dan menyela percakapannya dengan Danapati dan pengawal.Arya tak menjawab, menggerakkan sedikit kepalanya memberi isyarat pada Jenar agar melihat sendiri kondisi ayahandanya. Pemuda itu sudah siap dengan busur Agnitama dan puluhan anak panah logam di tempatnya menggantung di punggung.Dari jarak puluhan depa itu Jenar masih mampu melihat Sanggageni dan ayahandanya tengah duduk bersila. Ki Bayanaka masih mengobati kakak ipar sekaligus mertuanya itu dengan tenaga dalam. Sedang Sanggageni sudah mampu duduk sendiri. Ia jauh lebih baik meski lengan kanannya tak akan kembali lagi.“Pergi lah ... Istriku! Tunggu aku kembali membawa kemenangan!” lirih Arya di telinga Jenar sembari melewati tubuh perempuan cantik itu.Jenar terpekur, setelah pertengkaran mereka berdua karena Rara Anjani di desa Girijajar tempo hari, baru kali ini ia melihat tekad di mata Arya. Tekad yang sama saat Arya pamit untuk pergi ke medan

  • Cundhamani (Panah Api)   222. Amarah Jenar

    Panji-panji dengan aksara asing itu berkibar-kibar tinggi. Pasukan berkuda dengan penutup kepala logam dengan beringas membunuh apa pun yang menghadang. Darah Jenar mendidih menyaksikan para prajurit yang baru saja direkut menjadi korban tanpa sempat mempertahankan nyawa. Perempuan itu menghentakkan tungkainya di permukaan batu besar sekaligus menandai radius serangannya.“Beraninya kalian mengobrak-abrik Astagina! Hanya ada satu ganjaran ... Mati!” seru Jenar mengumbar amarah.Kilatan-kilatan terlihat bergerak begitu cepat tanpa bisa diikuti oleh mata. Denting penutup kepala logam dan tusuk konde emas mendahului robohnya pasukan berkuda itu satu demi satu. Tak ada yang paham bahwa perempuan yang menari di atas batu itu lah dalangnya.Pasukan berkuda musuh saling pandang. Menarik tali kekang kuda hingga kuda-kuda perkasa itu meringkik begitu kuat. Mereka mengedarkan pandangan ke sekitar selatan pesisir pantai Astagina. Selama itu pula mereka seolah tinggal menunggu kematian.Danapati

  • Cundhamani (Panah Api)   221. Titah Jenar

    Arya mendarat dengan keras tepat di belakang para prajurit yang melingkar melindungi rajanya. Ia sibak bahu-bahu penuh ketegangan itu demi sampai di tempat ayahandanya diobati. Penjelasan dari pengawal raja tadi belum mampu membuatnya mengerti bagaimana kondisi Sanggageni sebenarnya.Namun seluruh tubuh Arya terasa tak bertulang manakala menyaksikan kondisi ayahandanya yang memprihatinkan. Ia luruh jatuh bersimpuh di tanah tepat di samping Ki Bayanaka, berhadapan dengan Jenar. Pemuda itu tak percaya hal mengerikan seperti ini terjadi pada ayahandanya.“Kau datang juga,” lirih Ki Bayanaka.“A-apa yang terjadi....”“Braja tak akan seperti ini andai saja kalian bisa bersikap bijak dan tak menuruti hawa nafsu!” tegas Ki Bayanaka sekali lagi.“Maksudmu....”“Kakanda Sanggageni terkena bola api itu, Arya! Dan sekarang pasukan berkuda mereka sedang menuju kemari!” ujar Jenar setengah menyeru. Ia tahu bahwa ini pula kesalahannya. Namun diamnya suaminya tentu bukan tindakan yang tepat dilakuka

  • Cundhamani (Panah Api)   220. Menyelamatkan Sanggageni

    Jenar menitikkan air mata. Kata-kata ayahandanya memang begitu menusuk hati. Namun melihat kondisi Sanggageni lah hal yang membuatnya begitu sakit. Ia terlalu lama memadu kasih dengan Arya hingga membuat ayahanda Arya dalam kondisi mengenaskan.“Bertahan lah, Braja! Dasar bedebah!” hardik Ki Bayanaka terus mengerahkan segala kemampuannya untuk menyelamatkan nyawa Sanggageni. Sejauh ini tak ada reaksi apa pun dari pria bergiwang itu.“Kakanda Danapati, bisa kah kau cari keberadaan Arya? Aku merasa dia memiliki hal di luar dari kemampuanku dan Ayahandaku untuk menyelamatkan Kakanda Sanggageni,” pinta Jenar sambil terus terisak.Danapati tak menjawab. Ia segera bangkit dan hendak meninggalkan mereka bertiga manakala empat orang pengawal raja datang. Mereka segera bersimpuh tak berani lebih tinggi dari rajanya.“Tak perlu, Danapati! Biar mereka saja yang mencari Arya. Kau tetap di sini lindungi kami dari apa pun yang menyerang!” titah Ki Bayanaka. Danapati tak berani bereaksi. Ia melihat

DMCA.com Protection Status