Melihat Senopatinya melarikan diri, prajurit yang menyusun perisai menjadi goyah. Dinding perisai itu tak kokoh lagi. Terdapat celah yang amat rentan untuk diserang. Sejatinya Prabu Ranajaya bukan lah orang sembarangan. Pria yang dulu menyandang gelar Patih pasti memiliki ilmu kanuragan yang mumpuni. Namun orang seperti Waradhana saja mampu dikalahkan, alih-alih pria yang lebih sering berada dalam bilik selir-selirnya itu. Tusuk konde membara milik Rara Anjani melesat nyaris tak terlihat andai tak membara. Semakin bertabrakan dengan udara, maka semakin ia mengganda. Desis bara besi bergesekan dengan angin membuat suara serupa hembusan badai namun sedikit lebih tinggi. Bersamaan dengan dinding perisai yang bercerai berai, ribuan tusuk konde itu menghunjam apa pun yang berada dalam jalurnya. Prabu Ranajaya kembali mencabut keris Astratama demi menghalau serangan tusuk konde api itu. Pendar cahaya biru dari pamor pusaka Astagina itu memang berhasil menangkal lesatan tusuk konde yang ter
Sakuntala berusaha bangkit. Namun Prabu Ranajaya menggenggam pergelangan kaki kirinya dengan erat. Tak bisa dilepaskan meski pemuda itu meronta-ronta sekuat tenaga. Beberapa kali bahkan ia hempaskan kaki kanannya ke kepala pria yang mulai terbakar itu. Tak ada lagi pergerakan dan suara dari Prabu Ranajaya. “Prajurit! Apa yang kalian lihat? Tangkap pembunuh itu!” seru Senopati Sakuntala di tengah kepanikannya. Prajurit-prajurit itu mulai meragu. Meski Arya adalah pembunuh Prabu Ranajaya, tapi ia tetap seorang Patih. Sedang orang yang baru saja memberi perintah memang seorang Senopati, tapi ia orang yang meninggalkan mereka dan raja mereka dalam bahaya tadi. “Lihat lah, Sakuntala. Ini buah dari perbuatanmu. Tak ada yang menaruh hormat pada orang yang mementingkan diri sendiri!” seru Arya. “Kurang ajar kalian!” teriak Senopati Sakuntala geram. Sesungguhnya sekarang ia hanya ingin cengkeraman Prabu Ranajaya di kakinya terlepas. Tubuh penguasa Astagina itu sudah tak utuh lagi. Bahkan d
Sanggageni bernapas lega. Entah sudah berapa kali meremas bahu pria di sisinya melihat kemampuan anaknya mengendalikan kekuatan api. Ia bahkan sempat bersorak saat Arya menikam punggung Prabu Ranajaya dengan keris pusaka Astagina. Ada haru yang tiba-tiba menyeruak. Tampak dari rongga hidung penuh air. Lalu lelehan air mata, menandakan betapa bangganya pria itu pada putranya. Ia tak pernah ragu pada Arya. Putranya itu kini sudah melampauinya. Dari sisi pengendalian diri dan kekuatan api itu Arya jauh berada di atasnya. Pula saat anak semata wayangnya itu memberikan keris Astratama pada Senopati Sakuntala demi menyelamatkannya dari api Cundhamani. Arya mengerti api itu tak bisa dipadamkan. Namun ia memberikan pilihan pada pemuda itu. Memilih mati atau memotong kakinya sendiri dengan senjata yang tersedia. “Harusnya kau melihat ini, Gantari,” lirih Sanggageni sembari menyeka air matanya. Pria itu bangkit, ia ingin sekali memeluk putranya yang kini tengah berbincang dengan Rara Anjani.
"Maaf. Tuan. Meski Anda tak mau, kami akan tetap memaksa!" Sungguh sebuah kalimat yang begitu percaya diri sekaligus merendahkan seorang Arya Nandika. Pemuda yang mereka panggil Tuan itu tersenyum tipis. Lengannya separuh merentang akan sebuah perlindungan pada perempuan di belakangnya. Meski Rara Anjani sudah tak ingin lagi bergantung pada Arya. "Baik lah, aku punya penawaran bagus untuk kalian!" ucap Arya seolah baru saja mendapatkan sebuah ide yang terlintas begitu saja di kepala. Bahkan Rara Anjani menatapnya dengan heran. Bagaimana bisa membuat sebuah kesepakatan dengan pria yang tak jelas. "Jangan mencoba berkilah! Tugas kami sudah jelas, melindungi Ksatria Cundhamani dari siapa pun yang mencoba menjadikannya senjata!" tegas pria di sebelah kiri. "Lantas, siapa yang memberi kalian tugas?" Pertanyaan yang sudah pasti membuat dua pria berjubah itu diam. Arya yakin mereka pasti berkilah. "Tuan tak perlu tahu hal itu," ucap pria di sebelah kanan lirih. Arya tertawa dengan jumaw
“Benar, Gusti. Pada saat terjadi kudeta itu, seorang abdi datang kepada hamba sambil menggendong bayi perempuan. Dia hamba rawat hingga sekarang. Apa yang terjadi, Gusti?” tanya Ki Bayanaka. Ia merasa ada hal janggal yang akan menimpa Jenar. “Kudeta apa yang kau maksud, Ki Bayanaka?” cerca seorang Punggawa berpangkat menengah. Pria itu bertolak pinggang dengan pongahnya. Ia lupa bahwa pria tua di hadapan mereka adalah saksi hidup pergantian kekuasaan yang dipaksakan itu. “Birawa! Bersikap lah santun terhadap orang yang lebih tua darimu!” hardik Tumenggung Ramatungga. Pria seusia Ki Bayanaka itu bahkan belum kembali ke wilayahnya sejak pengangkatan Arya karena mengunjungi keluarganya di Astagina. “Mengapa aku harus bersikap santun pada pria tua yang berkhianat ini, Kakanda Tumenggung?” teriak Birawa masih penuh dengan kesombongan. Tumenggung Ramatungga menghela napasnya. Memang benar kata pendahulu. Sesuatu yang salah bila dilakukan oleh orang banyak secara terus-menerus akan beruba
“Apa yang terjadi, Arya? Mengapa kau tak kuasa melawan mereka berdua?” tanya Rara Anjani setelah mendapati Arya tersungkur tak jauh dari kakinya. Padahal dua pria berjubah hitam itu hanya bersenjatakan pedang kayu. “Aku pun tak tahu, Rara. Yang aku tahu kayu Sarayu bukan lah kayu biasa,” ucap Arya seraya bangkit memegangi dadanya. “Lalu apa rencanamu?” Rara Anjani mulai memasang kuda-kuda. Selendang sudah ia lilitkan beberapa kali hingga cukup kuat serupa tongkat. Paling tidak mampu menangkis serangan sebuah pedang kayu. “Aku akan menyibukkan mereka sekali lagi. Kau cari lah celah di tempat ini. Tak mungkin sebuah tempat tak memiliki pintu keluar,” ujar Arya dan mengambil posisi Rara Anjani untuk bersiap menyerang kembali. “Belum juga menyerah, Tuan?” Pria sebelah kanan meletakkan pedang kayu di pundaknya. Sebuah bahasa tubuh yang lagi-lagi begitu meremehkan musuhnya. “Sepertinya aku harus merebut pedang itu,” batin Arya. “Sudah aku bilang, tanpa busurmu dan logam, kau hanya rema
Jenar menatap wajah ayahandanya tak percaya. Pria tua yang selalu menceritakan bagaimana rupa seorang ibu itu kini menunduk lesu. Gadis itu berusaha mencari sorot mata teduh penuh ketenagan itu dari ayahandanya. Namun yang ia dapati adalah bola mata cembung yang meneteskan air mata. “Apa yang Ayahanda katakan? Bayi perempuan itu aku, bukan?” Jenar mengguncangkan bahu Ki Bayanaka yang masih tertunduk lesu. Pria tua itu mengurai air mata dan menghirup cairan dalam rongga hidungnya. Ia berkata, “Ya, dan aku tak tahu siapa orang tuamu....” Ki Bayanaka menghela napas berat. “Sampai hari ini.” “Dan aku tak peduli siapa orang tuaku sesungguhnya! Cukup lah Ayahanda sebagai orang tuaku!” pekik Jenar. Gadis itu bangkit dan berusaha untuk masuk ke dalam rumah. Namun Ki Bayanaka mencegah dengan menggenggam pergelangan tangan putrinya. “Jenar, dengarkan Ayah,” lirih Ki Bayanaka. “Ayahanda ingin mengembalikan aku pada orang tua kandungku, bukan? Apa maksudnya ini, Ayahanda? Aku anak yang tak di
Arya sudah tak kuasa lagi menggerakkan kedua kakinya. Energinya sudah begitu banyak terkuras. Sedang Rara Anjani pun tak jauh berbeda. Tanpa luka dalam, perempuan itu sudah begitu kesulitan mengatur napasnya. Mereka berdua berada di sebuah lembah dengan tepian curam di sebelah kiri. “Tidak, Rara ... Aku tak kuat,” lirih Arya dengan napas tersengal. Dadanya naik turun dengan cepat. Pemuda itu bersandar pada dinding batu cadas yang teraliri air dari atas. Sesekali ia teguk air itu setelah ia kumpulkan di telapak tangan. “Terserah kau, sejak kejadian tadi malam pun sebenarnya aku sudah pasrah,” ucap perempuan itu seraya duduk di sisi Arya yang terkulai. “Aku tak peduli bila pun kali ini kita akan tertangkap dan mati.” Arya memejamkan kedua matanya. Tak seperti luka luar yang segera sembuh, luka dalamnya harus segera diobati. Hal yang sama saat ia terkena tendangan Patih Waradhana tempo hari. Namun untuk mencapai Astagina dan meminta pertolongan pada Ki Bayanaka, ia rasa adalah suatu ha