Share

112. Takdir Jenar

Penulis: A.R. Ubaidillah
last update Terakhir Diperbarui: 2024-10-29 19:42:56
“Benar, Gusti. Pada saat terjadi kudeta itu, seorang abdi datang kepada hamba sambil menggendong bayi perempuan. Dia hamba rawat hingga sekarang. Apa yang terjadi, Gusti?” tanya Ki Bayanaka. Ia merasa ada hal janggal yang akan menimpa Jenar.

“Kudeta apa yang kau maksud, Ki Bayanaka?” cerca seorang Punggawa berpangkat menengah. Pria itu bertolak pinggang dengan pongahnya. Ia lupa bahwa pria tua di hadapan mereka adalah saksi hidup pergantian kekuasaan yang dipaksakan itu.

“Birawa! Bersikap lah santun terhadap orang yang lebih tua darimu!” hardik Tumenggung Ramatungga. Pria seusia Ki Bayanaka itu bahkan belum kembali ke wilayahnya sejak pengangkatan Arya karena mengunjungi keluarganya di Astagina.

“Mengapa aku harus bersikap santun pada pria tua yang berkhianat ini, Kakanda Tumenggung?” teriak Birawa masih penuh dengan kesombongan.

Tumenggung Ramatungga menghela napasnya. Memang benar kata pendahulu. Sesuatu yang salah bila dilakukan oleh orang banyak secara terus-menerus akan beruba
Bab Terkunci
Membaca bab selanjutnya di APP

Bab terkait

  • Cundhamani (Panah Api)   113. Celah

    “Apa yang terjadi, Arya? Mengapa kau tak kuasa melawan mereka berdua?” tanya Rara Anjani setelah mendapati Arya tersungkur tak jauh dari kakinya. Padahal dua pria berjubah hitam itu hanya bersenjatakan pedang kayu. “Aku pun tak tahu, Rara. Yang aku tahu kayu Sarayu bukan lah kayu biasa,” ucap Arya seraya bangkit memegangi dadanya. “Lalu apa rencanamu?” Rara Anjani mulai memasang kuda-kuda. Selendang sudah ia lilitkan beberapa kali hingga cukup kuat serupa tongkat. Paling tidak mampu menangkis serangan sebuah pedang kayu. “Aku akan menyibukkan mereka sekali lagi. Kau cari lah celah di tempat ini. Tak mungkin sebuah tempat tak memiliki pintu keluar,” ujar Arya dan mengambil posisi Rara Anjani untuk bersiap menyerang kembali. “Belum juga menyerah, Tuan?” Pria sebelah kanan meletakkan pedang kayu di pundaknya. Sebuah bahasa tubuh yang lagi-lagi begitu meremehkan musuhnya. “Sepertinya aku harus merebut pedang itu,” batin Arya. “Sudah aku bilang, tanpa busurmu dan logam, kau hanya rema

  • Cundhamani (Panah Api)   114. Pewaris Tahta

    Jenar menatap wajah ayahandanya tak percaya. Pria tua yang selalu menceritakan bagaimana rupa seorang ibu itu kini menunduk lesu. Gadis itu berusaha mencari sorot mata teduh penuh ketenagan itu dari ayahandanya. Namun yang ia dapati adalah bola mata cembung yang meneteskan air mata. “Apa yang Ayahanda katakan? Bayi perempuan itu aku, bukan?” Jenar mengguncangkan bahu Ki Bayanaka yang masih tertunduk lesu. Pria tua itu mengurai air mata dan menghirup cairan dalam rongga hidungnya. Ia berkata, “Ya, dan aku tak tahu siapa orang tuamu....” Ki Bayanaka menghela napas berat. “Sampai hari ini.” “Dan aku tak peduli siapa orang tuaku sesungguhnya! Cukup lah Ayahanda sebagai orang tuaku!” pekik Jenar. Gadis itu bangkit dan berusaha untuk masuk ke dalam rumah. Namun Ki Bayanaka mencegah dengan menggenggam pergelangan tangan putrinya. “Jenar, dengarkan Ayah,” lirih Ki Bayanaka. “Ayahanda ingin mengembalikan aku pada orang tua kandungku, bukan? Apa maksudnya ini, Ayahanda? Aku anak yang tak di

  • Cundhamani (Panah Api)   115. Ambang Kematian

    Arya sudah tak kuasa lagi menggerakkan kedua kakinya. Energinya sudah begitu banyak terkuras. Sedang Rara Anjani pun tak jauh berbeda. Tanpa luka dalam, perempuan itu sudah begitu kesulitan mengatur napasnya. Mereka berdua berada di sebuah lembah dengan tepian curam di sebelah kiri. “Tidak, Rara ... Aku tak kuat,” lirih Arya dengan napas tersengal. Dadanya naik turun dengan cepat. Pemuda itu bersandar pada dinding batu cadas yang teraliri air dari atas. Sesekali ia teguk air itu setelah ia kumpulkan di telapak tangan. “Terserah kau, sejak kejadian tadi malam pun sebenarnya aku sudah pasrah,” ucap perempuan itu seraya duduk di sisi Arya yang terkulai. “Aku tak peduli bila pun kali ini kita akan tertangkap dan mati.” Arya memejamkan kedua matanya. Tak seperti luka luar yang segera sembuh, luka dalamnya harus segera diobati. Hal yang sama saat ia terkena tendangan Patih Waradhana tempo hari. Namun untuk mencapai Astagina dan meminta pertolongan pada Ki Bayanaka, ia rasa adalah suatu ha

  • Cundhamani (Panah Api)   116. Musuh Lama

    “Arya!” “Ayahanda?” lirih Arya seraya memaksa untuk membuka matanya. “Apa yang terjadi? Kakanda!” seru Sanggageni setelah dilanda panik melihat kondisi putranya. Ki Bayanaka mengerti maksud Sanggageni. Pria itu segera memeriksa kondisi Arya dan Rara Anjani. Tanpa berkata apa pun, Ki Bayanaka segera memberikan pemindahan energi ke tubuh Arya. Telapak tangannya yang hangat segera memendarkan aura merah ke dada pemuda itu. “Aku kira kalian burung pemakan bangkai,” lirih Arya lagi. Kali ini ucapnya lebih jelas karena sudah mendapatkan sedikit energi dari Ki Bayanaka. Sanggageni mengusap matanya yang mengembun. Memang benar ia tadi mengusir tiga ekor burung pemakan bangkai yang sudah mengintai mereka berdua. Entah bagaimana jadinya bila ia datang terlambat sekejap saja. Mungkin Arya dan Rara Anjani sudah menjadi mangsa. “Bagaimana dengan Rara Anjani? Dia sudah tak bergerak lagi, bukan?” “Diam lah, Arya!” potong Ki Bayanaka. “Aku butuh konsentrasi, dia akan aku obati setelah kau! Lagi

  • Cundhamani (Panah Api)   117. Trik Sampah

    Hembusan angin menandai perginya Legawa bersama Arya dan Rara Anjani. Sanggageni dan Ki Bayanaka berdiri dengan gagahnya menyandang pedang dan toya andalan. Mereka yakin batu besar itu tak akan mampu membunuh Pendekar Kembar dari Utara itu. Setiap suara angin yang terdengar seolah menghalangi pendengaran pada runtuhan batu kecil, tanda dari dua orang terbangun. “Menurutmu apa kita bisa memenangi pertarungan ini lagi, Braja?” bisik Ki Bayanaka. “Kau itu hanya menua, Kakanda. Kemampuanmu tak banyak berubah!” balas Sanggageni. Ia maju selangkah setelah melihat batu sebesar kepalan tangan runtuh dan masuk ke dalam jurang. “Ayolah, Braja. Kau selalu membesarkan hatiku. Padahal di pertarungan kau yang selalu mengambil banyak peran dan melindungiku.” “Sudah, nanti saja berdebatnya, Kakanda!” seru Sanggageni. Benar saja, mendadak terdengar retakan pada batu sebesar kereta kuda itu. Batu itu terbelah bersamaan dengan munculnya dua lesatan hitam ke atas dan turun menghantam bumi. Getarannya

  • Cundhamani (Panah Api)   118. Gusti Jenar Candrakanti

    Arya dan Rara Anjani terbaring lemah di beranda rumah Ki Bayanaka. Arya sudah tampak lebih baik. Wajahnya sudah tidak pucat lagi. Sedang perempuan di sebelahnya justru sudah dapat menggerakkan beberapa bagian tubuhnya. Hembusan angin yang kuat menerpa jendela kamar Jenar hingga tertutup dengan keras. Gadis itu mendekat dan membuka daun jendelanya. Tak ada tanda akan adanya angin besar. Kemungkinan ini akibat kedatangan atau kepergian Legawa. Mata Jenar segera tertuju pada sepasang tubuh yang tergeletak di beranda rumahnya. “Apa itu Arya? Lalu siapa perempuan itu?” lirihnya sejenak. Tungkainya segera bergerak cepat untuk memeriksa siapa kedua orang itu dan bagaimana kondisinya. Jenar sampai di beranda saat Rara Anjani membuka matanya. Sekilas ia menatap selir mendiang raja itu namun segera teralihkan pada kekasihnya. Kalau saja kondisi Arya lebih baik, ia akan menanyakan langsung pada perempuan itu. “Siapa kau? Dimana aku? Apakah Arya baik-baik saja? Dia tidak mati, bukan?” cecar Ra

  • Cundhamani (Panah Api)   119. Takdir dan Kenyataan

    “Ampun Gusti, hamba hanya diminta untuk menjemput Gusti,” ucap prajurit itu begitu santun. Belum ada sebelumnya seorang prajurit bertindak demikian pada Jenar. “Baik lah, aku akan datang bersama Ayahandaku. Sampaikan pada para pembesar di sana,” ujar Jenar mencoba untuk tetap tenang. Meski ia sama sekali tak terbiasa memberikan titah. “Sendika, Gusti! Hamba mohon pamit.” Prajurit itu mengatupkan telapak tangan di kening lalu tetap dalam posisi bersimpuhnya menuruni anak tangga. Ia baru berdiri tegak saat tungkainya sudah menapak di tanah. Rara Anjani berusaha sekuat tenaga untuk bangkit. Ia harus tahu siapa sebenarnya Jenar. Gadis yang mengaku putri dari pelatih prajurit ini sepertinya menyimpan banyak hal tentang jati diri. Kalau memang benar Jenar berkedudukan tinggi, seharusnya ia lah yang menyebutnya Gusti. Bukan sebaliknya. “Jenar, siapa sebenarnya kau ini?” lirih Rara Anjani sembari menahan sakit di sendi-sendinya. “Aku putri Ki Bayanaka, Gusti....” “Berhenti memanggilku Gu

  • Cundhamani (Panah Api)   120. Bibi dan Kemenakan

    “Ayahanda?” seru Jenar dan Arya bersamaan namun mengacu pada orang yang berbeda. Ki - Bayanaka, Sanggageni dan Legawa muncul di tengah-tengah mereka setelah terpaan angin. “Jenar! Kemari! Lepaskan pelukanmu!” titah Ki Bayanaka. Jenar terperanjat. Tak pernah ia lihat Ayahandanya berlaku sedemikian tegas padanya. Berdasar pada kenyataan dan takdirnya yang baru, ia memang memiliki hubungan kekerabatan dengan Arya. Bibi dan kemenakan, Jenar pikir tak masalah pada awalnya. Apa lagi ibunda Arya menikah dengan orang biasa. Namun hal ini tidak berlaku di kalangan istana. Mereka haram untuk saling mencintai. “Ki, apa yang terjadi? Ayahanda, bisa jelaskan padaku apa ini maksudnya?” Tentu saja Arya protes. Terakhir kali mereka berdua berada dalam satu waktu bersama, ayahanda masing-masing tidak mempermasalahkannya. Ki Bayanaka dan Sanggageni saling pandang. Jika saja Jenar tidak menjadi pewaris tahta, maka tak ada masalah dengan hubungan mereka berdua. Kedua pria itu sama-sama tak kuasa untuk

Bab terbaru

  • Cundhamani (Panah Api)   228 Penerus

    “Bukan kah prajurit udaramu tadi sudah memeriksa semua kapal ini, Braja?” tanya Ki Bayanaka. “Ya, sepertinya kapal satu ini luput dari pemeriksaan. Atau....” Seorang pria bertubuh kurus dan berkulit cerah tertawa di atas kapal yang separuhnya sudah terbakar. Ia merasa jumawa melihat dua pria tua, seorang perempuan dan seorang pemuda yang sudah tidak berdaya. Dengan senjata berkekuatan besar, ia merasa di atas angin. “Siapa sebenarnya mereka?” tanya Jenar sembari mengernyitkan kening. Belum juga terjawab, bentuk kapal, senjata dan panji asing itu. “Entah lah, Jenar. Tapi orang ini pasti lemah. Merasa kuat karena memiliki senjata yang mampu melontarkan bola-bola api itu,” ucap Ki Bayanaka begitu yakin. “Bagaimana Ayahanda bisa begitu yakin?” tanya Jenar. “Coba lah kau perhatikan gelagatnya. Orang dengan kemampuan tinggi tak mungkin bertingkah seperti itu. Bukan begitu, Braja?” ucap Ki Bayanaka melemparkan kalimat kepada Sanggageni. “Hmm, jadi siapa yang akan memberinya pelajaran?”

  • Cundhamani (Panah Api)   227. Terkurung

    Tak ada yang bisa dilakukan Jenar setelah sampai di pantai selatan kerajaannya. Pagar api setinggi pagar Astagina itu menghalangi apa pun dan siapa pun. Tak mungkin melaluinya dengan selamat. Perempuan itu tampak mulai meneteskan air mata. Bagaimana mungkin suaminya berbuat sedemikian rupa. Hatinya berkecamuk, sungguh ia tak ingin kehilangan Arya secepat ini.“Arya, dasar bodoh! Apa yang kau lakukan?” umpat Jenar dengan kedua tangan mengepal. Ia merasa begitu hina sebagai raja tak mengetahui patih sekaligus suaminya di dalam sana berjuang seorang diri.Raja Astagina itu mulai terisak. Rasa panas mendera wajahnya dari jarak lima tombak ini. Keningnya mengernyit keras. Ia merasa harus berbuat sesuatu. Berdiam diri tak akan berdampak apa pun. Berada di istananya jauh lebih baik.“Pasukan udara milik Kakanda Sanggageni, dimana mereka?” tiba-tiba Jenar teringat akan sepuluh orang prajurit yang direkrut oleh Sanggageni demi mewujudkan idenya memiliki serangan udara.“Gunakan ini!” Danapati

  • Cundhamani (Panah Api)   226. Kepercayaan

    Arya melepaskan sekali lagi Sasra Sayaka-Cundhamani dengan sisa amarahnya. Anak panah logam hitam berlumur darahnya sendiri melesat ke arah ribuan prajurit yang mulai terkikis keberaniannya. Serupa dengan tenaga dan kesadaran Arya. Pemuda itu menjatuhkan busur Agnitama pada mulanya. Disusul dengan tubuh lemah dan compang-campingnya.Arya mendengus berusaha melihat apa yang terjadi dengan serangannya itu. Tubuh-tubuh musuh yang tercerai berai. Terburai anggota tubuhnya. Terbakar api Cundhamani hingga meronta-ronta, berguling di tanah dan masuk ke dalam air laut. Semua berusaha menyelamatkan dirinya sendiri.“Sisanya aku serahkan padamu, Raden Danapati!” gumam Arya sembari mengubah posisi kepalanya. Menoleh kepada Aswabrama dan memastikan kembali bahwa Danapati benar-benar pergi.Binatang dan tuan itu saling pandang. Tak ada kata dari mereka yang dimengerti. Namun tatapan bola mata itu sudah menjelaskan semuanya. Berjuang bersama-sama. Melewati bahaya, nyaris kehilangan nyawa, dan kini

  • Cundhamani (Panah Api)   225. Mati Di Samping Aswabrama

    “Tapi bagaimana caranya, Braja? Kau lihat sendiri api Cundhamani menghalangi kita?” pungkas Ki Bayanaka. Pria tua itu memang peragu yang luar biasa. Itu sebab dahulu ia menjadi pelatih prajurit alih-alih bergabung bersama Baka Nirdaya memerangi kedzaliman.“Pantai selatan memang sudah menjadi lautan api. Tapi tidak dengan langitnya!” timpal Sanggageni. “Pengawal! Kau pengawal raja, bukan?” tanyanya.Seorang pengawal raja yang sejak tadi bertugas melindungi dua penasihat itu maju selangkah dengan penuh penghormatan. Ia berkata lantang, “Benar, Tuan! Mohon katakan titah Tuan!”“Cari pasukan udaraku! Bawa secepatnya mereka ke sini!” titah Sanggageni lantang. Pria itu berdiri tegak menatap lautan api dengan memegangi lengan kanannya. Tak ada artinya hidup dengan sebelah tangan namun tak mampu menyelamatkan putranya sendiri.“Sendika, Tuan!”Ki Bayanaka bangkit berdiri di sisi Sanggageni. Tak ada yang menyangka Astagina akan berada di ujung tanduk seperti ini. Pria itu menyentuh pundak adi

  • Cundhamani (Panah Api)   224. Asa Ksatria Cundhamani

    Pantai selatan Astagina kini tak ubahnya seperti gerbang api. Tak ada tempat untuk melarikan diri. Bagi bala tentara asing itu, juga bagi Arya. Suara desis api Cundhamani bertemu air laut mengepulkan asap putih buah dari air yang menguap. Arya melepaskan Sasra Sayaka-Cundhamani sekali lagi. Kali ini ke arah deretan kapal-kapal perang yang sebagian telah terbakar.“Kau yakin hal ini, Gusti?” tanya Danapati manakala sudah mengenakan jubah pemberian Arya.“Apa kau meragukanku, Raden?” tanya Arya kembali. Pemuda itu menoleh dan tersenyum. Memperlihatkan deretan giginya yang memerah karena darah. Tak ada yang tahu bahwa Patih Astagina itu sudah melampaui batas ketahanan tubuhnya sendiri.“Gusti, kau....”Tak sempat Danapati berkata lebih banyak, Arya terlanjut menyentak tali kekang Aswabrama. Ia songsong ratusan pasukan berkuda musuh sendirian. Atau hanya berdua saja dengan kudanya. Arya menghunuskan anak panah logamnya. Kali ini dengan posisi tubuh setengah berdiri. Danapati terhenyak, ya

  • Cundhamani (Panah Api)   223. Menebus Dosa

    “Arya? Bagaimana dengan Ayahandamu?” tanya Jenar tak menyangka suaminya akan hadir dan menyela percakapannya dengan Danapati dan pengawal.Arya tak menjawab, menggerakkan sedikit kepalanya memberi isyarat pada Jenar agar melihat sendiri kondisi ayahandanya. Pemuda itu sudah siap dengan busur Agnitama dan puluhan anak panah logam di tempatnya menggantung di punggung.Dari jarak puluhan depa itu Jenar masih mampu melihat Sanggageni dan ayahandanya tengah duduk bersila. Ki Bayanaka masih mengobati kakak ipar sekaligus mertuanya itu dengan tenaga dalam. Sedang Sanggageni sudah mampu duduk sendiri. Ia jauh lebih baik meski lengan kanannya tak akan kembali lagi.“Pergi lah ... Istriku! Tunggu aku kembali membawa kemenangan!” lirih Arya di telinga Jenar sembari melewati tubuh perempuan cantik itu.Jenar terpekur, setelah pertengkaran mereka berdua karena Rara Anjani di desa Girijajar tempo hari, baru kali ini ia melihat tekad di mata Arya. Tekad yang sama saat Arya pamit untuk pergi ke medan

  • Cundhamani (Panah Api)   222. Amarah Jenar

    Panji-panji dengan aksara asing itu berkibar-kibar tinggi. Pasukan berkuda dengan penutup kepala logam dengan beringas membunuh apa pun yang menghadang. Darah Jenar mendidih menyaksikan para prajurit yang baru saja direkut menjadi korban tanpa sempat mempertahankan nyawa. Perempuan itu menghentakkan tungkainya di permukaan batu besar sekaligus menandai radius serangannya.“Beraninya kalian mengobrak-abrik Astagina! Hanya ada satu ganjaran ... Mati!” seru Jenar mengumbar amarah.Kilatan-kilatan terlihat bergerak begitu cepat tanpa bisa diikuti oleh mata. Denting penutup kepala logam dan tusuk konde emas mendahului robohnya pasukan berkuda itu satu demi satu. Tak ada yang paham bahwa perempuan yang menari di atas batu itu lah dalangnya.Pasukan berkuda musuh saling pandang. Menarik tali kekang kuda hingga kuda-kuda perkasa itu meringkik begitu kuat. Mereka mengedarkan pandangan ke sekitar selatan pesisir pantai Astagina. Selama itu pula mereka seolah tinggal menunggu kematian.Danapati

  • Cundhamani (Panah Api)   221. Titah Jenar

    Arya mendarat dengan keras tepat di belakang para prajurit yang melingkar melindungi rajanya. Ia sibak bahu-bahu penuh ketegangan itu demi sampai di tempat ayahandanya diobati. Penjelasan dari pengawal raja tadi belum mampu membuatnya mengerti bagaimana kondisi Sanggageni sebenarnya.Namun seluruh tubuh Arya terasa tak bertulang manakala menyaksikan kondisi ayahandanya yang memprihatinkan. Ia luruh jatuh bersimpuh di tanah tepat di samping Ki Bayanaka, berhadapan dengan Jenar. Pemuda itu tak percaya hal mengerikan seperti ini terjadi pada ayahandanya.“Kau datang juga,” lirih Ki Bayanaka.“A-apa yang terjadi....”“Braja tak akan seperti ini andai saja kalian bisa bersikap bijak dan tak menuruti hawa nafsu!” tegas Ki Bayanaka sekali lagi.“Maksudmu....”“Kakanda Sanggageni terkena bola api itu, Arya! Dan sekarang pasukan berkuda mereka sedang menuju kemari!” ujar Jenar setengah menyeru. Ia tahu bahwa ini pula kesalahannya. Namun diamnya suaminya tentu bukan tindakan yang tepat dilakuka

  • Cundhamani (Panah Api)   220. Menyelamatkan Sanggageni

    Jenar menitikkan air mata. Kata-kata ayahandanya memang begitu menusuk hati. Namun melihat kondisi Sanggageni lah hal yang membuatnya begitu sakit. Ia terlalu lama memadu kasih dengan Arya hingga membuat ayahanda Arya dalam kondisi mengenaskan.“Bertahan lah, Braja! Dasar bedebah!” hardik Ki Bayanaka terus mengerahkan segala kemampuannya untuk menyelamatkan nyawa Sanggageni. Sejauh ini tak ada reaksi apa pun dari pria bergiwang itu.“Kakanda Danapati, bisa kah kau cari keberadaan Arya? Aku merasa dia memiliki hal di luar dari kemampuanku dan Ayahandaku untuk menyelamatkan Kakanda Sanggageni,” pinta Jenar sambil terus terisak.Danapati tak menjawab. Ia segera bangkit dan hendak meninggalkan mereka bertiga manakala empat orang pengawal raja datang. Mereka segera bersimpuh tak berani lebih tinggi dari rajanya.“Tak perlu, Danapati! Biar mereka saja yang mencari Arya. Kau tetap di sini lindungi kami dari apa pun yang menyerang!” titah Ki Bayanaka. Danapati tak berani bereaksi. Ia melihat

DMCA.com Protection Status