“Ampun Gusti, hamba hanya diminta untuk menjemput Gusti,” ucap prajurit itu begitu santun. Belum ada sebelumnya seorang prajurit bertindak demikian pada Jenar. “Baik lah, aku akan datang bersama Ayahandaku. Sampaikan pada para pembesar di sana,” ujar Jenar mencoba untuk tetap tenang. Meski ia sama sekali tak terbiasa memberikan titah. “Sendika, Gusti! Hamba mohon pamit.” Prajurit itu mengatupkan telapak tangan di kening lalu tetap dalam posisi bersimpuhnya menuruni anak tangga. Ia baru berdiri tegak saat tungkainya sudah menapak di tanah. Rara Anjani berusaha sekuat tenaga untuk bangkit. Ia harus tahu siapa sebenarnya Jenar. Gadis yang mengaku putri dari pelatih prajurit ini sepertinya menyimpan banyak hal tentang jati diri. Kalau memang benar Jenar berkedudukan tinggi, seharusnya ia lah yang menyebutnya Gusti. Bukan sebaliknya. “Jenar, siapa sebenarnya kau ini?” lirih Rara Anjani sembari menahan sakit di sendi-sendinya. “Aku putri Ki Bayanaka, Gusti....” “Berhenti memanggilku Gu
“Ayahanda?” seru Jenar dan Arya bersamaan namun mengacu pada orang yang berbeda. Ki - Bayanaka, Sanggageni dan Legawa muncul di tengah-tengah mereka setelah terpaan angin. “Jenar! Kemari! Lepaskan pelukanmu!” titah Ki Bayanaka. Jenar terperanjat. Tak pernah ia lihat Ayahandanya berlaku sedemikian tegas padanya. Berdasar pada kenyataan dan takdirnya yang baru, ia memang memiliki hubungan kekerabatan dengan Arya. Bibi dan kemenakan, Jenar pikir tak masalah pada awalnya. Apa lagi ibunda Arya menikah dengan orang biasa. Namun hal ini tidak berlaku di kalangan istana. Mereka haram untuk saling mencintai. “Ki, apa yang terjadi? Ayahanda, bisa jelaskan padaku apa ini maksudnya?” Tentu saja Arya protes. Terakhir kali mereka berdua berada dalam satu waktu bersama, ayahanda masing-masing tidak mempermasalahkannya. Ki Bayanaka dan Sanggageni saling pandang. Jika saja Jenar tidak menjadi pewaris tahta, maka tak ada masalah dengan hubungan mereka berdua. Kedua pria itu sama-sama tak kuasa untuk
“Kau tahu sendiri bagaimana kesaktian mereka, bukan? Bahkan Braja kini memiliki ilmu serupa Cundhamani milik putranya itu!” ujar Ki Wungkung begitu kesal. “Jadi, Ksatria Cundhamani itu anaknya Braja dari Rakajiwa?” tanya Prabu Warasena begitu terheran. Bagaimana seorang Ksatria yang diyakini akan mengembalikan tatanan keseimbangan dunia persilatan keturunan dari orang yang berulang kali mengalahkannya dahulu. “Aku pun baru mengetahuinya tadi. Kau segera cari pendekar sakti untuk merebut kembali Ksatria Cundhamani!” titah Ki Wungkung. “Tapi, Guru....” “Apa tidak ada orang sakti di Candikapura yang luas ini? Hah?” hardik Ki Wungkung tak ingin muridnya itu berdalih terlalu jauh. “Tapi satu-satunya orang yang mampu menandingi orang-orang Rakajiwa itu hanya dirimu, Guru.” Prabu Warasena menunjuk gurunya dengan ibu jari. Mengambil hati orang tua ini begitu dibutuhkan demi terus mengukuhkan pengaruhnya di Candikapura dan daerah-daerah sekelilingnya. “Diam kau! Ini masalah serius! Aku ta
“Tak mengapa, Gusti. Hamba hanya tak menyangka Ibunda Jenar berasal dari sana,” kilah Ki Bayanaka. Pria tua itu berpikir dalam diamnya. Berarti pada masa pemerintahan Prabu Wirajaya, Candikapura yang dahulu bernama Candrapurwa sudah ditaklukkan oleh Astagina. Namun mungkin sesuai dengan model pemerintahannya, penaklukannya lebih ke arah kerjasama politik. Dan Kudeta Ranajaya bisa jadi memicu kudeta di Candrapurwa pula. “Bisakah aku menziarahi pusara orang tuaku, Paman Tumenggung?” tanya Jenar. “Tentu saja, Gusti!” jawab Tumenggung Ramatungga tegas. Sedang kedua matanya melirik dua orang Penasihat yang dari tatap matanya tak menyukai ide Jenar untuk ziarah ke Dirgagiri. Namun tentu mereka tak berani menolak keinginan calon ratu ini, dari pada Astagina harus kembali dikuasai orang dzalim. “Mari, antarkan aku ke Dirgagiri!” “Sendika, Gusti. Tapi Gusti, hamba mohon maaf tak bisa membawa Ki Bayanaka. Sedang hamba pun juga tak bisa mengantar Gusti untuk masuk ke Dirgagiri. Tempat itu te
“Apa yang kau lakukan, Tama?” tanya Suta dengan mata yang menyalang. Selain mencampuri pertarungannya, Tama juga malah bersimpuh pada gadis yang mengaku anak mendiang Raja ini. “Suta, berlutut!” teriak Tama. Namun Suta justru berjalan cepat menghampiri rekannya itu dan memaksanya berdiri. “Apa kau sudah gila?” “Kau yang gila! Lihat lah perisai yang aku lemparkan tadi!” seru Tama sambil menunjuk perisai besi yang tergeletak di tanah. Suta mengernyitkan kening dan mendapati ada benda yang menancap di sana. Namun benda itu segera menghilang dan berpindah tempat di genggaman Jenar. “I-tu ... Suji Pati?” Tama menganga dan terbelalak bersamaan. Ia tak menyangka akan menyaksikan ilmu legendaris yang telah lama hilang itu. “Tunggu apa lagi? Cepat berlutut!” lirih Tama tak sabar. Lelaki itu segera memukul belakang lutut rekannya hingga Suta terpaksa berlutut. “Ampuni kami, Gusti. Kami tak tahu siapa Gusti. Mohon sebutkan hukuman untuk kami.” Suta memohon sembari mengatupkan telapak tangan
“Hendak kemana kau, Arya?” tanya Sanggageni pada putranya yang tengah menyandang buntalan kain di bahu kanannya, sedang ini masih begitu pagi. “Aku ingin menunjungi Ibunda. Apa Ayahanda mau ikut?” ucap Arya sembari berjalan menuruni anak tangga rumah Ki Bayanaka. Sudah ada Aswabrama menunggunya di bawah. Kuda itu seolah tahu bahwa tuannya akan bepergian. “Maksudmu ke Girijajar?” Arya mengangguk pelan. Tentu saja ia berharap ayahandanya tidak akan ikut. Sudah hampir sepanjang hari kemarin ia berdebat dengan pria bergiwang itu untuk hidup biasa saja di Girijajar. Namun ayahandanya tetap bersikeras agar Arya mendampingi Jenar memimpin Astagina dan tetap menjadi Patih. Setengah hati Arya tentu masih ingin menyandang gelar Patih kerajaan sebesar Astagina. Namun apa bila hal itu menyebabkan ia tak bisa bersama dengan Jenar sebagai sepasang kekasih, tentu ia akan berpikir berkali-kali. Pun ditambah bila nantinya Jenar menikah dengan seorang lain. Pukulan telak untuknya. “Kau akan kembali
“Bukan kah itu Rara Anjani?” seru Arya ketika menyaksikan seorang perempuan mengendarai kuda mendahului mereka. “Bagaimana kau bisa tahu? Bahkan kau tak melihat wajahnya?” tanya Jenar. Belum juga menikmati kebersamaan di atas kuda, ia sudah mendapati hal yang mengganggu. “Ah, tidak. Aku hanya mengenal pakaiannya saja!” ucap Arya sambil terus memacu Aswabrama. Jenar mencebik, entah mengapa perempuan mantan selir Prabu Ranajaya itu tak ikut ditempatkan di pinggiran wilayah Astagina seperti keluarga mendiang Raja Astagina lainnya. Perempuan yang kemarin mengatakan Jenar biasa-biasa saja itu justru tampak begitu bebas berkendara tanpa beban. “Rara!” panggil Arya. Perempuan itu menoleh sekaligus memperlambat laju kudanya. Sesuatu yang amat disesali Jenar. Semoga saja ini hanya sebentar dan momentum berdua saja bersama Arya akan belanjut lagi nanti. “Kalian? Apa kalian melarikan diri?” tanya Rara Anjani dengan wajah penuh keheranan. “Kau masih saja asal bicara! Kau sendiri hendak keman
Arya bersimpuh di samping makam Gantari. Ada banyak hal yang ingin ia ceritakan pada ibundanya itu. Mulai dari keterlibatannya pada perang melawan ayahandanya sendiri, tewasnya Pranawa Sakti dan Prabu Ranajaya, sampai kisah cintanya pada gadis yang ternyata bibinya sendiri. Begitu berbeda dengan Jenar yang tak tahu harus berbuat apa bersimpuh di sisi Arya. “Ibu, awalnya aku akan membawa Jenar untuk aku kenalkan sebagai calon istriku. Tapi Ranajaya dan Patih bedebahnya itu lebih dulu membunuhmu. Sampai aku diperdaya untuk melawan Ayahanda,” lirih Arya dengan mata berkabut. Jenar mengusap punggung kekasihnya. Ia berharap sentuhan kecil itu mampu menguatkan Arya dan meyakinkan pemuda itu bahwa ia turut merasakan kesedihan dan akan selalu di sampingnya. Meski sudah seharian Jenar sama sekali terkunci bibirnya untuk tersenyum buah kehadiran Rara Anjani. Perempuan itu seolah selalu berusaha mendapatkan perhatian Arya. “Ini Jenar, Ibu.” Arya merangkul pundak Jenar dan mendekatkan pada tubu