“Tak mengapa, Gusti. Hamba hanya tak menyangka Ibunda Jenar berasal dari sana,” kilah Ki Bayanaka. Pria tua itu berpikir dalam diamnya. Berarti pada masa pemerintahan Prabu Wirajaya, Candikapura yang dahulu bernama Candrapurwa sudah ditaklukkan oleh Astagina. Namun mungkin sesuai dengan model pemerintahannya, penaklukannya lebih ke arah kerjasama politik. Dan Kudeta Ranajaya bisa jadi memicu kudeta di Candrapurwa pula. “Bisakah aku menziarahi pusara orang tuaku, Paman Tumenggung?” tanya Jenar. “Tentu saja, Gusti!” jawab Tumenggung Ramatungga tegas. Sedang kedua matanya melirik dua orang Penasihat yang dari tatap matanya tak menyukai ide Jenar untuk ziarah ke Dirgagiri. Namun tentu mereka tak berani menolak keinginan calon ratu ini, dari pada Astagina harus kembali dikuasai orang dzalim. “Mari, antarkan aku ke Dirgagiri!” “Sendika, Gusti. Tapi Gusti, hamba mohon maaf tak bisa membawa Ki Bayanaka. Sedang hamba pun juga tak bisa mengantar Gusti untuk masuk ke Dirgagiri. Tempat itu te
“Apa yang kau lakukan, Tama?” tanya Suta dengan mata yang menyalang. Selain mencampuri pertarungannya, Tama juga malah bersimpuh pada gadis yang mengaku anak mendiang Raja ini. “Suta, berlutut!” teriak Tama. Namun Suta justru berjalan cepat menghampiri rekannya itu dan memaksanya berdiri. “Apa kau sudah gila?” “Kau yang gila! Lihat lah perisai yang aku lemparkan tadi!” seru Tama sambil menunjuk perisai besi yang tergeletak di tanah. Suta mengernyitkan kening dan mendapati ada benda yang menancap di sana. Namun benda itu segera menghilang dan berpindah tempat di genggaman Jenar. “I-tu ... Suji Pati?” Tama menganga dan terbelalak bersamaan. Ia tak menyangka akan menyaksikan ilmu legendaris yang telah lama hilang itu. “Tunggu apa lagi? Cepat berlutut!” lirih Tama tak sabar. Lelaki itu segera memukul belakang lutut rekannya hingga Suta terpaksa berlutut. “Ampuni kami, Gusti. Kami tak tahu siapa Gusti. Mohon sebutkan hukuman untuk kami.” Suta memohon sembari mengatupkan telapak tangan
“Hendak kemana kau, Arya?” tanya Sanggageni pada putranya yang tengah menyandang buntalan kain di bahu kanannya, sedang ini masih begitu pagi. “Aku ingin menunjungi Ibunda. Apa Ayahanda mau ikut?” ucap Arya sembari berjalan menuruni anak tangga rumah Ki Bayanaka. Sudah ada Aswabrama menunggunya di bawah. Kuda itu seolah tahu bahwa tuannya akan bepergian. “Maksudmu ke Girijajar?” Arya mengangguk pelan. Tentu saja ia berharap ayahandanya tidak akan ikut. Sudah hampir sepanjang hari kemarin ia berdebat dengan pria bergiwang itu untuk hidup biasa saja di Girijajar. Namun ayahandanya tetap bersikeras agar Arya mendampingi Jenar memimpin Astagina dan tetap menjadi Patih. Setengah hati Arya tentu masih ingin menyandang gelar Patih kerajaan sebesar Astagina. Namun apa bila hal itu menyebabkan ia tak bisa bersama dengan Jenar sebagai sepasang kekasih, tentu ia akan berpikir berkali-kali. Pun ditambah bila nantinya Jenar menikah dengan seorang lain. Pukulan telak untuknya. “Kau akan kembali
“Bukan kah itu Rara Anjani?” seru Arya ketika menyaksikan seorang perempuan mengendarai kuda mendahului mereka. “Bagaimana kau bisa tahu? Bahkan kau tak melihat wajahnya?” tanya Jenar. Belum juga menikmati kebersamaan di atas kuda, ia sudah mendapati hal yang mengganggu. “Ah, tidak. Aku hanya mengenal pakaiannya saja!” ucap Arya sambil terus memacu Aswabrama. Jenar mencebik, entah mengapa perempuan mantan selir Prabu Ranajaya itu tak ikut ditempatkan di pinggiran wilayah Astagina seperti keluarga mendiang Raja Astagina lainnya. Perempuan yang kemarin mengatakan Jenar biasa-biasa saja itu justru tampak begitu bebas berkendara tanpa beban. “Rara!” panggil Arya. Perempuan itu menoleh sekaligus memperlambat laju kudanya. Sesuatu yang amat disesali Jenar. Semoga saja ini hanya sebentar dan momentum berdua saja bersama Arya akan belanjut lagi nanti. “Kalian? Apa kalian melarikan diri?” tanya Rara Anjani dengan wajah penuh keheranan. “Kau masih saja asal bicara! Kau sendiri hendak keman
Arya bersimpuh di samping makam Gantari. Ada banyak hal yang ingin ia ceritakan pada ibundanya itu. Mulai dari keterlibatannya pada perang melawan ayahandanya sendiri, tewasnya Pranawa Sakti dan Prabu Ranajaya, sampai kisah cintanya pada gadis yang ternyata bibinya sendiri. Begitu berbeda dengan Jenar yang tak tahu harus berbuat apa bersimpuh di sisi Arya. “Ibu, awalnya aku akan membawa Jenar untuk aku kenalkan sebagai calon istriku. Tapi Ranajaya dan Patih bedebahnya itu lebih dulu membunuhmu. Sampai aku diperdaya untuk melawan Ayahanda,” lirih Arya dengan mata berkabut. Jenar mengusap punggung kekasihnya. Ia berharap sentuhan kecil itu mampu menguatkan Arya dan meyakinkan pemuda itu bahwa ia turut merasakan kesedihan dan akan selalu di sampingnya. Meski sudah seharian Jenar sama sekali terkunci bibirnya untuk tersenyum buah kehadiran Rara Anjani. Perempuan itu seolah selalu berusaha mendapatkan perhatian Arya. “Ini Jenar, Ibu.” Arya merangkul pundak Jenar dan mendekatkan pada tubu
Arya meraih busur Agnitama dan memasangkan anak panah logam padanya. Gerakannya begitu cepat hingga Rara Anjani tak sempat untuk mencegah anak panah bermata menyala itu terlepas dan melesat ke udara. Menukik tajam dan bertambah manjadi ribuan buah sebelum akhirnya menghantam bumi tepat dua tombak di hadapan Jenar. “Apa yang kau lakukan, Arya? Dia bisa mati!” jerit Rara Anjani. Ia tak menyangka akan begini jadinya, padahal ia hanya ingin melihat sepasang kekasih ini terpisah. “Diam! Jika bukan karena kau, Jenar tak akan meninggalkanku!” Di kejauhan Aswabrama meringkik sambil mengangkat kaki depannya. Jenar berusaha sekuat tenaga mengendalikan kuda besar itu agar tak terkena api yang menyala-nyala. Gadis itu membelokkan langkah Aswabrama ke kanan, ke arah deretan rumah-rumah penduduk yang menjadi arang. “Kau keras kepala, Jenar!” Sekali lagi Arya menghunuskan anak panah logam ke arah Jenar. Sama seperti tadi, anak panah itu mengganda dan membara menghantam bumi. Kobaran api membentu
Selendang andalan Rara Anjani yang mulanya melilit pinggang rampingnya, kini sudah menjadi senjata. Dari jaraknya yang lebih dari lima tombak, perempuan itu mampu menyerang Jenar. Ia mampu mengendalikan sehelai selendang sutera itu hingga bergerak sesuai dengan keinginannya. Ujung selendang itu kini siap untuk menghantam kekasih Arya Nandika itu. Jenar segera berkelit. Ia merebahkan tubuhnya di punggung Aswabrama, hingga hempasan selendang Rara Anjani berlalu hanya berjarak satu jari dari ujung hidungnya. Dan kembali bergerak kepada tuannya dengan cepat. “Aku tak boleh meremehkan perempuan ini,” lirih Jenar dalam hati. Gadis itu menanggalkan busur dan tempat anak panah di punggungnya. Matanya menyalang begitu tajam ke arah Rara Anjani. Tangan kanannya perlahan bergerak ke belakang kepala, meraih sebuah tusuk konde yang mengekang sebagian rambut hitamnya. Seketika rambut panjang sepinggang itu terurai dengan gemulai mengikuti gerakan Jenar. “Tusuk konde itu....” Arya membelalakkan m
Rara Anjani tak kuasa menghindar. Ia tak punya kesempatan untuk itu. Perempuan itu sudah pasrah bila tusuk konde yang bergerak dan dikendalikan dari jarak jauh itu menembus kepalanya. Tapi tak ada tikaman yang ia rasa, hanya hawa panas yang ia rasakan begitu kuat di wajah. “Syukurlah,” ucap Arya sembari menurunkan bahunya. Energinya sebentar lagi berada di batas terendah. Ia pun luruh ke tanah bertumpu pada lututnya. Napasnya terengah-engah. Bibirnya meringis menahan sakit manakala anak panah yang menembus dadanya tercabut dengan sendirinya. “Jenar, apa yang kau lakukan?” seru Ki Bayanaka yang datang menyusul Sanggageni. “Ayahanda tanyakan saja pada kemenakanku itu dan perempuan simpanannya!” ketus Jenar. Tusuk konde emas sudah kembali di genggamannya. Sekaligus mengakhiri Suji Pati. “Simpanan? Oh, jadi ada cinta segitiga di sini?” tanya Sanggageni menyarungkan kembali pedang yang tadi menghalangi Tusukan Kematian ke kepala Rara Anjani. “Ayahanda, ini hanya salah paham!” Arya perl