Rara Anjani tak kuasa menghindar. Ia tak punya kesempatan untuk itu. Perempuan itu sudah pasrah bila tusuk konde yang bergerak dan dikendalikan dari jarak jauh itu menembus kepalanya. Tapi tak ada tikaman yang ia rasa, hanya hawa panas yang ia rasakan begitu kuat di wajah. “Syukurlah,” ucap Arya sembari menurunkan bahunya. Energinya sebentar lagi berada di batas terendah. Ia pun luruh ke tanah bertumpu pada lututnya. Napasnya terengah-engah. Bibirnya meringis menahan sakit manakala anak panah yang menembus dadanya tercabut dengan sendirinya. “Jenar, apa yang kau lakukan?” seru Ki Bayanaka yang datang menyusul Sanggageni. “Ayahanda tanyakan saja pada kemenakanku itu dan perempuan simpanannya!” ketus Jenar. Tusuk konde emas sudah kembali di genggamannya. Sekaligus mengakhiri Suji Pati. “Simpanan? Oh, jadi ada cinta segitiga di sini?” tanya Sanggageni menyarungkan kembali pedang yang tadi menghalangi Tusukan Kematian ke kepala Rara Anjani. “Ayahanda, ini hanya salah paham!” Arya perl
Segala kedekatan Arya dan Rara Anjani hanya bisa ditatap Jenar dari kejauhan. Arya dan dirinya sudah menentukan pilihan. Jenar memutuskan untuk menjalani takdir yang mengalir dalam darahnya. Sedang Arya memilih Rara Anjani dan hidup bebas tak terikat dengan Astagina. Sebuah kenyataan sulit bagi banyak pihak. Gadis itu memacu kuda milik Rara Anjani dengan kecepatan sedang. Sama dengan kecepatan kuda yang ditunggangi Ki Bayanaka dan Sanggageni. Kedua pria itu berada di belakangnya. Mengawal calon raja Astagina yang baru saja memutuskan hal besar dalam hidupnya. “Ayahanda, Paman, ayo lah, aku belum menjadi Raja. Berlaku lah seperti aku apa adanya, seorang anak yang membutuhkan banyak bimbingan!” protes Jenar kepada dua pria di belakangnya. “Kau bisa memanggilku Kakanda, Jenar,” ucap Sanggageni. Jenar menepuk keningnya sendiri. Ia sama sekali belum terbiasa dengan posisi barunya. Sanggageni tersenyum dan saling tatap dengan Ki Bayanaka. Lalu meminta kakak seperguruannya itu untuk menja
“Hormat, Gusti Dewi Rara Anjani! Kami ditugaskan oleh Gusti Prabu untuk menjemput Gusti Dewi!” ucap seorang prajurit dengan napas terengah-engah, berlutut di belakang Rara Anjani. Ia menyebut Adipati Kertajaya sebagai Gusti Prabu. Sesuatu yang memang tak pernah berubah di internal Astakencana. Perempuan yang tengah mengemas barang-barang di pelana Aswabrama itu terkejut. Ia tak menyangka utusan ayahandanya akan menemukannya di Girijajar. Beruntung Arya tengah berada di sungai, ia khawatir pemuda itu tak lagi akan mengantarkan pulang ke Astakencana. “Kami? Dimana prajurit lainnya? Kau hanya sendiri?” tanya Rara Anjani menyembunyikan keterkejutannya. “Prajurit lainnya berjaga di sekitar tempat ini, bersembunyi,” jawab prajurit itu. Ia masih saja menundukkan wajahnya. “Pergi lah! Segera kembali ke Astakencana. Aku akan segera kembali bersama Ksatria Cundhamani!” titah Rara Anjani dengan seuntai senyum merekah di bibirnya. “Sendika, Gusti Dewi!” Tak ada dan tak boleh ada pertanyaan m
“Apa yang terjadi, Braja?” Ki Bayanaka baru saja berhasil menyusul adik seperguruannya itu menghambur ke rombongan prajurit yang membawa Jenar. “Seluruh prajurit ini tewas dan Jenar tak ada di keretanya!” ujar Sanggageni keheranan. Padahal jaraknya sampai dengan di tempat itu dengan suara yang cukup besar tak lama. Namun seseorang sudah berhasil menghabisi belasan prajurit tingkat menengah dan membawa pergi Jenar. “Tidak ada petunjuk apa pun di sini, pelakunya pasti berilmu tinggi!” seru Ki Bayanaka setelah memeriksa sekitar dan tak menemukan benda asing apa pun. “Apa ini ulah Candikapura lagi? Tapi aku yakin Pendekar Kembar itu sudah tewas. Apakah ada orang yang menguasi keahlian serupa mereka berdua?” Sanggageni mengurut dagunya. Rasanya tak mungkin prajurit-prajurit ini tewas dengan sekali serangan namun sama sekali tak meninggalkan bekas apa pun. Ki Bayanaka memeriksa seluruh tempat itu. Ia merasa tak mungkin serangan secepat dan sedahsyat itu tak menimbulkan bekas. Bahkan ia t
Sanggageni menghibaskan pedang dengan bilah membaranya ke belukar yang sudah dikonformasi oleh Ki Bayanaka. Sebuah jilatan api muncul dan membentur tabir tak terlihat dan menghancurkannya. Suara dentuman cukup keras disertai kepulan asap putih membuat hal yang diprediksi Sanggageni itu hancur tak bersisa. Seorang pria berpenutup wajah dengan caping hitam di kepala tampak melingkarkan lengannya di leher Jenar. Sebuah belati terhunus di tangan lainnya siap untuk menikam pewaris tahta Astagina itu. Seorang perempuan berpakaian hitam berada di atas pohon dengan sebuah kendi labu kecil menggantung di pinggangnya. “Sanggageni dan Bayanaka. Sudah lama aku mendengar nama kalian. Tak kusangka di masa tua, kalian justru menjadi cecunguk Astagina!” ucap pria bercaping itu dengan suaranya yang berat. Sanggageni tak menjawab. Ia masih terus menganalisa sembari menunggu ruh Ki Bayanaka kembali ke raganya. Lelaki bercaping sudah pasti pencipta tabir tak terlihat itu. Karena perempuan di atas pohon
“Hei, Arimbi, apa yang akan kau lakukan? Membunuh Kakanda Sanggageni?” tanya Wangsa dengan masih terus mengunuskan belati ke leher Jenar. “Apa kau ingin mencegahku?” hardik Arimbi. Perempuan itu menunda serangannya meski kini di sela-sela jarinya sudah ada benda semacam jarum yang begitu tipis. “Sejak kapan mereka punya kekuatan sebahaya ini?” gumam Sanggageni dalam hati. Ia masih terus berusaha mendeteksi keberadaan ruh Ki Bayanaka dan Toma. Dari ketiga saudara itu hanya Toma yang belum ia ketahui wujud dan kemampuannya. “Maju lah jika kau ingin membunuhnya! Aku masih ingin bersama gadis ini. Baunya harum, tak seperti kau!” ucap Wangsa dengan polosnya. Lelaki itu mundur dan tampak menghisap aroma rambut Jenar beberapa kali. Hal yang tentu membuat gadis itu merasa terganggu bahkan merasa dilecehkan. Sanggageni menatap mata menyalang Arimbi. Sungguh perempuan ini telah tumbuh menjadi seorang pendekar sakti. Siapa sangka racun mematikan itu berasal dari serangannya. Namun yang paling
“Jangan-jangan....” Belum sempat Sanggageni memperhatikan dengan seksama dan menganalisa kemungkinan-kemungkinan tentang Arimbi, perempuan itu kembali mengibaskan tangannya. Serangan kedua datang. Namun kali ini mengarah pada raga Ki Bayanaka, satu tombak dari tempat Sanggageni berdiri. Mengayunkan pedang tak akan sempat lagi. Apa lagi membentuk pagar api seperti serangan pertama tadi. Efek dari luka di peperangan terakhir dan pedang yang sudah kehilangan banyak energi apinya membuat gerakan pria itu menjadi berkurang kecepatannya. Tak sebanding dengan jarum-jarum beracun itu. “Tidak akan sempat!” Sanggageni melompat semampunya. Pria itu berusaha menjadi tameng untuk kakak seperguruannya itu. Ia merasa Ki Bayanaka masih akan sangat dibutuhkan oleh Jenar dan Astagina di masa depan. Sanggageni siap untuk mengorbankan nyawanya. “Gantari....” Tubuh Sanggageni roboh ke tanah. Pedangnya terpental cukup tinggi di udara, akibat gerakannya yang tak sempurna. Rasa nyeri ia rasakan di dada,
“Toma? Dia tewas oleh Suji Pati. Mengapa kau tampak biasa saja, Arimbi?” tanya Sanggageni. Arimbi tak mempedulikan tubuh Toma yang tergelatak begitu saja di belukar. Perempuan itu justru sibuk merawat luka di dahinya. “Dia memang lebih baik mati saja, Kakanda. Ia begitu senang berada di alamnya sendiri, kami jadi sulit untuk bertemu dengannya!” ucap Arimbi begitu ringan. Sanggageni dan Jenar hanya saling pandang. Baru kali ini mereka menyaksikan seorang kakak yang lebih suka adiknya mati. Terlebih Jenar yang tak mengenal tiga bersaudara ini. Gadis itu tak mengerti bahwa mereka memang memiliki keanehan masing-masing. “Tunggu, kalau Toma berada di sini, lalu mengapa Kakanda Bayanaka belum juga kembali ke raganya?” gumam Sanggageni. Ia menoleh ke arah raga Ki Bayanaka yang masih duduk bersila dengan tengan di bawah pohon rindang. “Maksudmu kau mengira Ayahanda tertahan di alam ruh karena Toma?” tanya Jenar. Ia pikir masuk akal bila Sanggageni menganggap seperti itu. Namun nyatanya kin
“Bukan kah prajurit udaramu tadi sudah memeriksa semua kapal ini, Braja?” tanya Ki Bayanaka. “Ya, sepertinya kapal satu ini luput dari pemeriksaan. Atau....” Seorang pria bertubuh kurus dan berkulit cerah tertawa di atas kapal yang separuhnya sudah terbakar. Ia merasa jumawa melihat dua pria tua, seorang perempuan dan seorang pemuda yang sudah tidak berdaya. Dengan senjata berkekuatan besar, ia merasa di atas angin. “Siapa sebenarnya mereka?” tanya Jenar sembari mengernyitkan kening. Belum juga terjawab, bentuk kapal, senjata dan panji asing itu. “Entah lah, Jenar. Tapi orang ini pasti lemah. Merasa kuat karena memiliki senjata yang mampu melontarkan bola-bola api itu,” ucap Ki Bayanaka begitu yakin. “Bagaimana Ayahanda bisa begitu yakin?” tanya Jenar. “Coba lah kau perhatikan gelagatnya. Orang dengan kemampuan tinggi tak mungkin bertingkah seperti itu. Bukan begitu, Braja?” ucap Ki Bayanaka melemparkan kalimat kepada Sanggageni. “Hmm, jadi siapa yang akan memberinya pelajaran?”
Tak ada yang bisa dilakukan Jenar setelah sampai di pantai selatan kerajaannya. Pagar api setinggi pagar Astagina itu menghalangi apa pun dan siapa pun. Tak mungkin melaluinya dengan selamat. Perempuan itu tampak mulai meneteskan air mata. Bagaimana mungkin suaminya berbuat sedemikian rupa. Hatinya berkecamuk, sungguh ia tak ingin kehilangan Arya secepat ini.“Arya, dasar bodoh! Apa yang kau lakukan?” umpat Jenar dengan kedua tangan mengepal. Ia merasa begitu hina sebagai raja tak mengetahui patih sekaligus suaminya di dalam sana berjuang seorang diri.Raja Astagina itu mulai terisak. Rasa panas mendera wajahnya dari jarak lima tombak ini. Keningnya mengernyit keras. Ia merasa harus berbuat sesuatu. Berdiam diri tak akan berdampak apa pun. Berada di istananya jauh lebih baik.“Pasukan udara milik Kakanda Sanggageni, dimana mereka?” tiba-tiba Jenar teringat akan sepuluh orang prajurit yang direkrut oleh Sanggageni demi mewujudkan idenya memiliki serangan udara.“Gunakan ini!” Danapati
Arya melepaskan sekali lagi Sasra Sayaka-Cundhamani dengan sisa amarahnya. Anak panah logam hitam berlumur darahnya sendiri melesat ke arah ribuan prajurit yang mulai terkikis keberaniannya. Serupa dengan tenaga dan kesadaran Arya. Pemuda itu menjatuhkan busur Agnitama pada mulanya. Disusul dengan tubuh lemah dan compang-campingnya.Arya mendengus berusaha melihat apa yang terjadi dengan serangannya itu. Tubuh-tubuh musuh yang tercerai berai. Terburai anggota tubuhnya. Terbakar api Cundhamani hingga meronta-ronta, berguling di tanah dan masuk ke dalam air laut. Semua berusaha menyelamatkan dirinya sendiri.“Sisanya aku serahkan padamu, Raden Danapati!” gumam Arya sembari mengubah posisi kepalanya. Menoleh kepada Aswabrama dan memastikan kembali bahwa Danapati benar-benar pergi.Binatang dan tuan itu saling pandang. Tak ada kata dari mereka yang dimengerti. Namun tatapan bola mata itu sudah menjelaskan semuanya. Berjuang bersama-sama. Melewati bahaya, nyaris kehilangan nyawa, dan kini
“Tapi bagaimana caranya, Braja? Kau lihat sendiri api Cundhamani menghalangi kita?” pungkas Ki Bayanaka. Pria tua itu memang peragu yang luar biasa. Itu sebab dahulu ia menjadi pelatih prajurit alih-alih bergabung bersama Baka Nirdaya memerangi kedzaliman.“Pantai selatan memang sudah menjadi lautan api. Tapi tidak dengan langitnya!” timpal Sanggageni. “Pengawal! Kau pengawal raja, bukan?” tanyanya.Seorang pengawal raja yang sejak tadi bertugas melindungi dua penasihat itu maju selangkah dengan penuh penghormatan. Ia berkata lantang, “Benar, Tuan! Mohon katakan titah Tuan!”“Cari pasukan udaraku! Bawa secepatnya mereka ke sini!” titah Sanggageni lantang. Pria itu berdiri tegak menatap lautan api dengan memegangi lengan kanannya. Tak ada artinya hidup dengan sebelah tangan namun tak mampu menyelamatkan putranya sendiri.“Sendika, Tuan!”Ki Bayanaka bangkit berdiri di sisi Sanggageni. Tak ada yang menyangka Astagina akan berada di ujung tanduk seperti ini. Pria itu menyentuh pundak adi
Pantai selatan Astagina kini tak ubahnya seperti gerbang api. Tak ada tempat untuk melarikan diri. Bagi bala tentara asing itu, juga bagi Arya. Suara desis api Cundhamani bertemu air laut mengepulkan asap putih buah dari air yang menguap. Arya melepaskan Sasra Sayaka-Cundhamani sekali lagi. Kali ini ke arah deretan kapal-kapal perang yang sebagian telah terbakar.“Kau yakin hal ini, Gusti?” tanya Danapati manakala sudah mengenakan jubah pemberian Arya.“Apa kau meragukanku, Raden?” tanya Arya kembali. Pemuda itu menoleh dan tersenyum. Memperlihatkan deretan giginya yang memerah karena darah. Tak ada yang tahu bahwa Patih Astagina itu sudah melampaui batas ketahanan tubuhnya sendiri.“Gusti, kau....”Tak sempat Danapati berkata lebih banyak, Arya terlanjut menyentak tali kekang Aswabrama. Ia songsong ratusan pasukan berkuda musuh sendirian. Atau hanya berdua saja dengan kudanya. Arya menghunuskan anak panah logamnya. Kali ini dengan posisi tubuh setengah berdiri. Danapati terhenyak, ya
“Arya? Bagaimana dengan Ayahandamu?” tanya Jenar tak menyangka suaminya akan hadir dan menyela percakapannya dengan Danapati dan pengawal.Arya tak menjawab, menggerakkan sedikit kepalanya memberi isyarat pada Jenar agar melihat sendiri kondisi ayahandanya. Pemuda itu sudah siap dengan busur Agnitama dan puluhan anak panah logam di tempatnya menggantung di punggung.Dari jarak puluhan depa itu Jenar masih mampu melihat Sanggageni dan ayahandanya tengah duduk bersila. Ki Bayanaka masih mengobati kakak ipar sekaligus mertuanya itu dengan tenaga dalam. Sedang Sanggageni sudah mampu duduk sendiri. Ia jauh lebih baik meski lengan kanannya tak akan kembali lagi.“Pergi lah ... Istriku! Tunggu aku kembali membawa kemenangan!” lirih Arya di telinga Jenar sembari melewati tubuh perempuan cantik itu.Jenar terpekur, setelah pertengkaran mereka berdua karena Rara Anjani di desa Girijajar tempo hari, baru kali ini ia melihat tekad di mata Arya. Tekad yang sama saat Arya pamit untuk pergi ke medan
Panji-panji dengan aksara asing itu berkibar-kibar tinggi. Pasukan berkuda dengan penutup kepala logam dengan beringas membunuh apa pun yang menghadang. Darah Jenar mendidih menyaksikan para prajurit yang baru saja direkut menjadi korban tanpa sempat mempertahankan nyawa. Perempuan itu menghentakkan tungkainya di permukaan batu besar sekaligus menandai radius serangannya.“Beraninya kalian mengobrak-abrik Astagina! Hanya ada satu ganjaran ... Mati!” seru Jenar mengumbar amarah.Kilatan-kilatan terlihat bergerak begitu cepat tanpa bisa diikuti oleh mata. Denting penutup kepala logam dan tusuk konde emas mendahului robohnya pasukan berkuda itu satu demi satu. Tak ada yang paham bahwa perempuan yang menari di atas batu itu lah dalangnya.Pasukan berkuda musuh saling pandang. Menarik tali kekang kuda hingga kuda-kuda perkasa itu meringkik begitu kuat. Mereka mengedarkan pandangan ke sekitar selatan pesisir pantai Astagina. Selama itu pula mereka seolah tinggal menunggu kematian.Danapati
Arya mendarat dengan keras tepat di belakang para prajurit yang melingkar melindungi rajanya. Ia sibak bahu-bahu penuh ketegangan itu demi sampai di tempat ayahandanya diobati. Penjelasan dari pengawal raja tadi belum mampu membuatnya mengerti bagaimana kondisi Sanggageni sebenarnya.Namun seluruh tubuh Arya terasa tak bertulang manakala menyaksikan kondisi ayahandanya yang memprihatinkan. Ia luruh jatuh bersimpuh di tanah tepat di samping Ki Bayanaka, berhadapan dengan Jenar. Pemuda itu tak percaya hal mengerikan seperti ini terjadi pada ayahandanya.“Kau datang juga,” lirih Ki Bayanaka.“A-apa yang terjadi....”“Braja tak akan seperti ini andai saja kalian bisa bersikap bijak dan tak menuruti hawa nafsu!” tegas Ki Bayanaka sekali lagi.“Maksudmu....”“Kakanda Sanggageni terkena bola api itu, Arya! Dan sekarang pasukan berkuda mereka sedang menuju kemari!” ujar Jenar setengah menyeru. Ia tahu bahwa ini pula kesalahannya. Namun diamnya suaminya tentu bukan tindakan yang tepat dilakuka
Jenar menitikkan air mata. Kata-kata ayahandanya memang begitu menusuk hati. Namun melihat kondisi Sanggageni lah hal yang membuatnya begitu sakit. Ia terlalu lama memadu kasih dengan Arya hingga membuat ayahanda Arya dalam kondisi mengenaskan.“Bertahan lah, Braja! Dasar bedebah!” hardik Ki Bayanaka terus mengerahkan segala kemampuannya untuk menyelamatkan nyawa Sanggageni. Sejauh ini tak ada reaksi apa pun dari pria bergiwang itu.“Kakanda Danapati, bisa kah kau cari keberadaan Arya? Aku merasa dia memiliki hal di luar dari kemampuanku dan Ayahandaku untuk menyelamatkan Kakanda Sanggageni,” pinta Jenar sambil terus terisak.Danapati tak menjawab. Ia segera bangkit dan hendak meninggalkan mereka bertiga manakala empat orang pengawal raja datang. Mereka segera bersimpuh tak berani lebih tinggi dari rajanya.“Tak perlu, Danapati! Biar mereka saja yang mencari Arya. Kau tetap di sini lindungi kami dari apa pun yang menyerang!” titah Ki Bayanaka. Danapati tak berani bereaksi. Ia melihat