Sebuah benda serupa anak panah berukuran kecil nyaris mengenai tubuh Rara Anjani. Benda itu kini berada di genggaman Arya yang tampak marah. Dengan tatapan nyalang ia mengedar ke segala penjuru. Namun lagi-lagi ia tak dapat menemukan apa pun. “Arahnya dari sana, Arya!” Rara Anjani menunjuk ke sebelah timur reruntuhan bangunan rumah Arya. Arya menoleh, sedang Rara Anjani tampak memperhatikan benda di genggaman kekasihnya. “Tidak, pelakunya pasti sudah pergi dari sana!” ucap Arya begitu yakin. Kening pemuda itu kembali mengernyit mencoba merasakan kehadiran sesuatu yang tak bisa dilihat. “Mengapa tidak periksa saja?” Rara Anjani beringsut dari tempatnya. “Jangan gegabah, Rara!” Arya menahan Rara Anjani dengan menggenggam pergelangan tangannya. Pemuda itu menarik kekasihnya untuk berada di dekatnya lagi. “Aku tak mau melihat kau dalam bahaya lagi. Kau lah targetnya!” Rara Anjani terdiam, menurut saja dengan Arya. Meski kondisi tengah genting, perempuan itu mampu merasakan cinta
Seorang prajurit baru saja roboh karena mencoba mengendalikan Aswabrama. Kuda itu tak lagi menjadi kuda yang ramah. Ia berubah, seolah mengetahui ada hal buruk yang tengah terjadi pada tuannya."Aswabrama? Ini semua ulahmu?" tanya Rara Anjani. Perempuan itu bahkan tak percaya ia mulai berbicara pada seekor kuda.Aswabrama tak bergeming. Kuda hitam itu melangkah dan baru saja menginjak serta mematahkan kaki prajurit yang baru saja roboh tadi. Kini ia berjalan mendekati Rara Anjani. Rambut di kepalanya bergoyang seirama dengan langkah kaki. Begitu juga dengan ekornya. Dua bagian tubuh itu kini serupa nyala api yang berkobar-kobar."Apa yang terjadi dengan kuda ini? Apa mungkin ia tahu Arya dalam masalah?" gumam Rara Anjani. "Dua belas prajurit dilumpuhkan sesingkat ini!"Aswabrama mendengus kuat. Kini kuda itu hanya berjarak dua langkah dengan Rara Anjani. Matanya menyalang menatap perempuan itu dengan penuh kebencian. Entah bagaimana binatang itu seolah memiliki emosi dan perasaan."Apa
Rara Anjani melompat ke udara sekuat tenaga. Hanya ini yang dapat ia lakukan demi menghindari serangan Aswabrama. Kuda itu di atas angin. Bukannya berlalu, kuda hitam itu justru berhenti dan menyediakan punggungnya sebagai tempat mendarat Rara Anjani. Perempuan itu sekilas memamerkan senyumnya. Ia tak harus mendarat di tanah yang keras. Tubuh Rara Anjani setengah terhempas di punggung Aswabrama, beralaskan pelana dari kulit rusa. Ia sudah memikirkan untuk mengendalikan kuda milik Arya itu dan mengakhiri perlawanannya. Meski kedua tangannya gemetar, ia yakin masih memiliki sisa tenaga untuk sekadar menarik tali kekang kuda. Namun semua rencana Rara Anjani seketika buyar. Baru saja ia mendaratkan tubuhnya, kuda itu justru menyentakkan tubuh dengan mengangkat kaki belakangnya. Tak ada yang bisa perempuan itu raih dengan tangan gemetarnya demi menjaga agar tak terpelanting. Rara Anjani terlempar ke udara. Beruntung ia masih sedikit mampu menguasai gerakannya hingga tak terhempas begitu k
“Arya?” Pemuda itu tak menjawab. Ia sibuk menenangkan Aswabrama dengan terus mengusap leher kuda hitam itu. Sedang Aswabrama sudah melupakan amarahnya pada Rara Anjani. Perempuan yang dengan kesombongannya mencoba melawan kuda istimewa mendiang Prabu Wirajaya ini. “Kau....” “Heran melihatku sehat-sehat saja, Rara?” ucap Arya dingin. Nyalang mata Arya kini menghunus ke arah Rara Anjani yang masih saja bersandar pada dinding kereta kudanya. “Arya, bagaimana mungkin?” Rara Anjani masih saja menatap Arya yang kini sudah menggenggam tali kekang kudanya itu. Setahunya tak ada satu pun yang mampu segera bangkit setelah menerima racun penghilang kesadaran khas Astakencana, selain mendiang Patih Waradhana. “Mungkin kau lupa, aku ini mudah sekali sembuh. Racun prajuritmu itu hanya mampu membuatku tidur sebentar.” Arya menuntun kudanya mendekat. Hal yang membuat Rara Anjani semakin tersudutkan. “Arya ... Kau salah paham, aku tak bermaksud....” “Apa yang kau rencanakan, Rara!” Tapak kaki As
Entah mengapa perasaan Arya jadi tak menentu. Setelah mengetahui bahwa Rara Anjani, perempuan yang ia bela ternyata menyimpan rencana busuk untuknya, pemuda itu menjadi tak tenang. Ia terus tak bisa mengalihkan pikirannya pada Jenar. Mantan kekasihnya itu pasti kecewa. Niat meninggalkan tahta untuknya, justru dihadapkan pada kehadiran perempuan lain di sisi Arya. Arya memburu laju Aswabrama ke arah Astagina. Meski bersama dengan ayahandanya dan Ki Bayanaka, entah mengapa pemuda itu merasa ada hal yang tak beres tengah terjadi. Benar saja, ia semakin panik manakala dari kejauhan ia melihat sebuah kereta kuda tercampak di tengah jalan dengan belasan prajurit terkapar dengan tubuh ungu. “Apa yang terjadi?” Arya melompat dari punggung Asawabrama. Satu persatu tubuh-tubuh ungu prajurit Astagina itu ia periksa. Semuanya tak bernyawa lagi. Lalu kereta kuda yang kosong melompong. Kuda yang menarik kereta ini pun sudah tak ada lagi. “Berarti ini prajurit yang menjemput Jenar! Tapi dimana Je
“Siapa namamu, Anak Muda? Mengapa aku baru melihatmu di daerah ini?” tanya pria itu sembari terus memperhatikan Arya. Rasa penasarannya masih begitu lekat. Tatapannya terlihat yakin atas ucapannya bahwa desa Girijajar sudah kosong puluhan tahun silam. “Aku Arya, Ki. Dan aku baru saja dari Desa Girijajar mengunjungi makam Ibundaku,” ucap Arya rikuh. Ia sungguh tak nyaman berhadapan dengan pria tua bermata sayu yang sepertinya tampak tak begitu asing untuknya. “Aku Ki Nandi. Jika sudi mampir lah ke gubugku. Hari sudah hampir gelap. Kau dan kuda besarmu bisa beistirahat di rumah,” tawar Ki Nandi meski pun gadis kecil yang menggelayuti lengannya tampak keberatan. “Ah, tidak, Ki. Aku dan kudaku sudah terbiasa berjalan di malam hari. Aku takut merepotkanmu dan adik cantik ini. Apakah dia cucumu, Ki?” Arya mencoba menatap wajah gadis kecil berpakaian lusuh itu. Namun lagi-lagi ia bersembunyi di balik tubuh Ki Nandi. “Tidak, Arya. Aku justru senang karena ada teman berbincang malam ini. Oh
Rumah Ki Nandi berada di tepi sungai. Halamannya luas dan ditanami berbagai jenis sayuran. Di sisi kiri rumah itu terdapat sebuah bangunan sederhana tempat meletakkan kayu bakar. Juga ada perapian cukup besar di sana. Arya duduk di sebuah balai-balai dari bambu di depan rumah setelah menurunkan kayu bakar di punggung Aswabrama. “Aku melihat perapian di sana. Apa kau menempa besi?” tanya Arya saat pria tua itu keluar dari rumahnya membawa minuman dalam gelas bambu yang cukup besar. “Ah, itu kegiatanku saat muda. Sekarang aku sudah tak kuat lagi menempa besi,” jawab Ki Nandi dengan seutas senyum di bibirnya. “Kau hanya tinggal berdua dengan Jenar, Ki?” tanya Arya lagi. Entah mengapa ia merasa nyaman berbincang dengan Ki Nandi meski baru saja bertemu dan saling mengenal. “Ya, orang tuanya sudah meninggal sejak ia masih bayi. Aku lah satu-satunya kerabat Jenar. Kami sudah begitu bergantung satu sama lain,” ucap Ki Nandi menatap kosong ujung-ujung atap daun rumbia berandanya. Arya terp
“Ya, dia adalah dirimu di masa depan, Arya!” seru Ki Bayanaka setelah netranya memastikan pria tua di hadapannya adalah jelmaan Arya. “Ini Ki Nandi, Ki!” kilah Arya. Sementara Ki Nandi hanya tersenyum melihat Arya yang tak percaya dengan ucapan Ki Bayanaka. “Nandi adalah Nandika. Apa kau begitu sulit mengenali dirimu sendiri, Arya?” seru Ki Bayanaka lagi. Memang sulit bagi Arya yang baru pertama kali datang ke dunia ruh. Apa lagi dengan membawa raganya. Siapa pun pasti tak akan menyangka bertemu dengan dirinya sendiri dalam bentuk rentanya. “Benar, Anak Muda! Aku adalah dirimu dengan masa lalu yang sedang kau jalani. Kau pasti tak sengaja masuk ke dunia ruh. Tapi aku juga curiga ada yang membuka pintunya dan tak sempat menutup. Karena kau masuk bersama dengan ragamu,” terang Ki Nandi. Baru saja Arya hendak mengajukan banyak pertanyaan, Ki Nandi seketika memancarkan sinar menyilaukan dan muncul kembali dalam bentuk yang amat berbeda. Ia menjadi pemuda tampan dengan ikat kepala batik