Seorang prajurit baru saja roboh karena mencoba mengendalikan Aswabrama. Kuda itu tak lagi menjadi kuda yang ramah. Ia berubah, seolah mengetahui ada hal buruk yang tengah terjadi pada tuannya."Aswabrama? Ini semua ulahmu?" tanya Rara Anjani. Perempuan itu bahkan tak percaya ia mulai berbicara pada seekor kuda.Aswabrama tak bergeming. Kuda hitam itu melangkah dan baru saja menginjak serta mematahkan kaki prajurit yang baru saja roboh tadi. Kini ia berjalan mendekati Rara Anjani. Rambut di kepalanya bergoyang seirama dengan langkah kaki. Begitu juga dengan ekornya. Dua bagian tubuh itu kini serupa nyala api yang berkobar-kobar."Apa yang terjadi dengan kuda ini? Apa mungkin ia tahu Arya dalam masalah?" gumam Rara Anjani. "Dua belas prajurit dilumpuhkan sesingkat ini!"Aswabrama mendengus kuat. Kini kuda itu hanya berjarak dua langkah dengan Rara Anjani. Matanya menyalang menatap perempuan itu dengan penuh kebencian. Entah bagaimana binatang itu seolah memiliki emosi dan perasaan."Apa
Rara Anjani melompat ke udara sekuat tenaga. Hanya ini yang dapat ia lakukan demi menghindari serangan Aswabrama. Kuda itu di atas angin. Bukannya berlalu, kuda hitam itu justru berhenti dan menyediakan punggungnya sebagai tempat mendarat Rara Anjani. Perempuan itu sekilas memamerkan senyumnya. Ia tak harus mendarat di tanah yang keras. Tubuh Rara Anjani setengah terhempas di punggung Aswabrama, beralaskan pelana dari kulit rusa. Ia sudah memikirkan untuk mengendalikan kuda milik Arya itu dan mengakhiri perlawanannya. Meski kedua tangannya gemetar, ia yakin masih memiliki sisa tenaga untuk sekadar menarik tali kekang kuda. Namun semua rencana Rara Anjani seketika buyar. Baru saja ia mendaratkan tubuhnya, kuda itu justru menyentakkan tubuh dengan mengangkat kaki belakangnya. Tak ada yang bisa perempuan itu raih dengan tangan gemetarnya demi menjaga agar tak terpelanting. Rara Anjani terlempar ke udara. Beruntung ia masih sedikit mampu menguasai gerakannya hingga tak terhempas begitu k
“Arya?” Pemuda itu tak menjawab. Ia sibuk menenangkan Aswabrama dengan terus mengusap leher kuda hitam itu. Sedang Aswabrama sudah melupakan amarahnya pada Rara Anjani. Perempuan yang dengan kesombongannya mencoba melawan kuda istimewa mendiang Prabu Wirajaya ini. “Kau....” “Heran melihatku sehat-sehat saja, Rara?” ucap Arya dingin. Nyalang mata Arya kini menghunus ke arah Rara Anjani yang masih saja bersandar pada dinding kereta kudanya. “Arya, bagaimana mungkin?” Rara Anjani masih saja menatap Arya yang kini sudah menggenggam tali kekang kudanya itu. Setahunya tak ada satu pun yang mampu segera bangkit setelah menerima racun penghilang kesadaran khas Astakencana, selain mendiang Patih Waradhana. “Mungkin kau lupa, aku ini mudah sekali sembuh. Racun prajuritmu itu hanya mampu membuatku tidur sebentar.” Arya menuntun kudanya mendekat. Hal yang membuat Rara Anjani semakin tersudutkan. “Arya ... Kau salah paham, aku tak bermaksud....” “Apa yang kau rencanakan, Rara!” Tapak kaki As
Entah mengapa perasaan Arya jadi tak menentu. Setelah mengetahui bahwa Rara Anjani, perempuan yang ia bela ternyata menyimpan rencana busuk untuknya, pemuda itu menjadi tak tenang. Ia terus tak bisa mengalihkan pikirannya pada Jenar. Mantan kekasihnya itu pasti kecewa. Niat meninggalkan tahta untuknya, justru dihadapkan pada kehadiran perempuan lain di sisi Arya. Arya memburu laju Aswabrama ke arah Astagina. Meski bersama dengan ayahandanya dan Ki Bayanaka, entah mengapa pemuda itu merasa ada hal yang tak beres tengah terjadi. Benar saja, ia semakin panik manakala dari kejauhan ia melihat sebuah kereta kuda tercampak di tengah jalan dengan belasan prajurit terkapar dengan tubuh ungu. “Apa yang terjadi?” Arya melompat dari punggung Asawabrama. Satu persatu tubuh-tubuh ungu prajurit Astagina itu ia periksa. Semuanya tak bernyawa lagi. Lalu kereta kuda yang kosong melompong. Kuda yang menarik kereta ini pun sudah tak ada lagi. “Berarti ini prajurit yang menjemput Jenar! Tapi dimana Je
“Siapa namamu, Anak Muda? Mengapa aku baru melihatmu di daerah ini?” tanya pria itu sembari terus memperhatikan Arya. Rasa penasarannya masih begitu lekat. Tatapannya terlihat yakin atas ucapannya bahwa desa Girijajar sudah kosong puluhan tahun silam. “Aku Arya, Ki. Dan aku baru saja dari Desa Girijajar mengunjungi makam Ibundaku,” ucap Arya rikuh. Ia sungguh tak nyaman berhadapan dengan pria tua bermata sayu yang sepertinya tampak tak begitu asing untuknya. “Aku Ki Nandi. Jika sudi mampir lah ke gubugku. Hari sudah hampir gelap. Kau dan kuda besarmu bisa beistirahat di rumah,” tawar Ki Nandi meski pun gadis kecil yang menggelayuti lengannya tampak keberatan. “Ah, tidak, Ki. Aku dan kudaku sudah terbiasa berjalan di malam hari. Aku takut merepotkanmu dan adik cantik ini. Apakah dia cucumu, Ki?” Arya mencoba menatap wajah gadis kecil berpakaian lusuh itu. Namun lagi-lagi ia bersembunyi di balik tubuh Ki Nandi. “Tidak, Arya. Aku justru senang karena ada teman berbincang malam ini. Oh
Rumah Ki Nandi berada di tepi sungai. Halamannya luas dan ditanami berbagai jenis sayuran. Di sisi kiri rumah itu terdapat sebuah bangunan sederhana tempat meletakkan kayu bakar. Juga ada perapian cukup besar di sana. Arya duduk di sebuah balai-balai dari bambu di depan rumah setelah menurunkan kayu bakar di punggung Aswabrama. “Aku melihat perapian di sana. Apa kau menempa besi?” tanya Arya saat pria tua itu keluar dari rumahnya membawa minuman dalam gelas bambu yang cukup besar. “Ah, itu kegiatanku saat muda. Sekarang aku sudah tak kuat lagi menempa besi,” jawab Ki Nandi dengan seutas senyum di bibirnya. “Kau hanya tinggal berdua dengan Jenar, Ki?” tanya Arya lagi. Entah mengapa ia merasa nyaman berbincang dengan Ki Nandi meski baru saja bertemu dan saling mengenal. “Ya, orang tuanya sudah meninggal sejak ia masih bayi. Aku lah satu-satunya kerabat Jenar. Kami sudah begitu bergantung satu sama lain,” ucap Ki Nandi menatap kosong ujung-ujung atap daun rumbia berandanya. Arya terp
“Ya, dia adalah dirimu di masa depan, Arya!” seru Ki Bayanaka setelah netranya memastikan pria tua di hadapannya adalah jelmaan Arya. “Ini Ki Nandi, Ki!” kilah Arya. Sementara Ki Nandi hanya tersenyum melihat Arya yang tak percaya dengan ucapan Ki Bayanaka. “Nandi adalah Nandika. Apa kau begitu sulit mengenali dirimu sendiri, Arya?” seru Ki Bayanaka lagi. Memang sulit bagi Arya yang baru pertama kali datang ke dunia ruh. Apa lagi dengan membawa raganya. Siapa pun pasti tak akan menyangka bertemu dengan dirinya sendiri dalam bentuk rentanya. “Benar, Anak Muda! Aku adalah dirimu dengan masa lalu yang sedang kau jalani. Kau pasti tak sengaja masuk ke dunia ruh. Tapi aku juga curiga ada yang membuka pintunya dan tak sempat menutup. Karena kau masuk bersama dengan ragamu,” terang Ki Nandi. Baru saja Arya hendak mengajukan banyak pertanyaan, Ki Nandi seketika memancarkan sinar menyilaukan dan muncul kembali dalam bentuk yang amat berbeda. Ia menjadi pemuda tampan dengan ikat kepala batik
Ki Bayanaka menghela seketika menghela napas. Sudah lama ia tak dapat merasakan tubuh kasarnya ini. Kedua netra pria tua itu mulai mengedar ke tempatnya berada. Di bawah sebuah pohon besar awal mula ia menggunaka Meraga Sukma. Raganya tak berpindah, sedang ia sudah berkelana ke sana ke mari di dunia ruh. “Kakanda! Syukurlah!” ucap Sanggageni yang duduk tak jauh dari Ki Bayanaka. Pria bergiwang itu menghampiri Ki Bayanaka dan memeriksa kondisi kakak seperguruannya itu. “Dimana Jenar? Apa dia baik-baik saja?” tanya Ki Bayanaka. Matanya terus mengedar mencari keberadaan putrinya. “Ayahanda! Akhirnya kau kembali!” seru Jenar segera muncul dari balik pohon setelah mendengar percakapan dua pria itu. “Jenar, syukurlah kau baik-baik saja. Dimana Arya?” tanya Ki Bayanaka lagi. Tentu saja pertanyaan itu disambut kening mengkerut Sanggageni dan Jenar. Sebab mereka berdua memang tak bertemu lagi dengan Arya setelah perpisahan mereka di desa Girijajar. “Arya? Bukan kah ia mengantar Rara Anjani
“Bukan kah prajurit udaramu tadi sudah memeriksa semua kapal ini, Braja?” tanya Ki Bayanaka. “Ya, sepertinya kapal satu ini luput dari pemeriksaan. Atau....” Seorang pria bertubuh kurus dan berkulit cerah tertawa di atas kapal yang separuhnya sudah terbakar. Ia merasa jumawa melihat dua pria tua, seorang perempuan dan seorang pemuda yang sudah tidak berdaya. Dengan senjata berkekuatan besar, ia merasa di atas angin. “Siapa sebenarnya mereka?” tanya Jenar sembari mengernyitkan kening. Belum juga terjawab, bentuk kapal, senjata dan panji asing itu. “Entah lah, Jenar. Tapi orang ini pasti lemah. Merasa kuat karena memiliki senjata yang mampu melontarkan bola-bola api itu,” ucap Ki Bayanaka begitu yakin. “Bagaimana Ayahanda bisa begitu yakin?” tanya Jenar. “Coba lah kau perhatikan gelagatnya. Orang dengan kemampuan tinggi tak mungkin bertingkah seperti itu. Bukan begitu, Braja?” ucap Ki Bayanaka melemparkan kalimat kepada Sanggageni. “Hmm, jadi siapa yang akan memberinya pelajaran?”
Tak ada yang bisa dilakukan Jenar setelah sampai di pantai selatan kerajaannya. Pagar api setinggi pagar Astagina itu menghalangi apa pun dan siapa pun. Tak mungkin melaluinya dengan selamat. Perempuan itu tampak mulai meneteskan air mata. Bagaimana mungkin suaminya berbuat sedemikian rupa. Hatinya berkecamuk, sungguh ia tak ingin kehilangan Arya secepat ini.“Arya, dasar bodoh! Apa yang kau lakukan?” umpat Jenar dengan kedua tangan mengepal. Ia merasa begitu hina sebagai raja tak mengetahui patih sekaligus suaminya di dalam sana berjuang seorang diri.Raja Astagina itu mulai terisak. Rasa panas mendera wajahnya dari jarak lima tombak ini. Keningnya mengernyit keras. Ia merasa harus berbuat sesuatu. Berdiam diri tak akan berdampak apa pun. Berada di istananya jauh lebih baik.“Pasukan udara milik Kakanda Sanggageni, dimana mereka?” tiba-tiba Jenar teringat akan sepuluh orang prajurit yang direkrut oleh Sanggageni demi mewujudkan idenya memiliki serangan udara.“Gunakan ini!” Danapati
Arya melepaskan sekali lagi Sasra Sayaka-Cundhamani dengan sisa amarahnya. Anak panah logam hitam berlumur darahnya sendiri melesat ke arah ribuan prajurit yang mulai terkikis keberaniannya. Serupa dengan tenaga dan kesadaran Arya. Pemuda itu menjatuhkan busur Agnitama pada mulanya. Disusul dengan tubuh lemah dan compang-campingnya.Arya mendengus berusaha melihat apa yang terjadi dengan serangannya itu. Tubuh-tubuh musuh yang tercerai berai. Terburai anggota tubuhnya. Terbakar api Cundhamani hingga meronta-ronta, berguling di tanah dan masuk ke dalam air laut. Semua berusaha menyelamatkan dirinya sendiri.“Sisanya aku serahkan padamu, Raden Danapati!” gumam Arya sembari mengubah posisi kepalanya. Menoleh kepada Aswabrama dan memastikan kembali bahwa Danapati benar-benar pergi.Binatang dan tuan itu saling pandang. Tak ada kata dari mereka yang dimengerti. Namun tatapan bola mata itu sudah menjelaskan semuanya. Berjuang bersama-sama. Melewati bahaya, nyaris kehilangan nyawa, dan kini
“Tapi bagaimana caranya, Braja? Kau lihat sendiri api Cundhamani menghalangi kita?” pungkas Ki Bayanaka. Pria tua itu memang peragu yang luar biasa. Itu sebab dahulu ia menjadi pelatih prajurit alih-alih bergabung bersama Baka Nirdaya memerangi kedzaliman.“Pantai selatan memang sudah menjadi lautan api. Tapi tidak dengan langitnya!” timpal Sanggageni. “Pengawal! Kau pengawal raja, bukan?” tanyanya.Seorang pengawal raja yang sejak tadi bertugas melindungi dua penasihat itu maju selangkah dengan penuh penghormatan. Ia berkata lantang, “Benar, Tuan! Mohon katakan titah Tuan!”“Cari pasukan udaraku! Bawa secepatnya mereka ke sini!” titah Sanggageni lantang. Pria itu berdiri tegak menatap lautan api dengan memegangi lengan kanannya. Tak ada artinya hidup dengan sebelah tangan namun tak mampu menyelamatkan putranya sendiri.“Sendika, Tuan!”Ki Bayanaka bangkit berdiri di sisi Sanggageni. Tak ada yang menyangka Astagina akan berada di ujung tanduk seperti ini. Pria itu menyentuh pundak adi
Pantai selatan Astagina kini tak ubahnya seperti gerbang api. Tak ada tempat untuk melarikan diri. Bagi bala tentara asing itu, juga bagi Arya. Suara desis api Cundhamani bertemu air laut mengepulkan asap putih buah dari air yang menguap. Arya melepaskan Sasra Sayaka-Cundhamani sekali lagi. Kali ini ke arah deretan kapal-kapal perang yang sebagian telah terbakar.“Kau yakin hal ini, Gusti?” tanya Danapati manakala sudah mengenakan jubah pemberian Arya.“Apa kau meragukanku, Raden?” tanya Arya kembali. Pemuda itu menoleh dan tersenyum. Memperlihatkan deretan giginya yang memerah karena darah. Tak ada yang tahu bahwa Patih Astagina itu sudah melampaui batas ketahanan tubuhnya sendiri.“Gusti, kau....”Tak sempat Danapati berkata lebih banyak, Arya terlanjut menyentak tali kekang Aswabrama. Ia songsong ratusan pasukan berkuda musuh sendirian. Atau hanya berdua saja dengan kudanya. Arya menghunuskan anak panah logamnya. Kali ini dengan posisi tubuh setengah berdiri. Danapati terhenyak, ya
“Arya? Bagaimana dengan Ayahandamu?” tanya Jenar tak menyangka suaminya akan hadir dan menyela percakapannya dengan Danapati dan pengawal.Arya tak menjawab, menggerakkan sedikit kepalanya memberi isyarat pada Jenar agar melihat sendiri kondisi ayahandanya. Pemuda itu sudah siap dengan busur Agnitama dan puluhan anak panah logam di tempatnya menggantung di punggung.Dari jarak puluhan depa itu Jenar masih mampu melihat Sanggageni dan ayahandanya tengah duduk bersila. Ki Bayanaka masih mengobati kakak ipar sekaligus mertuanya itu dengan tenaga dalam. Sedang Sanggageni sudah mampu duduk sendiri. Ia jauh lebih baik meski lengan kanannya tak akan kembali lagi.“Pergi lah ... Istriku! Tunggu aku kembali membawa kemenangan!” lirih Arya di telinga Jenar sembari melewati tubuh perempuan cantik itu.Jenar terpekur, setelah pertengkaran mereka berdua karena Rara Anjani di desa Girijajar tempo hari, baru kali ini ia melihat tekad di mata Arya. Tekad yang sama saat Arya pamit untuk pergi ke medan
Panji-panji dengan aksara asing itu berkibar-kibar tinggi. Pasukan berkuda dengan penutup kepala logam dengan beringas membunuh apa pun yang menghadang. Darah Jenar mendidih menyaksikan para prajurit yang baru saja direkut menjadi korban tanpa sempat mempertahankan nyawa. Perempuan itu menghentakkan tungkainya di permukaan batu besar sekaligus menandai radius serangannya.“Beraninya kalian mengobrak-abrik Astagina! Hanya ada satu ganjaran ... Mati!” seru Jenar mengumbar amarah.Kilatan-kilatan terlihat bergerak begitu cepat tanpa bisa diikuti oleh mata. Denting penutup kepala logam dan tusuk konde emas mendahului robohnya pasukan berkuda itu satu demi satu. Tak ada yang paham bahwa perempuan yang menari di atas batu itu lah dalangnya.Pasukan berkuda musuh saling pandang. Menarik tali kekang kuda hingga kuda-kuda perkasa itu meringkik begitu kuat. Mereka mengedarkan pandangan ke sekitar selatan pesisir pantai Astagina. Selama itu pula mereka seolah tinggal menunggu kematian.Danapati
Arya mendarat dengan keras tepat di belakang para prajurit yang melingkar melindungi rajanya. Ia sibak bahu-bahu penuh ketegangan itu demi sampai di tempat ayahandanya diobati. Penjelasan dari pengawal raja tadi belum mampu membuatnya mengerti bagaimana kondisi Sanggageni sebenarnya.Namun seluruh tubuh Arya terasa tak bertulang manakala menyaksikan kondisi ayahandanya yang memprihatinkan. Ia luruh jatuh bersimpuh di tanah tepat di samping Ki Bayanaka, berhadapan dengan Jenar. Pemuda itu tak percaya hal mengerikan seperti ini terjadi pada ayahandanya.“Kau datang juga,” lirih Ki Bayanaka.“A-apa yang terjadi....”“Braja tak akan seperti ini andai saja kalian bisa bersikap bijak dan tak menuruti hawa nafsu!” tegas Ki Bayanaka sekali lagi.“Maksudmu....”“Kakanda Sanggageni terkena bola api itu, Arya! Dan sekarang pasukan berkuda mereka sedang menuju kemari!” ujar Jenar setengah menyeru. Ia tahu bahwa ini pula kesalahannya. Namun diamnya suaminya tentu bukan tindakan yang tepat dilakuka
Jenar menitikkan air mata. Kata-kata ayahandanya memang begitu menusuk hati. Namun melihat kondisi Sanggageni lah hal yang membuatnya begitu sakit. Ia terlalu lama memadu kasih dengan Arya hingga membuat ayahanda Arya dalam kondisi mengenaskan.“Bertahan lah, Braja! Dasar bedebah!” hardik Ki Bayanaka terus mengerahkan segala kemampuannya untuk menyelamatkan nyawa Sanggageni. Sejauh ini tak ada reaksi apa pun dari pria bergiwang itu.“Kakanda Danapati, bisa kah kau cari keberadaan Arya? Aku merasa dia memiliki hal di luar dari kemampuanku dan Ayahandaku untuk menyelamatkan Kakanda Sanggageni,” pinta Jenar sambil terus terisak.Danapati tak menjawab. Ia segera bangkit dan hendak meninggalkan mereka bertiga manakala empat orang pengawal raja datang. Mereka segera bersimpuh tak berani lebih tinggi dari rajanya.“Tak perlu, Danapati! Biar mereka saja yang mencari Arya. Kau tetap di sini lindungi kami dari apa pun yang menyerang!” titah Ki Bayanaka. Danapati tak berani bereaksi. Ia melihat