“Arya?” Pemuda itu tak menjawab. Ia sibuk menenangkan Aswabrama dengan terus mengusap leher kuda hitam itu. Sedang Aswabrama sudah melupakan amarahnya pada Rara Anjani. Perempuan yang dengan kesombongannya mencoba melawan kuda istimewa mendiang Prabu Wirajaya ini. “Kau....” “Heran melihatku sehat-sehat saja, Rara?” ucap Arya dingin. Nyalang mata Arya kini menghunus ke arah Rara Anjani yang masih saja bersandar pada dinding kereta kudanya. “Arya, bagaimana mungkin?” Rara Anjani masih saja menatap Arya yang kini sudah menggenggam tali kekang kudanya itu. Setahunya tak ada satu pun yang mampu segera bangkit setelah menerima racun penghilang kesadaran khas Astakencana, selain mendiang Patih Waradhana. “Mungkin kau lupa, aku ini mudah sekali sembuh. Racun prajuritmu itu hanya mampu membuatku tidur sebentar.” Arya menuntun kudanya mendekat. Hal yang membuat Rara Anjani semakin tersudutkan. “Arya ... Kau salah paham, aku tak bermaksud....” “Apa yang kau rencanakan, Rara!” Tapak kaki As
Entah mengapa perasaan Arya jadi tak menentu. Setelah mengetahui bahwa Rara Anjani, perempuan yang ia bela ternyata menyimpan rencana busuk untuknya, pemuda itu menjadi tak tenang. Ia terus tak bisa mengalihkan pikirannya pada Jenar. Mantan kekasihnya itu pasti kecewa. Niat meninggalkan tahta untuknya, justru dihadapkan pada kehadiran perempuan lain di sisi Arya. Arya memburu laju Aswabrama ke arah Astagina. Meski bersama dengan ayahandanya dan Ki Bayanaka, entah mengapa pemuda itu merasa ada hal yang tak beres tengah terjadi. Benar saja, ia semakin panik manakala dari kejauhan ia melihat sebuah kereta kuda tercampak di tengah jalan dengan belasan prajurit terkapar dengan tubuh ungu. “Apa yang terjadi?” Arya melompat dari punggung Asawabrama. Satu persatu tubuh-tubuh ungu prajurit Astagina itu ia periksa. Semuanya tak bernyawa lagi. Lalu kereta kuda yang kosong melompong. Kuda yang menarik kereta ini pun sudah tak ada lagi. “Berarti ini prajurit yang menjemput Jenar! Tapi dimana Je
“Siapa namamu, Anak Muda? Mengapa aku baru melihatmu di daerah ini?” tanya pria itu sembari terus memperhatikan Arya. Rasa penasarannya masih begitu lekat. Tatapannya terlihat yakin atas ucapannya bahwa desa Girijajar sudah kosong puluhan tahun silam. “Aku Arya, Ki. Dan aku baru saja dari Desa Girijajar mengunjungi makam Ibundaku,” ucap Arya rikuh. Ia sungguh tak nyaman berhadapan dengan pria tua bermata sayu yang sepertinya tampak tak begitu asing untuknya. “Aku Ki Nandi. Jika sudi mampir lah ke gubugku. Hari sudah hampir gelap. Kau dan kuda besarmu bisa beistirahat di rumah,” tawar Ki Nandi meski pun gadis kecil yang menggelayuti lengannya tampak keberatan. “Ah, tidak, Ki. Aku dan kudaku sudah terbiasa berjalan di malam hari. Aku takut merepotkanmu dan adik cantik ini. Apakah dia cucumu, Ki?” Arya mencoba menatap wajah gadis kecil berpakaian lusuh itu. Namun lagi-lagi ia bersembunyi di balik tubuh Ki Nandi. “Tidak, Arya. Aku justru senang karena ada teman berbincang malam ini. Oh
Rumah Ki Nandi berada di tepi sungai. Halamannya luas dan ditanami berbagai jenis sayuran. Di sisi kiri rumah itu terdapat sebuah bangunan sederhana tempat meletakkan kayu bakar. Juga ada perapian cukup besar di sana. Arya duduk di sebuah balai-balai dari bambu di depan rumah setelah menurunkan kayu bakar di punggung Aswabrama. “Aku melihat perapian di sana. Apa kau menempa besi?” tanya Arya saat pria tua itu keluar dari rumahnya membawa minuman dalam gelas bambu yang cukup besar. “Ah, itu kegiatanku saat muda. Sekarang aku sudah tak kuat lagi menempa besi,” jawab Ki Nandi dengan seutas senyum di bibirnya. “Kau hanya tinggal berdua dengan Jenar, Ki?” tanya Arya lagi. Entah mengapa ia merasa nyaman berbincang dengan Ki Nandi meski baru saja bertemu dan saling mengenal. “Ya, orang tuanya sudah meninggal sejak ia masih bayi. Aku lah satu-satunya kerabat Jenar. Kami sudah begitu bergantung satu sama lain,” ucap Ki Nandi menatap kosong ujung-ujung atap daun rumbia berandanya. Arya terp
“Ya, dia adalah dirimu di masa depan, Arya!” seru Ki Bayanaka setelah netranya memastikan pria tua di hadapannya adalah jelmaan Arya. “Ini Ki Nandi, Ki!” kilah Arya. Sementara Ki Nandi hanya tersenyum melihat Arya yang tak percaya dengan ucapan Ki Bayanaka. “Nandi adalah Nandika. Apa kau begitu sulit mengenali dirimu sendiri, Arya?” seru Ki Bayanaka lagi. Memang sulit bagi Arya yang baru pertama kali datang ke dunia ruh. Apa lagi dengan membawa raganya. Siapa pun pasti tak akan menyangka bertemu dengan dirinya sendiri dalam bentuk rentanya. “Benar, Anak Muda! Aku adalah dirimu dengan masa lalu yang sedang kau jalani. Kau pasti tak sengaja masuk ke dunia ruh. Tapi aku juga curiga ada yang membuka pintunya dan tak sempat menutup. Karena kau masuk bersama dengan ragamu,” terang Ki Nandi. Baru saja Arya hendak mengajukan banyak pertanyaan, Ki Nandi seketika memancarkan sinar menyilaukan dan muncul kembali dalam bentuk yang amat berbeda. Ia menjadi pemuda tampan dengan ikat kepala batik
Ki Bayanaka menghela seketika menghela napas. Sudah lama ia tak dapat merasakan tubuh kasarnya ini. Kedua netra pria tua itu mulai mengedar ke tempatnya berada. Di bawah sebuah pohon besar awal mula ia menggunaka Meraga Sukma. Raganya tak berpindah, sedang ia sudah berkelana ke sana ke mari di dunia ruh. “Kakanda! Syukurlah!” ucap Sanggageni yang duduk tak jauh dari Ki Bayanaka. Pria bergiwang itu menghampiri Ki Bayanaka dan memeriksa kondisi kakak seperguruannya itu. “Dimana Jenar? Apa dia baik-baik saja?” tanya Ki Bayanaka. Matanya terus mengedar mencari keberadaan putrinya. “Ayahanda! Akhirnya kau kembali!” seru Jenar segera muncul dari balik pohon setelah mendengar percakapan dua pria itu. “Jenar, syukurlah kau baik-baik saja. Dimana Arya?” tanya Ki Bayanaka lagi. Tentu saja pertanyaan itu disambut kening mengkerut Sanggageni dan Jenar. Sebab mereka berdua memang tak bertemu lagi dengan Arya setelah perpisahan mereka di desa Girijajar. “Arya? Bukan kah ia mengantar Rara Anjani
“Wangsa!” Sanggageni menyerbu ke arah pria dengan caping menggantung di punggungnya itu. Ia tak ingin ada pertarungan lagi di sini. Apa lagi belum lama mereka saling unjuk kekuatan. Dan pria itu baru bertemu lagi dengan putranya. Banyak hal yang ingin ia tanyakan mengapa Arya kembali. “Minggir, Kakanda! Dia telah membunuh sahabatku, Sambara!” tampik Wangsa. Ia menyingkirkan tangan Sanggageni yang mencoba menghalanginya. Sudah lama Wangsa menyimpan dendam pada pembunuh Sambara yang punya panah api itu. “Sambara kau bilang? Maksudmu orang besar yang kebal senjata itu? Jadi kau sahabatnya? Berarti kau pun sama dengannya!” pekik Arya sembari menggenggam busur Agnitama. “Arya! Sudah lah, Ayah tak ingin ada pertarungan lagi di sini!” ucap Sanggageni tegas. Melihat putranya mulai meraba panah logam di punggung, Sanggageni percaya Arya tak main-main melawan Wangsa. “Lalu aku harus diam saja saat diserang olehnya, Ayahanda?” “Kakanda, dia ini putramu?” tanya Wangsa. Pria itu mempersiapkan
“Kau ingin melihat Cundhamani, bukan? Sayang, aku sedang tak bersemangat hari ini,” seru Arya. Sekilas Arya melihat ayahandanya yang sudah beringsut dari sebelah pria bercaping itu. Tapi untuk mengeluarkan Cundhamani rasanya terlalu berlebihan. Ia juga tak tahu apa akibatnya bila dibenturkan pada tabir tak kasat mata itu. “Kau takut mengenai orang-orang ini, bukan? Lihat lah mereka sudah menjauh dariku!” kilah Wangsa. Sanggageni menoleh pada pria itu. Pasti ada hal yang disembunyikan olehnya sampai menantang Arya dan Cundahamani-nya. “Tidak, aku tak ingin saudarimu itu kelelahan karena harus menguburkan satu lagi saudaranya!” ledek Arya. Pemuda itu berjongkok dan memungut pisau-pisau kecil dan sebuah belati milik Wangsa yang sudah kehilangan tangkainya. Sebuah pisau kecil Arya lemparkan pelan ke arah tabir itu berada, tentu dengan gerakan minim dan tersembunyi. Ia sepemikiran dengan Sanggageni, pria itu pasti memiliki sesuatu hingga berani menantang Cundhamani. Hal yang bahkan tak