“Huh! Ksatria ingusan yang masih terus dibantu orang tua!” ketus Wangsa. Pria itu meringis merasakan panas dari bilah pedang yang terhunus padanya. Ia masih terus memancing emosi Arya meski nyawanya kini berada di ujung tanduk. “Terserah kau saja!” Arya berdecik. “Aku memberimu pilihan. Menyusul sahabatmu, Sambara atau lari dan kau akan melihat Cundahamani?” “Ck! Ayo lah kau bisa menebas leherku sekarang dengan mudah.” Wangsa membuang wajahnya. Ia benar-benar tak tahan dengan rasa panas yang memendar dari bilah pedang itu. “Tapi kau harus melenyapkan tabir-tabir merepotkan itu!” pinta Arya disambut tawa Wangsa yang begitu keras. “Kau cukup pandai untuk menyadarinya, tapi cukup bodoh untuk kembali terperangkap dalam tabir yang kau bilang merepotkan itu.” Wangsa kembali melanjutkan tawanya. Arya segera mengedarkan pandangan mengamati kondisi di sekitarnya. “Bedebah!” Suara tawa Wangsa begitu keras hingga umpatan Arya tak terdengar olehnya. Arya mengira ia sudah berhasil memojokkan
“Arimbi, jangan!” pekik Arya. “Wangsa dimana orang itu?” “Kau tak akan menemukannya di dimensi ini, Arya. Arimbi, lakukan! Aku sudah tak kuat lagi!” jerit Wangsa. Kedua tangan yang mengerahkan energi untuk Wening Jamanika mulai bergetar. Pria itu tersentak atas tandasnya energi dan atas tusukan jarum-jarum beracun milik Arimbi di sekujur tubuhnya. “Wangsa!” “Jangan kau sentuh tubuhnya sebelum menjadi ungu!” cegah Arimbi. Perempuan itu melompat turun dari atas pohon dan mendarat tepat di sisi adiknya. Tak ada yang tahu bahwa tabir-tabir milik Wangsa memiliki celah besar di bagian atas. Karena keterbatasan energi, Wening Jamanika itu hanya setinggi satu setengah tombak saja. Arya mengurungkan niatnya untuk menopang tubuh Wangsa yang kini sudah terhempas ke tanah, di atas rerumputan hijau yang tak begitu tinggi. Pemuda itu terenyuh menyaksikan Wangsa tersenyum di ujung kematiannya. “Terima kasih, Arimbi. Jaga dirimu baik-baik.” Ucapan terakhir Wangsa. Sekujur tubuhnya sudah berubah
“Ayahanda! Semua ini karena kau!” Rara Anjani geram. Bagaimana bisa tendangan dari seekor kuda membuat tangannya tak bisa digunakan lagi. “Tenang lah, Rara. Ayah akan carikan tabib terbaik di pelosok negeri agar tanganmu itu bisa disembuhkan. Ayah berjanji!” ujar Adipati Kertajaya merasa begitu berdosa pada putrinya itu. Rara Anjani menangis. Dalam satu hari saja ia kehilangan banyak sekali kesempatan. Kini mungkin kehilangan Arya tak terasa begitu menyakitkan. Bagaimana pun pemuda itu sudah membantunya keluar dari pelukan Prabu Ranajaya. Namun dengan sebelah tangan yang tak berfungsi, sungguh membuatnya putus asa. “Bagaimana mungkin aku bisa tenang, Ayahanda. Aku sudah berkorban begitu banyak untuk Astakencana. Harga diri dan kehormatanku sudah tidak ada. Sekarang aku pun kehilangan tangan kiriku!” sesal Rara Anjani. Adipati Kertajaya terpekur di hadapan putrinya. Orang tua mana yang rela menyerahkan anak gadisnya untuk ditukar dengan kedudukan Adipati, demi keselamatan daerah kek
Seluruh punggawa Astagina sudah berkumpul di pendopo istana. Sanggageni, Arya dan Ki Bayanaka duduk di baris utama, paling dekat dengan singgasana raja. Simbol kebesaran Astagina itu sudah diperbaiki setelah sempat rusak dihantam Prabu Ranajaya beberapa saat lalu. Semua orang berseri-seri menyongsong penobatan raja baru. Jenar muncul didampingi dua dayang dari sisi kiri pendopo. Ia tampak cantik mengenakan pakaian mewah yang didominasi warna emas. Meski gugup, gadis itu mencoba untuk meredamnya demi tampak berwibawa namun tetap elegan dan mempesona. Calon raja itu begitu anggun menaiki lima anak tangga, berhenti tepat di hadapan singgasana. Dua orang dayang yang mendampingi Jenar segera meninggalkan tempat itu. Dua orang segera muncul membawa nampan dengan mahkota dan keris Astratama sebagai pusaka Astagina. Mereka segera menempatkan diri di belakang Jenar yang nyaris tak bisa menyembunyikan kegugupannya. “Ijinkan hamba memulainya, Gusti,” bisik penasihat pada Jenar. Gadis itu terse
“Candikapura ya, apa kau tahu perkiraan jumlah mereka?” lanjut Arya. “Berdasarkan pengamatan, jumlah mereka antara lima sampai tujuh ribu, Gusti Patih,” jawab prajurit itu lugas. Arya berdiri dari tempat duduknya. Sejenak ia mengusap-usap dagunya. Ia sempat menyangka bila ada serangan, Astakencana lah kemungkinan utama. Tapi ternyata justru Candikapura. Pemuda itu pun tak begitu terkejut. Karena Astakencana dan Candikapura memiliki hubungan yang cukup dekat. “Ampun, Sri Maharani. Ijinkan hamba....” “Urusan Candikapura aku serahkan padamu. Apa lagi Astakencana, kau memiliki wewenang penuh untuk bertindak, Patih Arya Nandika!” potong Jenar tegas. Arya terkejut, ia kini bahkan tak bisa membedakan apakah sikap Jenar masih terpaut dengan kondisi hatinya atau tidak. “Sendika, Gusti!” timpal Arya tak kalah tegas. “Senopati divisi Telik Sandi dan Strategi, silahkan ikut aku!” Dua orang senopati segera bangkit dari duduknya dan mengangguk tegas. Mereka berjalan cepat mengekori Arya ke men
Arya kembali mengusap-usap dagunya. Jika benar Candikapura memiliki pasukan tak terlihat, maka hal itu akan sangat merepotkan. Ingatannya kembali pada peristiwa ia tersesat di dunia ruh. Lalu bertemu dengan Ki Bayanaka.“Ah!” Arya menjentikkan jarinya. “Prajurit, tolong panggilkan Ki Bayanaka. Katakan padanya aku membutuhkannya! Cepat!”“Sendika, Gusti!” sahut seorang prajurit. Pria itu lalu berbalik dan berlari menuju pendopo. Tempat terakhir Ki Bayanaka berada.“Mengapa Gusti membutuhkan Ki Bayanaka? Apa yang beliau tahu tentang Candikapura?” tanya Senopati pada Arya.“Ki Bayanaka sedikit banyak tahu tentang dunia ruh,” jawab Arya singkat. Ia memantau kembali pergerakan pasukan Candikapura dengan teropong.“Dunia ruh?”“Aku juga tak begitu mengerti, Senopati. Nanti kau lihat saja sendiri apa yang bisa dilakukan Ki Bayanaka. Sekarang bantu aku memprediksi jarak barisan terdepan mereka!” timpal Arya sembari menyodorkan teropong di tangannya.“Mereka semakin dekat, Gusti. Sebentar lagi
Ki Bayanaka segera mengambil posisi ternyaman. Duduk bersila tepat di sebelah Arya dengan harapan raganya akan aman dari gangguan apa pun yang berpotensi mengganggu Meraga Sukma-nya. Tak ada tanda-tanda aneh. Dan tak ada yang tahu ruh pria tua itu sudah terlepas dari raga.Dalam wujud ruhnya, Ki Bayanaka mampu bergerak super cepat seperti golongan jin pada umumnya. Pandangannya menjadi ratusan kali lebih tajam. Ia mampu melihat dari jarak jauh dan seketika berada di sana sekehendak hati. Namun ia tak mampu melakukan apa pun dengan tubuh kasar musuh.“Hmm, tak ada tanda-tanda aneh di sana. Aku tak boleh ke sana. Jika benar mereka masuk ke dunia ruh, artinya aku juga bisa. Tapi aku berisiko tak bisa kembali,” gumam Ki Bayanaka.Pria tua itu kembali menajamkan penglihatannya. Jika yang dicurigai Arya benar. Maka seharusnya ada seseorang melakukan sebuah ritual pembukaan pintu dunia ruh di antara rombongan itu. Sedang untuk melakukannya berulang kali dibutuhkan energi yang besar.“Ketemu!
Kepulan asap putih muncul tepat di sebelah Arya. Melihat Ki Bayanaka, dua orang senopati dan beberapa prajurit tampak biasa, Arya yakin tak ada yang melihat Lokawigna. Jin penunggu hutan larangan itu sepertinya paham kondisi untuk tak segera bersuara."Terima kasih atas bantuanmu, Ki. Kau bisa tetap di sini atau kembali mendampingi Jenar," ucap Arya begitu dingin."Baik, Arya. Tapi siapa itu Lokawigna?" Ki Bayanaka merendahkan sedikit suara di akhir kalimatnya.Arya tak segera menjawab. Ia menatap ruang kosong di sebelahnya. Kosong karena Ki Bayanaka tak mampu melihat sosok halus itu."Dia hanya seorang teman dari hutan larangan," jawab Arya singkat."Hmm, baik lah sepertinya kau sudah tak perlu lagi bantuanku. Aku tunggu kabar baik darimu, Arya." Ki Bayanaka menepuk pundak kiri Arya dan segera turub dari menara pemantau itu."Tuan Arya Nandika, mohon sampaikan titah Tuan!" ucap Lokawigna begitu tak ada lagi manusia di sebelah tuannya itu."Maaf memanggilmu di saat aku tak sendiri, Lo