“Candikapura ya, apa kau tahu perkiraan jumlah mereka?” lanjut Arya. “Berdasarkan pengamatan, jumlah mereka antara lima sampai tujuh ribu, Gusti Patih,” jawab prajurit itu lugas. Arya berdiri dari tempat duduknya. Sejenak ia mengusap-usap dagunya. Ia sempat menyangka bila ada serangan, Astakencana lah kemungkinan utama. Tapi ternyata justru Candikapura. Pemuda itu pun tak begitu terkejut. Karena Astakencana dan Candikapura memiliki hubungan yang cukup dekat. “Ampun, Sri Maharani. Ijinkan hamba....” “Urusan Candikapura aku serahkan padamu. Apa lagi Astakencana, kau memiliki wewenang penuh untuk bertindak, Patih Arya Nandika!” potong Jenar tegas. Arya terkejut, ia kini bahkan tak bisa membedakan apakah sikap Jenar masih terpaut dengan kondisi hatinya atau tidak. “Sendika, Gusti!” timpal Arya tak kalah tegas. “Senopati divisi Telik Sandi dan Strategi, silahkan ikut aku!” Dua orang senopati segera bangkit dari duduknya dan mengangguk tegas. Mereka berjalan cepat mengekori Arya ke men
Arya kembali mengusap-usap dagunya. Jika benar Candikapura memiliki pasukan tak terlihat, maka hal itu akan sangat merepotkan. Ingatannya kembali pada peristiwa ia tersesat di dunia ruh. Lalu bertemu dengan Ki Bayanaka.“Ah!” Arya menjentikkan jarinya. “Prajurit, tolong panggilkan Ki Bayanaka. Katakan padanya aku membutuhkannya! Cepat!”“Sendika, Gusti!” sahut seorang prajurit. Pria itu lalu berbalik dan berlari menuju pendopo. Tempat terakhir Ki Bayanaka berada.“Mengapa Gusti membutuhkan Ki Bayanaka? Apa yang beliau tahu tentang Candikapura?” tanya Senopati pada Arya.“Ki Bayanaka sedikit banyak tahu tentang dunia ruh,” jawab Arya singkat. Ia memantau kembali pergerakan pasukan Candikapura dengan teropong.“Dunia ruh?”“Aku juga tak begitu mengerti, Senopati. Nanti kau lihat saja sendiri apa yang bisa dilakukan Ki Bayanaka. Sekarang bantu aku memprediksi jarak barisan terdepan mereka!” timpal Arya sembari menyodorkan teropong di tangannya.“Mereka semakin dekat, Gusti. Sebentar lagi
Ki Bayanaka segera mengambil posisi ternyaman. Duduk bersila tepat di sebelah Arya dengan harapan raganya akan aman dari gangguan apa pun yang berpotensi mengganggu Meraga Sukma-nya. Tak ada tanda-tanda aneh. Dan tak ada yang tahu ruh pria tua itu sudah terlepas dari raga.Dalam wujud ruhnya, Ki Bayanaka mampu bergerak super cepat seperti golongan jin pada umumnya. Pandangannya menjadi ratusan kali lebih tajam. Ia mampu melihat dari jarak jauh dan seketika berada di sana sekehendak hati. Namun ia tak mampu melakukan apa pun dengan tubuh kasar musuh.“Hmm, tak ada tanda-tanda aneh di sana. Aku tak boleh ke sana. Jika benar mereka masuk ke dunia ruh, artinya aku juga bisa. Tapi aku berisiko tak bisa kembali,” gumam Ki Bayanaka.Pria tua itu kembali menajamkan penglihatannya. Jika yang dicurigai Arya benar. Maka seharusnya ada seseorang melakukan sebuah ritual pembukaan pintu dunia ruh di antara rombongan itu. Sedang untuk melakukannya berulang kali dibutuhkan energi yang besar.“Ketemu!
Kepulan asap putih muncul tepat di sebelah Arya. Melihat Ki Bayanaka, dua orang senopati dan beberapa prajurit tampak biasa, Arya yakin tak ada yang melihat Lokawigna. Jin penunggu hutan larangan itu sepertinya paham kondisi untuk tak segera bersuara."Terima kasih atas bantuanmu, Ki. Kau bisa tetap di sini atau kembali mendampingi Jenar," ucap Arya begitu dingin."Baik, Arya. Tapi siapa itu Lokawigna?" Ki Bayanaka merendahkan sedikit suara di akhir kalimatnya.Arya tak segera menjawab. Ia menatap ruang kosong di sebelahnya. Kosong karena Ki Bayanaka tak mampu melihat sosok halus itu."Dia hanya seorang teman dari hutan larangan," jawab Arya singkat."Hmm, baik lah sepertinya kau sudah tak perlu lagi bantuanku. Aku tunggu kabar baik darimu, Arya." Ki Bayanaka menepuk pundak kiri Arya dan segera turub dari menara pemantau itu."Tuan Arya Nandika, mohon sampaikan titah Tuan!" ucap Lokawigna begitu tak ada lagi manusia di sebelah tuannya itu."Maaf memanggilmu di saat aku tak sendiri, Lo
Pria berikat kepala hitam itu duduk bersila di sebuah kereta kuda. Kedua telapak tangannya mengatup di depan dada dengan mata terpejam. Di hadapannya terdapat dua buah kendi sebesar buah semangka entah berisi apa. Hanya saja selepas membuka pintu dunia ruh, ia pasti meneguk air dari kendi itu. Mungkin itu lah sumber energinya.Lokawigna sudah sejak tadi berada di sisi kiri pria itu. Amarahnya mungkin sudah memuncak. Namun ia tetap harus menunggu seluruh rombongan pasukan itu masuk seluruhnya. Atau rencana tuannya akan berantakan.“Oh, jadi begini cara kalian melintas? Dengan menutup mata seluruh prajurit dan meminta mereka untuk terus berjalan?” gumam Lokawigna. “Akan aku buat mereka berjalan selamanya di dunia ruh!”Lokawigna mengayunkan telapak tangannya ke segala penjuru kereta kuda. Ia membuat kereta ini tak akan bisa dilihat atau pun didengar dari luar. Selubung energi ini tak akan hilang selama masih berada di dunia ruh.“Bangun kau, manusia!” hardik Lokawigna sembari mendorong
Perbedaan bentuk roda dan kaki kuda belum dapat dibedakan. Namun Arya sudah melangkah menuruni tangga menara pemantau itu. Ia yakin Lokawigna akan menyelesaikan sisa pasukan Candikapura dengan mudah. Makhluk itu tak pernah mengecewakan. Amat menggoda untuk terus bergantung padanya.Dua orang senopati muda itu menatap punggung Arya dengan heran. Senopati divisi Telik Sandi begitu heran mengapa tiba-tiba ribuan pasukan Candikapura itu tak pernah muncul lagi. Sedang Senopati divisi Strategi tak mengerti mengapa Arya meninggalkan tempat itu padahal tak melakukan apa pun. Ia merasa benar-benar tak berguna.“Ampun Gusti Patih, hamba....”“Sudah, tak usah kau berdalih. Sekarang temani aku menuju Hanggar Pasukan Andanu!” potong Arya saat Ketua Prajurit Pemanah yang mengingkari ucapannya sendiri itu tergopoh-gopoh menghampirinya.“Sendika, Gusti!”Prajurit itu tak mampu lagi berdalih. Rasa malu sudah mengujani kepalanya berkali-kali. Beruntung tak ada satu pun bawahannya yang tahu. Mungkin ini
“Makhluk hitam dengan tanduk kiri patah? Kau Lokawigna?” tanya Arya yang masih belum hilang rasa terkejut bercampur takutnya.“Maafkan hamba, Tuan. Hamba sudah kehabisan energi untuk berada dalam wujud terbaik di mata Tuan. Seluruh pasukan Candikapura sudah selesai hamba tangani. Hamba mohon undur diri guna memulihkan tenaga,” terang Lokawigna.“Baik, Lokawigna. Terima kasih atas bantuanmu. Astagina berhutang budi padamu. Kau boleh pergi sekarang!” ucap Arya penuh penghargaan. Jika saja tak ada Lokawigna, mungkin terpaksa ia harus membunuh ribuan prajurit tak berdosa lagi dengan Cundhamani.“Sendika, Tuan!”Bersamaan dengan kedua tangannya yang mengatup, wujud menyeramkan itu menguap tersapu angin. Arya bersyukur dapat mengatasi masalah pertama Astagina di kali pertama Jenar naik tahta. Namun ia tak menyadari pria tua di sebelahnya masih menganga tak percaya.“Jadi dia itu temanmu dari Hutan Larangan?” Mata Ki Bayanaka tak berkedip. Beberapa kali ia menyaksikan makhluk serupa dalam Me
“Mereka menggunakan jasa lima pendekar dari Lembu Ireng, bukan?” tanya Adipati Kertajaya pada orang kepercayaan yang dahulu berpangkat Senopati itu.“Betul, Gusti. Hamba curiga terjadi sesuatu pada kelima pendekar itu hingga mereka tak bisa keluar dari dunia ruh!” ucap pria di hadapan Adipati Kertajaya itu. Ia paham sekali bahwa orang-orang Lembu Ireng memang memiliki kemampuan untuk masuk ke dunia ruh. Namun menyelundupkan ribuan orang pasti memiliki risiko yang sesuai dengan jumlahnya.“Simpan kecurigaanmu, ini justru bisa jadi keuntungan untuk kita!” ucap Adipati Kertajaya dengan wajah berseri-seri.Benar saja, belum kering ludah di bibir, Adipati Kertajaya sudah mendapatkan panggilan dari gurunya, Ki Wungkung. Ia segera memberikan kode pada senopatinya itu untuk diam. Pria paruh baya itu segera memejamkan mata guna menyambut panggilan sang Guru.“Guru, ada apa? Baru saja aku akan menghubungi Warasena,” sahut Adipati Kertajaya setelah beberapa kali panggilan.“Sena, apa kau tahu pe