Kepulan asap putih muncul tepat di sebelah Arya. Melihat Ki Bayanaka, dua orang senopati dan beberapa prajurit tampak biasa, Arya yakin tak ada yang melihat Lokawigna. Jin penunggu hutan larangan itu sepertinya paham kondisi untuk tak segera bersuara."Terima kasih atas bantuanmu, Ki. Kau bisa tetap di sini atau kembali mendampingi Jenar," ucap Arya begitu dingin."Baik, Arya. Tapi siapa itu Lokawigna?" Ki Bayanaka merendahkan sedikit suara di akhir kalimatnya.Arya tak segera menjawab. Ia menatap ruang kosong di sebelahnya. Kosong karena Ki Bayanaka tak mampu melihat sosok halus itu."Dia hanya seorang teman dari hutan larangan," jawab Arya singkat."Hmm, baik lah sepertinya kau sudah tak perlu lagi bantuanku. Aku tunggu kabar baik darimu, Arya." Ki Bayanaka menepuk pundak kiri Arya dan segera turub dari menara pemantau itu."Tuan Arya Nandika, mohon sampaikan titah Tuan!" ucap Lokawigna begitu tak ada lagi manusia di sebelah tuannya itu."Maaf memanggilmu di saat aku tak sendiri, Lo
Pria berikat kepala hitam itu duduk bersila di sebuah kereta kuda. Kedua telapak tangannya mengatup di depan dada dengan mata terpejam. Di hadapannya terdapat dua buah kendi sebesar buah semangka entah berisi apa. Hanya saja selepas membuka pintu dunia ruh, ia pasti meneguk air dari kendi itu. Mungkin itu lah sumber energinya.Lokawigna sudah sejak tadi berada di sisi kiri pria itu. Amarahnya mungkin sudah memuncak. Namun ia tetap harus menunggu seluruh rombongan pasukan itu masuk seluruhnya. Atau rencana tuannya akan berantakan.“Oh, jadi begini cara kalian melintas? Dengan menutup mata seluruh prajurit dan meminta mereka untuk terus berjalan?” gumam Lokawigna. “Akan aku buat mereka berjalan selamanya di dunia ruh!”Lokawigna mengayunkan telapak tangannya ke segala penjuru kereta kuda. Ia membuat kereta ini tak akan bisa dilihat atau pun didengar dari luar. Selubung energi ini tak akan hilang selama masih berada di dunia ruh.“Bangun kau, manusia!” hardik Lokawigna sembari mendorong
Perbedaan bentuk roda dan kaki kuda belum dapat dibedakan. Namun Arya sudah melangkah menuruni tangga menara pemantau itu. Ia yakin Lokawigna akan menyelesaikan sisa pasukan Candikapura dengan mudah. Makhluk itu tak pernah mengecewakan. Amat menggoda untuk terus bergantung padanya.Dua orang senopati muda itu menatap punggung Arya dengan heran. Senopati divisi Telik Sandi begitu heran mengapa tiba-tiba ribuan pasukan Candikapura itu tak pernah muncul lagi. Sedang Senopati divisi Strategi tak mengerti mengapa Arya meninggalkan tempat itu padahal tak melakukan apa pun. Ia merasa benar-benar tak berguna.“Ampun Gusti Patih, hamba....”“Sudah, tak usah kau berdalih. Sekarang temani aku menuju Hanggar Pasukan Andanu!” potong Arya saat Ketua Prajurit Pemanah yang mengingkari ucapannya sendiri itu tergopoh-gopoh menghampirinya.“Sendika, Gusti!”Prajurit itu tak mampu lagi berdalih. Rasa malu sudah mengujani kepalanya berkali-kali. Beruntung tak ada satu pun bawahannya yang tahu. Mungkin ini
“Makhluk hitam dengan tanduk kiri patah? Kau Lokawigna?” tanya Arya yang masih belum hilang rasa terkejut bercampur takutnya.“Maafkan hamba, Tuan. Hamba sudah kehabisan energi untuk berada dalam wujud terbaik di mata Tuan. Seluruh pasukan Candikapura sudah selesai hamba tangani. Hamba mohon undur diri guna memulihkan tenaga,” terang Lokawigna.“Baik, Lokawigna. Terima kasih atas bantuanmu. Astagina berhutang budi padamu. Kau boleh pergi sekarang!” ucap Arya penuh penghargaan. Jika saja tak ada Lokawigna, mungkin terpaksa ia harus membunuh ribuan prajurit tak berdosa lagi dengan Cundhamani.“Sendika, Tuan!”Bersamaan dengan kedua tangannya yang mengatup, wujud menyeramkan itu menguap tersapu angin. Arya bersyukur dapat mengatasi masalah pertama Astagina di kali pertama Jenar naik tahta. Namun ia tak menyadari pria tua di sebelahnya masih menganga tak percaya.“Jadi dia itu temanmu dari Hutan Larangan?” Mata Ki Bayanaka tak berkedip. Beberapa kali ia menyaksikan makhluk serupa dalam Me
“Mereka menggunakan jasa lima pendekar dari Lembu Ireng, bukan?” tanya Adipati Kertajaya pada orang kepercayaan yang dahulu berpangkat Senopati itu.“Betul, Gusti. Hamba curiga terjadi sesuatu pada kelima pendekar itu hingga mereka tak bisa keluar dari dunia ruh!” ucap pria di hadapan Adipati Kertajaya itu. Ia paham sekali bahwa orang-orang Lembu Ireng memang memiliki kemampuan untuk masuk ke dunia ruh. Namun menyelundupkan ribuan orang pasti memiliki risiko yang sesuai dengan jumlahnya.“Simpan kecurigaanmu, ini justru bisa jadi keuntungan untuk kita!” ucap Adipati Kertajaya dengan wajah berseri-seri.Benar saja, belum kering ludah di bibir, Adipati Kertajaya sudah mendapatkan panggilan dari gurunya, Ki Wungkung. Ia segera memberikan kode pada senopatinya itu untuk diam. Pria paruh baya itu segera memejamkan mata guna menyambut panggilan sang Guru.“Guru, ada apa? Baru saja aku akan menghubungi Warasena,” sahut Adipati Kertajaya setelah beberapa kali panggilan.“Sena, apa kau tahu pe
Tak ada gangguan berarti, hanya ada seorang punggawa yang menanyakan mengapa ia dipersilahkan meninggalkan istana. Sisanya dengan sukarela memilih untuk meninggalkan Astagina dengan damai. Sepasang remaja memimpin sebuah kerajaan besar dengan dua pria tua di belakang layar. Tinggal menunggu kehancurannya saja, pikir mereka.Semua orang menyebar, bersama sanak keluarga. Meninggalkan kehidupan mapan dan mewah dalam istana. Yang sudah berumur umumnya memilih untuk kembali ke desa asal. Bertani dan hidup sederhana. Sedang yang masih muda, memilih untuk pergi bersama ke suatu tempat dan bermimpi suatu hari akan kembali dan merebut hak-hak mereka lagi.“Kau tak ingin menemui Rara Anjani, Arya?” tanya Sanggageni setelah mendapati putranya termenung seorang diri di tepi telaga Padma.“Rara Anjani? Untuk apa?” tanya Arya dingin. Ia bahkan hampir melupakan pernah melabuhkan hatinya pada mantan selir ke-13 mendiang Prabu Ranajaya itu.“Apa kau lupa, Astakencana tak ada hubungannya dengan penyera
“Apa yang terjadi padamu, Rara?” tanya Arya setelah melerai pelukannya.“Bukan kah aku yang seharusnya bertanya padamu, mengapa kau tiba-tiba datang? Apakah kau sudah tak memandang Astakencana sebagai ancaman lagi?” tanya Rara Anjani.“Lupakan soal itu. Candikapura lah dalangnya. Mungkin Ayahandamu memang sempat bersekutu, tapi aku yakin sekarang tidak lagi,” ucap Arya begitu yakin. “Lengan kirimu, apakah ini perbuatan Aswabrama?”Rara Anjani tak bisa menyembunyikan bahagianya. Tampak sekali dari binar mata yang terang benderang. Sejurus ia sempat tak mencerna apa yang dikatakan Arya. Namun seorang putri harus bertindak elegan dan santun. Ia tak lagi seorang selir raja.“Ya, aku tak mengerti bagaimana seekor kuda mampu berbuat sedemikian jauh,” lirih Rara Anjani. Ia menunduk dengan kedua mata mengembun. Pikirannya sudah terbang begitu jauh hingga bagaimana ia mampu memimpin Astakencana nanti dengan sebelah tangan.“Tegakkan wajahmu, Putri Astakencana!” Arya meraih dagu Rara Anjani dan
Adipati Kertajaya berlutut setelah melayangkan pujian untuk Arya. Ia tak percaya bahwa seekor kuda mampu menyembuhkan lengan kiri putrinya yang lumpuh. Sedang tabib istana terhebat pun tak mampu sekadar menggerakkan ujung jarinya saja. Pria itu merasa sudah berlaku tak adil pada Arya, karena mencoba memanfaatkannya bersama dengan Candikapura.“Bangun lah, Adipati. Kau tak pantas berlutut pada Aswabrama!” seru Arya.“Aswabrama?”“Nama kuda ini Aswabrama, Ayahanda,” ucap Rara Anjani dengan penuh binar di matanya. Ia begitu bahagia lengan kirinya dapat disembuhkan.“Ampun, Gusti. Hamba berlutut pada Gusti, bukan pada kuda ini!” kilah Adipati Kertajaya.“Untuk apa kau berlutut padaku, sedang yang menyembuhkan Rara Anjani adalah Aswabrama? Bangun lah, Adipati! Seorang besar sepertimu tak patut berlaku demikian,” ucap Arya sembari membimbing pria paruh baya itu untuk bangkit.“Hamba tak tahu bagaimana caranya berterima kasih. Hamba mengaku dosa telah berusaha memanfaatkan Gusti demi keingin