“Apa yang terjadi padamu, Rara?” tanya Arya setelah melerai pelukannya.“Bukan kah aku yang seharusnya bertanya padamu, mengapa kau tiba-tiba datang? Apakah kau sudah tak memandang Astakencana sebagai ancaman lagi?” tanya Rara Anjani.“Lupakan soal itu. Candikapura lah dalangnya. Mungkin Ayahandamu memang sempat bersekutu, tapi aku yakin sekarang tidak lagi,” ucap Arya begitu yakin. “Lengan kirimu, apakah ini perbuatan Aswabrama?”Rara Anjani tak bisa menyembunyikan bahagianya. Tampak sekali dari binar mata yang terang benderang. Sejurus ia sempat tak mencerna apa yang dikatakan Arya. Namun seorang putri harus bertindak elegan dan santun. Ia tak lagi seorang selir raja.“Ya, aku tak mengerti bagaimana seekor kuda mampu berbuat sedemikian jauh,” lirih Rara Anjani. Ia menunduk dengan kedua mata mengembun. Pikirannya sudah terbang begitu jauh hingga bagaimana ia mampu memimpin Astakencana nanti dengan sebelah tangan.“Tegakkan wajahmu, Putri Astakencana!” Arya meraih dagu Rara Anjani dan
Adipati Kertajaya berlutut setelah melayangkan pujian untuk Arya. Ia tak percaya bahwa seekor kuda mampu menyembuhkan lengan kiri putrinya yang lumpuh. Sedang tabib istana terhebat pun tak mampu sekadar menggerakkan ujung jarinya saja. Pria itu merasa sudah berlaku tak adil pada Arya, karena mencoba memanfaatkannya bersama dengan Candikapura.“Bangun lah, Adipati. Kau tak pantas berlutut pada Aswabrama!” seru Arya.“Aswabrama?”“Nama kuda ini Aswabrama, Ayahanda,” ucap Rara Anjani dengan penuh binar di matanya. Ia begitu bahagia lengan kirinya dapat disembuhkan.“Ampun, Gusti. Hamba berlutut pada Gusti, bukan pada kuda ini!” kilah Adipati Kertajaya.“Untuk apa kau berlutut padaku, sedang yang menyembuhkan Rara Anjani adalah Aswabrama? Bangun lah, Adipati! Seorang besar sepertimu tak patut berlaku demikian,” ucap Arya sembari membimbing pria paruh baya itu untuk bangkit.“Hamba tak tahu bagaimana caranya berterima kasih. Hamba mengaku dosa telah berusaha memanfaatkan Gusti demi keingin
“Kau yakin tak ingin berada di keretamu, Rara?” tanya Arya sekali lagi.Mereka berdua sudah berada di gerbang istana Kadipaten Astakencana. Arya sudah menyampaikan maksudnya pada Adipati Kertajaya untuk mempersunting Rara Anjani. Ayahanda Rara Anjani itu tentu tidak menolak. Pernikahan mereka berdua berarti pula mempererat hubungan Astagina dan Astakencana secara politik.“Tidak, aku tak ingin jauh darimu,” ucap Rara Anjani dengan wajah memerah. “Lagi pula dengan kereta kita akan membutuhkan waktu lebih lama untuk sampai Astagina, bukan?”“Baik lah!” Arya menggenggam pinggang kekasihnya dan membantu Rara Anjani untuk naik ke punggung Aswabrama. Perempuan itu tersenyum, duduk menunggu sang pujaan hati menyusulnya.Arya segera naik menyusul Rara Anjani. Perempuan itu kini melingkarkan lengannya di perut Arya. Pemuda itu tersenyum singkat dan segera menyentak tali kekang kudanya. Aswabrama berlari dengan kecepatan sedang meninggalkan gerbang utama Kadipaten Astakencana.“Menjual putrimu
Arya melepaskan tali busurnya. Sudut seratus dua puluh derajat itu segera melerai. Melepaskan anak panah logam dengan begitu kuat. Suara hempasan tali busur di lengan kiri Arya yang tertutup pelindung dari kulit, sudah cukup menjelaskan bagaimana kuatnya lesatan. Mata anak panah membara hingga puncak lesatan tertinggi.“Sungguh cepat!” gumam Rara Anjani.Anak panah itu menukik tajam menjadikan istana Candikapura sebagai sasarannya. Bunga-bunga api terpercik buah dari gesekan Cundhamani dan lembabnya udara di langit Candikapura. Tak ada yang mampu menghalangi serangan udara, kecuali bila nyaris sampai pada sasaran. Sedang di istana itu tak ada satu pun orang yang siap akan serangan udara.“Sekarang!” desis Arya.Anak panah yang sudah begitu jauh jaraknya seolah mengerti apa yang diinginkan tuannya. Anak panah api itu mengganda hingga ratusan bahkan seribu. Dalam akurasi dan kekuatan seperti itu, tak mungkin ada yang luput dari hunjaman Sasra Sayaka-Cundhamani.“Dimana pun kau berada, W
“Setelah sekian lama akhirnya aku melihat lagi Sasra Sayaka-Cundhamani,” gumam seorang pria dengan kaki kiri tersambung kayu sepanjang betis.Di belakangnya wajah-wajah penuh tekanan dan rasa takut memandang pria itu dengan penuh harap. Mereka adalah orang-orang terusir dari Astagina. Dalam waktu singkat mengasingkan diri dan berkumpul di perbatasan wilayah Astagina – Candikapura. Atau masih dalam wilayah Kadipaten Astakencana yang berbukit-bukit.“Mengapa kalian tampak takut?” tanya pria itu dengan nada tinggi. Ia mengusap wajahnya yang berbekas luka bakar di sisi kanan dengan tangan yang dibalut oleh kain.Seorang pria berusia di atasnya menghampiri pria itu dan berkata, “Bagaimana kami tak takut dengan kekuatan sebesar itu? Tentu kau masih ingat apa yang dia lakukan di Padang Kalaha!”“Tentu aku masih ingat, Kakanda Sudawira. Tapi aku jamin tanpa busur dan anak panah, dia tak lebih dari seorang bocah ingusan!” seru pria itu begitu emosi. “Dan satu lagi, dia bersekutu dengan penguas
“Apa yang terjadi, Ayahanda?” tanya Arya panik. Rara Anjani tampak begitu tak nyaman dengan perlakuan ayahandanya. Namun pemuda itu menyadari ada sesuatu pada kekasihnya sampai ayahandanya berbuat demikian.Arya segera menahan tangan Rara Anjani agar tetap berada dalam air di bejana. Tak ada suara desis dan kepulan asap seperti yang terjadi pada Sanggageni. Namun air dalam bejana menjadi bergejolak seperti air mendidih. Hanya saja tak terasa panas.Rara Anjani melenguh, entah apa yang ia rasakan. Bola matanya melirik ke atas. Mulutnya terbuka, seolah napasnya tercekat di tenggorokan. Dari kepalanya mulai muncul air dalam jumlah banyak yang luruh ke bawah. Anehnya lantai tidak basah. Begitu juga dengan tubuh dan pakaian perempuan itu.“Ini lah wujud Rara Anjani yang sebenarnya!” seru Sanggageni.Arya menoleh, memperhatikan lekat-lekat wajah kekasihnya yang masih terpejam setelah peristiwa aneh yang dialami. Wajah Rara Anjani tampak begitu segar dan bersih. Rambut hitam bergelombangnya
“Kau harus memegang pusaka suci milik perempuan Astagina!” Sanggageni melepaskan pandangannya ke udara. Ia kembali teringat kata-kata mendiang istrinya.“Pusaka suci?” Arya dan Rara Anjani saling pandang tak mengerti. Bagi Arya ia hanya mengetahui pusaka Astagina adalah keris Astratama milik kakeknya.“Maksud Ayahanda ... Tusuk Konde Emas milik Bibinda Jenar?” tanya Arya sembari terbelalak.“Benar, hanya perempuan suci yang mampu memegang pusaka itu tanpa efek pada tubuhnya. Lain halnya kalau kau pengguna Suji Pati, pusaka itu akan terus melekat padamu sampai kau meninggal!” ucap Sanggageni dengan begitu mantap.“Hmm, sebenarnya aku tak mempedulikan hal itu, Ayahanda, Rara. Tapi bila hal itu membuatmu tenang, aku akan coba bicarakan dengan Gusti Sri Maharani,” ujar Arya menenangkan.“Sri Maharani?” tanya Rara Anjani.“Oh, itu gelar Bibinda Jenar setelah naik tahta.” Arya tersenyum. Sebuah relief indah di bibir pemuda itu yang menggusarkan hati Rara Anjani. Bagaimana pun Arya dan Jenar
Jenar menatap sepasang kekasih di hadapannya dengan wajah masamnya. Keningnya mengernyit, ia tak mengerti untuk apa Arya meminta ijin padanya agar Rara Anjani menyentuh tusuk konde emasnya. Sedang ia sendiri sempat kesulitan untuk mengendalikan pusaka itu.“Begini, Bibinda. Ayahanda melakukan pembuktian bahwa selama ini Rara Anjani diselubungi oleh sebuah energi yang mencegah kerusakan fisik. Jika Bibinda perhatikan, telinganya sudah kembali utuh. Padahal sebelumnya terbakar separuh,” buka Arya. Ia berharap reaksi lebih baik dari Jenar selain hanya menatap dingin.“Hmm, pantas saja kau tampak berbeda, Rara! Benar firasatku tadi, kau tampak lebih cantik!” ucap Jenar seraya memperhatikan wajah kekasih Arya itu lekat-lekat.“Terima kasih, Gusti Sri Maharani.” Rara Anjani menunduk masih tak kuasa membalas tatapan Jenar.“Lantas, apa hubungannya dengan tusuk kondeku?” tanya Jenar penasaran.“Rara Anjani berasumsi jika selubung energi itu mampu melindunginya dari kerusakan fisik, bisa jadi
“Bukan kah prajurit udaramu tadi sudah memeriksa semua kapal ini, Braja?” tanya Ki Bayanaka. “Ya, sepertinya kapal satu ini luput dari pemeriksaan. Atau....” Seorang pria bertubuh kurus dan berkulit cerah tertawa di atas kapal yang separuhnya sudah terbakar. Ia merasa jumawa melihat dua pria tua, seorang perempuan dan seorang pemuda yang sudah tidak berdaya. Dengan senjata berkekuatan besar, ia merasa di atas angin. “Siapa sebenarnya mereka?” tanya Jenar sembari mengernyitkan kening. Belum juga terjawab, bentuk kapal, senjata dan panji asing itu. “Entah lah, Jenar. Tapi orang ini pasti lemah. Merasa kuat karena memiliki senjata yang mampu melontarkan bola-bola api itu,” ucap Ki Bayanaka begitu yakin. “Bagaimana Ayahanda bisa begitu yakin?” tanya Jenar. “Coba lah kau perhatikan gelagatnya. Orang dengan kemampuan tinggi tak mungkin bertingkah seperti itu. Bukan begitu, Braja?” ucap Ki Bayanaka melemparkan kalimat kepada Sanggageni. “Hmm, jadi siapa yang akan memberinya pelajaran?”
Tak ada yang bisa dilakukan Jenar setelah sampai di pantai selatan kerajaannya. Pagar api setinggi pagar Astagina itu menghalangi apa pun dan siapa pun. Tak mungkin melaluinya dengan selamat. Perempuan itu tampak mulai meneteskan air mata. Bagaimana mungkin suaminya berbuat sedemikian rupa. Hatinya berkecamuk, sungguh ia tak ingin kehilangan Arya secepat ini.“Arya, dasar bodoh! Apa yang kau lakukan?” umpat Jenar dengan kedua tangan mengepal. Ia merasa begitu hina sebagai raja tak mengetahui patih sekaligus suaminya di dalam sana berjuang seorang diri.Raja Astagina itu mulai terisak. Rasa panas mendera wajahnya dari jarak lima tombak ini. Keningnya mengernyit keras. Ia merasa harus berbuat sesuatu. Berdiam diri tak akan berdampak apa pun. Berada di istananya jauh lebih baik.“Pasukan udara milik Kakanda Sanggageni, dimana mereka?” tiba-tiba Jenar teringat akan sepuluh orang prajurit yang direkrut oleh Sanggageni demi mewujudkan idenya memiliki serangan udara.“Gunakan ini!” Danapati
Arya melepaskan sekali lagi Sasra Sayaka-Cundhamani dengan sisa amarahnya. Anak panah logam hitam berlumur darahnya sendiri melesat ke arah ribuan prajurit yang mulai terkikis keberaniannya. Serupa dengan tenaga dan kesadaran Arya. Pemuda itu menjatuhkan busur Agnitama pada mulanya. Disusul dengan tubuh lemah dan compang-campingnya.Arya mendengus berusaha melihat apa yang terjadi dengan serangannya itu. Tubuh-tubuh musuh yang tercerai berai. Terburai anggota tubuhnya. Terbakar api Cundhamani hingga meronta-ronta, berguling di tanah dan masuk ke dalam air laut. Semua berusaha menyelamatkan dirinya sendiri.“Sisanya aku serahkan padamu, Raden Danapati!” gumam Arya sembari mengubah posisi kepalanya. Menoleh kepada Aswabrama dan memastikan kembali bahwa Danapati benar-benar pergi.Binatang dan tuan itu saling pandang. Tak ada kata dari mereka yang dimengerti. Namun tatapan bola mata itu sudah menjelaskan semuanya. Berjuang bersama-sama. Melewati bahaya, nyaris kehilangan nyawa, dan kini
“Tapi bagaimana caranya, Braja? Kau lihat sendiri api Cundhamani menghalangi kita?” pungkas Ki Bayanaka. Pria tua itu memang peragu yang luar biasa. Itu sebab dahulu ia menjadi pelatih prajurit alih-alih bergabung bersama Baka Nirdaya memerangi kedzaliman.“Pantai selatan memang sudah menjadi lautan api. Tapi tidak dengan langitnya!” timpal Sanggageni. “Pengawal! Kau pengawal raja, bukan?” tanyanya.Seorang pengawal raja yang sejak tadi bertugas melindungi dua penasihat itu maju selangkah dengan penuh penghormatan. Ia berkata lantang, “Benar, Tuan! Mohon katakan titah Tuan!”“Cari pasukan udaraku! Bawa secepatnya mereka ke sini!” titah Sanggageni lantang. Pria itu berdiri tegak menatap lautan api dengan memegangi lengan kanannya. Tak ada artinya hidup dengan sebelah tangan namun tak mampu menyelamatkan putranya sendiri.“Sendika, Tuan!”Ki Bayanaka bangkit berdiri di sisi Sanggageni. Tak ada yang menyangka Astagina akan berada di ujung tanduk seperti ini. Pria itu menyentuh pundak adi
Pantai selatan Astagina kini tak ubahnya seperti gerbang api. Tak ada tempat untuk melarikan diri. Bagi bala tentara asing itu, juga bagi Arya. Suara desis api Cundhamani bertemu air laut mengepulkan asap putih buah dari air yang menguap. Arya melepaskan Sasra Sayaka-Cundhamani sekali lagi. Kali ini ke arah deretan kapal-kapal perang yang sebagian telah terbakar.“Kau yakin hal ini, Gusti?” tanya Danapati manakala sudah mengenakan jubah pemberian Arya.“Apa kau meragukanku, Raden?” tanya Arya kembali. Pemuda itu menoleh dan tersenyum. Memperlihatkan deretan giginya yang memerah karena darah. Tak ada yang tahu bahwa Patih Astagina itu sudah melampaui batas ketahanan tubuhnya sendiri.“Gusti, kau....”Tak sempat Danapati berkata lebih banyak, Arya terlanjut menyentak tali kekang Aswabrama. Ia songsong ratusan pasukan berkuda musuh sendirian. Atau hanya berdua saja dengan kudanya. Arya menghunuskan anak panah logamnya. Kali ini dengan posisi tubuh setengah berdiri. Danapati terhenyak, ya
“Arya? Bagaimana dengan Ayahandamu?” tanya Jenar tak menyangka suaminya akan hadir dan menyela percakapannya dengan Danapati dan pengawal.Arya tak menjawab, menggerakkan sedikit kepalanya memberi isyarat pada Jenar agar melihat sendiri kondisi ayahandanya. Pemuda itu sudah siap dengan busur Agnitama dan puluhan anak panah logam di tempatnya menggantung di punggung.Dari jarak puluhan depa itu Jenar masih mampu melihat Sanggageni dan ayahandanya tengah duduk bersila. Ki Bayanaka masih mengobati kakak ipar sekaligus mertuanya itu dengan tenaga dalam. Sedang Sanggageni sudah mampu duduk sendiri. Ia jauh lebih baik meski lengan kanannya tak akan kembali lagi.“Pergi lah ... Istriku! Tunggu aku kembali membawa kemenangan!” lirih Arya di telinga Jenar sembari melewati tubuh perempuan cantik itu.Jenar terpekur, setelah pertengkaran mereka berdua karena Rara Anjani di desa Girijajar tempo hari, baru kali ini ia melihat tekad di mata Arya. Tekad yang sama saat Arya pamit untuk pergi ke medan
Panji-panji dengan aksara asing itu berkibar-kibar tinggi. Pasukan berkuda dengan penutup kepala logam dengan beringas membunuh apa pun yang menghadang. Darah Jenar mendidih menyaksikan para prajurit yang baru saja direkut menjadi korban tanpa sempat mempertahankan nyawa. Perempuan itu menghentakkan tungkainya di permukaan batu besar sekaligus menandai radius serangannya.“Beraninya kalian mengobrak-abrik Astagina! Hanya ada satu ganjaran ... Mati!” seru Jenar mengumbar amarah.Kilatan-kilatan terlihat bergerak begitu cepat tanpa bisa diikuti oleh mata. Denting penutup kepala logam dan tusuk konde emas mendahului robohnya pasukan berkuda itu satu demi satu. Tak ada yang paham bahwa perempuan yang menari di atas batu itu lah dalangnya.Pasukan berkuda musuh saling pandang. Menarik tali kekang kuda hingga kuda-kuda perkasa itu meringkik begitu kuat. Mereka mengedarkan pandangan ke sekitar selatan pesisir pantai Astagina. Selama itu pula mereka seolah tinggal menunggu kematian.Danapati
Arya mendarat dengan keras tepat di belakang para prajurit yang melingkar melindungi rajanya. Ia sibak bahu-bahu penuh ketegangan itu demi sampai di tempat ayahandanya diobati. Penjelasan dari pengawal raja tadi belum mampu membuatnya mengerti bagaimana kondisi Sanggageni sebenarnya.Namun seluruh tubuh Arya terasa tak bertulang manakala menyaksikan kondisi ayahandanya yang memprihatinkan. Ia luruh jatuh bersimpuh di tanah tepat di samping Ki Bayanaka, berhadapan dengan Jenar. Pemuda itu tak percaya hal mengerikan seperti ini terjadi pada ayahandanya.“Kau datang juga,” lirih Ki Bayanaka.“A-apa yang terjadi....”“Braja tak akan seperti ini andai saja kalian bisa bersikap bijak dan tak menuruti hawa nafsu!” tegas Ki Bayanaka sekali lagi.“Maksudmu....”“Kakanda Sanggageni terkena bola api itu, Arya! Dan sekarang pasukan berkuda mereka sedang menuju kemari!” ujar Jenar setengah menyeru. Ia tahu bahwa ini pula kesalahannya. Namun diamnya suaminya tentu bukan tindakan yang tepat dilakuka
Jenar menitikkan air mata. Kata-kata ayahandanya memang begitu menusuk hati. Namun melihat kondisi Sanggageni lah hal yang membuatnya begitu sakit. Ia terlalu lama memadu kasih dengan Arya hingga membuat ayahanda Arya dalam kondisi mengenaskan.“Bertahan lah, Braja! Dasar bedebah!” hardik Ki Bayanaka terus mengerahkan segala kemampuannya untuk menyelamatkan nyawa Sanggageni. Sejauh ini tak ada reaksi apa pun dari pria bergiwang itu.“Kakanda Danapati, bisa kah kau cari keberadaan Arya? Aku merasa dia memiliki hal di luar dari kemampuanku dan Ayahandaku untuk menyelamatkan Kakanda Sanggageni,” pinta Jenar sambil terus terisak.Danapati tak menjawab. Ia segera bangkit dan hendak meninggalkan mereka bertiga manakala empat orang pengawal raja datang. Mereka segera bersimpuh tak berani lebih tinggi dari rajanya.“Tak perlu, Danapati! Biar mereka saja yang mencari Arya. Kau tetap di sini lindungi kami dari apa pun yang menyerang!” titah Ki Bayanaka. Danapati tak berani bereaksi. Ia melihat