Jenar menatap sepasang kekasih di hadapannya dengan wajah masamnya. Keningnya mengernyit, ia tak mengerti untuk apa Arya meminta ijin padanya agar Rara Anjani menyentuh tusuk konde emasnya. Sedang ia sendiri sempat kesulitan untuk mengendalikan pusaka itu.“Begini, Bibinda. Ayahanda melakukan pembuktian bahwa selama ini Rara Anjani diselubungi oleh sebuah energi yang mencegah kerusakan fisik. Jika Bibinda perhatikan, telinganya sudah kembali utuh. Padahal sebelumnya terbakar separuh,” buka Arya. Ia berharap reaksi lebih baik dari Jenar selain hanya menatap dingin.“Hmm, pantas saja kau tampak berbeda, Rara! Benar firasatku tadi, kau tampak lebih cantik!” ucap Jenar seraya memperhatikan wajah kekasih Arya itu lekat-lekat.“Terima kasih, Gusti Sri Maharani.” Rara Anjani menunduk masih tak kuasa membalas tatapan Jenar.“Lantas, apa hubungannya dengan tusuk kondeku?” tanya Jenar penasaran.“Rara Anjani berasumsi jika selubung energi itu mampu melindunginya dari kerusakan fisik, bisa jadi
Dua pasang mata Jenar dan Arya segera memperhatikan Rara Anjani. Tangan kanannya kini menggenggam tusuk konde emas milik Jenar. Perempuan itu terbelalak dengan wajah berbinar. Keningnya mengernyit seolah menahan beban berat di genggamannya. “Apa yang terjadi, Rara?” tanya Arya penasaran. Sementara Jenar tak percaya saat kekasih kemenakannya itu perlahan mampu mengangkat senjata andalannya itu cukup lama. “Semoga Paman Sanggageni benar. Aku tak merasakan apa pun selain ... benda ini cukup berat juga,” ucap Rara Anjani sembari mengurai senyum. “Apa ini artinya dia masih suci, Arya?” tanya Jenar masih dengan sepasang mata yang terbelalak. “Menurut Ayahanda begitu, Bibinda. Aku tak percaya ini,” ujar Arya nyaris tak berkedip. Kekasihnya di hadapannya dan raja Astagina membuktikan diri kesuciannya masih utuh. Statusnya sebagai mantan selir Prabu Ranajaya tak serta merta menghancurkan kesucian putri Astakencana itu. “Terima kasih, Gusti Sri Maharani, sudah meminjamkan pusaka ini padaku.
Candikapura kini hanya sebuah padang menghitam yang masih mengeluarkan asap tipis dan hawa panas. Seluruh bangunan istana telah rata dengan tanah. Abu menumpuk sesuai dengan bangunan posisi sebelumnya. Prabu Warasena menatap istananya dengan amarah dan rasa gondok menumpuk di dada.“Semuanya menjadi abu, Kakanda. Tak tersisa sepotong kayu pun!” adu Prabu Warasena pada Adipati Kertajaya.“Ya, aku bisa melihatnya. Dan tak ada petunjuk apa pun siapa pelakunya. Rakyatmu juga hampir semua mengungsi. Tak ada yang tahu bagaimana istana sebesar ini bisa terbakar seluruhnya,” timpal Adipati Kertajaya.“Dan tak ada tanda-tanda keberadaan Guru.” Prabu Warasena mulai putus asa. Kedua bahunya luruh seiring dengan harapannya menemukan sebuah petunjuk menjadi sirna.Adipati Kertajaya berjongkok di bekas gerbang utama Candikapura. Dengan ilmu kanuragan sehebat itu, tak mungkin Ki Wungkung menjadi korban Cundhamani. Namun pasti ada alasan mengapa gurunya itu tak dapat ia hubungi dan temukan di Candika
“Siapa kau?”Prabu Warasena merasakan kehadiran seseorang di belakangnya. Ia tengah mencari petunjuk bagaimana istananya bisa hancur, habis menjadi abu. Sedangkan Adipati Kertajaya sudah kembali ke Astakencana tengah hari tadi.“Gusti Prabu Warasena. Hamba Sakuntala, Senopati Astagina yang terbuang dan terasingkan hingga ke perbatasan Candikapura,” ucap Sakuntala memperkenalkan diri.“Oh, jadi kau Senopatinya Ranajaya? Apa yang kau inginkan?” tanya Prabu Warasena langsung pada intinya. Raja Candikapura itu sama sekali tak menoleh pada lawan bicaranya.“Hamba tahu siapa yang telah menghancurkan istana Gusti!” ujar Sakuntala dengan penekanan di beberapa kata. Ia sengaja ingin membuat Raja yang tengah gundah gulana itu tertarik pada apa yang ia bicarakan.“Oh ya? Apakah aku harus percaya padamu?” tanya Prabu Warasena sinis. Saat ini ia tak ingin mendengarkan apa pun dari orang asing.“Tak ada alasan Gusti untuk tak mempercayai hamba.” Sakuntala berajalan mendekat dengan pincang. Membuat
“Apa-apaan kau ini, Warasena?” hardik Adipati Kertajaya. Ia tak menyangka pria yang selalu bersembunyi di belakang gurunya itu mampu mengancamnya dengan sebilah pedang.“Kau tak usah lagi berkilah! Aku sudah tahu bahwa calon menantumu itu lah yang menghancurkan Candikapura!” hardik Prabu Warasena tak kalah berani.“Apa buktinya?”“Seseorang melihatnya dengan mata kepalanya sendiri. Dan kau, sengaja mengalihkan agar aku tak mengetahuinya, bukan?” Prabu Warasena mendengus penuh emosi. Kedua netranya memerah mengindikasikan energi dalam dirinya yang telah siap untuk dikeluarkan.“Lantas, kalau penghancuran Candikapura adalah balasan atas serangan gagalmu ke Astagina, apakah itu cukup adil?” tutur Adipati Kertajaya mencoba membela diri.“Adil katamu?” Prabu Warasena mendorong kakak seperguruannya itu hingga tubuh Adipati Kertajaya membentur dinding. Ia mengacungkan ujung pedangnya. “Dan kau, tak ada pasukan yang kau kirim untuk mendukung pasukanku, bukan?”Adipati Kertajaya tak mampu lagi
"Dahulu Tusuk Konde Emas di belakang kepalamu itu yang memilih tuannya," ucap Sanggageni dengan tatapan kosong ke depan. Ia seolah menemui kembali masa lalu yang pernah ia jalani bersama Gantari."Maksudnya?" tanya Jenar tak mengerti."Ya, dahulu ada beberapa perempuan istana yang punya potensi menguasai Suji Pati. Ilmu itu hanya dapat dikuasai oleh orang yang memenuhi beberapa kriteria," terang Sanggageni "Itu sebab aku ingin tahu banyak tentang Suji Pati, Kakanda. Pendahuluku sudah wafat dan aku tiba-tiba saja menguasainya." Jenar kini duduk tepat di sebelah kakak iparnya itu."Demi melindungi Astagina, perempuan bangsawan dulu menjalani pelatihan berat agar pantas dipilih. Hal yang berbeda terjadi padamu. Tusuk konde emas tak memiliki pilihan lain." Sanggageni menoleh ke arah Jenar. Mencoba menangkap gurat kekecewaan di sana. Namun nihil."Jadi Ayunda Gantari menjalani pelatihan berat itu?" tanya Jenar antusias."Tentu saja. Dari lima putri raja dan tujug kemenakan raja, dia lah ya
Hanya tersisa jarak satu jengkal antara keris Adipati Kertajaya dengan batang leher Prabu Warasena. Senjata dengan pamor dan bilah berukir itu sudah menghabisi ratusan orang di medan perang dan beberapa pendekar tangguh Astakencana. Tak ada masalah bagi tuannya untuk membunuh satu lagi orang yang begitu menyebalkan.“Mati kau!” seru Adipati Kertajaya.Sebuah gerakan cepat datang dan menangkis keris Adipati Kertajaya dengan tongkat kayu. Segera sosok itu meraih raga Prabu Warasena dan membawanya menjauh. Sosok itu mengenakan penutup wajah kain hitam yang tersambung dengan caping di kepala.“Penyusup! Berani sekali kau masuk ke Astakenacana!” hardik Adipati Kertajaya.“Adipati Kertajaya, sang Pengkhianat penuh tipu muslihat! Setelah Astagina kau tipu daya, kini giliran adik seperguruanmu sendiri. Sungguh picik!” ucap sosok bercadar itu dengan dinginnya.“Siapa kau? Tunggu, mengapa suaramu terasa tak asing di telingaku?” Adipati Kertajaya berusaha mengenali pria itu.Selama mereka berdua
“Kau tak perlu tahu siapa aku. Kau hanya perlu berdoa untuk menyongsong kematianmu!” desis prajurit penjaga itu. Ia menggerakkan sedikit pedangnya. Serta merta Adipati Kertajaya melenguh merasakan sakit yang luar biasa.“Kau pelarian Astagina, bukan?” tebak Adipati Kertajaya dengan suara bergetar.“Kau cukup pandai sebagai orang licik yang sekarat. Hari ini aku pastikan kau tak akan lagi berbuat licik. Muslihatmu akan aku akhiri di istanamu sendiri, Prabu Kertajaya!” ledek pria itu dengan begitu dingin.Adipati Kertajaya mulai tak kuasa lagi menahan beban tubuhnya. Tungkainya bergetar seiring napasnya yang semakin berat. Setiap gerakan napasnya seolah menambah rasa sakit pada lukanya serupa sayatan sembilu.“Kau sebut aku apa? Prabu? Kau....” Kalimat Adipati Kertajaya terputus setelah memuntahkan darah segar dari mulutnya.“Enyah kau ke neraka!” bisik pria itu sembari mendorong tubuh Adipati Kertajaya demi mencabut pedang yang menancap di tubuh pria paruh baya itu.Lenguhan panjang ke