“Siapa kau?”Prabu Warasena merasakan kehadiran seseorang di belakangnya. Ia tengah mencari petunjuk bagaimana istananya bisa hancur, habis menjadi abu. Sedangkan Adipati Kertajaya sudah kembali ke Astakencana tengah hari tadi.“Gusti Prabu Warasena. Hamba Sakuntala, Senopati Astagina yang terbuang dan terasingkan hingga ke perbatasan Candikapura,” ucap Sakuntala memperkenalkan diri.“Oh, jadi kau Senopatinya Ranajaya? Apa yang kau inginkan?” tanya Prabu Warasena langsung pada intinya. Raja Candikapura itu sama sekali tak menoleh pada lawan bicaranya.“Hamba tahu siapa yang telah menghancurkan istana Gusti!” ujar Sakuntala dengan penekanan di beberapa kata. Ia sengaja ingin membuat Raja yang tengah gundah gulana itu tertarik pada apa yang ia bicarakan.“Oh ya? Apakah aku harus percaya padamu?” tanya Prabu Warasena sinis. Saat ini ia tak ingin mendengarkan apa pun dari orang asing.“Tak ada alasan Gusti untuk tak mempercayai hamba.” Sakuntala berajalan mendekat dengan pincang. Membuat
“Apa-apaan kau ini, Warasena?” hardik Adipati Kertajaya. Ia tak menyangka pria yang selalu bersembunyi di belakang gurunya itu mampu mengancamnya dengan sebilah pedang.“Kau tak usah lagi berkilah! Aku sudah tahu bahwa calon menantumu itu lah yang menghancurkan Candikapura!” hardik Prabu Warasena tak kalah berani.“Apa buktinya?”“Seseorang melihatnya dengan mata kepalanya sendiri. Dan kau, sengaja mengalihkan agar aku tak mengetahuinya, bukan?” Prabu Warasena mendengus penuh emosi. Kedua netranya memerah mengindikasikan energi dalam dirinya yang telah siap untuk dikeluarkan.“Lantas, kalau penghancuran Candikapura adalah balasan atas serangan gagalmu ke Astagina, apakah itu cukup adil?” tutur Adipati Kertajaya mencoba membela diri.“Adil katamu?” Prabu Warasena mendorong kakak seperguruannya itu hingga tubuh Adipati Kertajaya membentur dinding. Ia mengacungkan ujung pedangnya. “Dan kau, tak ada pasukan yang kau kirim untuk mendukung pasukanku, bukan?”Adipati Kertajaya tak mampu lagi
"Dahulu Tusuk Konde Emas di belakang kepalamu itu yang memilih tuannya," ucap Sanggageni dengan tatapan kosong ke depan. Ia seolah menemui kembali masa lalu yang pernah ia jalani bersama Gantari."Maksudnya?" tanya Jenar tak mengerti."Ya, dahulu ada beberapa perempuan istana yang punya potensi menguasai Suji Pati. Ilmu itu hanya dapat dikuasai oleh orang yang memenuhi beberapa kriteria," terang Sanggageni "Itu sebab aku ingin tahu banyak tentang Suji Pati, Kakanda. Pendahuluku sudah wafat dan aku tiba-tiba saja menguasainya." Jenar kini duduk tepat di sebelah kakak iparnya itu."Demi melindungi Astagina, perempuan bangsawan dulu menjalani pelatihan berat agar pantas dipilih. Hal yang berbeda terjadi padamu. Tusuk konde emas tak memiliki pilihan lain." Sanggageni menoleh ke arah Jenar. Mencoba menangkap gurat kekecewaan di sana. Namun nihil."Jadi Ayunda Gantari menjalani pelatihan berat itu?" tanya Jenar antusias."Tentu saja. Dari lima putri raja dan tujug kemenakan raja, dia lah ya
Hanya tersisa jarak satu jengkal antara keris Adipati Kertajaya dengan batang leher Prabu Warasena. Senjata dengan pamor dan bilah berukir itu sudah menghabisi ratusan orang di medan perang dan beberapa pendekar tangguh Astakencana. Tak ada masalah bagi tuannya untuk membunuh satu lagi orang yang begitu menyebalkan.“Mati kau!” seru Adipati Kertajaya.Sebuah gerakan cepat datang dan menangkis keris Adipati Kertajaya dengan tongkat kayu. Segera sosok itu meraih raga Prabu Warasena dan membawanya menjauh. Sosok itu mengenakan penutup wajah kain hitam yang tersambung dengan caping di kepala.“Penyusup! Berani sekali kau masuk ke Astakenacana!” hardik Adipati Kertajaya.“Adipati Kertajaya, sang Pengkhianat penuh tipu muslihat! Setelah Astagina kau tipu daya, kini giliran adik seperguruanmu sendiri. Sungguh picik!” ucap sosok bercadar itu dengan dinginnya.“Siapa kau? Tunggu, mengapa suaramu terasa tak asing di telingaku?” Adipati Kertajaya berusaha mengenali pria itu.Selama mereka berdua
“Kau tak perlu tahu siapa aku. Kau hanya perlu berdoa untuk menyongsong kematianmu!” desis prajurit penjaga itu. Ia menggerakkan sedikit pedangnya. Serta merta Adipati Kertajaya melenguh merasakan sakit yang luar biasa.“Kau pelarian Astagina, bukan?” tebak Adipati Kertajaya dengan suara bergetar.“Kau cukup pandai sebagai orang licik yang sekarat. Hari ini aku pastikan kau tak akan lagi berbuat licik. Muslihatmu akan aku akhiri di istanamu sendiri, Prabu Kertajaya!” ledek pria itu dengan begitu dingin.Adipati Kertajaya mulai tak kuasa lagi menahan beban tubuhnya. Tungkainya bergetar seiring napasnya yang semakin berat. Setiap gerakan napasnya seolah menambah rasa sakit pada lukanya serupa sayatan sembilu.“Kau sebut aku apa? Prabu? Kau....” Kalimat Adipati Kertajaya terputus setelah memuntahkan darah segar dari mulutnya.“Enyah kau ke neraka!” bisik pria itu sembari mendorong tubuh Adipati Kertajaya demi mencabut pedang yang menancap di tubuh pria paruh baya itu.Lenguhan panjang ke
Tak ada yang mampu menguraikan kebahagiaan Rara Anjani. Dua hari lalu ia kedatangan pemuda pujaan. Lalu lengan kirinya yang sembuh seperti semula. Memastikan diri untuk dinikahi Patih Astagina, dan kini menerima takdir bahwa dirinya masih suci.Sungguh kesucian baginya hanya lah kemustahilan. Setelah sedemikian rupa ia dilecehkan. Bertahun-tahun menyimpan nista yang begitu pedih. Anugerah itu kini seperti datang begitu saja di hidupnya. Ia tengah melayang-layang di sebuah dunia indah yang disebut cinta.Anak-anak rambut Rara Anjani tak kuasa mempertahankan posisi setelah dibelai angin semilir telaga Padma. Apa lagi sang pujaan hati akan senantiasa merapikan lagi letak mahkota itu dengan penuh kasih sayang. Rasanya tak ingin kembali dalam kenyataan yang kadang tak sesuai dengan perasaan.“Apa lagi yang harus kita lakukan, Rara? Selain menunggu Paman Adipati tiba di Astagina?” bisik Arya di telinga kiri kekasihnya yang sudah utuh kembali.“Aku pikir tak ada, Arya. Paman Sanggageni memin
“Siapa kau?” tanya Arya setengah menghardik.Pria berpakaian prajurit itu berjalan mendekat. Wajahnya dipenuhi tanya dan keresahan. Ia seperti baru saja mengalami kejadian aneh yang tak bisa ia percayai. Langkahnya ragu begitu sudah dekat dengan sepasang kekasih itu.“Maaf, Tuan, apakah ini daerah Astagina?” tanya pria berpakaian prajurit itu.“Benar, Ki Sanak. Dari mana kau berasal?” lanjut Arya. Ia mencium adanya kelagat yang mencurigakan dari pria itu. Dari pakaiannya memang pria itu tak berasal dari Astagina atau wilayah dalam kekuasaan Astagina.“Berarti aku harus waspada sekarang!” ucap pria itu sembari mencabut pedangnya.“Apa-apaan kau ini? Menghunuskan pedang di daerah kekuasaan orang lain?” protes Rara Anjani. Perempuan itu bangkit disusul Arya. Ia merasa aksi pria itu sungguh tak sopan dan berniat memberinya pelajaran.Arya menahan langkah Rara Anjani untuk mendekati pria itu. Ia kini maju ke hadapan kekasihnya. Pria berpakaian prajurit itu tampak siaga dengan bergeraknya A
“Apakah aku terlihat tangguh seperti Ksatria Cundhamani yang kau bicarakan itu?” tanya Arya kembali menyangkal meski prajurit itu sudah mencium ciri-ciri yang serupa.“Hmm, aku tak dapat memastikannya. Tapi bekas luka bakar itu....”“Siapa pun bisa mendapatkan luka bakar, bukan? Lagi pula bukan kah seharusnya Ksatria Cundhamani berada di istana?” kilah Arya. Ia tetap dengan keteguhannya tak ingin membuat prajurit itu berbuat tindakan berlebihan jika mengetahui jati dirinya.“Kau benar. Tapi aku tetap tak tenang. Aku tak bisa menurunkan kewaspadaanku,” ucap prajurit itu seraya meraba tangkai pedangnya.Arya tersenyum simpul. Prajurit Candikapura ini begitu polos padahal usianya jauh lebih tua darinya. Itu sebab mungkin mereka tak menyadari bahwa mereka melalui dunia ruh demi mencapai tujuan dengan cepat sekaligus mengelabui musuh.“Sudah lah, lebih baik kau kembali ke Candikapura. Bukan kah dengan begitu kau bisa bebas tanpa harus mempertaruhkan nyawa dalam perang?” Arya masih terus be