“Kau tak perlu tahu siapa aku. Kau hanya perlu berdoa untuk menyongsong kematianmu!” desis prajurit penjaga itu. Ia menggerakkan sedikit pedangnya. Serta merta Adipati Kertajaya melenguh merasakan sakit yang luar biasa.“Kau pelarian Astagina, bukan?” tebak Adipati Kertajaya dengan suara bergetar.“Kau cukup pandai sebagai orang licik yang sekarat. Hari ini aku pastikan kau tak akan lagi berbuat licik. Muslihatmu akan aku akhiri di istanamu sendiri, Prabu Kertajaya!” ledek pria itu dengan begitu dingin.Adipati Kertajaya mulai tak kuasa lagi menahan beban tubuhnya. Tungkainya bergetar seiring napasnya yang semakin berat. Setiap gerakan napasnya seolah menambah rasa sakit pada lukanya serupa sayatan sembilu.“Kau sebut aku apa? Prabu? Kau....” Kalimat Adipati Kertajaya terputus setelah memuntahkan darah segar dari mulutnya.“Enyah kau ke neraka!” bisik pria itu sembari mendorong tubuh Adipati Kertajaya demi mencabut pedang yang menancap di tubuh pria paruh baya itu.Lenguhan panjang ke
Tak ada yang mampu menguraikan kebahagiaan Rara Anjani. Dua hari lalu ia kedatangan pemuda pujaan. Lalu lengan kirinya yang sembuh seperti semula. Memastikan diri untuk dinikahi Patih Astagina, dan kini menerima takdir bahwa dirinya masih suci.Sungguh kesucian baginya hanya lah kemustahilan. Setelah sedemikian rupa ia dilecehkan. Bertahun-tahun menyimpan nista yang begitu pedih. Anugerah itu kini seperti datang begitu saja di hidupnya. Ia tengah melayang-layang di sebuah dunia indah yang disebut cinta.Anak-anak rambut Rara Anjani tak kuasa mempertahankan posisi setelah dibelai angin semilir telaga Padma. Apa lagi sang pujaan hati akan senantiasa merapikan lagi letak mahkota itu dengan penuh kasih sayang. Rasanya tak ingin kembali dalam kenyataan yang kadang tak sesuai dengan perasaan.“Apa lagi yang harus kita lakukan, Rara? Selain menunggu Paman Adipati tiba di Astagina?” bisik Arya di telinga kiri kekasihnya yang sudah utuh kembali.“Aku pikir tak ada, Arya. Paman Sanggageni memin
“Siapa kau?” tanya Arya setengah menghardik.Pria berpakaian prajurit itu berjalan mendekat. Wajahnya dipenuhi tanya dan keresahan. Ia seperti baru saja mengalami kejadian aneh yang tak bisa ia percayai. Langkahnya ragu begitu sudah dekat dengan sepasang kekasih itu.“Maaf, Tuan, apakah ini daerah Astagina?” tanya pria berpakaian prajurit itu.“Benar, Ki Sanak. Dari mana kau berasal?” lanjut Arya. Ia mencium adanya kelagat yang mencurigakan dari pria itu. Dari pakaiannya memang pria itu tak berasal dari Astagina atau wilayah dalam kekuasaan Astagina.“Berarti aku harus waspada sekarang!” ucap pria itu sembari mencabut pedangnya.“Apa-apaan kau ini? Menghunuskan pedang di daerah kekuasaan orang lain?” protes Rara Anjani. Perempuan itu bangkit disusul Arya. Ia merasa aksi pria itu sungguh tak sopan dan berniat memberinya pelajaran.Arya menahan langkah Rara Anjani untuk mendekati pria itu. Ia kini maju ke hadapan kekasihnya. Pria berpakaian prajurit itu tampak siaga dengan bergeraknya A
“Apakah aku terlihat tangguh seperti Ksatria Cundhamani yang kau bicarakan itu?” tanya Arya kembali menyangkal meski prajurit itu sudah mencium ciri-ciri yang serupa.“Hmm, aku tak dapat memastikannya. Tapi bekas luka bakar itu....”“Siapa pun bisa mendapatkan luka bakar, bukan? Lagi pula bukan kah seharusnya Ksatria Cundhamani berada di istana?” kilah Arya. Ia tetap dengan keteguhannya tak ingin membuat prajurit itu berbuat tindakan berlebihan jika mengetahui jati dirinya.“Kau benar. Tapi aku tetap tak tenang. Aku tak bisa menurunkan kewaspadaanku,” ucap prajurit itu seraya meraba tangkai pedangnya.Arya tersenyum simpul. Prajurit Candikapura ini begitu polos padahal usianya jauh lebih tua darinya. Itu sebab mungkin mereka tak menyadari bahwa mereka melalui dunia ruh demi mencapai tujuan dengan cepat sekaligus mengelabui musuh.“Sudah lah, lebih baik kau kembali ke Candikapura. Bukan kah dengan begitu kau bisa bebas tanpa harus mempertaruhkan nyawa dalam perang?” Arya masih terus be
“Kau tak apa?”“Tentu saja sakit, Rara!” ucap Arya dengan sisa-sisa kesadaran. Pemuda itu limbung dan roboh dari kudanya. Rara Anjani berteriak manakala melihat sebuah anak panah menancap di punggung kekasihnya.Perempuan itu buru-buru turun dari punggung Aswabrama. Ia begitu panik walau mengetahui Arya akan segera pulih dengan luka fisik seperti itu. Namun dengan kesadaran Arya yang hilang, sepertinya luka kali ini berbeda dari biasanya. Bisa jadi anak panah itu mengenai organ vitalnya.“Arya!” Rara Anjani menggerakkan tubuh Arya agar kekasihnya itu tak telungkup dan napasnya tak tertutup. Dengan anak panah di punggung tak mungkin untuk membaringkannya. Tubuh Arya dimiringkan dengan Rara Anjani menyangga punggungnya.“Anak panah ini ... kayu?” gumam Rara Anjani. Bagaimana mungkin seorang yang hendak mencelakakan musuhnya menyerang dengan anak panah kayu. “Aku seperti pernah melihat jenis kayu seperti ini.”Suara pedang tercabut dari sarungnya terdengar begitu dekat. Suaranya tidak ha
“Gusti, apa Gusti baik-baik saja?” tanya prajurit Candikapura yang belum lama Rara Anjani dan Arya tinggalkan di tepi telaga Padma. Ia tergopoh-gopoh menghampiri Rara Anjani dengan busur di tangan kiri.“Kau yang menyelamatkanku? Mengapa kau menyebutku Gusti?” tanya Rara Anjani tak mengerti. Mendengar pertanyaan Rara Anjani, prajurit itu tak segera menjawab. Ia justru berlutut dengan sebelah kaki memberi hormat.“Gusti Putri Rara Anjani, putri Adipati Kertajaya. Tak mungkin prajurit Candikapura tak mengenali Gusti,” ucap prajurit itu begitu yakin. Rara Anjani mengangguk beberapa kali. Beruntung ada pria ini. Kalau tidak mungkin dirinya dan Arya sudah terbunuh.“Terima kasih sudah menyelamatkan aku, Prajurit. Aku berhutang nyawa padamu!” ucap Rara Anjani dengan setulus hati.“Mohon untuk bicara nanti, Gusti. Dua orang musuh tengah menuju kemari!” Prajurit itu bangkit dan segera mencabut pedangnya. Seorang pria dengan wajah penuh darah dan seorang lagi berlari terpincang-pincang mengham
“Bedebah!”Kata terakhir yang keluar dari mulut berlumur darah mantan punggawa Astagina itu. Bukan pedang yang menusuk tubuh, bukan pula tebasannya yang memisahkan kepala dan tubuh. Prajurit Candikapura itu lebih memilih mencabut paksa anak panah yang menembus dada, hingga dada pria itu berlubang, hancur terkait mata panah.Rara Anjani bahkan sempat berpaling. Tak sanggup melihat pemandangan mengerikan itu. Namun tak ada ekspresi apa pun di wajah prajurit Candikapura. Ia tetap berlaku seperti tak pernah ada kejadian kejam yang ia lakukan.“Gusti, apa yang terjadi dengannya?” tanya prajurit itu begitu sampai di sisi Rara Anjani.“Kau sepertinya paham banyak tentang panah. Apakah panah yang menancap di punggung kekasihku ini bisa dikeluarkan?” tanya Rara Anjani. “Dia harus segera diberikan pertolongan pertama.”Prajurit Candikapura itu mendekat. Memeriksa keadaan Arya sejenak sebelum kemudian perhatiannya tercurah pada anak panah yang menembus punggung pemuda yang memberinya benda keema
“Kau tetap di sini selama aku mengobati Arya! Banyak yang ingin aku tanyakan padamu nanti!” ujar Ki Bayanaka dan segera memulai pengobatan tanpa menunggu persetujuan prajurit Candikapura itu.Pria tua yang kini menjadi penasihat raja itu memulai pengobatan dengan membuat kondisi Arya stabil. Telapak tangan kanannya menyentu dahi Arya, sedang tangan kirinya di dada. Tepat di atas mata panah yang menembus dada pemuda itu.Aura biru muncul di kedua telapak tangan Ki Bayanaka. Beberapa masa kedua telapaka tangan itu tetap di sana. Hingga perlahan wajah Arya kembali menghangat. Tak lagi dingin dan pucat seperti sebelumnya. Prajurit Candikapura itu memandang prosesi pengobatan dengan takjub.“Apa kau punya senjata tajam?” tanya Ki Bayanaka pada prajurit Candikapura yang mematung menyaksikannya.“Oh, ada.” Prajurit itu menyodorkan sebuah belati dari pinggangnya. “Hanya ini yang yang tersisa, Ki. Semua senjataku sudah disita oleh prajurit penjaga di luar.”Ki Bayanaka menerima belati bersarun