“Gusti, apa Gusti baik-baik saja?” tanya prajurit Candikapura yang belum lama Rara Anjani dan Arya tinggalkan di tepi telaga Padma. Ia tergopoh-gopoh menghampiri Rara Anjani dengan busur di tangan kiri.“Kau yang menyelamatkanku? Mengapa kau menyebutku Gusti?” tanya Rara Anjani tak mengerti. Mendengar pertanyaan Rara Anjani, prajurit itu tak segera menjawab. Ia justru berlutut dengan sebelah kaki memberi hormat.“Gusti Putri Rara Anjani, putri Adipati Kertajaya. Tak mungkin prajurit Candikapura tak mengenali Gusti,” ucap prajurit itu begitu yakin. Rara Anjani mengangguk beberapa kali. Beruntung ada pria ini. Kalau tidak mungkin dirinya dan Arya sudah terbunuh.“Terima kasih sudah menyelamatkan aku, Prajurit. Aku berhutang nyawa padamu!” ucap Rara Anjani dengan setulus hati.“Mohon untuk bicara nanti, Gusti. Dua orang musuh tengah menuju kemari!” Prajurit itu bangkit dan segera mencabut pedangnya. Seorang pria dengan wajah penuh darah dan seorang lagi berlari terpincang-pincang mengham
“Bedebah!”Kata terakhir yang keluar dari mulut berlumur darah mantan punggawa Astagina itu. Bukan pedang yang menusuk tubuh, bukan pula tebasannya yang memisahkan kepala dan tubuh. Prajurit Candikapura itu lebih memilih mencabut paksa anak panah yang menembus dada, hingga dada pria itu berlubang, hancur terkait mata panah.Rara Anjani bahkan sempat berpaling. Tak sanggup melihat pemandangan mengerikan itu. Namun tak ada ekspresi apa pun di wajah prajurit Candikapura. Ia tetap berlaku seperti tak pernah ada kejadian kejam yang ia lakukan.“Gusti, apa yang terjadi dengannya?” tanya prajurit itu begitu sampai di sisi Rara Anjani.“Kau sepertinya paham banyak tentang panah. Apakah panah yang menancap di punggung kekasihku ini bisa dikeluarkan?” tanya Rara Anjani. “Dia harus segera diberikan pertolongan pertama.”Prajurit Candikapura itu mendekat. Memeriksa keadaan Arya sejenak sebelum kemudian perhatiannya tercurah pada anak panah yang menembus punggung pemuda yang memberinya benda keema
“Kau tetap di sini selama aku mengobati Arya! Banyak yang ingin aku tanyakan padamu nanti!” ujar Ki Bayanaka dan segera memulai pengobatan tanpa menunggu persetujuan prajurit Candikapura itu.Pria tua yang kini menjadi penasihat raja itu memulai pengobatan dengan membuat kondisi Arya stabil. Telapak tangan kanannya menyentu dahi Arya, sedang tangan kirinya di dada. Tepat di atas mata panah yang menembus dada pemuda itu.Aura biru muncul di kedua telapak tangan Ki Bayanaka. Beberapa masa kedua telapaka tangan itu tetap di sana. Hingga perlahan wajah Arya kembali menghangat. Tak lagi dingin dan pucat seperti sebelumnya. Prajurit Candikapura itu memandang prosesi pengobatan dengan takjub.“Apa kau punya senjata tajam?” tanya Ki Bayanaka pada prajurit Candikapura yang mematung menyaksikannya.“Oh, ada.” Prajurit itu menyodorkan sebuah belati dari pinggangnya. “Hanya ini yang yang tersisa, Ki. Semua senjataku sudah disita oleh prajurit penjaga di luar.”Ki Bayanaka menerima belati bersarun
Tak ada yang bisa dilakukan Ki Bayanaka selain menunggu kedatangan Jenar. Besar kemungkinan anak panah itu mengenai jantung Arya. Dan untuk menyembuhkannya, pria tua itu membutuhkan bantuan putrinya untuk menyangga daya hidup Arya, sedang Ki Bayanaka melakukan pembedahan.Sembari menunggu, Ki Bayanaka hanya mampu untuk memberikan energi yang menjaga daya hidup Arya, tidak lebih. Karena bila dipaksakan melakukan dua aktivitas besar sekaligus, bisa saja membahayakan dirinya sendiri.“Apa yang terjadi, Ayahanda?” seru Jenar begitu masuk ke dalam bilik patih dan mendapati Arya terbaring tak berdaya. Luka menganga di dadanya semakin membuat gadis itu panik.“Jadi ini raja Astagina yang baru? Ia masih begitu muda dan cantik. Pantas saja dia dikelilingi orang-orang istimewa!” batin prajurit Candikapura. Kecantikan Jenar memang berkali-kali lipat semenjak ia naih tahta.“Gantikan Ayah! Ayah akan melakukan pembedahan!” seru Ki Bayanaka dengan wajah tak kalah paniknya.Jenar tak mau lagi bertan
Rara Anjani menghentikan tungkainya. Kemudian ia mundur dan menyembunyikan tubuhnya di ambang pintu ruang pribadi Patih Astagina itu. Sungguh ia tak kuasa melihat Arya dipeluk oleh Jenar. Rasanya sungguh menderita, nyaris serupa rasanya saat dilecehkan oleh mendiang Prabu Ranajaya.“Apa ini? Mengapa rasanya begitu sakit? Mereka bibi dan kemenakan, bukan?” batin Rara Anjani. Dari sela-sela daun pintu, ia masih dapat menyaksikan Jenar melerai pelukannya dan mulai berbincang ringan dengan Arya.Arya tampak tersenyum kecil. Pemuda itu memang menyadari kehadiran kekasihnya. Namun tak bisa berbuat banyak karena tak mungkin meminta seorang raja untuk pergi, padahal masih begitu antusias berbincang dengannya.“Syukur lah kau sudah sadar,” lirih Jenar dengan senyum indah mengurai di bibirnya.“Terima kasih sudah membantuku, Bibinda,” balas Arya. Wajah mereka berdua begitu dekat. Arya bahkan mampu melihat perubahan-perubahan dan tambahan riasan di wajah cantik Jenar.“Kau ini bicara apa? Selain
“Kau tak punya kedudukan lagi. Juga dikhianati oleh orang yang kau anggap kakak. Dan kau masih merasa memiliki kekuasaan?” hardik Sakuntala tepat di hadapan wajah Prabu Warasena. “Bahkan rakyatmu sendiri tak sudi memiliki raja macam kau ini!”“Bedebah!” Prabu Warasena menampik tangan Sakuntala yang mencengkeram lehernya. Ia merasa pria pincang ini begitu jumawa, padahal ia sama sekali tak memiliki kekuatan yang mumpuni. Pun begitu dengan para pengikutnya.“Kau hanya sebatang kara, Warasena!” bentak Sakuntala setelah pria yang menganggap dirinya masih seorang prabu itu berjalan menghindar.“Lebih baik aku sebatang kara dari pada harus menghamba kepada pecundang macam kau!” balas Prabu Warasena. Ia mulai menyadari keputusan bergabung dengan Sakuntala adalah keliru.“Oh ya? Bukan kah pecundang ini lah yang menyelamatkanmu kemarin? Jika tak ada aku, kau kini sudah mati, Warasena!” timpal Sakuntala.“Hmm, begitu ya? Jika tanpa orang-orang bodoh di belakangmu ini, kau hanya lah pria cacat b
Ratusan pria dan pemuda dari berbagai desa di sekitar Astagina berkerumun di arena latih. Tempat yang beberapa waktu lalu di datangi Arya bersama pemuda-pemuda desanya untuk dilakukan Uji Penanda. Namun kali ini berbeda, tak ada paksaan. Mereka datang secara sukarela.“Kau ingat sesuatu, Arya?” tanya Jenar sembari mengukir senyum di bibir tipisnya. Hidung mancung dengan wajah berias cantik itu yang kini tengah dinikmati Arya.“Ya, tentu saja, Bibinda. Karena aku salah satu yang terkena cairan tinta paling banyak, bukan?” jawab Arya setengah tertawa. Begitu juga dengan Jenar. Dia gadis cantik yang memanah kantung berisi cairan tinta.“Siapa yang menyangka kau lah Ksatria Cundhamani dan kini sudah menjadi Patih Astagina!” seloroh Jenar masih terus tertawa memperlihatkan deretan giginya yang putih pualam.“Terlebih kau, Bibinda. Siapa yang menyangka kau akan menjadi Raja,” balas Arya. Mereka berdua berdiri di lantai dua istana menghadap arena latih prajurit pemula.“Ya, ini lah takdir ya
Di sisi arena latih bagian utara, prajurit Candikapura yang menolong Arya tengah terpaku. Ia menatap prajurit-prajurit Astagina latih tanding menggunakan pedang. Banyak perbedaan yang ia rasakan mulai dari gerakan dasar sampai lanjutan. Beberapa yang lebih baik coba ia duplikasi. “Mengapa tak kau coba latih tanding dengan prajurit Astagina?” sapa Arya sekaligus membuyarkan lamunan pria itu. “Gusti, Patih!” hormat prajurit itu. “Hamba tak berani, Gusti.” “Oh ya, sejak kemarin kau sudah berada di Astagina dan aku tak tahu siapa namamu,” Arya menjajari tubuh prajurit Candikapura itu yang berdiri tepat di bawah pohon rindang. “Hamba Danapati, Gusti,” jawab pria itu menunduk. Tubuhnya yang lebih tinggi dari Arya mencoba ia rendahkan agar Patih Astagina itu tak mendongak manakala menatapnya. “Namamu tak seperti nama seorang prajurit, Danapati. Apa kau masih keturunan punggawa Candikapura?” tanya Arya yang langsung membuat Danapati terkejut. “Ah, tidak. Itu hanya kebetulan, Gusti. Mungk