“Kau tak punya kedudukan lagi. Juga dikhianati oleh orang yang kau anggap kakak. Dan kau masih merasa memiliki kekuasaan?” hardik Sakuntala tepat di hadapan wajah Prabu Warasena. “Bahkan rakyatmu sendiri tak sudi memiliki raja macam kau ini!”“Bedebah!” Prabu Warasena menampik tangan Sakuntala yang mencengkeram lehernya. Ia merasa pria pincang ini begitu jumawa, padahal ia sama sekali tak memiliki kekuatan yang mumpuni. Pun begitu dengan para pengikutnya.“Kau hanya sebatang kara, Warasena!” bentak Sakuntala setelah pria yang menganggap dirinya masih seorang prabu itu berjalan menghindar.“Lebih baik aku sebatang kara dari pada harus menghamba kepada pecundang macam kau!” balas Prabu Warasena. Ia mulai menyadari keputusan bergabung dengan Sakuntala adalah keliru.“Oh ya? Bukan kah pecundang ini lah yang menyelamatkanmu kemarin? Jika tak ada aku, kau kini sudah mati, Warasena!” timpal Sakuntala.“Hmm, begitu ya? Jika tanpa orang-orang bodoh di belakangmu ini, kau hanya lah pria cacat b
Ratusan pria dan pemuda dari berbagai desa di sekitar Astagina berkerumun di arena latih. Tempat yang beberapa waktu lalu di datangi Arya bersama pemuda-pemuda desanya untuk dilakukan Uji Penanda. Namun kali ini berbeda, tak ada paksaan. Mereka datang secara sukarela.“Kau ingat sesuatu, Arya?” tanya Jenar sembari mengukir senyum di bibir tipisnya. Hidung mancung dengan wajah berias cantik itu yang kini tengah dinikmati Arya.“Ya, tentu saja, Bibinda. Karena aku salah satu yang terkena cairan tinta paling banyak, bukan?” jawab Arya setengah tertawa. Begitu juga dengan Jenar. Dia gadis cantik yang memanah kantung berisi cairan tinta.“Siapa yang menyangka kau lah Ksatria Cundhamani dan kini sudah menjadi Patih Astagina!” seloroh Jenar masih terus tertawa memperlihatkan deretan giginya yang putih pualam.“Terlebih kau, Bibinda. Siapa yang menyangka kau akan menjadi Raja,” balas Arya. Mereka berdua berdiri di lantai dua istana menghadap arena latih prajurit pemula.“Ya, ini lah takdir ya
Di sisi arena latih bagian utara, prajurit Candikapura yang menolong Arya tengah terpaku. Ia menatap prajurit-prajurit Astagina latih tanding menggunakan pedang. Banyak perbedaan yang ia rasakan mulai dari gerakan dasar sampai lanjutan. Beberapa yang lebih baik coba ia duplikasi. “Mengapa tak kau coba latih tanding dengan prajurit Astagina?” sapa Arya sekaligus membuyarkan lamunan pria itu. “Gusti, Patih!” hormat prajurit itu. “Hamba tak berani, Gusti.” “Oh ya, sejak kemarin kau sudah berada di Astagina dan aku tak tahu siapa namamu,” Arya menjajari tubuh prajurit Candikapura itu yang berdiri tepat di bawah pohon rindang. “Hamba Danapati, Gusti,” jawab pria itu menunduk. Tubuhnya yang lebih tinggi dari Arya mencoba ia rendahkan agar Patih Astagina itu tak mendongak manakala menatapnya. “Namamu tak seperti nama seorang prajurit, Danapati. Apa kau masih keturunan punggawa Candikapura?” tanya Arya yang langsung membuat Danapati terkejut. “Ah, tidak. Itu hanya kebetulan, Gusti. Mungk
Prabu Warasena, Sakuntala dan puluhan orang mantan punggawa Astagina sudah tiba di sebuah penginapan tua tempat para pedagang perak dan tembaga bermalam. Namun seiring dengan kematian Ki Wungkung, tempat ini jadi terbengkalai. Meski jauh lebih baik dari pada bermalam di goa berhari-hari.Semua orang bebas memilih kamarnya masing-masing. Sedang Prabu Warasena berkujung ke ruang usang milik gurunya, tempat biasa Ki Wungkung bermeditasi. Ia ingin mendapatkan tanda atau pun wangsit bagaimana caranya tetap dapat mengendalikan perdagangan perak dan tembaga meski Candikapura sudah tak ada lagi.“Hendak kemana kau, Warasena?” tanya Sakuntala yang rupanya mengekori pria itu.“Kau melupakan sesuatu, Sakuntala!” ujar Prabu Warasena dingin.“Huh, tanpa istana dan rakyat mana mungkin kau menjadi raja!” omel Sakuntala, namun masih terus mengekori pria berselir sembilan itu.“Sama sepertimu, bagaimana mungkin orang yang tak memiliki raja mengaku sebagai Senopati?” ledek Prabu Warasena.“Kau benar,”
“Raden?” Jenar menganga tak mengerti apa yang dibicarakan Arya tentang prajurit Candikapura yang belakangan diketahui bernama Danapati.“Gusti Sri Maharani, benar kah Gusti adalah Putri dari Dewi Kaniraras?” tanya Danapati dengan tatapan yang sama tak percayanya dengan Jenar. Sedang Arya mulai diam dan memilih menyingkir membiarkan dua orang itu saling mengenalkan silsilahnya.“Ya, aku putri Dewi Kaniraras meski aku sama sekali tak dirawat olehnya,” jawab Jenar gamang. “Lalu siapa kau? Mengapa Patihku menyebutmu Raden? Apa hubunganmu dengan Prabu Anarawan?” cecarnya.Danapati mendadak terdiam. Ia tak percaya akan mendapatkan sebuah kenyataan baru di Astagina. Gadis cantik Raja Astagina di hadapannya ternyata masih memiliki hubungan darah dengannya. Namun ia ragu apakah Jenar akan percaya.“Dewi Kaniraras adalah putri kedua Prabu Anarawan. Beliau memiliki seorang kakak dan seorang adik laki-laki. Sang Putra Mahkota, Pangeran Balarawan dan Raden Bagaskara,” terang Danapati.“Lantas?” ta
Danapati, Arya dan Sanggageni saling berpelukan. Sudah diputuskan cucu Prabu Anarawan Raja Candrapurwa itu akan bergabung dan tinggal di Astagina. Meski belum bisa dipastikan apakah ia mengemban sebuah jabatana atau tidak.Tak ada yang lebih bahagia dari pada Jenar. Belum lama ia memangku jabatan sebagai Raja Astagina, ia sudah menemukan saudara dari jalur ibundanya. Padahal gadis itu dan Arya baru saja akan merencanakan pencarian. Kerinduan akan keluarga besarnya usai sudah.“Raden, apa kau sudah punya rencana untuk Candikapura?” tanya Sanggageni di beranda istana untuk pria yang semula menyamar sebagai prajurit itu.“Kakanda Sanggageni, cukup panggil aku Danapati. Kakanda pun tak enak jika aku panggil Tuan Penasihat, bukan?” kilah Danapati. “Sampai sekarang aku belum punya rencana apa pun dengan reruntuhan Candikapura, mengingat Prabu Warasena pasti akan mempertahankannya dari suatu tempat.”“Ya, aku sendiri tak menyangka bahwa sesungguhnya hubungan Astagina dan Candrapurwa begitu d
Sebuah meja penuh hidangan lezat sudah tersedia di hadapan Jenar, Sanggageni dan Adipati Kertajaya. Satu pun rombongan keluarga Astakencana tak ada yang diijinkan untuk ikut. Hal yang sebenarnya menimbulkan pertanyaan. Namun Adipati Kertajaya terlanjur tersanjung pada perlakuan penguasa Astagina.“Lantas dimana Rara Anjani dan Arya, Gusti?” tanya Adipati Kertajaya pada Jenar yang duduk dengan anggun di sisi utama meja.“Ah, mereka tentu sedang mempersiapkan diri untuk prosesi pernikahan. Apa lagi Rara Anjani, Paman Adipati pasti akan terpukau dengan penampilannya sekarang,” ujar Jenar ramah. Ia sengaja mencoba menepis kecurigaan pria tua itu.“Kakanda Adipati, biar lah kita di sini sebagai orang tua dari mereka berdua mengakrabkan diri,” ucap Sanggageni sembari mengunyah makanannya.“Maaf, Tuan Braja. Ampun, Gustri Sri Maharani. Hamba hanya belum terbiasa dengan perlakuan Astagina yang begitu ramah dan baik kepada hamba.” Adipati Kertajaya mulai menyantap hidangannya.“Paman harus mul
“Pria pincang di pendopo Astagina?” tanya Jenar mencoba meyakinkan bahwa yang didengarnya tak salah.“Benar, Gusti. Pria itu seperti kehilangan kaki kirinya sebatas betis. Ia menyambung kaki itu menggunakan kayu agar tetap dapat berdiri tegak,” terang Adipati Kertajaya.Apa pun yang didengar dari pengakuan dan perbincangan ini sama sekali tak membuat Danapati puas. Ia merasa dendamnya sama sekali tak menemui sasaran pada Adipati Kertajaya. Lelaki itu mengayunkan kaki kanannya, mendarat telak di dada pimpinan Astakencana itu hingga tubuhnya bergeser ke belakang beserta kursinya.“Bedebah! Tak ada gunanya aku menyimpan dendam padamu!” rutuk Danapati. “Aku bersumpah akan mencari dan membunuh Warasena!”Adipati Kertajaya mengaduh. Pengakuan dosanya memang sudah ia rencanakan jauh hari. Namun tak menyangka akan terjadi di Astagina, di hadapan calon besannya. Ia pun sudah tak peduli lagi dengan kekuasaan, setelah melihat Candikapura musnah dengan begitu mudah.“Raden Danapati dan Gusti Sri