“Raden?” Jenar menganga tak mengerti apa yang dibicarakan Arya tentang prajurit Candikapura yang belakangan diketahui bernama Danapati.“Gusti Sri Maharani, benar kah Gusti adalah Putri dari Dewi Kaniraras?” tanya Danapati dengan tatapan yang sama tak percayanya dengan Jenar. Sedang Arya mulai diam dan memilih menyingkir membiarkan dua orang itu saling mengenalkan silsilahnya.“Ya, aku putri Dewi Kaniraras meski aku sama sekali tak dirawat olehnya,” jawab Jenar gamang. “Lalu siapa kau? Mengapa Patihku menyebutmu Raden? Apa hubunganmu dengan Prabu Anarawan?” cecarnya.Danapati mendadak terdiam. Ia tak percaya akan mendapatkan sebuah kenyataan baru di Astagina. Gadis cantik Raja Astagina di hadapannya ternyata masih memiliki hubungan darah dengannya. Namun ia ragu apakah Jenar akan percaya.“Dewi Kaniraras adalah putri kedua Prabu Anarawan. Beliau memiliki seorang kakak dan seorang adik laki-laki. Sang Putra Mahkota, Pangeran Balarawan dan Raden Bagaskara,” terang Danapati.“Lantas?” ta
Danapati, Arya dan Sanggageni saling berpelukan. Sudah diputuskan cucu Prabu Anarawan Raja Candrapurwa itu akan bergabung dan tinggal di Astagina. Meski belum bisa dipastikan apakah ia mengemban sebuah jabatana atau tidak.Tak ada yang lebih bahagia dari pada Jenar. Belum lama ia memangku jabatan sebagai Raja Astagina, ia sudah menemukan saudara dari jalur ibundanya. Padahal gadis itu dan Arya baru saja akan merencanakan pencarian. Kerinduan akan keluarga besarnya usai sudah.“Raden, apa kau sudah punya rencana untuk Candikapura?” tanya Sanggageni di beranda istana untuk pria yang semula menyamar sebagai prajurit itu.“Kakanda Sanggageni, cukup panggil aku Danapati. Kakanda pun tak enak jika aku panggil Tuan Penasihat, bukan?” kilah Danapati. “Sampai sekarang aku belum punya rencana apa pun dengan reruntuhan Candikapura, mengingat Prabu Warasena pasti akan mempertahankannya dari suatu tempat.”“Ya, aku sendiri tak menyangka bahwa sesungguhnya hubungan Astagina dan Candrapurwa begitu d
Sebuah meja penuh hidangan lezat sudah tersedia di hadapan Jenar, Sanggageni dan Adipati Kertajaya. Satu pun rombongan keluarga Astakencana tak ada yang diijinkan untuk ikut. Hal yang sebenarnya menimbulkan pertanyaan. Namun Adipati Kertajaya terlanjur tersanjung pada perlakuan penguasa Astagina.“Lantas dimana Rara Anjani dan Arya, Gusti?” tanya Adipati Kertajaya pada Jenar yang duduk dengan anggun di sisi utama meja.“Ah, mereka tentu sedang mempersiapkan diri untuk prosesi pernikahan. Apa lagi Rara Anjani, Paman Adipati pasti akan terpukau dengan penampilannya sekarang,” ujar Jenar ramah. Ia sengaja mencoba menepis kecurigaan pria tua itu.“Kakanda Adipati, biar lah kita di sini sebagai orang tua dari mereka berdua mengakrabkan diri,” ucap Sanggageni sembari mengunyah makanannya.“Maaf, Tuan Braja. Ampun, Gustri Sri Maharani. Hamba hanya belum terbiasa dengan perlakuan Astagina yang begitu ramah dan baik kepada hamba.” Adipati Kertajaya mulai menyantap hidangannya.“Paman harus mul
“Pria pincang di pendopo Astagina?” tanya Jenar mencoba meyakinkan bahwa yang didengarnya tak salah.“Benar, Gusti. Pria itu seperti kehilangan kaki kirinya sebatas betis. Ia menyambung kaki itu menggunakan kayu agar tetap dapat berdiri tegak,” terang Adipati Kertajaya.Apa pun yang didengar dari pengakuan dan perbincangan ini sama sekali tak membuat Danapati puas. Ia merasa dendamnya sama sekali tak menemui sasaran pada Adipati Kertajaya. Lelaki itu mengayunkan kaki kanannya, mendarat telak di dada pimpinan Astakencana itu hingga tubuhnya bergeser ke belakang beserta kursinya.“Bedebah! Tak ada gunanya aku menyimpan dendam padamu!” rutuk Danapati. “Aku bersumpah akan mencari dan membunuh Warasena!”Adipati Kertajaya mengaduh. Pengakuan dosanya memang sudah ia rencanakan jauh hari. Namun tak menyangka akan terjadi di Astagina, di hadapan calon besannya. Ia pun sudah tak peduli lagi dengan kekuasaan, setelah melihat Candikapura musnah dengan begitu mudah.“Raden Danapati dan Gusti Sri
Danapati dan Jenar menoleh, tapi tidak dengan Sanggageni. Pria itu masih terus berkonsentrasi untuk menuntaskan prosesi pemusnahan muslihat Adipati Kertajaya. Baginya sekarang, atau tidak sama sekali. Meski kini Rara Anjani sudah hampir sampai di dekatnya dan Arya yang tak kuasa lagi mencegah kekasihnya.“Paman! Apa yang kau....”Rara Anjani tak sempat lagi menyelesaikan kalimatnya. Saat dari mulut Ayahandanya keluar sebuah energi besar berwarna hitam menyerupai seekor lembu. Gadis cantik itu terkejut hingga melangkahkan kakinya dua kali ke belakang.“Makhluk apa itu?” seru Danapati.Energi besar hitam itu terus bergerak meronta-ronta. Ujung ekornya kini sudah mulai terserap oleh aura jingga dari tangan Sanggageni. Ia ingin sekali lari atau menyerang siapa pun di hadapannya. Namun tubuhnya terus tersedot.“A-Arya! Apa kau di sini?” lirih Sanggageni. Pria itu masih terus memejamkan mata. Wajahnya seolah menahan rasa sakit yang begitu berat.“Ya, aku di sini, Ayahanda!” ucap Arya cepat
“Kau berani menyerangku, hah?” Jenar maju mendekati putri Adipati Kertajaya itu. Beruntung Rara Anjani masih memiliki akal sehat. Gadis itu urung menyalak namun bahasa tubuhnya menandakan bahwa ia masih begitu marah.“Kau memang Raja, tapi bukan berarti bisa berbuat apa pun pada Ayahandaku!” Sorot mata Rara Anjani berubah. Tampak sekali amarah menyala-nyala di sinar manik hitam itu.“Perempuan bodoh!” Jenar maju hingga berjarak satu langkah dengan Rara Anjani. “Siapa yang mengijinkanmu masuk ke ruangan ini?”Rara Anjani tak bisa menjawab. Ia memang yang memaksa Arya untuk masuk ke ruangan ini menemui ayahandanya yang baru saja tiba dari Astakencana. Prajurit penjaga bahkan tak berani menghadang mereka berdua, karena jabatan.“Kau tahu selubung energi yang melindungimu dari cedera fisik?” lirih Jenar begitu mereka berjarak begitu dekat.Sanggageni meletakkan tubuh Arya di lantai. Putranya masih begitu lemah meski ia tahu Arya akan segera sadar dan pulih. Konfrontasi Jenar dan Rara Anja
“Warasena! Kurang ajar!” umpat Sakuntala.Tak lama Prabu Warasena membuka matanya. Pria itu tersenyum pada mulanya, lalu tertawa. Semakin lama semakin keras. Ia sampai memegangi perutnya yang sakit karena terlalu banyak tertawa.“Sakuntala ... wajahmu benar-benar menggelikan!” Sisa-sisa tawa terus saja keluar dari mulut pria di hadapan Sakuntala itu.“Diam, kau!” hardik Sakuntala. Ia bangkit dan kali ini tak ada lagi dorongan yang ketiga. Pria itu hendak keluar dari ruangan, namun berbalik lagi dan menemui Prabu Warasena begitu dekat di telinga.“Ada apa?” Prabu Warasena menghentikan tawanya.“Setahuku Meraga Sukma tak bisa digunakan untuk serangan fisik, tapi mengapa kau bisa?” bisik Sakuntala.“Hmm, sepertinya itu efek dari penguasaan Wikararupa tahap ketiga. Aku jadi mengerti, ini lah yang dikuasai guruku. Dia berhenti sampai tahap ketiga saja!” tandas Prabu Warasena melangkah sedikit memberikan jarak dengan Sakuntala.Pria bertubuh kekar itu mengusap dagunya beberapa kali. Ia mula
Mendebat Prabu Warasena benar-benar menghabiskan waktu dan energi. Pria itu begitu keras kepala, khas sekali dengan sifat seorang raja tanpa garis keturunan bangsawan. Apa lagi ini pula akibat kekalahan dalam konfrontasi tempo hari yang membuat Sakuntala harus menghamba padanya.Sakuntala berjalan cepat meski tertatih keluar dari ruang meditasi Ki Wungkung. Rekan-rekannya, punggawa Astagina terbuang sibuk mengurusi penjualan perak dan tembaga. Penginapan itu kini sudah dipenuhi oleh barang-barang dan pedagang dari luar daerah.“Sial! Bagaimana caranya Waradhana menguasai Wikararupa? Aku tak yakin hanya dengan meditasi seperti yang dilakukan Warasena!” gerutu Sakuntala. Pikirnya terus melayang mencari kemungkinan ada cara lain untuk menguasai Wikararupa.Semasa menjabat sebagai senopati, ia memang dekat dengan mendiang Patih Waradhana. Ia juga pernah masuk ke dalam bilik pria tak berambut itu. Tak ada tempat khusus bermeditasi. Pria itu terus mencoba menganalisa apa yang ada pada Warad