Home / Fantasi / Cundhamani (Panah Api) / 194. Ilmu Terlarang II

Share

194. Ilmu Terlarang II

Author: A.R. Ubaidillah
last update Last Updated: 2024-10-29 19:42:56

“Kau berani menyerangku, hah?” Jenar maju mendekati putri Adipati Kertajaya itu. Beruntung Rara Anjani masih memiliki akal sehat. Gadis itu urung menyalak namun bahasa tubuhnya menandakan bahwa ia masih begitu marah.

“Kau memang Raja, tapi bukan berarti bisa berbuat apa pun pada Ayahandaku!” Sorot mata Rara Anjani berubah. Tampak sekali amarah menyala-nyala di sinar manik hitam itu.

“Perempuan bodoh!” Jenar maju hingga berjarak satu langkah dengan Rara Anjani. “Siapa yang mengijinkanmu masuk ke ruangan ini?”

Rara Anjani tak bisa menjawab. Ia memang yang memaksa Arya untuk masuk ke ruangan ini menemui ayahandanya yang baru saja tiba dari Astakencana. Prajurit penjaga bahkan tak berani menghadang mereka berdua, karena jabatan.

“Kau tahu selubung energi yang melindungimu dari cedera fisik?” lirih Jenar begitu mereka berjarak begitu dekat.

Sanggageni meletakkan tubuh Arya di lantai. Putranya masih begitu lemah meski ia tahu Arya akan segera sadar dan pulih. Konfrontasi Jenar dan Rara Anja
Locked Chapter
Continue to read this book on the APP

Related chapters

  • Cundhamani (Panah Api)   195. Kabar Dari Mata-Mata

    “Warasena! Kurang ajar!” umpat Sakuntala.Tak lama Prabu Warasena membuka matanya. Pria itu tersenyum pada mulanya, lalu tertawa. Semakin lama semakin keras. Ia sampai memegangi perutnya yang sakit karena terlalu banyak tertawa.“Sakuntala ... wajahmu benar-benar menggelikan!” Sisa-sisa tawa terus saja keluar dari mulut pria di hadapan Sakuntala itu.“Diam, kau!” hardik Sakuntala. Ia bangkit dan kali ini tak ada lagi dorongan yang ketiga. Pria itu hendak keluar dari ruangan, namun berbalik lagi dan menemui Prabu Warasena begitu dekat di telinga.“Ada apa?” Prabu Warasena menghentikan tawanya.“Setahuku Meraga Sukma tak bisa digunakan untuk serangan fisik, tapi mengapa kau bisa?” bisik Sakuntala.“Hmm, sepertinya itu efek dari penguasaan Wikararupa tahap ketiga. Aku jadi mengerti, ini lah yang dikuasai guruku. Dia berhenti sampai tahap ketiga saja!” tandas Prabu Warasena melangkah sedikit memberikan jarak dengan Sakuntala.Pria bertubuh kekar itu mengusap dagunya beberapa kali. Ia mula

  • Cundhamani (Panah Api)   196. Gulungan Wikararupa

    Mendebat Prabu Warasena benar-benar menghabiskan waktu dan energi. Pria itu begitu keras kepala, khas sekali dengan sifat seorang raja tanpa garis keturunan bangsawan. Apa lagi ini pula akibat kekalahan dalam konfrontasi tempo hari yang membuat Sakuntala harus menghamba padanya.Sakuntala berjalan cepat meski tertatih keluar dari ruang meditasi Ki Wungkung. Rekan-rekannya, punggawa Astagina terbuang sibuk mengurusi penjualan perak dan tembaga. Penginapan itu kini sudah dipenuhi oleh barang-barang dan pedagang dari luar daerah.“Sial! Bagaimana caranya Waradhana menguasai Wikararupa? Aku tak yakin hanya dengan meditasi seperti yang dilakukan Warasena!” gerutu Sakuntala. Pikirnya terus melayang mencari kemungkinan ada cara lain untuk menguasai Wikararupa.Semasa menjabat sebagai senopati, ia memang dekat dengan mendiang Patih Waradhana. Ia juga pernah masuk ke dalam bilik pria tak berambut itu. Tak ada tempat khusus bermeditasi. Pria itu terus mencoba menganalisa apa yang ada pada Warad

  • Cundhamani (Panah Api)   197. Kegundahan dan Kebahagiaan

    “Kadang apa yang diucapkan orang yang putus asa ada benarnya, Jenar.” Ki Bayanaka berbalik, memandang wajah sendu putrinya.“Apa maksud Ayahanda mengatakan hal ini?” tanya Jenar tak mengerti. Padahal beberapa waktu lalu Ki Bayanaka adalah salah satu orang yang menentang keras kasih asmaranya dengan Arya. Namun kini pria itu seolah memberinya peluang.“Kau tahu apa yang didebatkan Arya sebelum kalian berdua melarikan diri ke desa Girijajar?” Ki Bayanaka menatap mata penuh tanya Jenar yang juga menyimpan kerapuhan.“Apa?”“Ia berkata kau adalah raja Astagina. Kau mampu membuat peraturan atau undang-undang sesuai kehendakmu. Maka cabut saja aturan itu agar kalian berdua dapat bersatu,” ucap Ki Bayanaka menirukan kalimat Arya manakala berdebat dengan Sanggageni.Jenar terdiam mendengar kalimat ayahandanya. Benar ia dan Arya masih memiliki peluang. Namun menghancurkan acara di istananya sendiri amat berisiko. Apa lagi tentu ia akan mematahkan hati Arya lagi. Urusan Rara Anjani ia sama seka

  • Cundhamani (Panah Api)   198. Prajurit Bayaran

    Prajurit pengkhianat itu segera menghunjamkan batangan besi pada sela-sela lantai yang tersusun atas batu-batu pualam. Sekali congkel, satu bagian batu sudah berhasil di angkat dari susunannya. Namun tak ada nampak benda asing pun kecuali tanah. Renggala memberikan isyarat untuk membongkar sisi lainnya.“Aku yakin sekali ia meletakkan di dalam peti dan menyimpannya di sini,” lirih Renggala begitu yakin. Mantan Ketua Divisi Telik Sandi di bawah Sakuntala itu berharap dapat juga mempelajari dan menguasai Wikararupa bersama mantan atasannya itu.“Apa ini, Tuan?” tanya prajurit itu setelah mendapati sebuah peti kayu berukir di tepiannya.“Ya, benar!” seru Renggala dengan mata berbinar-binar. “Angkat!”Prajurit itu segera mengangkat peti kayu itu untuk dikeluarkan dari bawah tanah. Tak ada kesulitan berarti baginya untuk meraihnya dan memberikannya pada Renggala. Pria dengan penutup wajah kain hitam itu segera membersihkan tanah-tanah yang menempel di permukaan peti.“Kau bereskan lantainy

  • Cundhamani (Panah Api)   199. Hal Mudah

    Sebuah kamar berhias ornamen-ornamen dan bunga-bunga indah membuat suasana menjadi syahdu. Sepasang pengantin baru itu membeku dalam pikirannya masing-masing. Rara Anjani sibuk menyisir rambut hitam dan panjangnya meski mahkotanya itu sudah cukup rapi. Sedang Arya duduk di tepi pembaringan bertelanjang dada tanpa tahu apa yang harus dilakukan.Rara Anjani tersenyum memandang bayangan punggung suaminya di cermin. Wajah perempuan itu berseri dan merona. Malam ini mungkin ia yang akan memegang kendali. Suaminya tampak masih bocah dan belum mengerti harus mulai dari mana.Perempuan cantik berlesung pipi hanya di sebelah kiri itu perlahan bangkit dan menghampiri suaminya. Rara Anjani berhenti membelakangi tepat di hadapan pemuda bertelanjang dada itu. Tak ada kesempatan lain, kali ini ia harus mempermainkan gairah Arya. Ia tak akan memulai, namun selalu memberikan jalan.“Bisa kau tolong aku melepaskan ikatan kain ini, Arya?” pinta Rara Anjani sembari menunjuk ujung kain yang melilit pingg

  • Cundhamani (Panah Api)   200. Rencana Sakuntala

    Tubuh tanpa busana Arya dan Rara Anjani saling berpelukan. Ini sudah malam ketujuh sejak pernikahan mereka. Dan kedua insan ini seolah tak ingin melewatkan satu malam pun tanpa bercumbu dan bercinta. Arya bahkan belum mengetahui adanya penyusup di biliknya tujuh hari yang lalu. Arya menggeliat, mengejangkan otot-otot lengannya. Rara Anjani tampak begitu menikmati memeluk dan menyandarkan kepalanya pada dada bidang Arya. Perempuan itu terpejam dan diam. Namun tidak jemarinya yang terus saja bergerak di bawah selimut, mengedar ke seluruh tubuh suaminya. “Kau menginginkannya lagi, Sayang?” bisik Arya di telinga istrinya. Rara Anjani mendesah mendapati sesuatu di tubuh bagian bawah suaminya. “Hmm?” Perempuan itu pura-pura saja tak mendengar ucapan suaminya. Ia hanya ingin mendengar bahwa Arya begitu menginginkannya hingga harus meminta. “Kau menginginkannya lagi?” ulang Arya dengan wajah memerah, tanda gairah yang kembali menyala. “Apa kau lelah, Suamiku?” tanya Rara Anjani dengan beg

  • Cundhamani (Panah Api)   201. Kesempatan dan Waktu

    “Mengapa kau tak sampaikan padaku?” tanya Arya dengan mata terbelalak manakala mendapatkan laporan penyusupan di biliknya delapan hari lalu. Prajurit tingkat menengah di hadapannya hanya mampu tertunduk tak berani berkilah.“Ampun, Gusti. Hamba tak berani mengganggu pernikahan Gusti,” ucap prajurit itu dengan suara bergetar.“Pernikahanku sudah delapan hari lalu, Prajurit! Jika terjadi sesuatu pada Astagina, kau tak akan kuampuni!” ancam Arya dengan amarah menyala-nyala. Patih Astagina itu segera memeriksa peti yang ditemukan di biliknya itu.Perlahan Arya membuka peti itu. Ruang di dalam peti dialasi kain tebal berwarna putih. Pemuda itu meraih kain yang terasa begitu empuk itu. Kain melekat kuat nyaris tak menyisakan celah. Namun Arya akhirnya menemukan sebuah celah di sudut dasar peti dan memasukkan telunjuknya.“Kapur barus,” lirih Arya setelah mengendus ujung telunjuknya. “Peti ini pasti berisi dokumen atau benda pusaka! Selain aku siapa yang sudah tahu hal ini?” tanya Arya.“Gus

  • Cundhamani (Panah Api)   202. Hasrat Jenar

    “Apa maksud Bibinda?” tanya Arya tak percaya dengan apa yang dikatakan Jenar, raja Astagina.“Aku kira pertanyaanku sangat jelas, Arya. Aku hanya ingin tahu apa Rara Anjani lebih pandai bercumbu dari pada aku? Hmm?” tanya Jenar dengan kerling mata begitu menggoda.Arya terdiam di tempat duduknya. Jika gadis di hadapannya hanya Jenar, bukan pemangku tahta Astagina, ia sudah akan menepuk wajahnya demi memastikan kesadaran. Tapi pemuda itu merasakan ada maksud lain dari tatapan dan gerak-gerik Jenar.“Apa hal ini benar-benar harus aku jawab?” tanya Arya memastikan kembali Jenar benar-benar menanyakan hal seintim itu padanya.“Tentu saja, Arya. Baik lah, aku ganti pertanyaanku. Kita berdua pernah bercumbu, bukan? Nah, menurutmu dengan siapa kau lebih menikmati, denganku atau Rara Anjani?” tanya Jenar dengan tatapan lebih menggoda dari sebelumnya.“Bibinda, yang terjadi di antara kita hanya lah masa lalu. Aku merasa berdosa bila membandingkan istriku sendiri dengan perempuan lain,” timpal

Latest chapter

  • Cundhamani (Panah Api)   228 Penerus

    “Bukan kah prajurit udaramu tadi sudah memeriksa semua kapal ini, Braja?” tanya Ki Bayanaka. “Ya, sepertinya kapal satu ini luput dari pemeriksaan. Atau....” Seorang pria bertubuh kurus dan berkulit cerah tertawa di atas kapal yang separuhnya sudah terbakar. Ia merasa jumawa melihat dua pria tua, seorang perempuan dan seorang pemuda yang sudah tidak berdaya. Dengan senjata berkekuatan besar, ia merasa di atas angin. “Siapa sebenarnya mereka?” tanya Jenar sembari mengernyitkan kening. Belum juga terjawab, bentuk kapal, senjata dan panji asing itu. “Entah lah, Jenar. Tapi orang ini pasti lemah. Merasa kuat karena memiliki senjata yang mampu melontarkan bola-bola api itu,” ucap Ki Bayanaka begitu yakin. “Bagaimana Ayahanda bisa begitu yakin?” tanya Jenar. “Coba lah kau perhatikan gelagatnya. Orang dengan kemampuan tinggi tak mungkin bertingkah seperti itu. Bukan begitu, Braja?” ucap Ki Bayanaka melemparkan kalimat kepada Sanggageni. “Hmm, jadi siapa yang akan memberinya pelajaran?”

  • Cundhamani (Panah Api)   227. Terkurung

    Tak ada yang bisa dilakukan Jenar setelah sampai di pantai selatan kerajaannya. Pagar api setinggi pagar Astagina itu menghalangi apa pun dan siapa pun. Tak mungkin melaluinya dengan selamat. Perempuan itu tampak mulai meneteskan air mata. Bagaimana mungkin suaminya berbuat sedemikian rupa. Hatinya berkecamuk, sungguh ia tak ingin kehilangan Arya secepat ini.“Arya, dasar bodoh! Apa yang kau lakukan?” umpat Jenar dengan kedua tangan mengepal. Ia merasa begitu hina sebagai raja tak mengetahui patih sekaligus suaminya di dalam sana berjuang seorang diri.Raja Astagina itu mulai terisak. Rasa panas mendera wajahnya dari jarak lima tombak ini. Keningnya mengernyit keras. Ia merasa harus berbuat sesuatu. Berdiam diri tak akan berdampak apa pun. Berada di istananya jauh lebih baik.“Pasukan udara milik Kakanda Sanggageni, dimana mereka?” tiba-tiba Jenar teringat akan sepuluh orang prajurit yang direkrut oleh Sanggageni demi mewujudkan idenya memiliki serangan udara.“Gunakan ini!” Danapati

  • Cundhamani (Panah Api)   226. Kepercayaan

    Arya melepaskan sekali lagi Sasra Sayaka-Cundhamani dengan sisa amarahnya. Anak panah logam hitam berlumur darahnya sendiri melesat ke arah ribuan prajurit yang mulai terkikis keberaniannya. Serupa dengan tenaga dan kesadaran Arya. Pemuda itu menjatuhkan busur Agnitama pada mulanya. Disusul dengan tubuh lemah dan compang-campingnya.Arya mendengus berusaha melihat apa yang terjadi dengan serangannya itu. Tubuh-tubuh musuh yang tercerai berai. Terburai anggota tubuhnya. Terbakar api Cundhamani hingga meronta-ronta, berguling di tanah dan masuk ke dalam air laut. Semua berusaha menyelamatkan dirinya sendiri.“Sisanya aku serahkan padamu, Raden Danapati!” gumam Arya sembari mengubah posisi kepalanya. Menoleh kepada Aswabrama dan memastikan kembali bahwa Danapati benar-benar pergi.Binatang dan tuan itu saling pandang. Tak ada kata dari mereka yang dimengerti. Namun tatapan bola mata itu sudah menjelaskan semuanya. Berjuang bersama-sama. Melewati bahaya, nyaris kehilangan nyawa, dan kini

  • Cundhamani (Panah Api)   225. Mati Di Samping Aswabrama

    “Tapi bagaimana caranya, Braja? Kau lihat sendiri api Cundhamani menghalangi kita?” pungkas Ki Bayanaka. Pria tua itu memang peragu yang luar biasa. Itu sebab dahulu ia menjadi pelatih prajurit alih-alih bergabung bersama Baka Nirdaya memerangi kedzaliman.“Pantai selatan memang sudah menjadi lautan api. Tapi tidak dengan langitnya!” timpal Sanggageni. “Pengawal! Kau pengawal raja, bukan?” tanyanya.Seorang pengawal raja yang sejak tadi bertugas melindungi dua penasihat itu maju selangkah dengan penuh penghormatan. Ia berkata lantang, “Benar, Tuan! Mohon katakan titah Tuan!”“Cari pasukan udaraku! Bawa secepatnya mereka ke sini!” titah Sanggageni lantang. Pria itu berdiri tegak menatap lautan api dengan memegangi lengan kanannya. Tak ada artinya hidup dengan sebelah tangan namun tak mampu menyelamatkan putranya sendiri.“Sendika, Tuan!”Ki Bayanaka bangkit berdiri di sisi Sanggageni. Tak ada yang menyangka Astagina akan berada di ujung tanduk seperti ini. Pria itu menyentuh pundak adi

  • Cundhamani (Panah Api)   224. Asa Ksatria Cundhamani

    Pantai selatan Astagina kini tak ubahnya seperti gerbang api. Tak ada tempat untuk melarikan diri. Bagi bala tentara asing itu, juga bagi Arya. Suara desis api Cundhamani bertemu air laut mengepulkan asap putih buah dari air yang menguap. Arya melepaskan Sasra Sayaka-Cundhamani sekali lagi. Kali ini ke arah deretan kapal-kapal perang yang sebagian telah terbakar.“Kau yakin hal ini, Gusti?” tanya Danapati manakala sudah mengenakan jubah pemberian Arya.“Apa kau meragukanku, Raden?” tanya Arya kembali. Pemuda itu menoleh dan tersenyum. Memperlihatkan deretan giginya yang memerah karena darah. Tak ada yang tahu bahwa Patih Astagina itu sudah melampaui batas ketahanan tubuhnya sendiri.“Gusti, kau....”Tak sempat Danapati berkata lebih banyak, Arya terlanjut menyentak tali kekang Aswabrama. Ia songsong ratusan pasukan berkuda musuh sendirian. Atau hanya berdua saja dengan kudanya. Arya menghunuskan anak panah logamnya. Kali ini dengan posisi tubuh setengah berdiri. Danapati terhenyak, ya

  • Cundhamani (Panah Api)   223. Menebus Dosa

    “Arya? Bagaimana dengan Ayahandamu?” tanya Jenar tak menyangka suaminya akan hadir dan menyela percakapannya dengan Danapati dan pengawal.Arya tak menjawab, menggerakkan sedikit kepalanya memberi isyarat pada Jenar agar melihat sendiri kondisi ayahandanya. Pemuda itu sudah siap dengan busur Agnitama dan puluhan anak panah logam di tempatnya menggantung di punggung.Dari jarak puluhan depa itu Jenar masih mampu melihat Sanggageni dan ayahandanya tengah duduk bersila. Ki Bayanaka masih mengobati kakak ipar sekaligus mertuanya itu dengan tenaga dalam. Sedang Sanggageni sudah mampu duduk sendiri. Ia jauh lebih baik meski lengan kanannya tak akan kembali lagi.“Pergi lah ... Istriku! Tunggu aku kembali membawa kemenangan!” lirih Arya di telinga Jenar sembari melewati tubuh perempuan cantik itu.Jenar terpekur, setelah pertengkaran mereka berdua karena Rara Anjani di desa Girijajar tempo hari, baru kali ini ia melihat tekad di mata Arya. Tekad yang sama saat Arya pamit untuk pergi ke medan

  • Cundhamani (Panah Api)   222. Amarah Jenar

    Panji-panji dengan aksara asing itu berkibar-kibar tinggi. Pasukan berkuda dengan penutup kepala logam dengan beringas membunuh apa pun yang menghadang. Darah Jenar mendidih menyaksikan para prajurit yang baru saja direkut menjadi korban tanpa sempat mempertahankan nyawa. Perempuan itu menghentakkan tungkainya di permukaan batu besar sekaligus menandai radius serangannya.“Beraninya kalian mengobrak-abrik Astagina! Hanya ada satu ganjaran ... Mati!” seru Jenar mengumbar amarah.Kilatan-kilatan terlihat bergerak begitu cepat tanpa bisa diikuti oleh mata. Denting penutup kepala logam dan tusuk konde emas mendahului robohnya pasukan berkuda itu satu demi satu. Tak ada yang paham bahwa perempuan yang menari di atas batu itu lah dalangnya.Pasukan berkuda musuh saling pandang. Menarik tali kekang kuda hingga kuda-kuda perkasa itu meringkik begitu kuat. Mereka mengedarkan pandangan ke sekitar selatan pesisir pantai Astagina. Selama itu pula mereka seolah tinggal menunggu kematian.Danapati

  • Cundhamani (Panah Api)   221. Titah Jenar

    Arya mendarat dengan keras tepat di belakang para prajurit yang melingkar melindungi rajanya. Ia sibak bahu-bahu penuh ketegangan itu demi sampai di tempat ayahandanya diobati. Penjelasan dari pengawal raja tadi belum mampu membuatnya mengerti bagaimana kondisi Sanggageni sebenarnya.Namun seluruh tubuh Arya terasa tak bertulang manakala menyaksikan kondisi ayahandanya yang memprihatinkan. Ia luruh jatuh bersimpuh di tanah tepat di samping Ki Bayanaka, berhadapan dengan Jenar. Pemuda itu tak percaya hal mengerikan seperti ini terjadi pada ayahandanya.“Kau datang juga,” lirih Ki Bayanaka.“A-apa yang terjadi....”“Braja tak akan seperti ini andai saja kalian bisa bersikap bijak dan tak menuruti hawa nafsu!” tegas Ki Bayanaka sekali lagi.“Maksudmu....”“Kakanda Sanggageni terkena bola api itu, Arya! Dan sekarang pasukan berkuda mereka sedang menuju kemari!” ujar Jenar setengah menyeru. Ia tahu bahwa ini pula kesalahannya. Namun diamnya suaminya tentu bukan tindakan yang tepat dilakuka

  • Cundhamani (Panah Api)   220. Menyelamatkan Sanggageni

    Jenar menitikkan air mata. Kata-kata ayahandanya memang begitu menusuk hati. Namun melihat kondisi Sanggageni lah hal yang membuatnya begitu sakit. Ia terlalu lama memadu kasih dengan Arya hingga membuat ayahanda Arya dalam kondisi mengenaskan.“Bertahan lah, Braja! Dasar bedebah!” hardik Ki Bayanaka terus mengerahkan segala kemampuannya untuk menyelamatkan nyawa Sanggageni. Sejauh ini tak ada reaksi apa pun dari pria bergiwang itu.“Kakanda Danapati, bisa kah kau cari keberadaan Arya? Aku merasa dia memiliki hal di luar dari kemampuanku dan Ayahandaku untuk menyelamatkan Kakanda Sanggageni,” pinta Jenar sambil terus terisak.Danapati tak menjawab. Ia segera bangkit dan hendak meninggalkan mereka bertiga manakala empat orang pengawal raja datang. Mereka segera bersimpuh tak berani lebih tinggi dari rajanya.“Tak perlu, Danapati! Biar mereka saja yang mencari Arya. Kau tetap di sini lindungi kami dari apa pun yang menyerang!” titah Ki Bayanaka. Danapati tak berani bereaksi. Ia melihat

DMCA.com Protection Status