“Warasena! Kurang ajar!” umpat Sakuntala.Tak lama Prabu Warasena membuka matanya. Pria itu tersenyum pada mulanya, lalu tertawa. Semakin lama semakin keras. Ia sampai memegangi perutnya yang sakit karena terlalu banyak tertawa.“Sakuntala ... wajahmu benar-benar menggelikan!” Sisa-sisa tawa terus saja keluar dari mulut pria di hadapan Sakuntala itu.“Diam, kau!” hardik Sakuntala. Ia bangkit dan kali ini tak ada lagi dorongan yang ketiga. Pria itu hendak keluar dari ruangan, namun berbalik lagi dan menemui Prabu Warasena begitu dekat di telinga.“Ada apa?” Prabu Warasena menghentikan tawanya.“Setahuku Meraga Sukma tak bisa digunakan untuk serangan fisik, tapi mengapa kau bisa?” bisik Sakuntala.“Hmm, sepertinya itu efek dari penguasaan Wikararupa tahap ketiga. Aku jadi mengerti, ini lah yang dikuasai guruku. Dia berhenti sampai tahap ketiga saja!” tandas Prabu Warasena melangkah sedikit memberikan jarak dengan Sakuntala.Pria bertubuh kekar itu mengusap dagunya beberapa kali. Ia mula
Mendebat Prabu Warasena benar-benar menghabiskan waktu dan energi. Pria itu begitu keras kepala, khas sekali dengan sifat seorang raja tanpa garis keturunan bangsawan. Apa lagi ini pula akibat kekalahan dalam konfrontasi tempo hari yang membuat Sakuntala harus menghamba padanya.Sakuntala berjalan cepat meski tertatih keluar dari ruang meditasi Ki Wungkung. Rekan-rekannya, punggawa Astagina terbuang sibuk mengurusi penjualan perak dan tembaga. Penginapan itu kini sudah dipenuhi oleh barang-barang dan pedagang dari luar daerah.“Sial! Bagaimana caranya Waradhana menguasai Wikararupa? Aku tak yakin hanya dengan meditasi seperti yang dilakukan Warasena!” gerutu Sakuntala. Pikirnya terus melayang mencari kemungkinan ada cara lain untuk menguasai Wikararupa.Semasa menjabat sebagai senopati, ia memang dekat dengan mendiang Patih Waradhana. Ia juga pernah masuk ke dalam bilik pria tak berambut itu. Tak ada tempat khusus bermeditasi. Pria itu terus mencoba menganalisa apa yang ada pada Warad
“Kadang apa yang diucapkan orang yang putus asa ada benarnya, Jenar.” Ki Bayanaka berbalik, memandang wajah sendu putrinya.“Apa maksud Ayahanda mengatakan hal ini?” tanya Jenar tak mengerti. Padahal beberapa waktu lalu Ki Bayanaka adalah salah satu orang yang menentang keras kasih asmaranya dengan Arya. Namun kini pria itu seolah memberinya peluang.“Kau tahu apa yang didebatkan Arya sebelum kalian berdua melarikan diri ke desa Girijajar?” Ki Bayanaka menatap mata penuh tanya Jenar yang juga menyimpan kerapuhan.“Apa?”“Ia berkata kau adalah raja Astagina. Kau mampu membuat peraturan atau undang-undang sesuai kehendakmu. Maka cabut saja aturan itu agar kalian berdua dapat bersatu,” ucap Ki Bayanaka menirukan kalimat Arya manakala berdebat dengan Sanggageni.Jenar terdiam mendengar kalimat ayahandanya. Benar ia dan Arya masih memiliki peluang. Namun menghancurkan acara di istananya sendiri amat berisiko. Apa lagi tentu ia akan mematahkan hati Arya lagi. Urusan Rara Anjani ia sama seka
Prajurit pengkhianat itu segera menghunjamkan batangan besi pada sela-sela lantai yang tersusun atas batu-batu pualam. Sekali congkel, satu bagian batu sudah berhasil di angkat dari susunannya. Namun tak ada nampak benda asing pun kecuali tanah. Renggala memberikan isyarat untuk membongkar sisi lainnya.“Aku yakin sekali ia meletakkan di dalam peti dan menyimpannya di sini,” lirih Renggala begitu yakin. Mantan Ketua Divisi Telik Sandi di bawah Sakuntala itu berharap dapat juga mempelajari dan menguasai Wikararupa bersama mantan atasannya itu.“Apa ini, Tuan?” tanya prajurit itu setelah mendapati sebuah peti kayu berukir di tepiannya.“Ya, benar!” seru Renggala dengan mata berbinar-binar. “Angkat!”Prajurit itu segera mengangkat peti kayu itu untuk dikeluarkan dari bawah tanah. Tak ada kesulitan berarti baginya untuk meraihnya dan memberikannya pada Renggala. Pria dengan penutup wajah kain hitam itu segera membersihkan tanah-tanah yang menempel di permukaan peti.“Kau bereskan lantainy
Sebuah kamar berhias ornamen-ornamen dan bunga-bunga indah membuat suasana menjadi syahdu. Sepasang pengantin baru itu membeku dalam pikirannya masing-masing. Rara Anjani sibuk menyisir rambut hitam dan panjangnya meski mahkotanya itu sudah cukup rapi. Sedang Arya duduk di tepi pembaringan bertelanjang dada tanpa tahu apa yang harus dilakukan.Rara Anjani tersenyum memandang bayangan punggung suaminya di cermin. Wajah perempuan itu berseri dan merona. Malam ini mungkin ia yang akan memegang kendali. Suaminya tampak masih bocah dan belum mengerti harus mulai dari mana.Perempuan cantik berlesung pipi hanya di sebelah kiri itu perlahan bangkit dan menghampiri suaminya. Rara Anjani berhenti membelakangi tepat di hadapan pemuda bertelanjang dada itu. Tak ada kesempatan lain, kali ini ia harus mempermainkan gairah Arya. Ia tak akan memulai, namun selalu memberikan jalan.“Bisa kau tolong aku melepaskan ikatan kain ini, Arya?” pinta Rara Anjani sembari menunjuk ujung kain yang melilit pingg
Tubuh tanpa busana Arya dan Rara Anjani saling berpelukan. Ini sudah malam ketujuh sejak pernikahan mereka. Dan kedua insan ini seolah tak ingin melewatkan satu malam pun tanpa bercumbu dan bercinta. Arya bahkan belum mengetahui adanya penyusup di biliknya tujuh hari yang lalu. Arya menggeliat, mengejangkan otot-otot lengannya. Rara Anjani tampak begitu menikmati memeluk dan menyandarkan kepalanya pada dada bidang Arya. Perempuan itu terpejam dan diam. Namun tidak jemarinya yang terus saja bergerak di bawah selimut, mengedar ke seluruh tubuh suaminya. “Kau menginginkannya lagi, Sayang?” bisik Arya di telinga istrinya. Rara Anjani mendesah mendapati sesuatu di tubuh bagian bawah suaminya. “Hmm?” Perempuan itu pura-pura saja tak mendengar ucapan suaminya. Ia hanya ingin mendengar bahwa Arya begitu menginginkannya hingga harus meminta. “Kau menginginkannya lagi?” ulang Arya dengan wajah memerah, tanda gairah yang kembali menyala. “Apa kau lelah, Suamiku?” tanya Rara Anjani dengan beg
“Mengapa kau tak sampaikan padaku?” tanya Arya dengan mata terbelalak manakala mendapatkan laporan penyusupan di biliknya delapan hari lalu. Prajurit tingkat menengah di hadapannya hanya mampu tertunduk tak berani berkilah.“Ampun, Gusti. Hamba tak berani mengganggu pernikahan Gusti,” ucap prajurit itu dengan suara bergetar.“Pernikahanku sudah delapan hari lalu, Prajurit! Jika terjadi sesuatu pada Astagina, kau tak akan kuampuni!” ancam Arya dengan amarah menyala-nyala. Patih Astagina itu segera memeriksa peti yang ditemukan di biliknya itu.Perlahan Arya membuka peti itu. Ruang di dalam peti dialasi kain tebal berwarna putih. Pemuda itu meraih kain yang terasa begitu empuk itu. Kain melekat kuat nyaris tak menyisakan celah. Namun Arya akhirnya menemukan sebuah celah di sudut dasar peti dan memasukkan telunjuknya.“Kapur barus,” lirih Arya setelah mengendus ujung telunjuknya. “Peti ini pasti berisi dokumen atau benda pusaka! Selain aku siapa yang sudah tahu hal ini?” tanya Arya.“Gus
“Apa maksud Bibinda?” tanya Arya tak percaya dengan apa yang dikatakan Jenar, raja Astagina.“Aku kira pertanyaanku sangat jelas, Arya. Aku hanya ingin tahu apa Rara Anjani lebih pandai bercumbu dari pada aku? Hmm?” tanya Jenar dengan kerling mata begitu menggoda.Arya terdiam di tempat duduknya. Jika gadis di hadapannya hanya Jenar, bukan pemangku tahta Astagina, ia sudah akan menepuk wajahnya demi memastikan kesadaran. Tapi pemuda itu merasakan ada maksud lain dari tatapan dan gerak-gerik Jenar.“Apa hal ini benar-benar harus aku jawab?” tanya Arya memastikan kembali Jenar benar-benar menanyakan hal seintim itu padanya.“Tentu saja, Arya. Baik lah, aku ganti pertanyaanku. Kita berdua pernah bercumbu, bukan? Nah, menurutmu dengan siapa kau lebih menikmati, denganku atau Rara Anjani?” tanya Jenar dengan tatapan lebih menggoda dari sebelumnya.“Bibinda, yang terjadi di antara kita hanya lah masa lalu. Aku merasa berdosa bila membandingkan istriku sendiri dengan perempuan lain,” timpal