Sebuah kamar berhias ornamen-ornamen dan bunga-bunga indah membuat suasana menjadi syahdu. Sepasang pengantin baru itu membeku dalam pikirannya masing-masing. Rara Anjani sibuk menyisir rambut hitam dan panjangnya meski mahkotanya itu sudah cukup rapi. Sedang Arya duduk di tepi pembaringan bertelanjang dada tanpa tahu apa yang harus dilakukan.Rara Anjani tersenyum memandang bayangan punggung suaminya di cermin. Wajah perempuan itu berseri dan merona. Malam ini mungkin ia yang akan memegang kendali. Suaminya tampak masih bocah dan belum mengerti harus mulai dari mana.Perempuan cantik berlesung pipi hanya di sebelah kiri itu perlahan bangkit dan menghampiri suaminya. Rara Anjani berhenti membelakangi tepat di hadapan pemuda bertelanjang dada itu. Tak ada kesempatan lain, kali ini ia harus mempermainkan gairah Arya. Ia tak akan memulai, namun selalu memberikan jalan.“Bisa kau tolong aku melepaskan ikatan kain ini, Arya?” pinta Rara Anjani sembari menunjuk ujung kain yang melilit pingg
Tubuh tanpa busana Arya dan Rara Anjani saling berpelukan. Ini sudah malam ketujuh sejak pernikahan mereka. Dan kedua insan ini seolah tak ingin melewatkan satu malam pun tanpa bercumbu dan bercinta. Arya bahkan belum mengetahui adanya penyusup di biliknya tujuh hari yang lalu. Arya menggeliat, mengejangkan otot-otot lengannya. Rara Anjani tampak begitu menikmati memeluk dan menyandarkan kepalanya pada dada bidang Arya. Perempuan itu terpejam dan diam. Namun tidak jemarinya yang terus saja bergerak di bawah selimut, mengedar ke seluruh tubuh suaminya. “Kau menginginkannya lagi, Sayang?” bisik Arya di telinga istrinya. Rara Anjani mendesah mendapati sesuatu di tubuh bagian bawah suaminya. “Hmm?” Perempuan itu pura-pura saja tak mendengar ucapan suaminya. Ia hanya ingin mendengar bahwa Arya begitu menginginkannya hingga harus meminta. “Kau menginginkannya lagi?” ulang Arya dengan wajah memerah, tanda gairah yang kembali menyala. “Apa kau lelah, Suamiku?” tanya Rara Anjani dengan beg
“Mengapa kau tak sampaikan padaku?” tanya Arya dengan mata terbelalak manakala mendapatkan laporan penyusupan di biliknya delapan hari lalu. Prajurit tingkat menengah di hadapannya hanya mampu tertunduk tak berani berkilah.“Ampun, Gusti. Hamba tak berani mengganggu pernikahan Gusti,” ucap prajurit itu dengan suara bergetar.“Pernikahanku sudah delapan hari lalu, Prajurit! Jika terjadi sesuatu pada Astagina, kau tak akan kuampuni!” ancam Arya dengan amarah menyala-nyala. Patih Astagina itu segera memeriksa peti yang ditemukan di biliknya itu.Perlahan Arya membuka peti itu. Ruang di dalam peti dialasi kain tebal berwarna putih. Pemuda itu meraih kain yang terasa begitu empuk itu. Kain melekat kuat nyaris tak menyisakan celah. Namun Arya akhirnya menemukan sebuah celah di sudut dasar peti dan memasukkan telunjuknya.“Kapur barus,” lirih Arya setelah mengendus ujung telunjuknya. “Peti ini pasti berisi dokumen atau benda pusaka! Selain aku siapa yang sudah tahu hal ini?” tanya Arya.“Gus
“Apa maksud Bibinda?” tanya Arya tak percaya dengan apa yang dikatakan Jenar, raja Astagina.“Aku kira pertanyaanku sangat jelas, Arya. Aku hanya ingin tahu apa Rara Anjani lebih pandai bercumbu dari pada aku? Hmm?” tanya Jenar dengan kerling mata begitu menggoda.Arya terdiam di tempat duduknya. Jika gadis di hadapannya hanya Jenar, bukan pemangku tahta Astagina, ia sudah akan menepuk wajahnya demi memastikan kesadaran. Tapi pemuda itu merasakan ada maksud lain dari tatapan dan gerak-gerik Jenar.“Apa hal ini benar-benar harus aku jawab?” tanya Arya memastikan kembali Jenar benar-benar menanyakan hal seintim itu padanya.“Tentu saja, Arya. Baik lah, aku ganti pertanyaanku. Kita berdua pernah bercumbu, bukan? Nah, menurutmu dengan siapa kau lebih menikmati, denganku atau Rara Anjani?” tanya Jenar dengan tatapan lebih menggoda dari sebelumnya.“Bibinda, yang terjadi di antara kita hanya lah masa lalu. Aku merasa berdosa bila membandingkan istriku sendiri dengan perempuan lain,” timpal
“Hmm, kau belum mengerti juga, Warasena!” ucap Sakuntala begitu tenang. Seolah kuda-kuda Prabu Warasena yang telah siap untuk menyerangnya tak akan membuat masalah.“Apa bagusnya kalau kau menguasai Wikararupa? Sedang dalam pertarungan terakhir kau bahkan tak sempat menyentuhku!” ucap Prabu Warasena mencoba menyadarkan Sakuntala bahwa Wikararupa bukan lah segalanya.“Oh ya? Oh, aku takut sekali, Gusti Prabu!” ledek Sakuntala dengan tawa yang segera meledak menyusul kalimatnya tadi.Prabu Warasena kini tak lagi sama. Dengan kematian Ki Wungkung dan kenyataan bahwa kakak seperguruannya berkhianat, ia telah berubah. Karena sesungguhnya pria itu adalah lulusan terbaik Padepokan Lembu Ireng. Itu sebab Ki Wungkung begitu menyayanginya.Pandangan raja Candikapura itu memang mengarah pada Sakuntala. Namun benaknya melayang pada kudeta belasan tahun silam. Berduel dengan Prabu Anarawan di jalur bawah tanah tempat evakuasi keluarga raja. Ia nyaris terbunuh di sana. Itu lah penyebab Prabu Warase
“Oh, jadi ini lah maksud kalian semua mengajakku bergabung? Dasar sampah Astagina!” umpat Prabu Warasena dengan penuh amarah. Kedua tangannya mengepal, salah satunya menggenggam erat tangkai trisulanya dengan bergetar.“Mengumpat lah selagi kau bisa, Warasena! Karena sebentar lagi riwayatmu akan kami habisi! Di sini, di tanah yang kau rebut paksa belasan tahun lalu!” seru Sakuntala penuh keangkuhan. Seiring dengan seruannya itu, orang-orang yang berada di belakangnya menyebar ke segala penjuru mengepung pria bertrisula itu.“Sudah aku putuskan, kau akan mati hari ini, Sakuntala!”Meledak lah amarah Prabu Warasena. Sakuntala dan orang-orangnya tak ada yang tahu bahwa pria yang tengah mereka kepung ini memiliki kekuatan berkali-kali lipat bila sedang marah. Orang-orang penting dari Lembu Ireng selalu memiliki energi serupa lembu yang amat berbahaya jika emosinya terbakar.Pria bertrisula itu menggeram melampiaskan energi besar yang tak terkendali dari dalam dirinya. Ada aura kelam yang
“Kau sudah mati, Balarawan!” ucap Prabu Warasena terus melangkah mundur hingga tubuhnya terhenti karena terbentur dinding.“Mati? Aku tak akan mati sebelum menuntut balas padamu!” seru pria yang dipanggil Balarawan oleh Prabu Warasena. Ia terus maju semakin dekat. Hingga tatapan mata dan luka menganga di lehernya itu tampak jelas masih mengucurkan darah.“Kau seharusnya mati dengan luka itu, Balarawan!” seru Prabu Warasena sembari mengacungkan senjatanya demi menjaga jarak.“Aku masih berdiri di sini, Penjahat! Kau harus bertanggung jawab, sekarang!” hardik Balarawan dengan wajah penuh amarah. Ia lepaskan tangan kiri yang memegangi lukanya. Berganti dengan mencabut pedang di pinggang.“Pedang? Sejak kapan Pangeran Balarawan bersenjatakan pedang?” batin Prabu Warasena. Di tengah amarah yang bercampur dengan rasa takut, pria itu masih memperhatikan detail dari lawannya.Merasa lawannya tengah terpojok karena memori masa lalu, Balarawan segera menyerang dengan sebuah sayatan pedang menga
Jenar segera menggamit lengan Arya. Sanggageni menyentuh bahu putranya itu setelah sebelumnya menyentuh Ki Bayanaka dan pemuka agama itu. Legawa segera berkonsentrasi dan menyentuh punggung Sanggageni. Dalam sekejap tubuh mereka berpindah ke sebuah tempat yang sunyi dan dipenuhi semak belukar.Arya dan Jenar menghela napasnya. Sanggageni berusaha keras menahan rasa mualnya, hal yang nyaris selalu ia alami pasca Lembat Brabat milik Legawa. Sedang Ki Bayanaka segera mengedarkan pandangannya, menghirup udara bersih dan dingin Gunung Payoda.“Girijajar, aku selalu merindukan aroma udara ini,” gumam Sanggageni maju mendekati rumput-rumput yang menghalangi ujung atap sebuah rumah roboh karena terbakar.Arya melangkah mendahului mereka semua. Ia tak pedulikan apakah Jenar atau ayahandanya menyusul atau tidak. Pemuda itu buru-buru menyibak rerumputan itu demi menemukan makam ibundanya. Ia segera bersimpuh manakala menemukan batu nisan Gantari.Tak ada yang diucapkan Sanggageni dan Jenar. Sang