“Kau sudah mati, Balarawan!” ucap Prabu Warasena terus melangkah mundur hingga tubuhnya terhenti karena terbentur dinding.“Mati? Aku tak akan mati sebelum menuntut balas padamu!” seru pria yang dipanggil Balarawan oleh Prabu Warasena. Ia terus maju semakin dekat. Hingga tatapan mata dan luka menganga di lehernya itu tampak jelas masih mengucurkan darah.“Kau seharusnya mati dengan luka itu, Balarawan!” seru Prabu Warasena sembari mengacungkan senjatanya demi menjaga jarak.“Aku masih berdiri di sini, Penjahat! Kau harus bertanggung jawab, sekarang!” hardik Balarawan dengan wajah penuh amarah. Ia lepaskan tangan kiri yang memegangi lukanya. Berganti dengan mencabut pedang di pinggang.“Pedang? Sejak kapan Pangeran Balarawan bersenjatakan pedang?” batin Prabu Warasena. Di tengah amarah yang bercampur dengan rasa takut, pria itu masih memperhatikan detail dari lawannya.Merasa lawannya tengah terpojok karena memori masa lalu, Balarawan segera menyerang dengan sebuah sayatan pedang menga
Jenar segera menggamit lengan Arya. Sanggageni menyentuh bahu putranya itu setelah sebelumnya menyentuh Ki Bayanaka dan pemuka agama itu. Legawa segera berkonsentrasi dan menyentuh punggung Sanggageni. Dalam sekejap tubuh mereka berpindah ke sebuah tempat yang sunyi dan dipenuhi semak belukar.Arya dan Jenar menghela napasnya. Sanggageni berusaha keras menahan rasa mualnya, hal yang nyaris selalu ia alami pasca Lembat Brabat milik Legawa. Sedang Ki Bayanaka segera mengedarkan pandangannya, menghirup udara bersih dan dingin Gunung Payoda.“Girijajar, aku selalu merindukan aroma udara ini,” gumam Sanggageni maju mendekati rumput-rumput yang menghalangi ujung atap sebuah rumah roboh karena terbakar.Arya melangkah mendahului mereka semua. Ia tak pedulikan apakah Jenar atau ayahandanya menyusul atau tidak. Pemuda itu buru-buru menyibak rerumputan itu demi menemukan makam ibundanya. Ia segera bersimpuh manakala menemukan batu nisan Gantari.Tak ada yang diucapkan Sanggageni dan Jenar. Sang
“Rupanya kau tak sebodoh yang aku kira,” ucap Prabu Anarawan tenang. Asap putih mengepul dari raganya yang seolah tak lagi wujud. Asap itu hilang dan muncul sosok sebenarnya, Sakuntala.“Dan kau tak sepintar yang aku kira, Sakuntala!” ucap Prabu Warasena sembari menancapkan pangkal trisulanya ke lantai lorong itu.“Huh, tapi paling tidak dengan kondisimu seperti ini, kami jadi lebih mudah untuk melenyapkanmu!” Sakuntala menepuk tangannya dua kali sebagai isyarat agar orang-orangnya keluar dari persembunyian.Prabu Warasena tentu menyadari bahaya. Pertarungan tak seimbang akan segera meletus. Pria itu mundur dengan kaki pincangnya bertumpu pada dinding lorong dan trisulanya. Akibat Wikararupa Sakuntala, amarah sekaligus ilmu pertahanan tubuh khas Lembu Ireng batal. Dan untuk mencapainya lagi diperlukan cadangan energi yang cukup besar.“Bagaimana? Apakah aku sepintar yang kau kira, Warasena?” ujar Sakuntala setengah mengejek. Orang-orang buangan Astagina sudah mulai muncul di belakangn
Tak ada jawaban yang diharapkan Arya dari mulut Jenar. Gadis itu hanya terdiam dan menunduk dengan wajah memerah. Ia seolah kembali menjadi Jenar kekasihnya dulu, bukan seorang raja Astagina. Arya beralih ke ayahandanya dan Ki Bayanaka. Dua pria yang memaksanya mengakhiri hubungan dengan Jenar, namun kini justru meminta mereka menikah.“Ayahanda, jelaskan padaku! Apa dibalik semua ini? Bukan semata-mata karena Ayahanda ingin menunaikan keinginan Ibunda, bukan?” cecar Arya. Pemuda itu seperti dipermainkan perasaannya.“Tentu saja, ini bukan hanya karena keinginan Gantari. Namun dari sisi Ayah, itu lah kenyataannya,” jawab Sanggageni dingin. Amat berbanding terbalik dengan perasaan Arya kini, kacau.“Ayahanda, aku sudah menikah. Masih hitungan hari. Aku ... aku merasa ini tak wajar!” ucap Arya dengan segala kebingungannya. Sekilas ia melirik Jenar. Bibindanya itu tak bereaksi apa pun. Amat jelas bahwa ia juga sama terkejutnya dengan Arya.“Arya, maafkan kami para orang tua. Kami tak mel
“Rara Anjani sudah tahu hal ini?” ucap Arya tak percaya.Arya kembali terpaku. Kali ini nyaris tanpa pergerakan apa pun pada semua anggota tubuhnya, termasuk kelopak mata. Ia tak menyangka di belakangnya sudah terjadi hal sebesar dan sepenting ini. Namun istrinya sama sekali tak menampakkan perubahan sikap apa pun terhadapnya. Arya jadi merasa begitu berdosa pada Rara Anjani.“Ya, dia perempuan yang baik, Arya. Dia mengerti keadaan ini. Bahkan dia yang menawariku menyandang status istri pertama,” ucap Jenar lugas, kali ini ia sudah berani menatap mata Arya.“Bagaimana dengan Astagina dan seluruh punggawanya? Bagaimana bila mereka tahu rajanya dinikahi kemenakan sekaligus patihnya sendiri?” tanya Arya, bukan kepada Jenar saja, tapi Sanggageni dan Ki Bayanaka juga.“Kita akan merahasiakan hal ini. Meski sebenarnya menurut hukum Astagina hal ini dibolehkan karena mendesak,” jawab Sanggageni mencoba terus meyakinkan putranya.“Bibinda, apa hal ini mungkin? Sampai kapan kita akan merahasia
Pemuka agama sudah selesai memimpin prosesi. Tak ada upacara yang meriah selayaknya pernikahan seorang raja. Arya dan Jenar mengucapkan janji suci di depan pusara Gantari dan kedua ayahanda mereka. Prosesi itu tetap sakral meski kedua mempelai terlihat setengah hati menjalaninya.Arya dan Jenar saling berhadapan. Entah apa yang mereka rasakan sekarang. Jika pernikahan ini terjadi sebelum keduanya memangku jabatan penting di Astagina, mungkin hanya bahagia yang mereka rasakan. Namun takdir sudah menegaskan mereka bersatu dalam kondisi yang sama sekali tak ideal.Arya meraih jemari Jenar. Keduanya menunduk, tak berani saling memandang. Padahal dahulu hal itu lah yang amat gemar mereka lakukan. Hembusan angin dingin gunung payoda membawa anak-anak rambut mereka hingga menutupi sebagian wajah. Angin yang juga membawa pemuka agama, Sanggageni, Ki Bayanaka dan Legawa menyingkir dari tempat itu.Jenar mengangkat wajahnya seraya berkata, “Kita menjadi suami istri, aku tak bisa percaya ini.”“
Arya dan Jenar kembali ke Astagina bersama orang-orang yang datang ke desa Girijajar tadi. Tentu dengan bantuan Legawa dan Lembat Brabat-nya. Sanggageni dan Ki Bayanaka segera meninggalkan istana raja itu untuk istirahat. Sedang Legawa segera kembali ke Rakajiwa. Tersisa sepasang pengantin baru yang tak tahu harus berbuat apa.“Sepertinya aku harus kembali, Gusti!” ucap Arya lirih.“Arya, aku ini istrimu. Kau bisa memanggilku Jenar saja bila berdua seperti ini,” jawab Jenar kembali tak terima dipandang suaminya sendiri sebagai raja.“Aku tak bisa percaya kita hanya berdua sampai aku benar-benar memastikannya,” bisik Arya. Hal yang membuat Jenar memahami apa yang tengah ditakutkan pemuda tampan pemilik Cundhamani ini.“Baik lah, kau bisa pergi sembari aku menyiapkan tempat khusus untuk kita berdua,” bisik Jenar lirih. Ia mengerlingkan sepasang manik hitam itu kepada suaminya. Tentu saja Arya mengerti, gadis cantik di hadapannya itu mengharapkan sesuatu layaknya pengantin baru bersamany
Suara kokok ayam jantan belum mampu membuat Arya terbangun dari tidurnya. Pemuda itu tertidur begitu pulas, belum pernah seperti ini sebelumnya. Bahkan sinar mentari yang masuk dari sela-sela lubang angin di atas jendela dan menerpa bilik indah itu belum mampu membuatnya membuka mata.Sebuah kecupan mendarat di pipi pemuda itu. Pembaringan bergerak, ada sosok yang duduk di samping Arya. Tangan halus itu membelai wajah dan menyingkap rambut panjang yang sebagian menutupi wajah patih Astagina itu.“Bangun, Arya, ini sudah pagi,” bisik Jenar begitu lembut di telinga Arya.Arya menggeliat, merenggangkan sepasang tangannya. Ia masih merasakan lelah yang luar biasa. Terlelap sebentar lagi mungkin cukup untuk memulihkan semua tenaganya. Pemuda itu seolah mengacuhkan segala perlakuan manis yang diberikan Jenar padanya.“Sayang, bangun!” bisik Jenar dengan suara yang lebih keras.Perlahan Arya menggerakkan kelopak matanya. Ia kemudian tersenyum dan merengkuh pinggang ramping Jenar sembari mele