Arya dan Jenar kembali ke Astagina bersama orang-orang yang datang ke desa Girijajar tadi. Tentu dengan bantuan Legawa dan Lembat Brabat-nya. Sanggageni dan Ki Bayanaka segera meninggalkan istana raja itu untuk istirahat. Sedang Legawa segera kembali ke Rakajiwa. Tersisa sepasang pengantin baru yang tak tahu harus berbuat apa.“Sepertinya aku harus kembali, Gusti!” ucap Arya lirih.“Arya, aku ini istrimu. Kau bisa memanggilku Jenar saja bila berdua seperti ini,” jawab Jenar kembali tak terima dipandang suaminya sendiri sebagai raja.“Aku tak bisa percaya kita hanya berdua sampai aku benar-benar memastikannya,” bisik Arya. Hal yang membuat Jenar memahami apa yang tengah ditakutkan pemuda tampan pemilik Cundhamani ini.“Baik lah, kau bisa pergi sembari aku menyiapkan tempat khusus untuk kita berdua,” bisik Jenar lirih. Ia mengerlingkan sepasang manik hitam itu kepada suaminya. Tentu saja Arya mengerti, gadis cantik di hadapannya itu mengharapkan sesuatu layaknya pengantin baru bersamany
Suara kokok ayam jantan belum mampu membuat Arya terbangun dari tidurnya. Pemuda itu tertidur begitu pulas, belum pernah seperti ini sebelumnya. Bahkan sinar mentari yang masuk dari sela-sela lubang angin di atas jendela dan menerpa bilik indah itu belum mampu membuatnya membuka mata.Sebuah kecupan mendarat di pipi pemuda itu. Pembaringan bergerak, ada sosok yang duduk di samping Arya. Tangan halus itu membelai wajah dan menyingkap rambut panjang yang sebagian menutupi wajah patih Astagina itu.“Bangun, Arya, ini sudah pagi,” bisik Jenar begitu lembut di telinga Arya.Arya menggeliat, merenggangkan sepasang tangannya. Ia masih merasakan lelah yang luar biasa. Terlelap sebentar lagi mungkin cukup untuk memulihkan semua tenaganya. Pemuda itu seolah mengacuhkan segala perlakuan manis yang diberikan Jenar padanya.“Sayang, bangun!” bisik Jenar dengan suara yang lebih keras.Perlahan Arya menggerakkan kelopak matanya. Ia kemudian tersenyum dan merengkuh pinggang ramping Jenar sembari mele
Prana dan Brada segera berlari mencari orang penting yang mungkin bisa memberi mereka petunjuk. Bagaimana para Senopati yang sejak tadi menunggu kehadiran Patih Arya Nandika memberikan keputusan mengenai armada perang di laut selatan. Jarak tepi pantai dengan istana hanya setengah hari berkuda, bahaya akan segera datang.Setelah Jenar naik tahta dan Arya menjadi patih, banyak posisi-posisi punggawa yang dikurangi atau belum mendapatkan pengganti. Selama ini semua tugas mengenai kedaulatan Astagina, Arya-lah yang mengembannya. Maka para Senopati itu tak berani memutuskan apa pun sebelum Arya datang.“Ki Bayanaka!” seru Prana begitu saja setelah melihat pria tua itu berjalan sendiri menuju arena latih prajurit.“Ya, Prajurit! Ada apa? Mengapa kau tampak begitu panik?” tanya Ki Bayanaka tenang.“Ratusan kapal perang mendarat di pantai selatan, Ki!” adu Prana pada Ki Bayanaka. Pria tua itu tampak mengerutkan kening. Ia merasa aneh mengapa prajurit itu melapor padanya.“Lantas mengapa kau
“Tuan Sanggageni, Ki Bayanaka!” Seorang Senopati memberikan hormat pada dua pria yang tak disangka-sangka kedatangannya.Sanggageni dan Ki Bayanaka tersenyum singkat dan kemudian ikut mengamati puluhan kapal perang itu yang baru saja bersandar dari menara pengawas. Ki Bayanaka mengusap janggutnya perlahan, sedang Sanggageni melipat tangannya di dada, mencoba menganalisa.“Senopati, jelaskan situasinya!” titah Sanggageni.“Tuan, sebelumnya kami sudah berusaha mencari Gusti Patih, namun sampai saat ini kami belum mendapatkan informasi keberadaan beliau,” ucap Senopati Sudirga berusaha hati-hati untuk tidak menyampaikan informasi apa pun pada orang yang tak berwenang.“Aku sudah tahu, Senopati. Kami datang ke mari karena diutus oleh Patih Arya Nandika. Dia sedang bersama dengan Gusti Sri Maharani menyelesaikan urusan lain,” terang Sanggageni sekaligus menghilangkan keraguan Senopati Sudirga.“Ampun, Tuan. Aku tak tahu. Sebelumnya 55 kapal perang ini sudah terlihat kemarin lusa. Namun bar
Seluruh pasukan Duwana sudah bersiap di gerbang istana sebelah selatan. Pasukan Andanu sudah siap di menara-menara pengawas dan jembatan penghubung di antaranya. Sisanya menyebar di tiap gerbang istana atau apa pun yang dapat digunakan musuh untuk menerobos masuk. Astagina dalam kondisi siap tempur.Ki Bayanaka dan Senopati Sudirga masih berada di menara pengawas bagian selatan. Terus memantau pergerakan apa pun dari kapal-kapal perang itu. Sekaligus menerima informasi secepat mungkin dari divisi Telik Sandi yang bertugas memata-matai musuh.“Senopati, bagaimana dengan petugas logistik? Apakah mereka sudah mendapatkan informasi ini?” tanya Ki Bayanaka.“Sudah, Ki. Semua petugas pendukung peperangan sudah disiapkan. Tenaga logistik dan kesehatan sudah sedia kapan pun perang meletus!” jawab Senopati Sudirga lantang.“Bagus! Ingat jangan sampai ada pergerakan yang mencolok. Aku yakin musuh juga mengintai kita dari jauh,” ujar Ki Bayanaka kembali mengingatkan strategi yang tengah mereka j
Semua prajurit Astagina menatap angkasa. Sepuluh prajurit udara ciptaan Sanggageni melayang-layang mengitari langit istana. Prajurit Andanu yang semula membidik dengan anak panah seketika menurunkan busurnya manakala menyadari pria-pria yang melayang itu mengenakan pakaian Astagina.Entah siapa yang memulai. Suara gemuruh tepuk tangan dan teriakan penyemangat segera memenuhi istana. Seluruh prajurit mendadak membanggakan sepuluh orang pasukan udara itu. Sebuah suntikan kekuatan di tengah kedatangan musuh yang tak dikenal.Suara gaduh di luar tentu saja membuat Arya dan Jenar menyadari ada hal yang terjadi di dalam istana. Arya segera bangun dan mengenakain pakaiannya. Sedang Jenar masih tergolek di pembaringan berbalut selimut tipis yang separuhnya tersingkap.“Kau akan pergi?” lirih Jenar.“Ya, suara gaduh itu ... pasti ada yang terjadi di luar sana,” jawab Arya tergesa. Pemuda itu selesai berpakaian dan mulai membasuh wajah dengan air dalam bejana.“Hmm, sepertinya sudah lewat tenga
Senopati Sudirga segera memberi hormat setelah mendapati kedatangan patihnya di gerbang selatan. Sepintas pemuda itu memperhatikan wajah Arya yang pucat. Ia hendak bertanya namun tak mau dikatakan lancang. Ia lalu lebih memilih untuk menjelaskan kondisi Astagina.“Apa kabar terbaru dari Telik Sandi?” tanya Arya.“Sampai saat ini hanya ada satu orang dari masing-masing kapal itu yang turun dan mencari logistik. Itu pun tak banyak. Yang mereka cari hanya lah air,” jawab Senopati Sudirga.“Air ya,” Arya mengusap dagunya. Pemuda itu mencoba untuk menganalisa semua keadaan ini. Pemikirannya yang biasanya tajam, entah mengapa menjadi tumpul. Ia bahkan tengah menahan rasa sakit kepala.“Arya!” Ki Bayanaka menepuk pundak menantunya itu cukup keras. Sengaja ia lakukan sebagai teguran dan juga sentakan agar pemuda itu tak banyak melamun.“Ki Bayanaka, kau mengagetkanku saja,” protes Arya.Ki Bayanaka tak menjawab. Ia hanya memperhatikan lekat-lekat wajah Arya. Seakan tak ada yang terlewatkan sa
Sepasang anak panah itu melesat dengan cepat. Mengganda menjadi ribuan dan menghantam bola-bola api di udara hingga menimbulkan ledakan keras. Sisanya terus menghunjam dan menghantam bola-bola api selanjutnya. Sebuah Cundhamani berhasil mengenai salah satu kapal perang dan mulai membakarnya.Arya tergolek lemas bertumpu pada tiang kokoh menara pengawas. Bisa jadi itu adalah energinya yang terakhir. Bercinta sepanjang pekan rupanya banyak menguras tenaganya. Meski hatinya begitu bahagia, namun tidak dengan energi yang berdampak pada kekuatan.“Gusti Patih, apa kau baik-baik saja?” tanya Senopati Sudirga yang segera mendatangi Arya.Arya tak menjawab pertanyaan tak perlu macam itu. Lebih baik tenaganya tersisa digunakan untuk memberikan perintah atau strategi lanjutan guna menangkal serangan musuh. Patih Astagina itu kini duduk bersandar pada dinding menara dengan kondisi yang lemah.“Sudirga, jika terjadi sesuatu padaku tolong kau pimpin pasukan ini. Cari Ayahandaku dan berjuang lah be
“Bukan kah prajurit udaramu tadi sudah memeriksa semua kapal ini, Braja?” tanya Ki Bayanaka. “Ya, sepertinya kapal satu ini luput dari pemeriksaan. Atau....” Seorang pria bertubuh kurus dan berkulit cerah tertawa di atas kapal yang separuhnya sudah terbakar. Ia merasa jumawa melihat dua pria tua, seorang perempuan dan seorang pemuda yang sudah tidak berdaya. Dengan senjata berkekuatan besar, ia merasa di atas angin. “Siapa sebenarnya mereka?” tanya Jenar sembari mengernyitkan kening. Belum juga terjawab, bentuk kapal, senjata dan panji asing itu. “Entah lah, Jenar. Tapi orang ini pasti lemah. Merasa kuat karena memiliki senjata yang mampu melontarkan bola-bola api itu,” ucap Ki Bayanaka begitu yakin. “Bagaimana Ayahanda bisa begitu yakin?” tanya Jenar. “Coba lah kau perhatikan gelagatnya. Orang dengan kemampuan tinggi tak mungkin bertingkah seperti itu. Bukan begitu, Braja?” ucap Ki Bayanaka melemparkan kalimat kepada Sanggageni. “Hmm, jadi siapa yang akan memberinya pelajaran?”
Tak ada yang bisa dilakukan Jenar setelah sampai di pantai selatan kerajaannya. Pagar api setinggi pagar Astagina itu menghalangi apa pun dan siapa pun. Tak mungkin melaluinya dengan selamat. Perempuan itu tampak mulai meneteskan air mata. Bagaimana mungkin suaminya berbuat sedemikian rupa. Hatinya berkecamuk, sungguh ia tak ingin kehilangan Arya secepat ini.“Arya, dasar bodoh! Apa yang kau lakukan?” umpat Jenar dengan kedua tangan mengepal. Ia merasa begitu hina sebagai raja tak mengetahui patih sekaligus suaminya di dalam sana berjuang seorang diri.Raja Astagina itu mulai terisak. Rasa panas mendera wajahnya dari jarak lima tombak ini. Keningnya mengernyit keras. Ia merasa harus berbuat sesuatu. Berdiam diri tak akan berdampak apa pun. Berada di istananya jauh lebih baik.“Pasukan udara milik Kakanda Sanggageni, dimana mereka?” tiba-tiba Jenar teringat akan sepuluh orang prajurit yang direkrut oleh Sanggageni demi mewujudkan idenya memiliki serangan udara.“Gunakan ini!” Danapati
Arya melepaskan sekali lagi Sasra Sayaka-Cundhamani dengan sisa amarahnya. Anak panah logam hitam berlumur darahnya sendiri melesat ke arah ribuan prajurit yang mulai terkikis keberaniannya. Serupa dengan tenaga dan kesadaran Arya. Pemuda itu menjatuhkan busur Agnitama pada mulanya. Disusul dengan tubuh lemah dan compang-campingnya.Arya mendengus berusaha melihat apa yang terjadi dengan serangannya itu. Tubuh-tubuh musuh yang tercerai berai. Terburai anggota tubuhnya. Terbakar api Cundhamani hingga meronta-ronta, berguling di tanah dan masuk ke dalam air laut. Semua berusaha menyelamatkan dirinya sendiri.“Sisanya aku serahkan padamu, Raden Danapati!” gumam Arya sembari mengubah posisi kepalanya. Menoleh kepada Aswabrama dan memastikan kembali bahwa Danapati benar-benar pergi.Binatang dan tuan itu saling pandang. Tak ada kata dari mereka yang dimengerti. Namun tatapan bola mata itu sudah menjelaskan semuanya. Berjuang bersama-sama. Melewati bahaya, nyaris kehilangan nyawa, dan kini
“Tapi bagaimana caranya, Braja? Kau lihat sendiri api Cundhamani menghalangi kita?” pungkas Ki Bayanaka. Pria tua itu memang peragu yang luar biasa. Itu sebab dahulu ia menjadi pelatih prajurit alih-alih bergabung bersama Baka Nirdaya memerangi kedzaliman.“Pantai selatan memang sudah menjadi lautan api. Tapi tidak dengan langitnya!” timpal Sanggageni. “Pengawal! Kau pengawal raja, bukan?” tanyanya.Seorang pengawal raja yang sejak tadi bertugas melindungi dua penasihat itu maju selangkah dengan penuh penghormatan. Ia berkata lantang, “Benar, Tuan! Mohon katakan titah Tuan!”“Cari pasukan udaraku! Bawa secepatnya mereka ke sini!” titah Sanggageni lantang. Pria itu berdiri tegak menatap lautan api dengan memegangi lengan kanannya. Tak ada artinya hidup dengan sebelah tangan namun tak mampu menyelamatkan putranya sendiri.“Sendika, Tuan!”Ki Bayanaka bangkit berdiri di sisi Sanggageni. Tak ada yang menyangka Astagina akan berada di ujung tanduk seperti ini. Pria itu menyentuh pundak adi
Pantai selatan Astagina kini tak ubahnya seperti gerbang api. Tak ada tempat untuk melarikan diri. Bagi bala tentara asing itu, juga bagi Arya. Suara desis api Cundhamani bertemu air laut mengepulkan asap putih buah dari air yang menguap. Arya melepaskan Sasra Sayaka-Cundhamani sekali lagi. Kali ini ke arah deretan kapal-kapal perang yang sebagian telah terbakar.“Kau yakin hal ini, Gusti?” tanya Danapati manakala sudah mengenakan jubah pemberian Arya.“Apa kau meragukanku, Raden?” tanya Arya kembali. Pemuda itu menoleh dan tersenyum. Memperlihatkan deretan giginya yang memerah karena darah. Tak ada yang tahu bahwa Patih Astagina itu sudah melampaui batas ketahanan tubuhnya sendiri.“Gusti, kau....”Tak sempat Danapati berkata lebih banyak, Arya terlanjut menyentak tali kekang Aswabrama. Ia songsong ratusan pasukan berkuda musuh sendirian. Atau hanya berdua saja dengan kudanya. Arya menghunuskan anak panah logamnya. Kali ini dengan posisi tubuh setengah berdiri. Danapati terhenyak, ya
“Arya? Bagaimana dengan Ayahandamu?” tanya Jenar tak menyangka suaminya akan hadir dan menyela percakapannya dengan Danapati dan pengawal.Arya tak menjawab, menggerakkan sedikit kepalanya memberi isyarat pada Jenar agar melihat sendiri kondisi ayahandanya. Pemuda itu sudah siap dengan busur Agnitama dan puluhan anak panah logam di tempatnya menggantung di punggung.Dari jarak puluhan depa itu Jenar masih mampu melihat Sanggageni dan ayahandanya tengah duduk bersila. Ki Bayanaka masih mengobati kakak ipar sekaligus mertuanya itu dengan tenaga dalam. Sedang Sanggageni sudah mampu duduk sendiri. Ia jauh lebih baik meski lengan kanannya tak akan kembali lagi.“Pergi lah ... Istriku! Tunggu aku kembali membawa kemenangan!” lirih Arya di telinga Jenar sembari melewati tubuh perempuan cantik itu.Jenar terpekur, setelah pertengkaran mereka berdua karena Rara Anjani di desa Girijajar tempo hari, baru kali ini ia melihat tekad di mata Arya. Tekad yang sama saat Arya pamit untuk pergi ke medan
Panji-panji dengan aksara asing itu berkibar-kibar tinggi. Pasukan berkuda dengan penutup kepala logam dengan beringas membunuh apa pun yang menghadang. Darah Jenar mendidih menyaksikan para prajurit yang baru saja direkut menjadi korban tanpa sempat mempertahankan nyawa. Perempuan itu menghentakkan tungkainya di permukaan batu besar sekaligus menandai radius serangannya.“Beraninya kalian mengobrak-abrik Astagina! Hanya ada satu ganjaran ... Mati!” seru Jenar mengumbar amarah.Kilatan-kilatan terlihat bergerak begitu cepat tanpa bisa diikuti oleh mata. Denting penutup kepala logam dan tusuk konde emas mendahului robohnya pasukan berkuda itu satu demi satu. Tak ada yang paham bahwa perempuan yang menari di atas batu itu lah dalangnya.Pasukan berkuda musuh saling pandang. Menarik tali kekang kuda hingga kuda-kuda perkasa itu meringkik begitu kuat. Mereka mengedarkan pandangan ke sekitar selatan pesisir pantai Astagina. Selama itu pula mereka seolah tinggal menunggu kematian.Danapati
Arya mendarat dengan keras tepat di belakang para prajurit yang melingkar melindungi rajanya. Ia sibak bahu-bahu penuh ketegangan itu demi sampai di tempat ayahandanya diobati. Penjelasan dari pengawal raja tadi belum mampu membuatnya mengerti bagaimana kondisi Sanggageni sebenarnya.Namun seluruh tubuh Arya terasa tak bertulang manakala menyaksikan kondisi ayahandanya yang memprihatinkan. Ia luruh jatuh bersimpuh di tanah tepat di samping Ki Bayanaka, berhadapan dengan Jenar. Pemuda itu tak percaya hal mengerikan seperti ini terjadi pada ayahandanya.“Kau datang juga,” lirih Ki Bayanaka.“A-apa yang terjadi....”“Braja tak akan seperti ini andai saja kalian bisa bersikap bijak dan tak menuruti hawa nafsu!” tegas Ki Bayanaka sekali lagi.“Maksudmu....”“Kakanda Sanggageni terkena bola api itu, Arya! Dan sekarang pasukan berkuda mereka sedang menuju kemari!” ujar Jenar setengah menyeru. Ia tahu bahwa ini pula kesalahannya. Namun diamnya suaminya tentu bukan tindakan yang tepat dilakuka
Jenar menitikkan air mata. Kata-kata ayahandanya memang begitu menusuk hati. Namun melihat kondisi Sanggageni lah hal yang membuatnya begitu sakit. Ia terlalu lama memadu kasih dengan Arya hingga membuat ayahanda Arya dalam kondisi mengenaskan.“Bertahan lah, Braja! Dasar bedebah!” hardik Ki Bayanaka terus mengerahkan segala kemampuannya untuk menyelamatkan nyawa Sanggageni. Sejauh ini tak ada reaksi apa pun dari pria bergiwang itu.“Kakanda Danapati, bisa kah kau cari keberadaan Arya? Aku merasa dia memiliki hal di luar dari kemampuanku dan Ayahandaku untuk menyelamatkan Kakanda Sanggageni,” pinta Jenar sambil terus terisak.Danapati tak menjawab. Ia segera bangkit dan hendak meninggalkan mereka bertiga manakala empat orang pengawal raja datang. Mereka segera bersimpuh tak berani lebih tinggi dari rajanya.“Tak perlu, Danapati! Biar mereka saja yang mencari Arya. Kau tetap di sini lindungi kami dari apa pun yang menyerang!” titah Ki Bayanaka. Danapati tak berani bereaksi. Ia melihat