“Tuan Sanggageni, Ki Bayanaka!” Seorang Senopati memberikan hormat pada dua pria yang tak disangka-sangka kedatangannya.Sanggageni dan Ki Bayanaka tersenyum singkat dan kemudian ikut mengamati puluhan kapal perang itu yang baru saja bersandar dari menara pengawas. Ki Bayanaka mengusap janggutnya perlahan, sedang Sanggageni melipat tangannya di dada, mencoba menganalisa.“Senopati, jelaskan situasinya!” titah Sanggageni.“Tuan, sebelumnya kami sudah berusaha mencari Gusti Patih, namun sampai saat ini kami belum mendapatkan informasi keberadaan beliau,” ucap Senopati Sudirga berusaha hati-hati untuk tidak menyampaikan informasi apa pun pada orang yang tak berwenang.“Aku sudah tahu, Senopati. Kami datang ke mari karena diutus oleh Patih Arya Nandika. Dia sedang bersama dengan Gusti Sri Maharani menyelesaikan urusan lain,” terang Sanggageni sekaligus menghilangkan keraguan Senopati Sudirga.“Ampun, Tuan. Aku tak tahu. Sebelumnya 55 kapal perang ini sudah terlihat kemarin lusa. Namun bar
Seluruh pasukan Duwana sudah bersiap di gerbang istana sebelah selatan. Pasukan Andanu sudah siap di menara-menara pengawas dan jembatan penghubung di antaranya. Sisanya menyebar di tiap gerbang istana atau apa pun yang dapat digunakan musuh untuk menerobos masuk. Astagina dalam kondisi siap tempur.Ki Bayanaka dan Senopati Sudirga masih berada di menara pengawas bagian selatan. Terus memantau pergerakan apa pun dari kapal-kapal perang itu. Sekaligus menerima informasi secepat mungkin dari divisi Telik Sandi yang bertugas memata-matai musuh.“Senopati, bagaimana dengan petugas logistik? Apakah mereka sudah mendapatkan informasi ini?” tanya Ki Bayanaka.“Sudah, Ki. Semua petugas pendukung peperangan sudah disiapkan. Tenaga logistik dan kesehatan sudah sedia kapan pun perang meletus!” jawab Senopati Sudirga lantang.“Bagus! Ingat jangan sampai ada pergerakan yang mencolok. Aku yakin musuh juga mengintai kita dari jauh,” ujar Ki Bayanaka kembali mengingatkan strategi yang tengah mereka j
Semua prajurit Astagina menatap angkasa. Sepuluh prajurit udara ciptaan Sanggageni melayang-layang mengitari langit istana. Prajurit Andanu yang semula membidik dengan anak panah seketika menurunkan busurnya manakala menyadari pria-pria yang melayang itu mengenakan pakaian Astagina.Entah siapa yang memulai. Suara gemuruh tepuk tangan dan teriakan penyemangat segera memenuhi istana. Seluruh prajurit mendadak membanggakan sepuluh orang pasukan udara itu. Sebuah suntikan kekuatan di tengah kedatangan musuh yang tak dikenal.Suara gaduh di luar tentu saja membuat Arya dan Jenar menyadari ada hal yang terjadi di dalam istana. Arya segera bangun dan mengenakain pakaiannya. Sedang Jenar masih tergolek di pembaringan berbalut selimut tipis yang separuhnya tersingkap.“Kau akan pergi?” lirih Jenar.“Ya, suara gaduh itu ... pasti ada yang terjadi di luar sana,” jawab Arya tergesa. Pemuda itu selesai berpakaian dan mulai membasuh wajah dengan air dalam bejana.“Hmm, sepertinya sudah lewat tenga
Senopati Sudirga segera memberi hormat setelah mendapati kedatangan patihnya di gerbang selatan. Sepintas pemuda itu memperhatikan wajah Arya yang pucat. Ia hendak bertanya namun tak mau dikatakan lancang. Ia lalu lebih memilih untuk menjelaskan kondisi Astagina.“Apa kabar terbaru dari Telik Sandi?” tanya Arya.“Sampai saat ini hanya ada satu orang dari masing-masing kapal itu yang turun dan mencari logistik. Itu pun tak banyak. Yang mereka cari hanya lah air,” jawab Senopati Sudirga.“Air ya,” Arya mengusap dagunya. Pemuda itu mencoba untuk menganalisa semua keadaan ini. Pemikirannya yang biasanya tajam, entah mengapa menjadi tumpul. Ia bahkan tengah menahan rasa sakit kepala.“Arya!” Ki Bayanaka menepuk pundak menantunya itu cukup keras. Sengaja ia lakukan sebagai teguran dan juga sentakan agar pemuda itu tak banyak melamun.“Ki Bayanaka, kau mengagetkanku saja,” protes Arya.Ki Bayanaka tak menjawab. Ia hanya memperhatikan lekat-lekat wajah Arya. Seakan tak ada yang terlewatkan sa
Sepasang anak panah itu melesat dengan cepat. Mengganda menjadi ribuan dan menghantam bola-bola api di udara hingga menimbulkan ledakan keras. Sisanya terus menghunjam dan menghantam bola-bola api selanjutnya. Sebuah Cundhamani berhasil mengenai salah satu kapal perang dan mulai membakarnya.Arya tergolek lemas bertumpu pada tiang kokoh menara pengawas. Bisa jadi itu adalah energinya yang terakhir. Bercinta sepanjang pekan rupanya banyak menguras tenaganya. Meski hatinya begitu bahagia, namun tidak dengan energi yang berdampak pada kekuatan.“Gusti Patih, apa kau baik-baik saja?” tanya Senopati Sudirga yang segera mendatangi Arya.Arya tak menjawab pertanyaan tak perlu macam itu. Lebih baik tenaganya tersisa digunakan untuk memberikan perintah atau strategi lanjutan guna menangkal serangan musuh. Patih Astagina itu kini duduk bersandar pada dinding menara dengan kondisi yang lemah.“Sudirga, jika terjadi sesuatu padaku tolong kau pimpin pasukan ini. Cari Ayahandaku dan berjuang lah be
Sebuah bola api muncul dari balik asap hitam buah kapal yang meledak. Sanggageni tak sempat melakukan apa pun, jarak bola api itu begitu dekat. Namun ia sempat menyilangkan lengannya di depan tubuh guna menahan hantaman.Tubuh Sanggageni terpental dengan keras. Pakaian khususnya hancur dan lebih dulu jatuh ke tanah, berhamburan di pasir pantai selatan Astagina. Sepuluh prajurit udara bentukannya sebagian hanya bisa mematung, sedang sisanya berusaha mengejar tubuh tak berdaya tuannya.“Ayo, kembali!” seru seorang prajurit sekaligus mencairkan kembali rekan-rekannya yang mematung. Misi mereka gagal. Mereka hanya sanggup menghancurkan barisan kapal terdepan.Sepuluh prajurit udara itu segera melesat meninggalkan bibir pantai. Sedang dua puluh tombak dari gerbang selatan yang hancur, tubuh Sanggageni terhempas ke tanah dengan luka bakar nyaris di sekujur tubuh.“Tuan!” tiga orang prajurit udara mendarat dengan tergesa dan segera memeriksa keadaan Sanggageni.Sanggageni menyeringai cukup l
Jenar menitikkan air mata. Kata-kata ayahandanya memang begitu menusuk hati. Namun melihat kondisi Sanggageni lah hal yang membuatnya begitu sakit. Ia terlalu lama memadu kasih dengan Arya hingga membuat ayahanda Arya dalam kondisi mengenaskan.“Bertahan lah, Braja! Dasar bedebah!” hardik Ki Bayanaka terus mengerahkan segala kemampuannya untuk menyelamatkan nyawa Sanggageni. Sejauh ini tak ada reaksi apa pun dari pria bergiwang itu.“Kakanda Danapati, bisa kah kau cari keberadaan Arya? Aku merasa dia memiliki hal di luar dari kemampuanku dan Ayahandaku untuk menyelamatkan Kakanda Sanggageni,” pinta Jenar sambil terus terisak.Danapati tak menjawab. Ia segera bangkit dan hendak meninggalkan mereka bertiga manakala empat orang pengawal raja datang. Mereka segera bersimpuh tak berani lebih tinggi dari rajanya.“Tak perlu, Danapati! Biar mereka saja yang mencari Arya. Kau tetap di sini lindungi kami dari apa pun yang menyerang!” titah Ki Bayanaka. Danapati tak berani bereaksi. Ia melihat
Arya mendarat dengan keras tepat di belakang para prajurit yang melingkar melindungi rajanya. Ia sibak bahu-bahu penuh ketegangan itu demi sampai di tempat ayahandanya diobati. Penjelasan dari pengawal raja tadi belum mampu membuatnya mengerti bagaimana kondisi Sanggageni sebenarnya.Namun seluruh tubuh Arya terasa tak bertulang manakala menyaksikan kondisi ayahandanya yang memprihatinkan. Ia luruh jatuh bersimpuh di tanah tepat di samping Ki Bayanaka, berhadapan dengan Jenar. Pemuda itu tak percaya hal mengerikan seperti ini terjadi pada ayahandanya.“Kau datang juga,” lirih Ki Bayanaka.“A-apa yang terjadi....”“Braja tak akan seperti ini andai saja kalian bisa bersikap bijak dan tak menuruti hawa nafsu!” tegas Ki Bayanaka sekali lagi.“Maksudmu....”“Kakanda Sanggageni terkena bola api itu, Arya! Dan sekarang pasukan berkuda mereka sedang menuju kemari!” ujar Jenar setengah menyeru. Ia tahu bahwa ini pula kesalahannya. Namun diamnya suaminya tentu bukan tindakan yang tepat dilakuka