Pemuka agama sudah selesai memimpin prosesi. Tak ada upacara yang meriah selayaknya pernikahan seorang raja. Arya dan Jenar mengucapkan janji suci di depan pusara Gantari dan kedua ayahanda mereka. Prosesi itu tetap sakral meski kedua mempelai terlihat setengah hati menjalaninya.Arya dan Jenar saling berhadapan. Entah apa yang mereka rasakan sekarang. Jika pernikahan ini terjadi sebelum keduanya memangku jabatan penting di Astagina, mungkin hanya bahagia yang mereka rasakan. Namun takdir sudah menegaskan mereka bersatu dalam kondisi yang sama sekali tak ideal.Arya meraih jemari Jenar. Keduanya menunduk, tak berani saling memandang. Padahal dahulu hal itu lah yang amat gemar mereka lakukan. Hembusan angin dingin gunung payoda membawa anak-anak rambut mereka hingga menutupi sebagian wajah. Angin yang juga membawa pemuka agama, Sanggageni, Ki Bayanaka dan Legawa menyingkir dari tempat itu.Jenar mengangkat wajahnya seraya berkata, “Kita menjadi suami istri, aku tak bisa percaya ini.”“
Arya dan Jenar kembali ke Astagina bersama orang-orang yang datang ke desa Girijajar tadi. Tentu dengan bantuan Legawa dan Lembat Brabat-nya. Sanggageni dan Ki Bayanaka segera meninggalkan istana raja itu untuk istirahat. Sedang Legawa segera kembali ke Rakajiwa. Tersisa sepasang pengantin baru yang tak tahu harus berbuat apa.“Sepertinya aku harus kembali, Gusti!” ucap Arya lirih.“Arya, aku ini istrimu. Kau bisa memanggilku Jenar saja bila berdua seperti ini,” jawab Jenar kembali tak terima dipandang suaminya sendiri sebagai raja.“Aku tak bisa percaya kita hanya berdua sampai aku benar-benar memastikannya,” bisik Arya. Hal yang membuat Jenar memahami apa yang tengah ditakutkan pemuda tampan pemilik Cundhamani ini.“Baik lah, kau bisa pergi sembari aku menyiapkan tempat khusus untuk kita berdua,” bisik Jenar lirih. Ia mengerlingkan sepasang manik hitam itu kepada suaminya. Tentu saja Arya mengerti, gadis cantik di hadapannya itu mengharapkan sesuatu layaknya pengantin baru bersamany
Suara kokok ayam jantan belum mampu membuat Arya terbangun dari tidurnya. Pemuda itu tertidur begitu pulas, belum pernah seperti ini sebelumnya. Bahkan sinar mentari yang masuk dari sela-sela lubang angin di atas jendela dan menerpa bilik indah itu belum mampu membuatnya membuka mata.Sebuah kecupan mendarat di pipi pemuda itu. Pembaringan bergerak, ada sosok yang duduk di samping Arya. Tangan halus itu membelai wajah dan menyingkap rambut panjang yang sebagian menutupi wajah patih Astagina itu.“Bangun, Arya, ini sudah pagi,” bisik Jenar begitu lembut di telinga Arya.Arya menggeliat, merenggangkan sepasang tangannya. Ia masih merasakan lelah yang luar biasa. Terlelap sebentar lagi mungkin cukup untuk memulihkan semua tenaganya. Pemuda itu seolah mengacuhkan segala perlakuan manis yang diberikan Jenar padanya.“Sayang, bangun!” bisik Jenar dengan suara yang lebih keras.Perlahan Arya menggerakkan kelopak matanya. Ia kemudian tersenyum dan merengkuh pinggang ramping Jenar sembari mele
Prana dan Brada segera berlari mencari orang penting yang mungkin bisa memberi mereka petunjuk. Bagaimana para Senopati yang sejak tadi menunggu kehadiran Patih Arya Nandika memberikan keputusan mengenai armada perang di laut selatan. Jarak tepi pantai dengan istana hanya setengah hari berkuda, bahaya akan segera datang.Setelah Jenar naik tahta dan Arya menjadi patih, banyak posisi-posisi punggawa yang dikurangi atau belum mendapatkan pengganti. Selama ini semua tugas mengenai kedaulatan Astagina, Arya-lah yang mengembannya. Maka para Senopati itu tak berani memutuskan apa pun sebelum Arya datang.“Ki Bayanaka!” seru Prana begitu saja setelah melihat pria tua itu berjalan sendiri menuju arena latih prajurit.“Ya, Prajurit! Ada apa? Mengapa kau tampak begitu panik?” tanya Ki Bayanaka tenang.“Ratusan kapal perang mendarat di pantai selatan, Ki!” adu Prana pada Ki Bayanaka. Pria tua itu tampak mengerutkan kening. Ia merasa aneh mengapa prajurit itu melapor padanya.“Lantas mengapa kau
“Tuan Sanggageni, Ki Bayanaka!” Seorang Senopati memberikan hormat pada dua pria yang tak disangka-sangka kedatangannya.Sanggageni dan Ki Bayanaka tersenyum singkat dan kemudian ikut mengamati puluhan kapal perang itu yang baru saja bersandar dari menara pengawas. Ki Bayanaka mengusap janggutnya perlahan, sedang Sanggageni melipat tangannya di dada, mencoba menganalisa.“Senopati, jelaskan situasinya!” titah Sanggageni.“Tuan, sebelumnya kami sudah berusaha mencari Gusti Patih, namun sampai saat ini kami belum mendapatkan informasi keberadaan beliau,” ucap Senopati Sudirga berusaha hati-hati untuk tidak menyampaikan informasi apa pun pada orang yang tak berwenang.“Aku sudah tahu, Senopati. Kami datang ke mari karena diutus oleh Patih Arya Nandika. Dia sedang bersama dengan Gusti Sri Maharani menyelesaikan urusan lain,” terang Sanggageni sekaligus menghilangkan keraguan Senopati Sudirga.“Ampun, Tuan. Aku tak tahu. Sebelumnya 55 kapal perang ini sudah terlihat kemarin lusa. Namun bar
Seluruh pasukan Duwana sudah bersiap di gerbang istana sebelah selatan. Pasukan Andanu sudah siap di menara-menara pengawas dan jembatan penghubung di antaranya. Sisanya menyebar di tiap gerbang istana atau apa pun yang dapat digunakan musuh untuk menerobos masuk. Astagina dalam kondisi siap tempur.Ki Bayanaka dan Senopati Sudirga masih berada di menara pengawas bagian selatan. Terus memantau pergerakan apa pun dari kapal-kapal perang itu. Sekaligus menerima informasi secepat mungkin dari divisi Telik Sandi yang bertugas memata-matai musuh.“Senopati, bagaimana dengan petugas logistik? Apakah mereka sudah mendapatkan informasi ini?” tanya Ki Bayanaka.“Sudah, Ki. Semua petugas pendukung peperangan sudah disiapkan. Tenaga logistik dan kesehatan sudah sedia kapan pun perang meletus!” jawab Senopati Sudirga lantang.“Bagus! Ingat jangan sampai ada pergerakan yang mencolok. Aku yakin musuh juga mengintai kita dari jauh,” ujar Ki Bayanaka kembali mengingatkan strategi yang tengah mereka j
Semua prajurit Astagina menatap angkasa. Sepuluh prajurit udara ciptaan Sanggageni melayang-layang mengitari langit istana. Prajurit Andanu yang semula membidik dengan anak panah seketika menurunkan busurnya manakala menyadari pria-pria yang melayang itu mengenakan pakaian Astagina.Entah siapa yang memulai. Suara gemuruh tepuk tangan dan teriakan penyemangat segera memenuhi istana. Seluruh prajurit mendadak membanggakan sepuluh orang pasukan udara itu. Sebuah suntikan kekuatan di tengah kedatangan musuh yang tak dikenal.Suara gaduh di luar tentu saja membuat Arya dan Jenar menyadari ada hal yang terjadi di dalam istana. Arya segera bangun dan mengenakain pakaiannya. Sedang Jenar masih tergolek di pembaringan berbalut selimut tipis yang separuhnya tersingkap.“Kau akan pergi?” lirih Jenar.“Ya, suara gaduh itu ... pasti ada yang terjadi di luar sana,” jawab Arya tergesa. Pemuda itu selesai berpakaian dan mulai membasuh wajah dengan air dalam bejana.“Hmm, sepertinya sudah lewat tenga
Senopati Sudirga segera memberi hormat setelah mendapati kedatangan patihnya di gerbang selatan. Sepintas pemuda itu memperhatikan wajah Arya yang pucat. Ia hendak bertanya namun tak mau dikatakan lancang. Ia lalu lebih memilih untuk menjelaskan kondisi Astagina.“Apa kabar terbaru dari Telik Sandi?” tanya Arya.“Sampai saat ini hanya ada satu orang dari masing-masing kapal itu yang turun dan mencari logistik. Itu pun tak banyak. Yang mereka cari hanya lah air,” jawab Senopati Sudirga.“Air ya,” Arya mengusap dagunya. Pemuda itu mencoba untuk menganalisa semua keadaan ini. Pemikirannya yang biasanya tajam, entah mengapa menjadi tumpul. Ia bahkan tengah menahan rasa sakit kepala.“Arya!” Ki Bayanaka menepuk pundak menantunya itu cukup keras. Sengaja ia lakukan sebagai teguran dan juga sentakan agar pemuda itu tak banyak melamun.“Ki Bayanaka, kau mengagetkanku saja,” protes Arya.Ki Bayanaka tak menjawab. Ia hanya memperhatikan lekat-lekat wajah Arya. Seakan tak ada yang terlewatkan sa