Tak ada jawaban yang diharapkan Arya dari mulut Jenar. Gadis itu hanya terdiam dan menunduk dengan wajah memerah. Ia seolah kembali menjadi Jenar kekasihnya dulu, bukan seorang raja Astagina. Arya beralih ke ayahandanya dan Ki Bayanaka. Dua pria yang memaksanya mengakhiri hubungan dengan Jenar, namun kini justru meminta mereka menikah.“Ayahanda, jelaskan padaku! Apa dibalik semua ini? Bukan semata-mata karena Ayahanda ingin menunaikan keinginan Ibunda, bukan?” cecar Arya. Pemuda itu seperti dipermainkan perasaannya.“Tentu saja, ini bukan hanya karena keinginan Gantari. Namun dari sisi Ayah, itu lah kenyataannya,” jawab Sanggageni dingin. Amat berbanding terbalik dengan perasaan Arya kini, kacau.“Ayahanda, aku sudah menikah. Masih hitungan hari. Aku ... aku merasa ini tak wajar!” ucap Arya dengan segala kebingungannya. Sekilas ia melirik Jenar. Bibindanya itu tak bereaksi apa pun. Amat jelas bahwa ia juga sama terkejutnya dengan Arya.“Arya, maafkan kami para orang tua. Kami tak mel
“Rara Anjani sudah tahu hal ini?” ucap Arya tak percaya.Arya kembali terpaku. Kali ini nyaris tanpa pergerakan apa pun pada semua anggota tubuhnya, termasuk kelopak mata. Ia tak menyangka di belakangnya sudah terjadi hal sebesar dan sepenting ini. Namun istrinya sama sekali tak menampakkan perubahan sikap apa pun terhadapnya. Arya jadi merasa begitu berdosa pada Rara Anjani.“Ya, dia perempuan yang baik, Arya. Dia mengerti keadaan ini. Bahkan dia yang menawariku menyandang status istri pertama,” ucap Jenar lugas, kali ini ia sudah berani menatap mata Arya.“Bagaimana dengan Astagina dan seluruh punggawanya? Bagaimana bila mereka tahu rajanya dinikahi kemenakan sekaligus patihnya sendiri?” tanya Arya, bukan kepada Jenar saja, tapi Sanggageni dan Ki Bayanaka juga.“Kita akan merahasiakan hal ini. Meski sebenarnya menurut hukum Astagina hal ini dibolehkan karena mendesak,” jawab Sanggageni mencoba terus meyakinkan putranya.“Bibinda, apa hal ini mungkin? Sampai kapan kita akan merahasia
Pemuka agama sudah selesai memimpin prosesi. Tak ada upacara yang meriah selayaknya pernikahan seorang raja. Arya dan Jenar mengucapkan janji suci di depan pusara Gantari dan kedua ayahanda mereka. Prosesi itu tetap sakral meski kedua mempelai terlihat setengah hati menjalaninya.Arya dan Jenar saling berhadapan. Entah apa yang mereka rasakan sekarang. Jika pernikahan ini terjadi sebelum keduanya memangku jabatan penting di Astagina, mungkin hanya bahagia yang mereka rasakan. Namun takdir sudah menegaskan mereka bersatu dalam kondisi yang sama sekali tak ideal.Arya meraih jemari Jenar. Keduanya menunduk, tak berani saling memandang. Padahal dahulu hal itu lah yang amat gemar mereka lakukan. Hembusan angin dingin gunung payoda membawa anak-anak rambut mereka hingga menutupi sebagian wajah. Angin yang juga membawa pemuka agama, Sanggageni, Ki Bayanaka dan Legawa menyingkir dari tempat itu.Jenar mengangkat wajahnya seraya berkata, “Kita menjadi suami istri, aku tak bisa percaya ini.”“
Arya dan Jenar kembali ke Astagina bersama orang-orang yang datang ke desa Girijajar tadi. Tentu dengan bantuan Legawa dan Lembat Brabat-nya. Sanggageni dan Ki Bayanaka segera meninggalkan istana raja itu untuk istirahat. Sedang Legawa segera kembali ke Rakajiwa. Tersisa sepasang pengantin baru yang tak tahu harus berbuat apa.“Sepertinya aku harus kembali, Gusti!” ucap Arya lirih.“Arya, aku ini istrimu. Kau bisa memanggilku Jenar saja bila berdua seperti ini,” jawab Jenar kembali tak terima dipandang suaminya sendiri sebagai raja.“Aku tak bisa percaya kita hanya berdua sampai aku benar-benar memastikannya,” bisik Arya. Hal yang membuat Jenar memahami apa yang tengah ditakutkan pemuda tampan pemilik Cundhamani ini.“Baik lah, kau bisa pergi sembari aku menyiapkan tempat khusus untuk kita berdua,” bisik Jenar lirih. Ia mengerlingkan sepasang manik hitam itu kepada suaminya. Tentu saja Arya mengerti, gadis cantik di hadapannya itu mengharapkan sesuatu layaknya pengantin baru bersamany
Suara kokok ayam jantan belum mampu membuat Arya terbangun dari tidurnya. Pemuda itu tertidur begitu pulas, belum pernah seperti ini sebelumnya. Bahkan sinar mentari yang masuk dari sela-sela lubang angin di atas jendela dan menerpa bilik indah itu belum mampu membuatnya membuka mata.Sebuah kecupan mendarat di pipi pemuda itu. Pembaringan bergerak, ada sosok yang duduk di samping Arya. Tangan halus itu membelai wajah dan menyingkap rambut panjang yang sebagian menutupi wajah patih Astagina itu.“Bangun, Arya, ini sudah pagi,” bisik Jenar begitu lembut di telinga Arya.Arya menggeliat, merenggangkan sepasang tangannya. Ia masih merasakan lelah yang luar biasa. Terlelap sebentar lagi mungkin cukup untuk memulihkan semua tenaganya. Pemuda itu seolah mengacuhkan segala perlakuan manis yang diberikan Jenar padanya.“Sayang, bangun!” bisik Jenar dengan suara yang lebih keras.Perlahan Arya menggerakkan kelopak matanya. Ia kemudian tersenyum dan merengkuh pinggang ramping Jenar sembari mele
Prana dan Brada segera berlari mencari orang penting yang mungkin bisa memberi mereka petunjuk. Bagaimana para Senopati yang sejak tadi menunggu kehadiran Patih Arya Nandika memberikan keputusan mengenai armada perang di laut selatan. Jarak tepi pantai dengan istana hanya setengah hari berkuda, bahaya akan segera datang.Setelah Jenar naik tahta dan Arya menjadi patih, banyak posisi-posisi punggawa yang dikurangi atau belum mendapatkan pengganti. Selama ini semua tugas mengenai kedaulatan Astagina, Arya-lah yang mengembannya. Maka para Senopati itu tak berani memutuskan apa pun sebelum Arya datang.“Ki Bayanaka!” seru Prana begitu saja setelah melihat pria tua itu berjalan sendiri menuju arena latih prajurit.“Ya, Prajurit! Ada apa? Mengapa kau tampak begitu panik?” tanya Ki Bayanaka tenang.“Ratusan kapal perang mendarat di pantai selatan, Ki!” adu Prana pada Ki Bayanaka. Pria tua itu tampak mengerutkan kening. Ia merasa aneh mengapa prajurit itu melapor padanya.“Lantas mengapa kau
“Tuan Sanggageni, Ki Bayanaka!” Seorang Senopati memberikan hormat pada dua pria yang tak disangka-sangka kedatangannya.Sanggageni dan Ki Bayanaka tersenyum singkat dan kemudian ikut mengamati puluhan kapal perang itu yang baru saja bersandar dari menara pengawas. Ki Bayanaka mengusap janggutnya perlahan, sedang Sanggageni melipat tangannya di dada, mencoba menganalisa.“Senopati, jelaskan situasinya!” titah Sanggageni.“Tuan, sebelumnya kami sudah berusaha mencari Gusti Patih, namun sampai saat ini kami belum mendapatkan informasi keberadaan beliau,” ucap Senopati Sudirga berusaha hati-hati untuk tidak menyampaikan informasi apa pun pada orang yang tak berwenang.“Aku sudah tahu, Senopati. Kami datang ke mari karena diutus oleh Patih Arya Nandika. Dia sedang bersama dengan Gusti Sri Maharani menyelesaikan urusan lain,” terang Sanggageni sekaligus menghilangkan keraguan Senopati Sudirga.“Ampun, Tuan. Aku tak tahu. Sebelumnya 55 kapal perang ini sudah terlihat kemarin lusa. Namun bar
Seluruh pasukan Duwana sudah bersiap di gerbang istana sebelah selatan. Pasukan Andanu sudah siap di menara-menara pengawas dan jembatan penghubung di antaranya. Sisanya menyebar di tiap gerbang istana atau apa pun yang dapat digunakan musuh untuk menerobos masuk. Astagina dalam kondisi siap tempur.Ki Bayanaka dan Senopati Sudirga masih berada di menara pengawas bagian selatan. Terus memantau pergerakan apa pun dari kapal-kapal perang itu. Sekaligus menerima informasi secepat mungkin dari divisi Telik Sandi yang bertugas memata-matai musuh.“Senopati, bagaimana dengan petugas logistik? Apakah mereka sudah mendapatkan informasi ini?” tanya Ki Bayanaka.“Sudah, Ki. Semua petugas pendukung peperangan sudah disiapkan. Tenaga logistik dan kesehatan sudah sedia kapan pun perang meletus!” jawab Senopati Sudirga lantang.“Bagus! Ingat jangan sampai ada pergerakan yang mencolok. Aku yakin musuh juga mengintai kita dari jauh,” ujar Ki Bayanaka kembali mengingatkan strategi yang tengah mereka j