“Apa maksud Bibinda?” tanya Arya tak percaya dengan apa yang dikatakan Jenar, raja Astagina.“Aku kira pertanyaanku sangat jelas, Arya. Aku hanya ingin tahu apa Rara Anjani lebih pandai bercumbu dari pada aku? Hmm?” tanya Jenar dengan kerling mata begitu menggoda.Arya terdiam di tempat duduknya. Jika gadis di hadapannya hanya Jenar, bukan pemangku tahta Astagina, ia sudah akan menepuk wajahnya demi memastikan kesadaran. Tapi pemuda itu merasakan ada maksud lain dari tatapan dan gerak-gerik Jenar.“Apa hal ini benar-benar harus aku jawab?” tanya Arya memastikan kembali Jenar benar-benar menanyakan hal seintim itu padanya.“Tentu saja, Arya. Baik lah, aku ganti pertanyaanku. Kita berdua pernah bercumbu, bukan? Nah, menurutmu dengan siapa kau lebih menikmati, denganku atau Rara Anjani?” tanya Jenar dengan tatapan lebih menggoda dari sebelumnya.“Bibinda, yang terjadi di antara kita hanya lah masa lalu. Aku merasa berdosa bila membandingkan istriku sendiri dengan perempuan lain,” timpal
“Hmm, kau belum mengerti juga, Warasena!” ucap Sakuntala begitu tenang. Seolah kuda-kuda Prabu Warasena yang telah siap untuk menyerangnya tak akan membuat masalah.“Apa bagusnya kalau kau menguasai Wikararupa? Sedang dalam pertarungan terakhir kau bahkan tak sempat menyentuhku!” ucap Prabu Warasena mencoba menyadarkan Sakuntala bahwa Wikararupa bukan lah segalanya.“Oh ya? Oh, aku takut sekali, Gusti Prabu!” ledek Sakuntala dengan tawa yang segera meledak menyusul kalimatnya tadi.Prabu Warasena kini tak lagi sama. Dengan kematian Ki Wungkung dan kenyataan bahwa kakak seperguruannya berkhianat, ia telah berubah. Karena sesungguhnya pria itu adalah lulusan terbaik Padepokan Lembu Ireng. Itu sebab Ki Wungkung begitu menyayanginya.Pandangan raja Candikapura itu memang mengarah pada Sakuntala. Namun benaknya melayang pada kudeta belasan tahun silam. Berduel dengan Prabu Anarawan di jalur bawah tanah tempat evakuasi keluarga raja. Ia nyaris terbunuh di sana. Itu lah penyebab Prabu Warase
“Oh, jadi ini lah maksud kalian semua mengajakku bergabung? Dasar sampah Astagina!” umpat Prabu Warasena dengan penuh amarah. Kedua tangannya mengepal, salah satunya menggenggam erat tangkai trisulanya dengan bergetar.“Mengumpat lah selagi kau bisa, Warasena! Karena sebentar lagi riwayatmu akan kami habisi! Di sini, di tanah yang kau rebut paksa belasan tahun lalu!” seru Sakuntala penuh keangkuhan. Seiring dengan seruannya itu, orang-orang yang berada di belakangnya menyebar ke segala penjuru mengepung pria bertrisula itu.“Sudah aku putuskan, kau akan mati hari ini, Sakuntala!”Meledak lah amarah Prabu Warasena. Sakuntala dan orang-orangnya tak ada yang tahu bahwa pria yang tengah mereka kepung ini memiliki kekuatan berkali-kali lipat bila sedang marah. Orang-orang penting dari Lembu Ireng selalu memiliki energi serupa lembu yang amat berbahaya jika emosinya terbakar.Pria bertrisula itu menggeram melampiaskan energi besar yang tak terkendali dari dalam dirinya. Ada aura kelam yang
“Kau sudah mati, Balarawan!” ucap Prabu Warasena terus melangkah mundur hingga tubuhnya terhenti karena terbentur dinding.“Mati? Aku tak akan mati sebelum menuntut balas padamu!” seru pria yang dipanggil Balarawan oleh Prabu Warasena. Ia terus maju semakin dekat. Hingga tatapan mata dan luka menganga di lehernya itu tampak jelas masih mengucurkan darah.“Kau seharusnya mati dengan luka itu, Balarawan!” seru Prabu Warasena sembari mengacungkan senjatanya demi menjaga jarak.“Aku masih berdiri di sini, Penjahat! Kau harus bertanggung jawab, sekarang!” hardik Balarawan dengan wajah penuh amarah. Ia lepaskan tangan kiri yang memegangi lukanya. Berganti dengan mencabut pedang di pinggang.“Pedang? Sejak kapan Pangeran Balarawan bersenjatakan pedang?” batin Prabu Warasena. Di tengah amarah yang bercampur dengan rasa takut, pria itu masih memperhatikan detail dari lawannya.Merasa lawannya tengah terpojok karena memori masa lalu, Balarawan segera menyerang dengan sebuah sayatan pedang menga
Jenar segera menggamit lengan Arya. Sanggageni menyentuh bahu putranya itu setelah sebelumnya menyentuh Ki Bayanaka dan pemuka agama itu. Legawa segera berkonsentrasi dan menyentuh punggung Sanggageni. Dalam sekejap tubuh mereka berpindah ke sebuah tempat yang sunyi dan dipenuhi semak belukar.Arya dan Jenar menghela napasnya. Sanggageni berusaha keras menahan rasa mualnya, hal yang nyaris selalu ia alami pasca Lembat Brabat milik Legawa. Sedang Ki Bayanaka segera mengedarkan pandangannya, menghirup udara bersih dan dingin Gunung Payoda.“Girijajar, aku selalu merindukan aroma udara ini,” gumam Sanggageni maju mendekati rumput-rumput yang menghalangi ujung atap sebuah rumah roboh karena terbakar.Arya melangkah mendahului mereka semua. Ia tak pedulikan apakah Jenar atau ayahandanya menyusul atau tidak. Pemuda itu buru-buru menyibak rerumputan itu demi menemukan makam ibundanya. Ia segera bersimpuh manakala menemukan batu nisan Gantari.Tak ada yang diucapkan Sanggageni dan Jenar. Sang
“Rupanya kau tak sebodoh yang aku kira,” ucap Prabu Anarawan tenang. Asap putih mengepul dari raganya yang seolah tak lagi wujud. Asap itu hilang dan muncul sosok sebenarnya, Sakuntala.“Dan kau tak sepintar yang aku kira, Sakuntala!” ucap Prabu Warasena sembari menancapkan pangkal trisulanya ke lantai lorong itu.“Huh, tapi paling tidak dengan kondisimu seperti ini, kami jadi lebih mudah untuk melenyapkanmu!” Sakuntala menepuk tangannya dua kali sebagai isyarat agar orang-orangnya keluar dari persembunyian.Prabu Warasena tentu menyadari bahaya. Pertarungan tak seimbang akan segera meletus. Pria itu mundur dengan kaki pincangnya bertumpu pada dinding lorong dan trisulanya. Akibat Wikararupa Sakuntala, amarah sekaligus ilmu pertahanan tubuh khas Lembu Ireng batal. Dan untuk mencapainya lagi diperlukan cadangan energi yang cukup besar.“Bagaimana? Apakah aku sepintar yang kau kira, Warasena?” ujar Sakuntala setengah mengejek. Orang-orang buangan Astagina sudah mulai muncul di belakangn
Tak ada jawaban yang diharapkan Arya dari mulut Jenar. Gadis itu hanya terdiam dan menunduk dengan wajah memerah. Ia seolah kembali menjadi Jenar kekasihnya dulu, bukan seorang raja Astagina. Arya beralih ke ayahandanya dan Ki Bayanaka. Dua pria yang memaksanya mengakhiri hubungan dengan Jenar, namun kini justru meminta mereka menikah.“Ayahanda, jelaskan padaku! Apa dibalik semua ini? Bukan semata-mata karena Ayahanda ingin menunaikan keinginan Ibunda, bukan?” cecar Arya. Pemuda itu seperti dipermainkan perasaannya.“Tentu saja, ini bukan hanya karena keinginan Gantari. Namun dari sisi Ayah, itu lah kenyataannya,” jawab Sanggageni dingin. Amat berbanding terbalik dengan perasaan Arya kini, kacau.“Ayahanda, aku sudah menikah. Masih hitungan hari. Aku ... aku merasa ini tak wajar!” ucap Arya dengan segala kebingungannya. Sekilas ia melirik Jenar. Bibindanya itu tak bereaksi apa pun. Amat jelas bahwa ia juga sama terkejutnya dengan Arya.“Arya, maafkan kami para orang tua. Kami tak mel
“Rara Anjani sudah tahu hal ini?” ucap Arya tak percaya.Arya kembali terpaku. Kali ini nyaris tanpa pergerakan apa pun pada semua anggota tubuhnya, termasuk kelopak mata. Ia tak menyangka di belakangnya sudah terjadi hal sebesar dan sepenting ini. Namun istrinya sama sekali tak menampakkan perubahan sikap apa pun terhadapnya. Arya jadi merasa begitu berdosa pada Rara Anjani.“Ya, dia perempuan yang baik, Arya. Dia mengerti keadaan ini. Bahkan dia yang menawariku menyandang status istri pertama,” ucap Jenar lugas, kali ini ia sudah berani menatap mata Arya.“Bagaimana dengan Astagina dan seluruh punggawanya? Bagaimana bila mereka tahu rajanya dinikahi kemenakan sekaligus patihnya sendiri?” tanya Arya, bukan kepada Jenar saja, tapi Sanggageni dan Ki Bayanaka juga.“Kita akan merahasiakan hal ini. Meski sebenarnya menurut hukum Astagina hal ini dibolehkan karena mendesak,” jawab Sanggageni mencoba terus meyakinkan putranya.“Bibinda, apa hal ini mungkin? Sampai kapan kita akan merahasia