“Kadang apa yang diucapkan orang yang putus asa ada benarnya, Jenar.” Ki Bayanaka berbalik, memandang wajah sendu putrinya.“Apa maksud Ayahanda mengatakan hal ini?” tanya Jenar tak mengerti. Padahal beberapa waktu lalu Ki Bayanaka adalah salah satu orang yang menentang keras kasih asmaranya dengan Arya. Namun kini pria itu seolah memberinya peluang.“Kau tahu apa yang didebatkan Arya sebelum kalian berdua melarikan diri ke desa Girijajar?” Ki Bayanaka menatap mata penuh tanya Jenar yang juga menyimpan kerapuhan.“Apa?”“Ia berkata kau adalah raja Astagina. Kau mampu membuat peraturan atau undang-undang sesuai kehendakmu. Maka cabut saja aturan itu agar kalian berdua dapat bersatu,” ucap Ki Bayanaka menirukan kalimat Arya manakala berdebat dengan Sanggageni.Jenar terdiam mendengar kalimat ayahandanya. Benar ia dan Arya masih memiliki peluang. Namun menghancurkan acara di istananya sendiri amat berisiko. Apa lagi tentu ia akan mematahkan hati Arya lagi. Urusan Rara Anjani ia sama seka
Prajurit pengkhianat itu segera menghunjamkan batangan besi pada sela-sela lantai yang tersusun atas batu-batu pualam. Sekali congkel, satu bagian batu sudah berhasil di angkat dari susunannya. Namun tak ada nampak benda asing pun kecuali tanah. Renggala memberikan isyarat untuk membongkar sisi lainnya.“Aku yakin sekali ia meletakkan di dalam peti dan menyimpannya di sini,” lirih Renggala begitu yakin. Mantan Ketua Divisi Telik Sandi di bawah Sakuntala itu berharap dapat juga mempelajari dan menguasai Wikararupa bersama mantan atasannya itu.“Apa ini, Tuan?” tanya prajurit itu setelah mendapati sebuah peti kayu berukir di tepiannya.“Ya, benar!” seru Renggala dengan mata berbinar-binar. “Angkat!”Prajurit itu segera mengangkat peti kayu itu untuk dikeluarkan dari bawah tanah. Tak ada kesulitan berarti baginya untuk meraihnya dan memberikannya pada Renggala. Pria dengan penutup wajah kain hitam itu segera membersihkan tanah-tanah yang menempel di permukaan peti.“Kau bereskan lantainy
Sebuah kamar berhias ornamen-ornamen dan bunga-bunga indah membuat suasana menjadi syahdu. Sepasang pengantin baru itu membeku dalam pikirannya masing-masing. Rara Anjani sibuk menyisir rambut hitam dan panjangnya meski mahkotanya itu sudah cukup rapi. Sedang Arya duduk di tepi pembaringan bertelanjang dada tanpa tahu apa yang harus dilakukan.Rara Anjani tersenyum memandang bayangan punggung suaminya di cermin. Wajah perempuan itu berseri dan merona. Malam ini mungkin ia yang akan memegang kendali. Suaminya tampak masih bocah dan belum mengerti harus mulai dari mana.Perempuan cantik berlesung pipi hanya di sebelah kiri itu perlahan bangkit dan menghampiri suaminya. Rara Anjani berhenti membelakangi tepat di hadapan pemuda bertelanjang dada itu. Tak ada kesempatan lain, kali ini ia harus mempermainkan gairah Arya. Ia tak akan memulai, namun selalu memberikan jalan.“Bisa kau tolong aku melepaskan ikatan kain ini, Arya?” pinta Rara Anjani sembari menunjuk ujung kain yang melilit pingg
Tubuh tanpa busana Arya dan Rara Anjani saling berpelukan. Ini sudah malam ketujuh sejak pernikahan mereka. Dan kedua insan ini seolah tak ingin melewatkan satu malam pun tanpa bercumbu dan bercinta. Arya bahkan belum mengetahui adanya penyusup di biliknya tujuh hari yang lalu. Arya menggeliat, mengejangkan otot-otot lengannya. Rara Anjani tampak begitu menikmati memeluk dan menyandarkan kepalanya pada dada bidang Arya. Perempuan itu terpejam dan diam. Namun tidak jemarinya yang terus saja bergerak di bawah selimut, mengedar ke seluruh tubuh suaminya. “Kau menginginkannya lagi, Sayang?” bisik Arya di telinga istrinya. Rara Anjani mendesah mendapati sesuatu di tubuh bagian bawah suaminya. “Hmm?” Perempuan itu pura-pura saja tak mendengar ucapan suaminya. Ia hanya ingin mendengar bahwa Arya begitu menginginkannya hingga harus meminta. “Kau menginginkannya lagi?” ulang Arya dengan wajah memerah, tanda gairah yang kembali menyala. “Apa kau lelah, Suamiku?” tanya Rara Anjani dengan beg
“Mengapa kau tak sampaikan padaku?” tanya Arya dengan mata terbelalak manakala mendapatkan laporan penyusupan di biliknya delapan hari lalu. Prajurit tingkat menengah di hadapannya hanya mampu tertunduk tak berani berkilah.“Ampun, Gusti. Hamba tak berani mengganggu pernikahan Gusti,” ucap prajurit itu dengan suara bergetar.“Pernikahanku sudah delapan hari lalu, Prajurit! Jika terjadi sesuatu pada Astagina, kau tak akan kuampuni!” ancam Arya dengan amarah menyala-nyala. Patih Astagina itu segera memeriksa peti yang ditemukan di biliknya itu.Perlahan Arya membuka peti itu. Ruang di dalam peti dialasi kain tebal berwarna putih. Pemuda itu meraih kain yang terasa begitu empuk itu. Kain melekat kuat nyaris tak menyisakan celah. Namun Arya akhirnya menemukan sebuah celah di sudut dasar peti dan memasukkan telunjuknya.“Kapur barus,” lirih Arya setelah mengendus ujung telunjuknya. “Peti ini pasti berisi dokumen atau benda pusaka! Selain aku siapa yang sudah tahu hal ini?” tanya Arya.“Gus
“Apa maksud Bibinda?” tanya Arya tak percaya dengan apa yang dikatakan Jenar, raja Astagina.“Aku kira pertanyaanku sangat jelas, Arya. Aku hanya ingin tahu apa Rara Anjani lebih pandai bercumbu dari pada aku? Hmm?” tanya Jenar dengan kerling mata begitu menggoda.Arya terdiam di tempat duduknya. Jika gadis di hadapannya hanya Jenar, bukan pemangku tahta Astagina, ia sudah akan menepuk wajahnya demi memastikan kesadaran. Tapi pemuda itu merasakan ada maksud lain dari tatapan dan gerak-gerik Jenar.“Apa hal ini benar-benar harus aku jawab?” tanya Arya memastikan kembali Jenar benar-benar menanyakan hal seintim itu padanya.“Tentu saja, Arya. Baik lah, aku ganti pertanyaanku. Kita berdua pernah bercumbu, bukan? Nah, menurutmu dengan siapa kau lebih menikmati, denganku atau Rara Anjani?” tanya Jenar dengan tatapan lebih menggoda dari sebelumnya.“Bibinda, yang terjadi di antara kita hanya lah masa lalu. Aku merasa berdosa bila membandingkan istriku sendiri dengan perempuan lain,” timpal
“Hmm, kau belum mengerti juga, Warasena!” ucap Sakuntala begitu tenang. Seolah kuda-kuda Prabu Warasena yang telah siap untuk menyerangnya tak akan membuat masalah.“Apa bagusnya kalau kau menguasai Wikararupa? Sedang dalam pertarungan terakhir kau bahkan tak sempat menyentuhku!” ucap Prabu Warasena mencoba menyadarkan Sakuntala bahwa Wikararupa bukan lah segalanya.“Oh ya? Oh, aku takut sekali, Gusti Prabu!” ledek Sakuntala dengan tawa yang segera meledak menyusul kalimatnya tadi.Prabu Warasena kini tak lagi sama. Dengan kematian Ki Wungkung dan kenyataan bahwa kakak seperguruannya berkhianat, ia telah berubah. Karena sesungguhnya pria itu adalah lulusan terbaik Padepokan Lembu Ireng. Itu sebab Ki Wungkung begitu menyayanginya.Pandangan raja Candikapura itu memang mengarah pada Sakuntala. Namun benaknya melayang pada kudeta belasan tahun silam. Berduel dengan Prabu Anarawan di jalur bawah tanah tempat evakuasi keluarga raja. Ia nyaris terbunuh di sana. Itu lah penyebab Prabu Warase
“Oh, jadi ini lah maksud kalian semua mengajakku bergabung? Dasar sampah Astagina!” umpat Prabu Warasena dengan penuh amarah. Kedua tangannya mengepal, salah satunya menggenggam erat tangkai trisulanya dengan bergetar.“Mengumpat lah selagi kau bisa, Warasena! Karena sebentar lagi riwayatmu akan kami habisi! Di sini, di tanah yang kau rebut paksa belasan tahun lalu!” seru Sakuntala penuh keangkuhan. Seiring dengan seruannya itu, orang-orang yang berada di belakangnya menyebar ke segala penjuru mengepung pria bertrisula itu.“Sudah aku putuskan, kau akan mati hari ini, Sakuntala!”Meledak lah amarah Prabu Warasena. Sakuntala dan orang-orangnya tak ada yang tahu bahwa pria yang tengah mereka kepung ini memiliki kekuatan berkali-kali lipat bila sedang marah. Orang-orang penting dari Lembu Ireng selalu memiliki energi serupa lembu yang amat berbahaya jika emosinya terbakar.Pria bertrisula itu menggeram melampiaskan energi besar yang tak terkendali dari dalam dirinya. Ada aura kelam yang