Share

172. Percaya Diri

Penulis: A.R. Ubaidillah
last update Terakhir Diperbarui: 2024-10-29 19:42:56

“Apa-apaan kau ini, Warasena?” hardik Adipati Kertajaya. Ia tak menyangka pria yang selalu bersembunyi di belakang gurunya itu mampu mengancamnya dengan sebilah pedang.

“Kau tak usah lagi berkilah! Aku sudah tahu bahwa calon menantumu itu lah yang menghancurkan Candikapura!” hardik Prabu Warasena tak kalah berani.

“Apa buktinya?”

“Seseorang melihatnya dengan mata kepalanya sendiri. Dan kau, sengaja mengalihkan agar aku tak mengetahuinya, bukan?” Prabu Warasena mendengus penuh emosi. Kedua netranya memerah mengindikasikan energi dalam dirinya yang telah siap untuk dikeluarkan.

“Lantas, kalau penghancuran Candikapura adalah balasan atas serangan gagalmu ke Astagina, apakah itu cukup adil?” tutur Adipati Kertajaya mencoba membela diri.

“Adil katamu?” Prabu Warasena mendorong kakak seperguruannya itu hingga tubuh Adipati Kertajaya membentur dinding. Ia mengacungkan ujung pedangnya. “Dan kau, tak ada pasukan yang kau kirim untuk mendukung pasukanku, bukan?”

Adipati Kertajaya tak mampu lagi
Bab Terkunci
Membaca bab selanjutnya di APP

Bab terkait

  • Cundhamani (Panah Api)   173. Ilmu Sampah

    "Dahulu Tusuk Konde Emas di belakang kepalamu itu yang memilih tuannya," ucap Sanggageni dengan tatapan kosong ke depan. Ia seolah menemui kembali masa lalu yang pernah ia jalani bersama Gantari."Maksudnya?" tanya Jenar tak mengerti."Ya, dahulu ada beberapa perempuan istana yang punya potensi menguasai Suji Pati. Ilmu itu hanya dapat dikuasai oleh orang yang memenuhi beberapa kriteria," terang Sanggageni "Itu sebab aku ingin tahu banyak tentang Suji Pati, Kakanda. Pendahuluku sudah wafat dan aku tiba-tiba saja menguasainya." Jenar kini duduk tepat di sebelah kakak iparnya itu."Demi melindungi Astagina, perempuan bangsawan dulu menjalani pelatihan berat agar pantas dipilih. Hal yang berbeda terjadi padamu. Tusuk konde emas tak memiliki pilihan lain." Sanggageni menoleh ke arah Jenar. Mencoba menangkap gurat kekecewaan di sana. Namun nihil."Jadi Ayunda Gantari menjalani pelatihan berat itu?" tanya Jenar antusias."Tentu saja. Dari lima putri raja dan tujug kemenakan raja, dia lah ya

  • Cundhamani (Panah Api)   174. Muslihat

    Hanya tersisa jarak satu jengkal antara keris Adipati Kertajaya dengan batang leher Prabu Warasena. Senjata dengan pamor dan bilah berukir itu sudah menghabisi ratusan orang di medan perang dan beberapa pendekar tangguh Astakencana. Tak ada masalah bagi tuannya untuk membunuh satu lagi orang yang begitu menyebalkan.“Mati kau!” seru Adipati Kertajaya.Sebuah gerakan cepat datang dan menangkis keris Adipati Kertajaya dengan tongkat kayu. Segera sosok itu meraih raga Prabu Warasena dan membawanya menjauh. Sosok itu mengenakan penutup wajah kain hitam yang tersambung dengan caping di kepala.“Penyusup! Berani sekali kau masuk ke Astakenacana!” hardik Adipati Kertajaya.“Adipati Kertajaya, sang Pengkhianat penuh tipu muslihat! Setelah Astagina kau tipu daya, kini giliran adik seperguruanmu sendiri. Sungguh picik!” ucap sosok bercadar itu dengan dinginnya.“Siapa kau? Tunggu, mengapa suaramu terasa tak asing di telingaku?” Adipati Kertajaya berusaha mengenali pria itu.Selama mereka berdua

  • Cundhamani (Panah Api)   175. Pembunuhan Di Ruang Pribadi Adipati

    “Kau tak perlu tahu siapa aku. Kau hanya perlu berdoa untuk menyongsong kematianmu!” desis prajurit penjaga itu. Ia menggerakkan sedikit pedangnya. Serta merta Adipati Kertajaya melenguh merasakan sakit yang luar biasa.“Kau pelarian Astagina, bukan?” tebak Adipati Kertajaya dengan suara bergetar.“Kau cukup pandai sebagai orang licik yang sekarat. Hari ini aku pastikan kau tak akan lagi berbuat licik. Muslihatmu akan aku akhiri di istanamu sendiri, Prabu Kertajaya!” ledek pria itu dengan begitu dingin.Adipati Kertajaya mulai tak kuasa lagi menahan beban tubuhnya. Tungkainya bergetar seiring napasnya yang semakin berat. Setiap gerakan napasnya seolah menambah rasa sakit pada lukanya serupa sayatan sembilu.“Kau sebut aku apa? Prabu? Kau....” Kalimat Adipati Kertajaya terputus setelah memuntahkan darah segar dari mulutnya.“Enyah kau ke neraka!” bisik pria itu sembari mendorong tubuh Adipati Kertajaya demi mencabut pedang yang menancap di tubuh pria paruh baya itu.Lenguhan panjang ke

  • Cundhamani (Panah Api)   176. Cita-cita

    Tak ada yang mampu menguraikan kebahagiaan Rara Anjani. Dua hari lalu ia kedatangan pemuda pujaan. Lalu lengan kirinya yang sembuh seperti semula. Memastikan diri untuk dinikahi Patih Astagina, dan kini menerima takdir bahwa dirinya masih suci.Sungguh kesucian baginya hanya lah kemustahilan. Setelah sedemikian rupa ia dilecehkan. Bertahun-tahun menyimpan nista yang begitu pedih. Anugerah itu kini seperti datang begitu saja di hidupnya. Ia tengah melayang-layang di sebuah dunia indah yang disebut cinta.Anak-anak rambut Rara Anjani tak kuasa mempertahankan posisi setelah dibelai angin semilir telaga Padma. Apa lagi sang pujaan hati akan senantiasa merapikan lagi letak mahkota itu dengan penuh kasih sayang. Rasanya tak ingin kembali dalam kenyataan yang kadang tak sesuai dengan perasaan.“Apa lagi yang harus kita lakukan, Rara? Selain menunggu Paman Adipati tiba di Astagina?” bisik Arya di telinga kiri kekasihnya yang sudah utuh kembali.“Aku pikir tak ada, Arya. Paman Sanggageni memin

  • Cundhamani (Panah Api)   177. Prajurit Tertinggal

    “Siapa kau?” tanya Arya setengah menghardik.Pria berpakaian prajurit itu berjalan mendekat. Wajahnya dipenuhi tanya dan keresahan. Ia seperti baru saja mengalami kejadian aneh yang tak bisa ia percayai. Langkahnya ragu begitu sudah dekat dengan sepasang kekasih itu.“Maaf, Tuan, apakah ini daerah Astagina?” tanya pria berpakaian prajurit itu.“Benar, Ki Sanak. Dari mana kau berasal?” lanjut Arya. Ia mencium adanya kelagat yang mencurigakan dari pria itu. Dari pakaiannya memang pria itu tak berasal dari Astagina atau wilayah dalam kekuasaan Astagina.“Berarti aku harus waspada sekarang!” ucap pria itu sembari mencabut pedangnya.“Apa-apaan kau ini? Menghunuskan pedang di daerah kekuasaan orang lain?” protes Rara Anjani. Perempuan itu bangkit disusul Arya. Ia merasa aksi pria itu sungguh tak sopan dan berniat memberinya pelajaran.Arya menahan langkah Rara Anjani untuk mendekati pria itu. Ia kini maju ke hadapan kekasihnya. Pria berpakaian prajurit itu tampak siaga dengan bergeraknya A

  • Cundhamani (Panah Api)   178. Kesetiaan

    “Apakah aku terlihat tangguh seperti Ksatria Cundhamani yang kau bicarakan itu?” tanya Arya kembali menyangkal meski prajurit itu sudah mencium ciri-ciri yang serupa.“Hmm, aku tak dapat memastikannya. Tapi bekas luka bakar itu....”“Siapa pun bisa mendapatkan luka bakar, bukan? Lagi pula bukan kah seharusnya Ksatria Cundhamani berada di istana?” kilah Arya. Ia tetap dengan keteguhannya tak ingin membuat prajurit itu berbuat tindakan berlebihan jika mengetahui jati dirinya.“Kau benar. Tapi aku tetap tak tenang. Aku tak bisa menurunkan kewaspadaanku,” ucap prajurit itu seraya meraba tangkai pedangnya.Arya tersenyum simpul. Prajurit Candikapura ini begitu polos padahal usianya jauh lebih tua darinya. Itu sebab mungkin mereka tak menyadari bahwa mereka melalui dunia ruh demi mencapai tujuan dengan cepat sekaligus mengelabui musuh.“Sudah lah, lebih baik kau kembali ke Candikapura. Bukan kah dengan begitu kau bisa bebas tanpa harus mempertaruhkan nyawa dalam perang?” Arya masih terus be

  • Cundhamani (Panah Api)   179. Selendang Hijau

    “Kau tak apa?”“Tentu saja sakit, Rara!” ucap Arya dengan sisa-sisa kesadaran. Pemuda itu limbung dan roboh dari kudanya. Rara Anjani berteriak manakala melihat sebuah anak panah menancap di punggung kekasihnya.Perempuan itu buru-buru turun dari punggung Aswabrama. Ia begitu panik walau mengetahui Arya akan segera pulih dengan luka fisik seperti itu. Namun dengan kesadaran Arya yang hilang, sepertinya luka kali ini berbeda dari biasanya. Bisa jadi anak panah itu mengenai organ vitalnya.“Arya!” Rara Anjani menggerakkan tubuh Arya agar kekasihnya itu tak telungkup dan napasnya tak tertutup. Dengan anak panah di punggung tak mungkin untuk membaringkannya. Tubuh Arya dimiringkan dengan Rara Anjani menyangga punggungnya.“Anak panah ini ... kayu?” gumam Rara Anjani. Bagaimana mungkin seorang yang hendak mencelakakan musuhnya menyerang dengan anak panah kayu. “Aku seperti pernah melihat jenis kayu seperti ini.”Suara pedang tercabut dari sarungnya terdengar begitu dekat. Suaranya tidak ha

  • Cundhamani (Panah Api)   180. Pertarungan

    “Gusti, apa Gusti baik-baik saja?” tanya prajurit Candikapura yang belum lama Rara Anjani dan Arya tinggalkan di tepi telaga Padma. Ia tergopoh-gopoh menghampiri Rara Anjani dengan busur di tangan kiri.“Kau yang menyelamatkanku? Mengapa kau menyebutku Gusti?” tanya Rara Anjani tak mengerti. Mendengar pertanyaan Rara Anjani, prajurit itu tak segera menjawab. Ia justru berlutut dengan sebelah kaki memberi hormat.“Gusti Putri Rara Anjani, putri Adipati Kertajaya. Tak mungkin prajurit Candikapura tak mengenali Gusti,” ucap prajurit itu begitu yakin. Rara Anjani mengangguk beberapa kali. Beruntung ada pria ini. Kalau tidak mungkin dirinya dan Arya sudah terbunuh.“Terima kasih sudah menyelamatkan aku, Prajurit. Aku berhutang nyawa padamu!” ucap Rara Anjani dengan setulus hati.“Mohon untuk bicara nanti, Gusti. Dua orang musuh tengah menuju kemari!” Prajurit itu bangkit dan segera mencabut pedangnya. Seorang pria dengan wajah penuh darah dan seorang lagi berlari terpincang-pincang mengham

Bab terbaru

  • Cundhamani (Panah Api)   228 Penerus

    “Bukan kah prajurit udaramu tadi sudah memeriksa semua kapal ini, Braja?” tanya Ki Bayanaka. “Ya, sepertinya kapal satu ini luput dari pemeriksaan. Atau....” Seorang pria bertubuh kurus dan berkulit cerah tertawa di atas kapal yang separuhnya sudah terbakar. Ia merasa jumawa melihat dua pria tua, seorang perempuan dan seorang pemuda yang sudah tidak berdaya. Dengan senjata berkekuatan besar, ia merasa di atas angin. “Siapa sebenarnya mereka?” tanya Jenar sembari mengernyitkan kening. Belum juga terjawab, bentuk kapal, senjata dan panji asing itu. “Entah lah, Jenar. Tapi orang ini pasti lemah. Merasa kuat karena memiliki senjata yang mampu melontarkan bola-bola api itu,” ucap Ki Bayanaka begitu yakin. “Bagaimana Ayahanda bisa begitu yakin?” tanya Jenar. “Coba lah kau perhatikan gelagatnya. Orang dengan kemampuan tinggi tak mungkin bertingkah seperti itu. Bukan begitu, Braja?” ucap Ki Bayanaka melemparkan kalimat kepada Sanggageni. “Hmm, jadi siapa yang akan memberinya pelajaran?”

  • Cundhamani (Panah Api)   227. Terkurung

    Tak ada yang bisa dilakukan Jenar setelah sampai di pantai selatan kerajaannya. Pagar api setinggi pagar Astagina itu menghalangi apa pun dan siapa pun. Tak mungkin melaluinya dengan selamat. Perempuan itu tampak mulai meneteskan air mata. Bagaimana mungkin suaminya berbuat sedemikian rupa. Hatinya berkecamuk, sungguh ia tak ingin kehilangan Arya secepat ini.“Arya, dasar bodoh! Apa yang kau lakukan?” umpat Jenar dengan kedua tangan mengepal. Ia merasa begitu hina sebagai raja tak mengetahui patih sekaligus suaminya di dalam sana berjuang seorang diri.Raja Astagina itu mulai terisak. Rasa panas mendera wajahnya dari jarak lima tombak ini. Keningnya mengernyit keras. Ia merasa harus berbuat sesuatu. Berdiam diri tak akan berdampak apa pun. Berada di istananya jauh lebih baik.“Pasukan udara milik Kakanda Sanggageni, dimana mereka?” tiba-tiba Jenar teringat akan sepuluh orang prajurit yang direkrut oleh Sanggageni demi mewujudkan idenya memiliki serangan udara.“Gunakan ini!” Danapati

  • Cundhamani (Panah Api)   226. Kepercayaan

    Arya melepaskan sekali lagi Sasra Sayaka-Cundhamani dengan sisa amarahnya. Anak panah logam hitam berlumur darahnya sendiri melesat ke arah ribuan prajurit yang mulai terkikis keberaniannya. Serupa dengan tenaga dan kesadaran Arya. Pemuda itu menjatuhkan busur Agnitama pada mulanya. Disusul dengan tubuh lemah dan compang-campingnya.Arya mendengus berusaha melihat apa yang terjadi dengan serangannya itu. Tubuh-tubuh musuh yang tercerai berai. Terburai anggota tubuhnya. Terbakar api Cundhamani hingga meronta-ronta, berguling di tanah dan masuk ke dalam air laut. Semua berusaha menyelamatkan dirinya sendiri.“Sisanya aku serahkan padamu, Raden Danapati!” gumam Arya sembari mengubah posisi kepalanya. Menoleh kepada Aswabrama dan memastikan kembali bahwa Danapati benar-benar pergi.Binatang dan tuan itu saling pandang. Tak ada kata dari mereka yang dimengerti. Namun tatapan bola mata itu sudah menjelaskan semuanya. Berjuang bersama-sama. Melewati bahaya, nyaris kehilangan nyawa, dan kini

  • Cundhamani (Panah Api)   225. Mati Di Samping Aswabrama

    “Tapi bagaimana caranya, Braja? Kau lihat sendiri api Cundhamani menghalangi kita?” pungkas Ki Bayanaka. Pria tua itu memang peragu yang luar biasa. Itu sebab dahulu ia menjadi pelatih prajurit alih-alih bergabung bersama Baka Nirdaya memerangi kedzaliman.“Pantai selatan memang sudah menjadi lautan api. Tapi tidak dengan langitnya!” timpal Sanggageni. “Pengawal! Kau pengawal raja, bukan?” tanyanya.Seorang pengawal raja yang sejak tadi bertugas melindungi dua penasihat itu maju selangkah dengan penuh penghormatan. Ia berkata lantang, “Benar, Tuan! Mohon katakan titah Tuan!”“Cari pasukan udaraku! Bawa secepatnya mereka ke sini!” titah Sanggageni lantang. Pria itu berdiri tegak menatap lautan api dengan memegangi lengan kanannya. Tak ada artinya hidup dengan sebelah tangan namun tak mampu menyelamatkan putranya sendiri.“Sendika, Tuan!”Ki Bayanaka bangkit berdiri di sisi Sanggageni. Tak ada yang menyangka Astagina akan berada di ujung tanduk seperti ini. Pria itu menyentuh pundak adi

  • Cundhamani (Panah Api)   224. Asa Ksatria Cundhamani

    Pantai selatan Astagina kini tak ubahnya seperti gerbang api. Tak ada tempat untuk melarikan diri. Bagi bala tentara asing itu, juga bagi Arya. Suara desis api Cundhamani bertemu air laut mengepulkan asap putih buah dari air yang menguap. Arya melepaskan Sasra Sayaka-Cundhamani sekali lagi. Kali ini ke arah deretan kapal-kapal perang yang sebagian telah terbakar.“Kau yakin hal ini, Gusti?” tanya Danapati manakala sudah mengenakan jubah pemberian Arya.“Apa kau meragukanku, Raden?” tanya Arya kembali. Pemuda itu menoleh dan tersenyum. Memperlihatkan deretan giginya yang memerah karena darah. Tak ada yang tahu bahwa Patih Astagina itu sudah melampaui batas ketahanan tubuhnya sendiri.“Gusti, kau....”Tak sempat Danapati berkata lebih banyak, Arya terlanjut menyentak tali kekang Aswabrama. Ia songsong ratusan pasukan berkuda musuh sendirian. Atau hanya berdua saja dengan kudanya. Arya menghunuskan anak panah logamnya. Kali ini dengan posisi tubuh setengah berdiri. Danapati terhenyak, ya

  • Cundhamani (Panah Api)   223. Menebus Dosa

    “Arya? Bagaimana dengan Ayahandamu?” tanya Jenar tak menyangka suaminya akan hadir dan menyela percakapannya dengan Danapati dan pengawal.Arya tak menjawab, menggerakkan sedikit kepalanya memberi isyarat pada Jenar agar melihat sendiri kondisi ayahandanya. Pemuda itu sudah siap dengan busur Agnitama dan puluhan anak panah logam di tempatnya menggantung di punggung.Dari jarak puluhan depa itu Jenar masih mampu melihat Sanggageni dan ayahandanya tengah duduk bersila. Ki Bayanaka masih mengobati kakak ipar sekaligus mertuanya itu dengan tenaga dalam. Sedang Sanggageni sudah mampu duduk sendiri. Ia jauh lebih baik meski lengan kanannya tak akan kembali lagi.“Pergi lah ... Istriku! Tunggu aku kembali membawa kemenangan!” lirih Arya di telinga Jenar sembari melewati tubuh perempuan cantik itu.Jenar terpekur, setelah pertengkaran mereka berdua karena Rara Anjani di desa Girijajar tempo hari, baru kali ini ia melihat tekad di mata Arya. Tekad yang sama saat Arya pamit untuk pergi ke medan

  • Cundhamani (Panah Api)   222. Amarah Jenar

    Panji-panji dengan aksara asing itu berkibar-kibar tinggi. Pasukan berkuda dengan penutup kepala logam dengan beringas membunuh apa pun yang menghadang. Darah Jenar mendidih menyaksikan para prajurit yang baru saja direkut menjadi korban tanpa sempat mempertahankan nyawa. Perempuan itu menghentakkan tungkainya di permukaan batu besar sekaligus menandai radius serangannya.“Beraninya kalian mengobrak-abrik Astagina! Hanya ada satu ganjaran ... Mati!” seru Jenar mengumbar amarah.Kilatan-kilatan terlihat bergerak begitu cepat tanpa bisa diikuti oleh mata. Denting penutup kepala logam dan tusuk konde emas mendahului robohnya pasukan berkuda itu satu demi satu. Tak ada yang paham bahwa perempuan yang menari di atas batu itu lah dalangnya.Pasukan berkuda musuh saling pandang. Menarik tali kekang kuda hingga kuda-kuda perkasa itu meringkik begitu kuat. Mereka mengedarkan pandangan ke sekitar selatan pesisir pantai Astagina. Selama itu pula mereka seolah tinggal menunggu kematian.Danapati

  • Cundhamani (Panah Api)   221. Titah Jenar

    Arya mendarat dengan keras tepat di belakang para prajurit yang melingkar melindungi rajanya. Ia sibak bahu-bahu penuh ketegangan itu demi sampai di tempat ayahandanya diobati. Penjelasan dari pengawal raja tadi belum mampu membuatnya mengerti bagaimana kondisi Sanggageni sebenarnya.Namun seluruh tubuh Arya terasa tak bertulang manakala menyaksikan kondisi ayahandanya yang memprihatinkan. Ia luruh jatuh bersimpuh di tanah tepat di samping Ki Bayanaka, berhadapan dengan Jenar. Pemuda itu tak percaya hal mengerikan seperti ini terjadi pada ayahandanya.“Kau datang juga,” lirih Ki Bayanaka.“A-apa yang terjadi....”“Braja tak akan seperti ini andai saja kalian bisa bersikap bijak dan tak menuruti hawa nafsu!” tegas Ki Bayanaka sekali lagi.“Maksudmu....”“Kakanda Sanggageni terkena bola api itu, Arya! Dan sekarang pasukan berkuda mereka sedang menuju kemari!” ujar Jenar setengah menyeru. Ia tahu bahwa ini pula kesalahannya. Namun diamnya suaminya tentu bukan tindakan yang tepat dilakuka

  • Cundhamani (Panah Api)   220. Menyelamatkan Sanggageni

    Jenar menitikkan air mata. Kata-kata ayahandanya memang begitu menusuk hati. Namun melihat kondisi Sanggageni lah hal yang membuatnya begitu sakit. Ia terlalu lama memadu kasih dengan Arya hingga membuat ayahanda Arya dalam kondisi mengenaskan.“Bertahan lah, Braja! Dasar bedebah!” hardik Ki Bayanaka terus mengerahkan segala kemampuannya untuk menyelamatkan nyawa Sanggageni. Sejauh ini tak ada reaksi apa pun dari pria bergiwang itu.“Kakanda Danapati, bisa kah kau cari keberadaan Arya? Aku merasa dia memiliki hal di luar dari kemampuanku dan Ayahandaku untuk menyelamatkan Kakanda Sanggageni,” pinta Jenar sambil terus terisak.Danapati tak menjawab. Ia segera bangkit dan hendak meninggalkan mereka bertiga manakala empat orang pengawal raja datang. Mereka segera bersimpuh tak berani lebih tinggi dari rajanya.“Tak perlu, Danapati! Biar mereka saja yang mencari Arya. Kau tetap di sini lindungi kami dari apa pun yang menyerang!” titah Ki Bayanaka. Danapati tak berani bereaksi. Ia melihat

DMCA.com Protection Status