Arya melepaskan tali busurnya. Sudut seratus dua puluh derajat itu segera melerai. Melepaskan anak panah logam dengan begitu kuat. Suara hempasan tali busur di lengan kiri Arya yang tertutup pelindung dari kulit, sudah cukup menjelaskan bagaimana kuatnya lesatan. Mata anak panah membara hingga puncak lesatan tertinggi.“Sungguh cepat!” gumam Rara Anjani.Anak panah itu menukik tajam menjadikan istana Candikapura sebagai sasarannya. Bunga-bunga api terpercik buah dari gesekan Cundhamani dan lembabnya udara di langit Candikapura. Tak ada yang mampu menghalangi serangan udara, kecuali bila nyaris sampai pada sasaran. Sedang di istana itu tak ada satu pun orang yang siap akan serangan udara.“Sekarang!” desis Arya.Anak panah yang sudah begitu jauh jaraknya seolah mengerti apa yang diinginkan tuannya. Anak panah api itu mengganda hingga ratusan bahkan seribu. Dalam akurasi dan kekuatan seperti itu, tak mungkin ada yang luput dari hunjaman Sasra Sayaka-Cundhamani.“Dimana pun kau berada, W
“Setelah sekian lama akhirnya aku melihat lagi Sasra Sayaka-Cundhamani,” gumam seorang pria dengan kaki kiri tersambung kayu sepanjang betis.Di belakangnya wajah-wajah penuh tekanan dan rasa takut memandang pria itu dengan penuh harap. Mereka adalah orang-orang terusir dari Astagina. Dalam waktu singkat mengasingkan diri dan berkumpul di perbatasan wilayah Astagina – Candikapura. Atau masih dalam wilayah Kadipaten Astakencana yang berbukit-bukit.“Mengapa kalian tampak takut?” tanya pria itu dengan nada tinggi. Ia mengusap wajahnya yang berbekas luka bakar di sisi kanan dengan tangan yang dibalut oleh kain.Seorang pria berusia di atasnya menghampiri pria itu dan berkata, “Bagaimana kami tak takut dengan kekuatan sebesar itu? Tentu kau masih ingat apa yang dia lakukan di Padang Kalaha!”“Tentu aku masih ingat, Kakanda Sudawira. Tapi aku jamin tanpa busur dan anak panah, dia tak lebih dari seorang bocah ingusan!” seru pria itu begitu emosi. “Dan satu lagi, dia bersekutu dengan penguas
“Apa yang terjadi, Ayahanda?” tanya Arya panik. Rara Anjani tampak begitu tak nyaman dengan perlakuan ayahandanya. Namun pemuda itu menyadari ada sesuatu pada kekasihnya sampai ayahandanya berbuat demikian.Arya segera menahan tangan Rara Anjani agar tetap berada dalam air di bejana. Tak ada suara desis dan kepulan asap seperti yang terjadi pada Sanggageni. Namun air dalam bejana menjadi bergejolak seperti air mendidih. Hanya saja tak terasa panas.Rara Anjani melenguh, entah apa yang ia rasakan. Bola matanya melirik ke atas. Mulutnya terbuka, seolah napasnya tercekat di tenggorokan. Dari kepalanya mulai muncul air dalam jumlah banyak yang luruh ke bawah. Anehnya lantai tidak basah. Begitu juga dengan tubuh dan pakaian perempuan itu.“Ini lah wujud Rara Anjani yang sebenarnya!” seru Sanggageni.Arya menoleh, memperhatikan lekat-lekat wajah kekasihnya yang masih terpejam setelah peristiwa aneh yang dialami. Wajah Rara Anjani tampak begitu segar dan bersih. Rambut hitam bergelombangnya
“Kau harus memegang pusaka suci milik perempuan Astagina!” Sanggageni melepaskan pandangannya ke udara. Ia kembali teringat kata-kata mendiang istrinya.“Pusaka suci?” Arya dan Rara Anjani saling pandang tak mengerti. Bagi Arya ia hanya mengetahui pusaka Astagina adalah keris Astratama milik kakeknya.“Maksud Ayahanda ... Tusuk Konde Emas milik Bibinda Jenar?” tanya Arya sembari terbelalak.“Benar, hanya perempuan suci yang mampu memegang pusaka itu tanpa efek pada tubuhnya. Lain halnya kalau kau pengguna Suji Pati, pusaka itu akan terus melekat padamu sampai kau meninggal!” ucap Sanggageni dengan begitu mantap.“Hmm, sebenarnya aku tak mempedulikan hal itu, Ayahanda, Rara. Tapi bila hal itu membuatmu tenang, aku akan coba bicarakan dengan Gusti Sri Maharani,” ujar Arya menenangkan.“Sri Maharani?” tanya Rara Anjani.“Oh, itu gelar Bibinda Jenar setelah naik tahta.” Arya tersenyum. Sebuah relief indah di bibir pemuda itu yang menggusarkan hati Rara Anjani. Bagaimana pun Arya dan Jenar
Jenar menatap sepasang kekasih di hadapannya dengan wajah masamnya. Keningnya mengernyit, ia tak mengerti untuk apa Arya meminta ijin padanya agar Rara Anjani menyentuh tusuk konde emasnya. Sedang ia sendiri sempat kesulitan untuk mengendalikan pusaka itu.“Begini, Bibinda. Ayahanda melakukan pembuktian bahwa selama ini Rara Anjani diselubungi oleh sebuah energi yang mencegah kerusakan fisik. Jika Bibinda perhatikan, telinganya sudah kembali utuh. Padahal sebelumnya terbakar separuh,” buka Arya. Ia berharap reaksi lebih baik dari Jenar selain hanya menatap dingin.“Hmm, pantas saja kau tampak berbeda, Rara! Benar firasatku tadi, kau tampak lebih cantik!” ucap Jenar seraya memperhatikan wajah kekasih Arya itu lekat-lekat.“Terima kasih, Gusti Sri Maharani.” Rara Anjani menunduk masih tak kuasa membalas tatapan Jenar.“Lantas, apa hubungannya dengan tusuk kondeku?” tanya Jenar penasaran.“Rara Anjani berasumsi jika selubung energi itu mampu melindunginya dari kerusakan fisik, bisa jadi
Dua pasang mata Jenar dan Arya segera memperhatikan Rara Anjani. Tangan kanannya kini menggenggam tusuk konde emas milik Jenar. Perempuan itu terbelalak dengan wajah berbinar. Keningnya mengernyit seolah menahan beban berat di genggamannya. “Apa yang terjadi, Rara?” tanya Arya penasaran. Sementara Jenar tak percaya saat kekasih kemenakannya itu perlahan mampu mengangkat senjata andalannya itu cukup lama. “Semoga Paman Sanggageni benar. Aku tak merasakan apa pun selain ... benda ini cukup berat juga,” ucap Rara Anjani sembari mengurai senyum. “Apa ini artinya dia masih suci, Arya?” tanya Jenar masih dengan sepasang mata yang terbelalak. “Menurut Ayahanda begitu, Bibinda. Aku tak percaya ini,” ujar Arya nyaris tak berkedip. Kekasihnya di hadapannya dan raja Astagina membuktikan diri kesuciannya masih utuh. Statusnya sebagai mantan selir Prabu Ranajaya tak serta merta menghancurkan kesucian putri Astakencana itu. “Terima kasih, Gusti Sri Maharani, sudah meminjamkan pusaka ini padaku.
Candikapura kini hanya sebuah padang menghitam yang masih mengeluarkan asap tipis dan hawa panas. Seluruh bangunan istana telah rata dengan tanah. Abu menumpuk sesuai dengan bangunan posisi sebelumnya. Prabu Warasena menatap istananya dengan amarah dan rasa gondok menumpuk di dada.“Semuanya menjadi abu, Kakanda. Tak tersisa sepotong kayu pun!” adu Prabu Warasena pada Adipati Kertajaya.“Ya, aku bisa melihatnya. Dan tak ada petunjuk apa pun siapa pelakunya. Rakyatmu juga hampir semua mengungsi. Tak ada yang tahu bagaimana istana sebesar ini bisa terbakar seluruhnya,” timpal Adipati Kertajaya.“Dan tak ada tanda-tanda keberadaan Guru.” Prabu Warasena mulai putus asa. Kedua bahunya luruh seiring dengan harapannya menemukan sebuah petunjuk menjadi sirna.Adipati Kertajaya berjongkok di bekas gerbang utama Candikapura. Dengan ilmu kanuragan sehebat itu, tak mungkin Ki Wungkung menjadi korban Cundhamani. Namun pasti ada alasan mengapa gurunya itu tak dapat ia hubungi dan temukan di Candika
“Siapa kau?”Prabu Warasena merasakan kehadiran seseorang di belakangnya. Ia tengah mencari petunjuk bagaimana istananya bisa hancur, habis menjadi abu. Sedangkan Adipati Kertajaya sudah kembali ke Astakencana tengah hari tadi.“Gusti Prabu Warasena. Hamba Sakuntala, Senopati Astagina yang terbuang dan terasingkan hingga ke perbatasan Candikapura,” ucap Sakuntala memperkenalkan diri.“Oh, jadi kau Senopatinya Ranajaya? Apa yang kau inginkan?” tanya Prabu Warasena langsung pada intinya. Raja Candikapura itu sama sekali tak menoleh pada lawan bicaranya.“Hamba tahu siapa yang telah menghancurkan istana Gusti!” ujar Sakuntala dengan penekanan di beberapa kata. Ia sengaja ingin membuat Raja yang tengah gundah gulana itu tertarik pada apa yang ia bicarakan.“Oh ya? Apakah aku harus percaya padamu?” tanya Prabu Warasena sinis. Saat ini ia tak ingin mendengarkan apa pun dari orang asing.“Tak ada alasan Gusti untuk tak mempercayai hamba.” Sakuntala berajalan mendekat dengan pincang. Membuat