Tak ada gangguan berarti, hanya ada seorang punggawa yang menanyakan mengapa ia dipersilahkan meninggalkan istana. Sisanya dengan sukarela memilih untuk meninggalkan Astagina dengan damai. Sepasang remaja memimpin sebuah kerajaan besar dengan dua pria tua di belakang layar. Tinggal menunggu kehancurannya saja, pikir mereka.Semua orang menyebar, bersama sanak keluarga. Meninggalkan kehidupan mapan dan mewah dalam istana. Yang sudah berumur umumnya memilih untuk kembali ke desa asal. Bertani dan hidup sederhana. Sedang yang masih muda, memilih untuk pergi bersama ke suatu tempat dan bermimpi suatu hari akan kembali dan merebut hak-hak mereka lagi.“Kau tak ingin menemui Rara Anjani, Arya?” tanya Sanggageni setelah mendapati putranya termenung seorang diri di tepi telaga Padma.“Rara Anjani? Untuk apa?” tanya Arya dingin. Ia bahkan hampir melupakan pernah melabuhkan hatinya pada mantan selir ke-13 mendiang Prabu Ranajaya itu.“Apa kau lupa, Astakencana tak ada hubungannya dengan penyera
“Apa yang terjadi padamu, Rara?” tanya Arya setelah melerai pelukannya.“Bukan kah aku yang seharusnya bertanya padamu, mengapa kau tiba-tiba datang? Apakah kau sudah tak memandang Astakencana sebagai ancaman lagi?” tanya Rara Anjani.“Lupakan soal itu. Candikapura lah dalangnya. Mungkin Ayahandamu memang sempat bersekutu, tapi aku yakin sekarang tidak lagi,” ucap Arya begitu yakin. “Lengan kirimu, apakah ini perbuatan Aswabrama?”Rara Anjani tak bisa menyembunyikan bahagianya. Tampak sekali dari binar mata yang terang benderang. Sejurus ia sempat tak mencerna apa yang dikatakan Arya. Namun seorang putri harus bertindak elegan dan santun. Ia tak lagi seorang selir raja.“Ya, aku tak mengerti bagaimana seekor kuda mampu berbuat sedemikian jauh,” lirih Rara Anjani. Ia menunduk dengan kedua mata mengembun. Pikirannya sudah terbang begitu jauh hingga bagaimana ia mampu memimpin Astakencana nanti dengan sebelah tangan.“Tegakkan wajahmu, Putri Astakencana!” Arya meraih dagu Rara Anjani dan
Adipati Kertajaya berlutut setelah melayangkan pujian untuk Arya. Ia tak percaya bahwa seekor kuda mampu menyembuhkan lengan kiri putrinya yang lumpuh. Sedang tabib istana terhebat pun tak mampu sekadar menggerakkan ujung jarinya saja. Pria itu merasa sudah berlaku tak adil pada Arya, karena mencoba memanfaatkannya bersama dengan Candikapura.“Bangun lah, Adipati. Kau tak pantas berlutut pada Aswabrama!” seru Arya.“Aswabrama?”“Nama kuda ini Aswabrama, Ayahanda,” ucap Rara Anjani dengan penuh binar di matanya. Ia begitu bahagia lengan kirinya dapat disembuhkan.“Ampun, Gusti. Hamba berlutut pada Gusti, bukan pada kuda ini!” kilah Adipati Kertajaya.“Untuk apa kau berlutut padaku, sedang yang menyembuhkan Rara Anjani adalah Aswabrama? Bangun lah, Adipati! Seorang besar sepertimu tak patut berlaku demikian,” ucap Arya sembari membimbing pria paruh baya itu untuk bangkit.“Hamba tak tahu bagaimana caranya berterima kasih. Hamba mengaku dosa telah berusaha memanfaatkan Gusti demi keingin
“Kau yakin tak ingin berada di keretamu, Rara?” tanya Arya sekali lagi.Mereka berdua sudah berada di gerbang istana Kadipaten Astakencana. Arya sudah menyampaikan maksudnya pada Adipati Kertajaya untuk mempersunting Rara Anjani. Ayahanda Rara Anjani itu tentu tidak menolak. Pernikahan mereka berdua berarti pula mempererat hubungan Astagina dan Astakencana secara politik.“Tidak, aku tak ingin jauh darimu,” ucap Rara Anjani dengan wajah memerah. “Lagi pula dengan kereta kita akan membutuhkan waktu lebih lama untuk sampai Astagina, bukan?”“Baik lah!” Arya menggenggam pinggang kekasihnya dan membantu Rara Anjani untuk naik ke punggung Aswabrama. Perempuan itu tersenyum, duduk menunggu sang pujaan hati menyusulnya.Arya segera naik menyusul Rara Anjani. Perempuan itu kini melingkarkan lengannya di perut Arya. Pemuda itu tersenyum singkat dan segera menyentak tali kekang kudanya. Aswabrama berlari dengan kecepatan sedang meninggalkan gerbang utama Kadipaten Astakencana.“Menjual putrimu
Arya melepaskan tali busurnya. Sudut seratus dua puluh derajat itu segera melerai. Melepaskan anak panah logam dengan begitu kuat. Suara hempasan tali busur di lengan kiri Arya yang tertutup pelindung dari kulit, sudah cukup menjelaskan bagaimana kuatnya lesatan. Mata anak panah membara hingga puncak lesatan tertinggi.“Sungguh cepat!” gumam Rara Anjani.Anak panah itu menukik tajam menjadikan istana Candikapura sebagai sasarannya. Bunga-bunga api terpercik buah dari gesekan Cundhamani dan lembabnya udara di langit Candikapura. Tak ada yang mampu menghalangi serangan udara, kecuali bila nyaris sampai pada sasaran. Sedang di istana itu tak ada satu pun orang yang siap akan serangan udara.“Sekarang!” desis Arya.Anak panah yang sudah begitu jauh jaraknya seolah mengerti apa yang diinginkan tuannya. Anak panah api itu mengganda hingga ratusan bahkan seribu. Dalam akurasi dan kekuatan seperti itu, tak mungkin ada yang luput dari hunjaman Sasra Sayaka-Cundhamani.“Dimana pun kau berada, W
“Setelah sekian lama akhirnya aku melihat lagi Sasra Sayaka-Cundhamani,” gumam seorang pria dengan kaki kiri tersambung kayu sepanjang betis.Di belakangnya wajah-wajah penuh tekanan dan rasa takut memandang pria itu dengan penuh harap. Mereka adalah orang-orang terusir dari Astagina. Dalam waktu singkat mengasingkan diri dan berkumpul di perbatasan wilayah Astagina – Candikapura. Atau masih dalam wilayah Kadipaten Astakencana yang berbukit-bukit.“Mengapa kalian tampak takut?” tanya pria itu dengan nada tinggi. Ia mengusap wajahnya yang berbekas luka bakar di sisi kanan dengan tangan yang dibalut oleh kain.Seorang pria berusia di atasnya menghampiri pria itu dan berkata, “Bagaimana kami tak takut dengan kekuatan sebesar itu? Tentu kau masih ingat apa yang dia lakukan di Padang Kalaha!”“Tentu aku masih ingat, Kakanda Sudawira. Tapi aku jamin tanpa busur dan anak panah, dia tak lebih dari seorang bocah ingusan!” seru pria itu begitu emosi. “Dan satu lagi, dia bersekutu dengan penguas
“Apa yang terjadi, Ayahanda?” tanya Arya panik. Rara Anjani tampak begitu tak nyaman dengan perlakuan ayahandanya. Namun pemuda itu menyadari ada sesuatu pada kekasihnya sampai ayahandanya berbuat demikian.Arya segera menahan tangan Rara Anjani agar tetap berada dalam air di bejana. Tak ada suara desis dan kepulan asap seperti yang terjadi pada Sanggageni. Namun air dalam bejana menjadi bergejolak seperti air mendidih. Hanya saja tak terasa panas.Rara Anjani melenguh, entah apa yang ia rasakan. Bola matanya melirik ke atas. Mulutnya terbuka, seolah napasnya tercekat di tenggorokan. Dari kepalanya mulai muncul air dalam jumlah banyak yang luruh ke bawah. Anehnya lantai tidak basah. Begitu juga dengan tubuh dan pakaian perempuan itu.“Ini lah wujud Rara Anjani yang sebenarnya!” seru Sanggageni.Arya menoleh, memperhatikan lekat-lekat wajah kekasihnya yang masih terpejam setelah peristiwa aneh yang dialami. Wajah Rara Anjani tampak begitu segar dan bersih. Rambut hitam bergelombangnya
“Kau harus memegang pusaka suci milik perempuan Astagina!” Sanggageni melepaskan pandangannya ke udara. Ia kembali teringat kata-kata mendiang istrinya.“Pusaka suci?” Arya dan Rara Anjani saling pandang tak mengerti. Bagi Arya ia hanya mengetahui pusaka Astagina adalah keris Astratama milik kakeknya.“Maksud Ayahanda ... Tusuk Konde Emas milik Bibinda Jenar?” tanya Arya sembari terbelalak.“Benar, hanya perempuan suci yang mampu memegang pusaka itu tanpa efek pada tubuhnya. Lain halnya kalau kau pengguna Suji Pati, pusaka itu akan terus melekat padamu sampai kau meninggal!” ucap Sanggageni dengan begitu mantap.“Hmm, sebenarnya aku tak mempedulikan hal itu, Ayahanda, Rara. Tapi bila hal itu membuatmu tenang, aku akan coba bicarakan dengan Gusti Sri Maharani,” ujar Arya menenangkan.“Sri Maharani?” tanya Rara Anjani.“Oh, itu gelar Bibinda Jenar setelah naik tahta.” Arya tersenyum. Sebuah relief indah di bibir pemuda itu yang menggusarkan hati Rara Anjani. Bagaimana pun Arya dan Jenar