“Wangsa!” Sanggageni menyerbu ke arah pria dengan caping menggantung di punggungnya itu. Ia tak ingin ada pertarungan lagi di sini. Apa lagi belum lama mereka saling unjuk kekuatan. Dan pria itu baru bertemu lagi dengan putranya. Banyak hal yang ingin ia tanyakan mengapa Arya kembali. “Minggir, Kakanda! Dia telah membunuh sahabatku, Sambara!” tampik Wangsa. Ia menyingkirkan tangan Sanggageni yang mencoba menghalanginya. Sudah lama Wangsa menyimpan dendam pada pembunuh Sambara yang punya panah api itu. “Sambara kau bilang? Maksudmu orang besar yang kebal senjata itu? Jadi kau sahabatnya? Berarti kau pun sama dengannya!” pekik Arya sembari menggenggam busur Agnitama. “Arya! Sudah lah, Ayah tak ingin ada pertarungan lagi di sini!” ucap Sanggageni tegas. Melihat putranya mulai meraba panah logam di punggung, Sanggageni percaya Arya tak main-main melawan Wangsa. “Lalu aku harus diam saja saat diserang olehnya, Ayahanda?” “Kakanda, dia ini putramu?” tanya Wangsa. Pria itu mempersiapkan
“Kau ingin melihat Cundhamani, bukan? Sayang, aku sedang tak bersemangat hari ini,” seru Arya. Sekilas Arya melihat ayahandanya yang sudah beringsut dari sebelah pria bercaping itu. Tapi untuk mengeluarkan Cundhamani rasanya terlalu berlebihan. Ia juga tak tahu apa akibatnya bila dibenturkan pada tabir tak kasat mata itu. “Kau takut mengenai orang-orang ini, bukan? Lihat lah mereka sudah menjauh dariku!” kilah Wangsa. Sanggageni menoleh pada pria itu. Pasti ada hal yang disembunyikan olehnya sampai menantang Arya dan Cundahamani-nya. “Tidak, aku tak ingin saudarimu itu kelelahan karena harus menguburkan satu lagi saudaranya!” ledek Arya. Pemuda itu berjongkok dan memungut pisau-pisau kecil dan sebuah belati milik Wangsa yang sudah kehilangan tangkainya. Sebuah pisau kecil Arya lemparkan pelan ke arah tabir itu berada, tentu dengan gerakan minim dan tersembunyi. Ia sepemikiran dengan Sanggageni, pria itu pasti memiliki sesuatu hingga berani menantang Cundhamani. Hal yang bahkan tak
“Huh! Ksatria ingusan yang masih terus dibantu orang tua!” ketus Wangsa. Pria itu meringis merasakan panas dari bilah pedang yang terhunus padanya. Ia masih terus memancing emosi Arya meski nyawanya kini berada di ujung tanduk. “Terserah kau saja!” Arya berdecik. “Aku memberimu pilihan. Menyusul sahabatmu, Sambara atau lari dan kau akan melihat Cundahamani?” “Ck! Ayo lah kau bisa menebas leherku sekarang dengan mudah.” Wangsa membuang wajahnya. Ia benar-benar tak tahan dengan rasa panas yang memendar dari bilah pedang itu. “Tapi kau harus melenyapkan tabir-tabir merepotkan itu!” pinta Arya disambut tawa Wangsa yang begitu keras. “Kau cukup pandai untuk menyadarinya, tapi cukup bodoh untuk kembali terperangkap dalam tabir yang kau bilang merepotkan itu.” Wangsa kembali melanjutkan tawanya. Arya segera mengedarkan pandangan mengamati kondisi di sekitarnya. “Bedebah!” Suara tawa Wangsa begitu keras hingga umpatan Arya tak terdengar olehnya. Arya mengira ia sudah berhasil memojokkan
“Arimbi, jangan!” pekik Arya. “Wangsa dimana orang itu?” “Kau tak akan menemukannya di dimensi ini, Arya. Arimbi, lakukan! Aku sudah tak kuat lagi!” jerit Wangsa. Kedua tangan yang mengerahkan energi untuk Wening Jamanika mulai bergetar. Pria itu tersentak atas tandasnya energi dan atas tusukan jarum-jarum beracun milik Arimbi di sekujur tubuhnya. “Wangsa!” “Jangan kau sentuh tubuhnya sebelum menjadi ungu!” cegah Arimbi. Perempuan itu melompat turun dari atas pohon dan mendarat tepat di sisi adiknya. Tak ada yang tahu bahwa tabir-tabir milik Wangsa memiliki celah besar di bagian atas. Karena keterbatasan energi, Wening Jamanika itu hanya setinggi satu setengah tombak saja. Arya mengurungkan niatnya untuk menopang tubuh Wangsa yang kini sudah terhempas ke tanah, di atas rerumputan hijau yang tak begitu tinggi. Pemuda itu terenyuh menyaksikan Wangsa tersenyum di ujung kematiannya. “Terima kasih, Arimbi. Jaga dirimu baik-baik.” Ucapan terakhir Wangsa. Sekujur tubuhnya sudah berubah
“Ayahanda! Semua ini karena kau!” Rara Anjani geram. Bagaimana bisa tendangan dari seekor kuda membuat tangannya tak bisa digunakan lagi. “Tenang lah, Rara. Ayah akan carikan tabib terbaik di pelosok negeri agar tanganmu itu bisa disembuhkan. Ayah berjanji!” ujar Adipati Kertajaya merasa begitu berdosa pada putrinya itu. Rara Anjani menangis. Dalam satu hari saja ia kehilangan banyak sekali kesempatan. Kini mungkin kehilangan Arya tak terasa begitu menyakitkan. Bagaimana pun pemuda itu sudah membantunya keluar dari pelukan Prabu Ranajaya. Namun dengan sebelah tangan yang tak berfungsi, sungguh membuatnya putus asa. “Bagaimana mungkin aku bisa tenang, Ayahanda. Aku sudah berkorban begitu banyak untuk Astakencana. Harga diri dan kehormatanku sudah tidak ada. Sekarang aku pun kehilangan tangan kiriku!” sesal Rara Anjani. Adipati Kertajaya terpekur di hadapan putrinya. Orang tua mana yang rela menyerahkan anak gadisnya untuk ditukar dengan kedudukan Adipati, demi keselamatan daerah kek
Seluruh punggawa Astagina sudah berkumpul di pendopo istana. Sanggageni, Arya dan Ki Bayanaka duduk di baris utama, paling dekat dengan singgasana raja. Simbol kebesaran Astagina itu sudah diperbaiki setelah sempat rusak dihantam Prabu Ranajaya beberapa saat lalu. Semua orang berseri-seri menyongsong penobatan raja baru. Jenar muncul didampingi dua dayang dari sisi kiri pendopo. Ia tampak cantik mengenakan pakaian mewah yang didominasi warna emas. Meski gugup, gadis itu mencoba untuk meredamnya demi tampak berwibawa namun tetap elegan dan mempesona. Calon raja itu begitu anggun menaiki lima anak tangga, berhenti tepat di hadapan singgasana. Dua orang dayang yang mendampingi Jenar segera meninggalkan tempat itu. Dua orang segera muncul membawa nampan dengan mahkota dan keris Astratama sebagai pusaka Astagina. Mereka segera menempatkan diri di belakang Jenar yang nyaris tak bisa menyembunyikan kegugupannya. “Ijinkan hamba memulainya, Gusti,” bisik penasihat pada Jenar. Gadis itu terse
“Candikapura ya, apa kau tahu perkiraan jumlah mereka?” lanjut Arya. “Berdasarkan pengamatan, jumlah mereka antara lima sampai tujuh ribu, Gusti Patih,” jawab prajurit itu lugas. Arya berdiri dari tempat duduknya. Sejenak ia mengusap-usap dagunya. Ia sempat menyangka bila ada serangan, Astakencana lah kemungkinan utama. Tapi ternyata justru Candikapura. Pemuda itu pun tak begitu terkejut. Karena Astakencana dan Candikapura memiliki hubungan yang cukup dekat. “Ampun, Sri Maharani. Ijinkan hamba....” “Urusan Candikapura aku serahkan padamu. Apa lagi Astakencana, kau memiliki wewenang penuh untuk bertindak, Patih Arya Nandika!” potong Jenar tegas. Arya terkejut, ia kini bahkan tak bisa membedakan apakah sikap Jenar masih terpaut dengan kondisi hatinya atau tidak. “Sendika, Gusti!” timpal Arya tak kalah tegas. “Senopati divisi Telik Sandi dan Strategi, silahkan ikut aku!” Dua orang senopati segera bangkit dari duduknya dan mengangguk tegas. Mereka berjalan cepat mengekori Arya ke men
Arya kembali mengusap-usap dagunya. Jika benar Candikapura memiliki pasukan tak terlihat, maka hal itu akan sangat merepotkan. Ingatannya kembali pada peristiwa ia tersesat di dunia ruh. Lalu bertemu dengan Ki Bayanaka.“Ah!” Arya menjentikkan jarinya. “Prajurit, tolong panggilkan Ki Bayanaka. Katakan padanya aku membutuhkannya! Cepat!”“Sendika, Gusti!” sahut seorang prajurit. Pria itu lalu berbalik dan berlari menuju pendopo. Tempat terakhir Ki Bayanaka berada.“Mengapa Gusti membutuhkan Ki Bayanaka? Apa yang beliau tahu tentang Candikapura?” tanya Senopati pada Arya.“Ki Bayanaka sedikit banyak tahu tentang dunia ruh,” jawab Arya singkat. Ia memantau kembali pergerakan pasukan Candikapura dengan teropong.“Dunia ruh?”“Aku juga tak begitu mengerti, Senopati. Nanti kau lihat saja sendiri apa yang bisa dilakukan Ki Bayanaka. Sekarang bantu aku memprediksi jarak barisan terdepan mereka!” timpal Arya sembari menyodorkan teropong di tangannya.“Mereka semakin dekat, Gusti. Sebentar lagi