Sanggageni menghibaskan pedang dengan bilah membaranya ke belukar yang sudah dikonformasi oleh Ki Bayanaka. Sebuah jilatan api muncul dan membentur tabir tak terlihat dan menghancurkannya. Suara dentuman cukup keras disertai kepulan asap putih membuat hal yang diprediksi Sanggageni itu hancur tak bersisa. Seorang pria berpenutup wajah dengan caping hitam di kepala tampak melingkarkan lengannya di leher Jenar. Sebuah belati terhunus di tangan lainnya siap untuk menikam pewaris tahta Astagina itu. Seorang perempuan berpakaian hitam berada di atas pohon dengan sebuah kendi labu kecil menggantung di pinggangnya. “Sanggageni dan Bayanaka. Sudah lama aku mendengar nama kalian. Tak kusangka di masa tua, kalian justru menjadi cecunguk Astagina!” ucap pria bercaping itu dengan suaranya yang berat. Sanggageni tak menjawab. Ia masih terus menganalisa sembari menunggu ruh Ki Bayanaka kembali ke raganya. Lelaki bercaping sudah pasti pencipta tabir tak terlihat itu. Karena perempuan di atas pohon
“Hei, Arimbi, apa yang akan kau lakukan? Membunuh Kakanda Sanggageni?” tanya Wangsa dengan masih terus mengunuskan belati ke leher Jenar. “Apa kau ingin mencegahku?” hardik Arimbi. Perempuan itu menunda serangannya meski kini di sela-sela jarinya sudah ada benda semacam jarum yang begitu tipis. “Sejak kapan mereka punya kekuatan sebahaya ini?” gumam Sanggageni dalam hati. Ia masih terus berusaha mendeteksi keberadaan ruh Ki Bayanaka dan Toma. Dari ketiga saudara itu hanya Toma yang belum ia ketahui wujud dan kemampuannya. “Maju lah jika kau ingin membunuhnya! Aku masih ingin bersama gadis ini. Baunya harum, tak seperti kau!” ucap Wangsa dengan polosnya. Lelaki itu mundur dan tampak menghisap aroma rambut Jenar beberapa kali. Hal yang tentu membuat gadis itu merasa terganggu bahkan merasa dilecehkan. Sanggageni menatap mata menyalang Arimbi. Sungguh perempuan ini telah tumbuh menjadi seorang pendekar sakti. Siapa sangka racun mematikan itu berasal dari serangannya. Namun yang paling
“Jangan-jangan....” Belum sempat Sanggageni memperhatikan dengan seksama dan menganalisa kemungkinan-kemungkinan tentang Arimbi, perempuan itu kembali mengibaskan tangannya. Serangan kedua datang. Namun kali ini mengarah pada raga Ki Bayanaka, satu tombak dari tempat Sanggageni berdiri. Mengayunkan pedang tak akan sempat lagi. Apa lagi membentuk pagar api seperti serangan pertama tadi. Efek dari luka di peperangan terakhir dan pedang yang sudah kehilangan banyak energi apinya membuat gerakan pria itu menjadi berkurang kecepatannya. Tak sebanding dengan jarum-jarum beracun itu. “Tidak akan sempat!” Sanggageni melompat semampunya. Pria itu berusaha menjadi tameng untuk kakak seperguruannya itu. Ia merasa Ki Bayanaka masih akan sangat dibutuhkan oleh Jenar dan Astagina di masa depan. Sanggageni siap untuk mengorbankan nyawanya. “Gantari....” Tubuh Sanggageni roboh ke tanah. Pedangnya terpental cukup tinggi di udara, akibat gerakannya yang tak sempurna. Rasa nyeri ia rasakan di dada,
“Toma? Dia tewas oleh Suji Pati. Mengapa kau tampak biasa saja, Arimbi?” tanya Sanggageni. Arimbi tak mempedulikan tubuh Toma yang tergelatak begitu saja di belukar. Perempuan itu justru sibuk merawat luka di dahinya. “Dia memang lebih baik mati saja, Kakanda. Ia begitu senang berada di alamnya sendiri, kami jadi sulit untuk bertemu dengannya!” ucap Arimbi begitu ringan. Sanggageni dan Jenar hanya saling pandang. Baru kali ini mereka menyaksikan seorang kakak yang lebih suka adiknya mati. Terlebih Jenar yang tak mengenal tiga bersaudara ini. Gadis itu tak mengerti bahwa mereka memang memiliki keanehan masing-masing. “Tunggu, kalau Toma berada di sini, lalu mengapa Kakanda Bayanaka belum juga kembali ke raganya?” gumam Sanggageni. Ia menoleh ke arah raga Ki Bayanaka yang masih duduk bersila dengan tengan di bawah pohon rindang. “Maksudmu kau mengira Ayahanda tertahan di alam ruh karena Toma?” tanya Jenar. Ia pikir masuk akal bila Sanggageni menganggap seperti itu. Namun nyatanya kin
Sebuah benda serupa anak panah berukuran kecil nyaris mengenai tubuh Rara Anjani. Benda itu kini berada di genggaman Arya yang tampak marah. Dengan tatapan nyalang ia mengedar ke segala penjuru. Namun lagi-lagi ia tak dapat menemukan apa pun. “Arahnya dari sana, Arya!” Rara Anjani menunjuk ke sebelah timur reruntuhan bangunan rumah Arya. Arya menoleh, sedang Rara Anjani tampak memperhatikan benda di genggaman kekasihnya. “Tidak, pelakunya pasti sudah pergi dari sana!” ucap Arya begitu yakin. Kening pemuda itu kembali mengernyit mencoba merasakan kehadiran sesuatu yang tak bisa dilihat. “Mengapa tidak periksa saja?” Rara Anjani beringsut dari tempatnya. “Jangan gegabah, Rara!” Arya menahan Rara Anjani dengan menggenggam pergelangan tangannya. Pemuda itu menarik kekasihnya untuk berada di dekatnya lagi. “Aku tak mau melihat kau dalam bahaya lagi. Kau lah targetnya!” Rara Anjani terdiam, menurut saja dengan Arya. Meski kondisi tengah genting, perempuan itu mampu merasakan cinta
Seorang prajurit baru saja roboh karena mencoba mengendalikan Aswabrama. Kuda itu tak lagi menjadi kuda yang ramah. Ia berubah, seolah mengetahui ada hal buruk yang tengah terjadi pada tuannya."Aswabrama? Ini semua ulahmu?" tanya Rara Anjani. Perempuan itu bahkan tak percaya ia mulai berbicara pada seekor kuda.Aswabrama tak bergeming. Kuda hitam itu melangkah dan baru saja menginjak serta mematahkan kaki prajurit yang baru saja roboh tadi. Kini ia berjalan mendekati Rara Anjani. Rambut di kepalanya bergoyang seirama dengan langkah kaki. Begitu juga dengan ekornya. Dua bagian tubuh itu kini serupa nyala api yang berkobar-kobar."Apa yang terjadi dengan kuda ini? Apa mungkin ia tahu Arya dalam masalah?" gumam Rara Anjani. "Dua belas prajurit dilumpuhkan sesingkat ini!"Aswabrama mendengus kuat. Kini kuda itu hanya berjarak dua langkah dengan Rara Anjani. Matanya menyalang menatap perempuan itu dengan penuh kebencian. Entah bagaimana binatang itu seolah memiliki emosi dan perasaan."Apa
Rara Anjani melompat ke udara sekuat tenaga. Hanya ini yang dapat ia lakukan demi menghindari serangan Aswabrama. Kuda itu di atas angin. Bukannya berlalu, kuda hitam itu justru berhenti dan menyediakan punggungnya sebagai tempat mendarat Rara Anjani. Perempuan itu sekilas memamerkan senyumnya. Ia tak harus mendarat di tanah yang keras. Tubuh Rara Anjani setengah terhempas di punggung Aswabrama, beralaskan pelana dari kulit rusa. Ia sudah memikirkan untuk mengendalikan kuda milik Arya itu dan mengakhiri perlawanannya. Meski kedua tangannya gemetar, ia yakin masih memiliki sisa tenaga untuk sekadar menarik tali kekang kuda. Namun semua rencana Rara Anjani seketika buyar. Baru saja ia mendaratkan tubuhnya, kuda itu justru menyentakkan tubuh dengan mengangkat kaki belakangnya. Tak ada yang bisa perempuan itu raih dengan tangan gemetarnya demi menjaga agar tak terpelanting. Rara Anjani terlempar ke udara. Beruntung ia masih sedikit mampu menguasai gerakannya hingga tak terhempas begitu k
“Arya?” Pemuda itu tak menjawab. Ia sibuk menenangkan Aswabrama dengan terus mengusap leher kuda hitam itu. Sedang Aswabrama sudah melupakan amarahnya pada Rara Anjani. Perempuan yang dengan kesombongannya mencoba melawan kuda istimewa mendiang Prabu Wirajaya ini. “Kau....” “Heran melihatku sehat-sehat saja, Rara?” ucap Arya dingin. Nyalang mata Arya kini menghunus ke arah Rara Anjani yang masih saja bersandar pada dinding kereta kudanya. “Arya, bagaimana mungkin?” Rara Anjani masih saja menatap Arya yang kini sudah menggenggam tali kekang kudanya itu. Setahunya tak ada satu pun yang mampu segera bangkit setelah menerima racun penghilang kesadaran khas Astakencana, selain mendiang Patih Waradhana. “Mungkin kau lupa, aku ini mudah sekali sembuh. Racun prajuritmu itu hanya mampu membuatku tidur sebentar.” Arya menuntun kudanya mendekat. Hal yang membuat Rara Anjani semakin tersudutkan. “Arya ... Kau salah paham, aku tak bermaksud....” “Apa yang kau rencanakan, Rara!” Tapak kaki As