Segala kedekatan Arya dan Rara Anjani hanya bisa ditatap Jenar dari kejauhan. Arya dan dirinya sudah menentukan pilihan. Jenar memutuskan untuk menjalani takdir yang mengalir dalam darahnya. Sedang Arya memilih Rara Anjani dan hidup bebas tak terikat dengan Astagina. Sebuah kenyataan sulit bagi banyak pihak. Gadis itu memacu kuda milik Rara Anjani dengan kecepatan sedang. Sama dengan kecepatan kuda yang ditunggangi Ki Bayanaka dan Sanggageni. Kedua pria itu berada di belakangnya. Mengawal calon raja Astagina yang baru saja memutuskan hal besar dalam hidupnya. “Ayahanda, Paman, ayo lah, aku belum menjadi Raja. Berlaku lah seperti aku apa adanya, seorang anak yang membutuhkan banyak bimbingan!” protes Jenar kepada dua pria di belakangnya. “Kau bisa memanggilku Kakanda, Jenar,” ucap Sanggageni. Jenar menepuk keningnya sendiri. Ia sama sekali belum terbiasa dengan posisi barunya. Sanggageni tersenyum dan saling tatap dengan Ki Bayanaka. Lalu meminta kakak seperguruannya itu untuk menja
“Hormat, Gusti Dewi Rara Anjani! Kami ditugaskan oleh Gusti Prabu untuk menjemput Gusti Dewi!” ucap seorang prajurit dengan napas terengah-engah, berlutut di belakang Rara Anjani. Ia menyebut Adipati Kertajaya sebagai Gusti Prabu. Sesuatu yang memang tak pernah berubah di internal Astakencana. Perempuan yang tengah mengemas barang-barang di pelana Aswabrama itu terkejut. Ia tak menyangka utusan ayahandanya akan menemukannya di Girijajar. Beruntung Arya tengah berada di sungai, ia khawatir pemuda itu tak lagi akan mengantarkan pulang ke Astakencana. “Kami? Dimana prajurit lainnya? Kau hanya sendiri?” tanya Rara Anjani menyembunyikan keterkejutannya. “Prajurit lainnya berjaga di sekitar tempat ini, bersembunyi,” jawab prajurit itu. Ia masih saja menundukkan wajahnya. “Pergi lah! Segera kembali ke Astakencana. Aku akan segera kembali bersama Ksatria Cundhamani!” titah Rara Anjani dengan seuntai senyum merekah di bibirnya. “Sendika, Gusti Dewi!” Tak ada dan tak boleh ada pertanyaan m
“Apa yang terjadi, Braja?” Ki Bayanaka baru saja berhasil menyusul adik seperguruannya itu menghambur ke rombongan prajurit yang membawa Jenar. “Seluruh prajurit ini tewas dan Jenar tak ada di keretanya!” ujar Sanggageni keheranan. Padahal jaraknya sampai dengan di tempat itu dengan suara yang cukup besar tak lama. Namun seseorang sudah berhasil menghabisi belasan prajurit tingkat menengah dan membawa pergi Jenar. “Tidak ada petunjuk apa pun di sini, pelakunya pasti berilmu tinggi!” seru Ki Bayanaka setelah memeriksa sekitar dan tak menemukan benda asing apa pun. “Apa ini ulah Candikapura lagi? Tapi aku yakin Pendekar Kembar itu sudah tewas. Apakah ada orang yang menguasi keahlian serupa mereka berdua?” Sanggageni mengurut dagunya. Rasanya tak mungkin prajurit-prajurit ini tewas dengan sekali serangan namun sama sekali tak meninggalkan bekas apa pun. Ki Bayanaka memeriksa seluruh tempat itu. Ia merasa tak mungkin serangan secepat dan sedahsyat itu tak menimbulkan bekas. Bahkan ia t
Sanggageni menghibaskan pedang dengan bilah membaranya ke belukar yang sudah dikonformasi oleh Ki Bayanaka. Sebuah jilatan api muncul dan membentur tabir tak terlihat dan menghancurkannya. Suara dentuman cukup keras disertai kepulan asap putih membuat hal yang diprediksi Sanggageni itu hancur tak bersisa. Seorang pria berpenutup wajah dengan caping hitam di kepala tampak melingkarkan lengannya di leher Jenar. Sebuah belati terhunus di tangan lainnya siap untuk menikam pewaris tahta Astagina itu. Seorang perempuan berpakaian hitam berada di atas pohon dengan sebuah kendi labu kecil menggantung di pinggangnya. “Sanggageni dan Bayanaka. Sudah lama aku mendengar nama kalian. Tak kusangka di masa tua, kalian justru menjadi cecunguk Astagina!” ucap pria bercaping itu dengan suaranya yang berat. Sanggageni tak menjawab. Ia masih terus menganalisa sembari menunggu ruh Ki Bayanaka kembali ke raganya. Lelaki bercaping sudah pasti pencipta tabir tak terlihat itu. Karena perempuan di atas pohon
“Hei, Arimbi, apa yang akan kau lakukan? Membunuh Kakanda Sanggageni?” tanya Wangsa dengan masih terus mengunuskan belati ke leher Jenar. “Apa kau ingin mencegahku?” hardik Arimbi. Perempuan itu menunda serangannya meski kini di sela-sela jarinya sudah ada benda semacam jarum yang begitu tipis. “Sejak kapan mereka punya kekuatan sebahaya ini?” gumam Sanggageni dalam hati. Ia masih terus berusaha mendeteksi keberadaan ruh Ki Bayanaka dan Toma. Dari ketiga saudara itu hanya Toma yang belum ia ketahui wujud dan kemampuannya. “Maju lah jika kau ingin membunuhnya! Aku masih ingin bersama gadis ini. Baunya harum, tak seperti kau!” ucap Wangsa dengan polosnya. Lelaki itu mundur dan tampak menghisap aroma rambut Jenar beberapa kali. Hal yang tentu membuat gadis itu merasa terganggu bahkan merasa dilecehkan. Sanggageni menatap mata menyalang Arimbi. Sungguh perempuan ini telah tumbuh menjadi seorang pendekar sakti. Siapa sangka racun mematikan itu berasal dari serangannya. Namun yang paling
“Jangan-jangan....” Belum sempat Sanggageni memperhatikan dengan seksama dan menganalisa kemungkinan-kemungkinan tentang Arimbi, perempuan itu kembali mengibaskan tangannya. Serangan kedua datang. Namun kali ini mengarah pada raga Ki Bayanaka, satu tombak dari tempat Sanggageni berdiri. Mengayunkan pedang tak akan sempat lagi. Apa lagi membentuk pagar api seperti serangan pertama tadi. Efek dari luka di peperangan terakhir dan pedang yang sudah kehilangan banyak energi apinya membuat gerakan pria itu menjadi berkurang kecepatannya. Tak sebanding dengan jarum-jarum beracun itu. “Tidak akan sempat!” Sanggageni melompat semampunya. Pria itu berusaha menjadi tameng untuk kakak seperguruannya itu. Ia merasa Ki Bayanaka masih akan sangat dibutuhkan oleh Jenar dan Astagina di masa depan. Sanggageni siap untuk mengorbankan nyawanya. “Gantari....” Tubuh Sanggageni roboh ke tanah. Pedangnya terpental cukup tinggi di udara, akibat gerakannya yang tak sempurna. Rasa nyeri ia rasakan di dada,
“Toma? Dia tewas oleh Suji Pati. Mengapa kau tampak biasa saja, Arimbi?” tanya Sanggageni. Arimbi tak mempedulikan tubuh Toma yang tergelatak begitu saja di belukar. Perempuan itu justru sibuk merawat luka di dahinya. “Dia memang lebih baik mati saja, Kakanda. Ia begitu senang berada di alamnya sendiri, kami jadi sulit untuk bertemu dengannya!” ucap Arimbi begitu ringan. Sanggageni dan Jenar hanya saling pandang. Baru kali ini mereka menyaksikan seorang kakak yang lebih suka adiknya mati. Terlebih Jenar yang tak mengenal tiga bersaudara ini. Gadis itu tak mengerti bahwa mereka memang memiliki keanehan masing-masing. “Tunggu, kalau Toma berada di sini, lalu mengapa Kakanda Bayanaka belum juga kembali ke raganya?” gumam Sanggageni. Ia menoleh ke arah raga Ki Bayanaka yang masih duduk bersila dengan tengan di bawah pohon rindang. “Maksudmu kau mengira Ayahanda tertahan di alam ruh karena Toma?” tanya Jenar. Ia pikir masuk akal bila Sanggageni menganggap seperti itu. Namun nyatanya kin
Sebuah benda serupa anak panah berukuran kecil nyaris mengenai tubuh Rara Anjani. Benda itu kini berada di genggaman Arya yang tampak marah. Dengan tatapan nyalang ia mengedar ke segala penjuru. Namun lagi-lagi ia tak dapat menemukan apa pun. “Arahnya dari sana, Arya!” Rara Anjani menunjuk ke sebelah timur reruntuhan bangunan rumah Arya. Arya menoleh, sedang Rara Anjani tampak memperhatikan benda di genggaman kekasihnya. “Tidak, pelakunya pasti sudah pergi dari sana!” ucap Arya begitu yakin. Kening pemuda itu kembali mengernyit mencoba merasakan kehadiran sesuatu yang tak bisa dilihat. “Mengapa tidak periksa saja?” Rara Anjani beringsut dari tempatnya. “Jangan gegabah, Rara!” Arya menahan Rara Anjani dengan menggenggam pergelangan tangannya. Pemuda itu menarik kekasihnya untuk berada di dekatnya lagi. “Aku tak mau melihat kau dalam bahaya lagi. Kau lah targetnya!” Rara Anjani terdiam, menurut saja dengan Arya. Meski kondisi tengah genting, perempuan itu mampu merasakan cinta