Arya meraih busur Agnitama dan memasangkan anak panah logam padanya. Gerakannya begitu cepat hingga Rara Anjani tak sempat untuk mencegah anak panah bermata menyala itu terlepas dan melesat ke udara. Menukik tajam dan bertambah manjadi ribuan buah sebelum akhirnya menghantam bumi tepat dua tombak di hadapan Jenar. “Apa yang kau lakukan, Arya? Dia bisa mati!” jerit Rara Anjani. Ia tak menyangka akan begini jadinya, padahal ia hanya ingin melihat sepasang kekasih ini terpisah. “Diam! Jika bukan karena kau, Jenar tak akan meninggalkanku!” Di kejauhan Aswabrama meringkik sambil mengangkat kaki depannya. Jenar berusaha sekuat tenaga mengendalikan kuda besar itu agar tak terkena api yang menyala-nyala. Gadis itu membelokkan langkah Aswabrama ke kanan, ke arah deretan rumah-rumah penduduk yang menjadi arang. “Kau keras kepala, Jenar!” Sekali lagi Arya menghunuskan anak panah logam ke arah Jenar. Sama seperti tadi, anak panah itu mengganda dan membara menghantam bumi. Kobaran api membentu
Selendang andalan Rara Anjani yang mulanya melilit pinggang rampingnya, kini sudah menjadi senjata. Dari jaraknya yang lebih dari lima tombak, perempuan itu mampu menyerang Jenar. Ia mampu mengendalikan sehelai selendang sutera itu hingga bergerak sesuai dengan keinginannya. Ujung selendang itu kini siap untuk menghantam kekasih Arya Nandika itu. Jenar segera berkelit. Ia merebahkan tubuhnya di punggung Aswabrama, hingga hempasan selendang Rara Anjani berlalu hanya berjarak satu jari dari ujung hidungnya. Dan kembali bergerak kepada tuannya dengan cepat. “Aku tak boleh meremehkan perempuan ini,” lirih Jenar dalam hati. Gadis itu menanggalkan busur dan tempat anak panah di punggungnya. Matanya menyalang begitu tajam ke arah Rara Anjani. Tangan kanannya perlahan bergerak ke belakang kepala, meraih sebuah tusuk konde yang mengekang sebagian rambut hitamnya. Seketika rambut panjang sepinggang itu terurai dengan gemulai mengikuti gerakan Jenar. “Tusuk konde itu....” Arya membelalakkan m
Rara Anjani tak kuasa menghindar. Ia tak punya kesempatan untuk itu. Perempuan itu sudah pasrah bila tusuk konde yang bergerak dan dikendalikan dari jarak jauh itu menembus kepalanya. Tapi tak ada tikaman yang ia rasa, hanya hawa panas yang ia rasakan begitu kuat di wajah. “Syukurlah,” ucap Arya sembari menurunkan bahunya. Energinya sebentar lagi berada di batas terendah. Ia pun luruh ke tanah bertumpu pada lututnya. Napasnya terengah-engah. Bibirnya meringis menahan sakit manakala anak panah yang menembus dadanya tercabut dengan sendirinya. “Jenar, apa yang kau lakukan?” seru Ki Bayanaka yang datang menyusul Sanggageni. “Ayahanda tanyakan saja pada kemenakanku itu dan perempuan simpanannya!” ketus Jenar. Tusuk konde emas sudah kembali di genggamannya. Sekaligus mengakhiri Suji Pati. “Simpanan? Oh, jadi ada cinta segitiga di sini?” tanya Sanggageni menyarungkan kembali pedang yang tadi menghalangi Tusukan Kematian ke kepala Rara Anjani. “Ayahanda, ini hanya salah paham!” Arya perl
Segala kedekatan Arya dan Rara Anjani hanya bisa ditatap Jenar dari kejauhan. Arya dan dirinya sudah menentukan pilihan. Jenar memutuskan untuk menjalani takdir yang mengalir dalam darahnya. Sedang Arya memilih Rara Anjani dan hidup bebas tak terikat dengan Astagina. Sebuah kenyataan sulit bagi banyak pihak. Gadis itu memacu kuda milik Rara Anjani dengan kecepatan sedang. Sama dengan kecepatan kuda yang ditunggangi Ki Bayanaka dan Sanggageni. Kedua pria itu berada di belakangnya. Mengawal calon raja Astagina yang baru saja memutuskan hal besar dalam hidupnya. “Ayahanda, Paman, ayo lah, aku belum menjadi Raja. Berlaku lah seperti aku apa adanya, seorang anak yang membutuhkan banyak bimbingan!” protes Jenar kepada dua pria di belakangnya. “Kau bisa memanggilku Kakanda, Jenar,” ucap Sanggageni. Jenar menepuk keningnya sendiri. Ia sama sekali belum terbiasa dengan posisi barunya. Sanggageni tersenyum dan saling tatap dengan Ki Bayanaka. Lalu meminta kakak seperguruannya itu untuk menja
“Hormat, Gusti Dewi Rara Anjani! Kami ditugaskan oleh Gusti Prabu untuk menjemput Gusti Dewi!” ucap seorang prajurit dengan napas terengah-engah, berlutut di belakang Rara Anjani. Ia menyebut Adipati Kertajaya sebagai Gusti Prabu. Sesuatu yang memang tak pernah berubah di internal Astakencana. Perempuan yang tengah mengemas barang-barang di pelana Aswabrama itu terkejut. Ia tak menyangka utusan ayahandanya akan menemukannya di Girijajar. Beruntung Arya tengah berada di sungai, ia khawatir pemuda itu tak lagi akan mengantarkan pulang ke Astakencana. “Kami? Dimana prajurit lainnya? Kau hanya sendiri?” tanya Rara Anjani menyembunyikan keterkejutannya. “Prajurit lainnya berjaga di sekitar tempat ini, bersembunyi,” jawab prajurit itu. Ia masih saja menundukkan wajahnya. “Pergi lah! Segera kembali ke Astakencana. Aku akan segera kembali bersama Ksatria Cundhamani!” titah Rara Anjani dengan seuntai senyum merekah di bibirnya. “Sendika, Gusti Dewi!” Tak ada dan tak boleh ada pertanyaan m
“Apa yang terjadi, Braja?” Ki Bayanaka baru saja berhasil menyusul adik seperguruannya itu menghambur ke rombongan prajurit yang membawa Jenar. “Seluruh prajurit ini tewas dan Jenar tak ada di keretanya!” ujar Sanggageni keheranan. Padahal jaraknya sampai dengan di tempat itu dengan suara yang cukup besar tak lama. Namun seseorang sudah berhasil menghabisi belasan prajurit tingkat menengah dan membawa pergi Jenar. “Tidak ada petunjuk apa pun di sini, pelakunya pasti berilmu tinggi!” seru Ki Bayanaka setelah memeriksa sekitar dan tak menemukan benda asing apa pun. “Apa ini ulah Candikapura lagi? Tapi aku yakin Pendekar Kembar itu sudah tewas. Apakah ada orang yang menguasi keahlian serupa mereka berdua?” Sanggageni mengurut dagunya. Rasanya tak mungkin prajurit-prajurit ini tewas dengan sekali serangan namun sama sekali tak meninggalkan bekas apa pun. Ki Bayanaka memeriksa seluruh tempat itu. Ia merasa tak mungkin serangan secepat dan sedahsyat itu tak menimbulkan bekas. Bahkan ia t
Sanggageni menghibaskan pedang dengan bilah membaranya ke belukar yang sudah dikonformasi oleh Ki Bayanaka. Sebuah jilatan api muncul dan membentur tabir tak terlihat dan menghancurkannya. Suara dentuman cukup keras disertai kepulan asap putih membuat hal yang diprediksi Sanggageni itu hancur tak bersisa. Seorang pria berpenutup wajah dengan caping hitam di kepala tampak melingkarkan lengannya di leher Jenar. Sebuah belati terhunus di tangan lainnya siap untuk menikam pewaris tahta Astagina itu. Seorang perempuan berpakaian hitam berada di atas pohon dengan sebuah kendi labu kecil menggantung di pinggangnya. “Sanggageni dan Bayanaka. Sudah lama aku mendengar nama kalian. Tak kusangka di masa tua, kalian justru menjadi cecunguk Astagina!” ucap pria bercaping itu dengan suaranya yang berat. Sanggageni tak menjawab. Ia masih terus menganalisa sembari menunggu ruh Ki Bayanaka kembali ke raganya. Lelaki bercaping sudah pasti pencipta tabir tak terlihat itu. Karena perempuan di atas pohon
“Hei, Arimbi, apa yang akan kau lakukan? Membunuh Kakanda Sanggageni?” tanya Wangsa dengan masih terus mengunuskan belati ke leher Jenar. “Apa kau ingin mencegahku?” hardik Arimbi. Perempuan itu menunda serangannya meski kini di sela-sela jarinya sudah ada benda semacam jarum yang begitu tipis. “Sejak kapan mereka punya kekuatan sebahaya ini?” gumam Sanggageni dalam hati. Ia masih terus berusaha mendeteksi keberadaan ruh Ki Bayanaka dan Toma. Dari ketiga saudara itu hanya Toma yang belum ia ketahui wujud dan kemampuannya. “Maju lah jika kau ingin membunuhnya! Aku masih ingin bersama gadis ini. Baunya harum, tak seperti kau!” ucap Wangsa dengan polosnya. Lelaki itu mundur dan tampak menghisap aroma rambut Jenar beberapa kali. Hal yang tentu membuat gadis itu merasa terganggu bahkan merasa dilecehkan. Sanggageni menatap mata menyalang Arimbi. Sungguh perempuan ini telah tumbuh menjadi seorang pendekar sakti. Siapa sangka racun mematikan itu berasal dari serangannya. Namun yang paling