Home / Fantasi / Cundhamani (Panah Api) / 119. Takdir dan Kenyataan

Share

119. Takdir dan Kenyataan

Author: A.R. Ubaidillah
last update Last Updated: 2024-10-29 19:42:56
“Ampun Gusti, hamba hanya diminta untuk menjemput Gusti,” ucap prajurit itu begitu santun. Belum ada sebelumnya seorang prajurit bertindak demikian pada Jenar.

“Baik lah, aku akan datang bersama Ayahandaku. Sampaikan pada para pembesar di sana,” ujar Jenar mencoba untuk tetap tenang. Meski ia sama sekali tak terbiasa memberikan titah.

“Sendika, Gusti! Hamba mohon pamit.” Prajurit itu mengatupkan telapak tangan di kening lalu tetap dalam posisi bersimpuhnya menuruni anak tangga. Ia baru berdiri tegak saat tungkainya sudah menapak di tanah.

Rara Anjani berusaha sekuat tenaga untuk bangkit. Ia harus tahu siapa sebenarnya Jenar. Gadis yang mengaku putri dari pelatih prajurit ini sepertinya menyimpan banyak hal tentang jati diri. Kalau memang benar Jenar berkedudukan tinggi, seharusnya ia lah yang menyebutnya Gusti. Bukan sebaliknya.

“Jenar, siapa sebenarnya kau ini?” lirih Rara Anjani sembari menahan sakit di sendi-sendinya.

“Aku putri Ki Bayanaka, Gusti....”

“Berhenti memanggilku Gu
Locked Chapter
Continue to read this book on the APP

Related chapters

  • Cundhamani (Panah Api)   120. Bibi dan Kemenakan

    “Ayahanda?” seru Jenar dan Arya bersamaan namun mengacu pada orang yang berbeda. Ki - Bayanaka, Sanggageni dan Legawa muncul di tengah-tengah mereka setelah terpaan angin. “Jenar! Kemari! Lepaskan pelukanmu!” titah Ki Bayanaka. Jenar terperanjat. Tak pernah ia lihat Ayahandanya berlaku sedemikian tegas padanya. Berdasar pada kenyataan dan takdirnya yang baru, ia memang memiliki hubungan kekerabatan dengan Arya. Bibi dan kemenakan, Jenar pikir tak masalah pada awalnya. Apa lagi ibunda Arya menikah dengan orang biasa. Namun hal ini tidak berlaku di kalangan istana. Mereka haram untuk saling mencintai. “Ki, apa yang terjadi? Ayahanda, bisa jelaskan padaku apa ini maksudnya?” Tentu saja Arya protes. Terakhir kali mereka berdua berada dalam satu waktu bersama, ayahanda masing-masing tidak mempermasalahkannya. Ki Bayanaka dan Sanggageni saling pandang. Jika saja Jenar tidak menjadi pewaris tahta, maka tak ada masalah dengan hubungan mereka berdua. Kedua pria itu sama-sama tak kuasa untuk

  • Cundhamani (Panah Api)   121. Pertemuan

    “Kau tahu sendiri bagaimana kesaktian mereka, bukan? Bahkan Braja kini memiliki ilmu serupa Cundhamani milik putranya itu!” ujar Ki Wungkung begitu kesal. “Jadi, Ksatria Cundhamani itu anaknya Braja dari Rakajiwa?” tanya Prabu Warasena begitu terheran. Bagaimana seorang Ksatria yang diyakini akan mengembalikan tatanan keseimbangan dunia persilatan keturunan dari orang yang berulang kali mengalahkannya dahulu. “Aku pun baru mengetahuinya tadi. Kau segera cari pendekar sakti untuk merebut kembali Ksatria Cundhamani!” titah Ki Wungkung. “Tapi, Guru....” “Apa tidak ada orang sakti di Candikapura yang luas ini? Hah?” hardik Ki Wungkung tak ingin muridnya itu berdalih terlalu jauh. “Tapi satu-satunya orang yang mampu menandingi orang-orang Rakajiwa itu hanya dirimu, Guru.” Prabu Warasena menunjuk gurunya dengan ibu jari. Mengambil hati orang tua ini begitu dibutuhkan demi terus mengukuhkan pengaruhnya di Candikapura dan daerah-daerah sekelilingnya. “Diam kau! Ini masalah serius! Aku ta

  • Cundhamani (Panah Api)   122. Ampuni Kami

    “Tak mengapa, Gusti. Hamba hanya tak menyangka Ibunda Jenar berasal dari sana,” kilah Ki Bayanaka. Pria tua itu berpikir dalam diamnya. Berarti pada masa pemerintahan Prabu Wirajaya, Candikapura yang dahulu bernama Candrapurwa sudah ditaklukkan oleh Astagina. Namun mungkin sesuai dengan model pemerintahannya, penaklukannya lebih ke arah kerjasama politik. Dan Kudeta Ranajaya bisa jadi memicu kudeta di Candrapurwa pula. “Bisakah aku menziarahi pusara orang tuaku, Paman Tumenggung?” tanya Jenar. “Tentu saja, Gusti!” jawab Tumenggung Ramatungga tegas. Sedang kedua matanya melirik dua orang Penasihat yang dari tatap matanya tak menyukai ide Jenar untuk ziarah ke Dirgagiri. Namun tentu mereka tak berani menolak keinginan calon ratu ini, dari pada Astagina harus kembali dikuasai orang dzalim. “Mari, antarkan aku ke Dirgagiri!” “Sendika, Gusti. Tapi Gusti, hamba mohon maaf tak bisa membawa Ki Bayanaka. Sedang hamba pun juga tak bisa mengantar Gusti untuk masuk ke Dirgagiri. Tempat itu te

  • Cundhamani (Panah Api)   123. Penawaran Bagus

    “Apa yang kau lakukan, Tama?” tanya Suta dengan mata yang menyalang. Selain mencampuri pertarungannya, Tama juga malah bersimpuh pada gadis yang mengaku anak mendiang Raja ini. “Suta, berlutut!” teriak Tama. Namun Suta justru berjalan cepat menghampiri rekannya itu dan memaksanya berdiri. “Apa kau sudah gila?” “Kau yang gila! Lihat lah perisai yang aku lemparkan tadi!” seru Tama sambil menunjuk perisai besi yang tergeletak di tanah. Suta mengernyitkan kening dan mendapati ada benda yang menancap di sana. Namun benda itu segera menghilang dan berpindah tempat di genggaman Jenar. “I-tu ... Suji Pati?” Tama menganga dan terbelalak bersamaan. Ia tak menyangka akan menyaksikan ilmu legendaris yang telah lama hilang itu. “Tunggu apa lagi? Cepat berlutut!” lirih Tama tak sabar. Lelaki itu segera memukul belakang lutut rekannya hingga Suta terpaksa berlutut. “Ampuni kami, Gusti. Kami tak tahu siapa Gusti. Mohon sebutkan hukuman untuk kami.” Suta memohon sembari mengatupkan telapak tangan

  • Cundhamani (Panah Api)   124. Menuju Desa Girijajar

    “Hendak kemana kau, Arya?” tanya Sanggageni pada putranya yang tengah menyandang buntalan kain di bahu kanannya, sedang ini masih begitu pagi. “Aku ingin menunjungi Ibunda. Apa Ayahanda mau ikut?” ucap Arya sembari berjalan menuruni anak tangga rumah Ki Bayanaka. Sudah ada Aswabrama menunggunya di bawah. Kuda itu seolah tahu bahwa tuannya akan bepergian. “Maksudmu ke Girijajar?” Arya mengangguk pelan. Tentu saja ia berharap ayahandanya tidak akan ikut. Sudah hampir sepanjang hari kemarin ia berdebat dengan pria bergiwang itu untuk hidup biasa saja di Girijajar. Namun ayahandanya tetap bersikeras agar Arya mendampingi Jenar memimpin Astagina dan tetap menjadi Patih. Setengah hati Arya tentu masih ingin menyandang gelar Patih kerajaan sebesar Astagina. Namun apa bila hal itu menyebabkan ia tak bisa bersama dengan Jenar sebagai sepasang kekasih, tentu ia akan berpikir berkali-kali. Pun ditambah bila nantinya Jenar menikah dengan seorang lain. Pukulan telak untuknya. “Kau akan kembali

  • Cundhamani (Panah Api)   125. Pengganggu

    “Bukan kah itu Rara Anjani?” seru Arya ketika menyaksikan seorang perempuan mengendarai kuda mendahului mereka. “Bagaimana kau bisa tahu? Bahkan kau tak melihat wajahnya?” tanya Jenar. Belum juga menikmati kebersamaan di atas kuda, ia sudah mendapati hal yang mengganggu. “Ah, tidak. Aku hanya mengenal pakaiannya saja!” ucap Arya sambil terus memacu Aswabrama. Jenar mencebik, entah mengapa perempuan mantan selir Prabu Ranajaya itu tak ikut ditempatkan di pinggiran wilayah Astagina seperti keluarga mendiang Raja Astagina lainnya. Perempuan yang kemarin mengatakan Jenar biasa-biasa saja itu justru tampak begitu bebas berkendara tanpa beban. “Rara!” panggil Arya. Perempuan itu menoleh sekaligus memperlambat laju kudanya. Sesuatu yang amat disesali Jenar. Semoga saja ini hanya sebentar dan momentum berdua saja bersama Arya akan belanjut lagi nanti. “Kalian? Apa kalian melarikan diri?” tanya Rara Anjani dengan wajah penuh keheranan. “Kau masih saja asal bicara! Kau sendiri hendak keman

  • Cundhamani (Panah Api)   126. Berubah Pikiran

    Arya bersimpuh di samping makam Gantari. Ada banyak hal yang ingin ia ceritakan pada ibundanya itu. Mulai dari keterlibatannya pada perang melawan ayahandanya sendiri, tewasnya Pranawa Sakti dan Prabu Ranajaya, sampai kisah cintanya pada gadis yang ternyata bibinya sendiri. Begitu berbeda dengan Jenar yang tak tahu harus berbuat apa bersimpuh di sisi Arya. “Ibu, awalnya aku akan membawa Jenar untuk aku kenalkan sebagai calon istriku. Tapi Ranajaya dan Patih bedebahnya itu lebih dulu membunuhmu. Sampai aku diperdaya untuk melawan Ayahanda,” lirih Arya dengan mata berkabut. Jenar mengusap punggung kekasihnya. Ia berharap sentuhan kecil itu mampu menguatkan Arya dan meyakinkan pemuda itu bahwa ia turut merasakan kesedihan dan akan selalu di sampingnya. Meski sudah seharian Jenar sama sekali terkunci bibirnya untuk tersenyum buah kehadiran Rara Anjani. Perempuan itu seolah selalu berusaha mendapatkan perhatian Arya. “Ini Jenar, Ibu.” Arya merangkul pundak Jenar dan mendekatkan pada tubu

  • Cundhamani (Panah Api)   127. Gadis Pencemburu

    Arya meraih busur Agnitama dan memasangkan anak panah logam padanya. Gerakannya begitu cepat hingga Rara Anjani tak sempat untuk mencegah anak panah bermata menyala itu terlepas dan melesat ke udara. Menukik tajam dan bertambah manjadi ribuan buah sebelum akhirnya menghantam bumi tepat dua tombak di hadapan Jenar. “Apa yang kau lakukan, Arya? Dia bisa mati!” jerit Rara Anjani. Ia tak menyangka akan begini jadinya, padahal ia hanya ingin melihat sepasang kekasih ini terpisah. “Diam! Jika bukan karena kau, Jenar tak akan meninggalkanku!” Di kejauhan Aswabrama meringkik sambil mengangkat kaki depannya. Jenar berusaha sekuat tenaga mengendalikan kuda besar itu agar tak terkena api yang menyala-nyala. Gadis itu membelokkan langkah Aswabrama ke kanan, ke arah deretan rumah-rumah penduduk yang menjadi arang. “Kau keras kepala, Jenar!” Sekali lagi Arya menghunuskan anak panah logam ke arah Jenar. Sama seperti tadi, anak panah itu mengganda dan membara menghantam bumi. Kobaran api membentu

Latest chapter

  • Cundhamani (Panah Api)   228 Penerus

    “Bukan kah prajurit udaramu tadi sudah memeriksa semua kapal ini, Braja?” tanya Ki Bayanaka. “Ya, sepertinya kapal satu ini luput dari pemeriksaan. Atau....” Seorang pria bertubuh kurus dan berkulit cerah tertawa di atas kapal yang separuhnya sudah terbakar. Ia merasa jumawa melihat dua pria tua, seorang perempuan dan seorang pemuda yang sudah tidak berdaya. Dengan senjata berkekuatan besar, ia merasa di atas angin. “Siapa sebenarnya mereka?” tanya Jenar sembari mengernyitkan kening. Belum juga terjawab, bentuk kapal, senjata dan panji asing itu. “Entah lah, Jenar. Tapi orang ini pasti lemah. Merasa kuat karena memiliki senjata yang mampu melontarkan bola-bola api itu,” ucap Ki Bayanaka begitu yakin. “Bagaimana Ayahanda bisa begitu yakin?” tanya Jenar. “Coba lah kau perhatikan gelagatnya. Orang dengan kemampuan tinggi tak mungkin bertingkah seperti itu. Bukan begitu, Braja?” ucap Ki Bayanaka melemparkan kalimat kepada Sanggageni. “Hmm, jadi siapa yang akan memberinya pelajaran?”

  • Cundhamani (Panah Api)   227. Terkurung

    Tak ada yang bisa dilakukan Jenar setelah sampai di pantai selatan kerajaannya. Pagar api setinggi pagar Astagina itu menghalangi apa pun dan siapa pun. Tak mungkin melaluinya dengan selamat. Perempuan itu tampak mulai meneteskan air mata. Bagaimana mungkin suaminya berbuat sedemikian rupa. Hatinya berkecamuk, sungguh ia tak ingin kehilangan Arya secepat ini.“Arya, dasar bodoh! Apa yang kau lakukan?” umpat Jenar dengan kedua tangan mengepal. Ia merasa begitu hina sebagai raja tak mengetahui patih sekaligus suaminya di dalam sana berjuang seorang diri.Raja Astagina itu mulai terisak. Rasa panas mendera wajahnya dari jarak lima tombak ini. Keningnya mengernyit keras. Ia merasa harus berbuat sesuatu. Berdiam diri tak akan berdampak apa pun. Berada di istananya jauh lebih baik.“Pasukan udara milik Kakanda Sanggageni, dimana mereka?” tiba-tiba Jenar teringat akan sepuluh orang prajurit yang direkrut oleh Sanggageni demi mewujudkan idenya memiliki serangan udara.“Gunakan ini!” Danapati

  • Cundhamani (Panah Api)   226. Kepercayaan

    Arya melepaskan sekali lagi Sasra Sayaka-Cundhamani dengan sisa amarahnya. Anak panah logam hitam berlumur darahnya sendiri melesat ke arah ribuan prajurit yang mulai terkikis keberaniannya. Serupa dengan tenaga dan kesadaran Arya. Pemuda itu menjatuhkan busur Agnitama pada mulanya. Disusul dengan tubuh lemah dan compang-campingnya.Arya mendengus berusaha melihat apa yang terjadi dengan serangannya itu. Tubuh-tubuh musuh yang tercerai berai. Terburai anggota tubuhnya. Terbakar api Cundhamani hingga meronta-ronta, berguling di tanah dan masuk ke dalam air laut. Semua berusaha menyelamatkan dirinya sendiri.“Sisanya aku serahkan padamu, Raden Danapati!” gumam Arya sembari mengubah posisi kepalanya. Menoleh kepada Aswabrama dan memastikan kembali bahwa Danapati benar-benar pergi.Binatang dan tuan itu saling pandang. Tak ada kata dari mereka yang dimengerti. Namun tatapan bola mata itu sudah menjelaskan semuanya. Berjuang bersama-sama. Melewati bahaya, nyaris kehilangan nyawa, dan kini

  • Cundhamani (Panah Api)   225. Mati Di Samping Aswabrama

    “Tapi bagaimana caranya, Braja? Kau lihat sendiri api Cundhamani menghalangi kita?” pungkas Ki Bayanaka. Pria tua itu memang peragu yang luar biasa. Itu sebab dahulu ia menjadi pelatih prajurit alih-alih bergabung bersama Baka Nirdaya memerangi kedzaliman.“Pantai selatan memang sudah menjadi lautan api. Tapi tidak dengan langitnya!” timpal Sanggageni. “Pengawal! Kau pengawal raja, bukan?” tanyanya.Seorang pengawal raja yang sejak tadi bertugas melindungi dua penasihat itu maju selangkah dengan penuh penghormatan. Ia berkata lantang, “Benar, Tuan! Mohon katakan titah Tuan!”“Cari pasukan udaraku! Bawa secepatnya mereka ke sini!” titah Sanggageni lantang. Pria itu berdiri tegak menatap lautan api dengan memegangi lengan kanannya. Tak ada artinya hidup dengan sebelah tangan namun tak mampu menyelamatkan putranya sendiri.“Sendika, Tuan!”Ki Bayanaka bangkit berdiri di sisi Sanggageni. Tak ada yang menyangka Astagina akan berada di ujung tanduk seperti ini. Pria itu menyentuh pundak adi

  • Cundhamani (Panah Api)   224. Asa Ksatria Cundhamani

    Pantai selatan Astagina kini tak ubahnya seperti gerbang api. Tak ada tempat untuk melarikan diri. Bagi bala tentara asing itu, juga bagi Arya. Suara desis api Cundhamani bertemu air laut mengepulkan asap putih buah dari air yang menguap. Arya melepaskan Sasra Sayaka-Cundhamani sekali lagi. Kali ini ke arah deretan kapal-kapal perang yang sebagian telah terbakar.“Kau yakin hal ini, Gusti?” tanya Danapati manakala sudah mengenakan jubah pemberian Arya.“Apa kau meragukanku, Raden?” tanya Arya kembali. Pemuda itu menoleh dan tersenyum. Memperlihatkan deretan giginya yang memerah karena darah. Tak ada yang tahu bahwa Patih Astagina itu sudah melampaui batas ketahanan tubuhnya sendiri.“Gusti, kau....”Tak sempat Danapati berkata lebih banyak, Arya terlanjut menyentak tali kekang Aswabrama. Ia songsong ratusan pasukan berkuda musuh sendirian. Atau hanya berdua saja dengan kudanya. Arya menghunuskan anak panah logamnya. Kali ini dengan posisi tubuh setengah berdiri. Danapati terhenyak, ya

  • Cundhamani (Panah Api)   223. Menebus Dosa

    “Arya? Bagaimana dengan Ayahandamu?” tanya Jenar tak menyangka suaminya akan hadir dan menyela percakapannya dengan Danapati dan pengawal.Arya tak menjawab, menggerakkan sedikit kepalanya memberi isyarat pada Jenar agar melihat sendiri kondisi ayahandanya. Pemuda itu sudah siap dengan busur Agnitama dan puluhan anak panah logam di tempatnya menggantung di punggung.Dari jarak puluhan depa itu Jenar masih mampu melihat Sanggageni dan ayahandanya tengah duduk bersila. Ki Bayanaka masih mengobati kakak ipar sekaligus mertuanya itu dengan tenaga dalam. Sedang Sanggageni sudah mampu duduk sendiri. Ia jauh lebih baik meski lengan kanannya tak akan kembali lagi.“Pergi lah ... Istriku! Tunggu aku kembali membawa kemenangan!” lirih Arya di telinga Jenar sembari melewati tubuh perempuan cantik itu.Jenar terpekur, setelah pertengkaran mereka berdua karena Rara Anjani di desa Girijajar tempo hari, baru kali ini ia melihat tekad di mata Arya. Tekad yang sama saat Arya pamit untuk pergi ke medan

  • Cundhamani (Panah Api)   222. Amarah Jenar

    Panji-panji dengan aksara asing itu berkibar-kibar tinggi. Pasukan berkuda dengan penutup kepala logam dengan beringas membunuh apa pun yang menghadang. Darah Jenar mendidih menyaksikan para prajurit yang baru saja direkut menjadi korban tanpa sempat mempertahankan nyawa. Perempuan itu menghentakkan tungkainya di permukaan batu besar sekaligus menandai radius serangannya.“Beraninya kalian mengobrak-abrik Astagina! Hanya ada satu ganjaran ... Mati!” seru Jenar mengumbar amarah.Kilatan-kilatan terlihat bergerak begitu cepat tanpa bisa diikuti oleh mata. Denting penutup kepala logam dan tusuk konde emas mendahului robohnya pasukan berkuda itu satu demi satu. Tak ada yang paham bahwa perempuan yang menari di atas batu itu lah dalangnya.Pasukan berkuda musuh saling pandang. Menarik tali kekang kuda hingga kuda-kuda perkasa itu meringkik begitu kuat. Mereka mengedarkan pandangan ke sekitar selatan pesisir pantai Astagina. Selama itu pula mereka seolah tinggal menunggu kematian.Danapati

  • Cundhamani (Panah Api)   221. Titah Jenar

    Arya mendarat dengan keras tepat di belakang para prajurit yang melingkar melindungi rajanya. Ia sibak bahu-bahu penuh ketegangan itu demi sampai di tempat ayahandanya diobati. Penjelasan dari pengawal raja tadi belum mampu membuatnya mengerti bagaimana kondisi Sanggageni sebenarnya.Namun seluruh tubuh Arya terasa tak bertulang manakala menyaksikan kondisi ayahandanya yang memprihatinkan. Ia luruh jatuh bersimpuh di tanah tepat di samping Ki Bayanaka, berhadapan dengan Jenar. Pemuda itu tak percaya hal mengerikan seperti ini terjadi pada ayahandanya.“Kau datang juga,” lirih Ki Bayanaka.“A-apa yang terjadi....”“Braja tak akan seperti ini andai saja kalian bisa bersikap bijak dan tak menuruti hawa nafsu!” tegas Ki Bayanaka sekali lagi.“Maksudmu....”“Kakanda Sanggageni terkena bola api itu, Arya! Dan sekarang pasukan berkuda mereka sedang menuju kemari!” ujar Jenar setengah menyeru. Ia tahu bahwa ini pula kesalahannya. Namun diamnya suaminya tentu bukan tindakan yang tepat dilakuka

  • Cundhamani (Panah Api)   220. Menyelamatkan Sanggageni

    Jenar menitikkan air mata. Kata-kata ayahandanya memang begitu menusuk hati. Namun melihat kondisi Sanggageni lah hal yang membuatnya begitu sakit. Ia terlalu lama memadu kasih dengan Arya hingga membuat ayahanda Arya dalam kondisi mengenaskan.“Bertahan lah, Braja! Dasar bedebah!” hardik Ki Bayanaka terus mengerahkan segala kemampuannya untuk menyelamatkan nyawa Sanggageni. Sejauh ini tak ada reaksi apa pun dari pria bergiwang itu.“Kakanda Danapati, bisa kah kau cari keberadaan Arya? Aku merasa dia memiliki hal di luar dari kemampuanku dan Ayahandaku untuk menyelamatkan Kakanda Sanggageni,” pinta Jenar sambil terus terisak.Danapati tak menjawab. Ia segera bangkit dan hendak meninggalkan mereka bertiga manakala empat orang pengawal raja datang. Mereka segera bersimpuh tak berani lebih tinggi dari rajanya.“Tak perlu, Danapati! Biar mereka saja yang mencari Arya. Kau tetap di sini lindungi kami dari apa pun yang menyerang!” titah Ki Bayanaka. Danapati tak berani bereaksi. Ia melihat

DMCA.com Protection Status