“Arya!” “Ayahanda?” lirih Arya seraya memaksa untuk membuka matanya. “Apa yang terjadi? Kakanda!” seru Sanggageni setelah dilanda panik melihat kondisi putranya. Ki Bayanaka mengerti maksud Sanggageni. Pria itu segera memeriksa kondisi Arya dan Rara Anjani. Tanpa berkata apa pun, Ki Bayanaka segera memberikan pemindahan energi ke tubuh Arya. Telapak tangannya yang hangat segera memendarkan aura merah ke dada pemuda itu. “Aku kira kalian burung pemakan bangkai,” lirih Arya lagi. Kali ini ucapnya lebih jelas karena sudah mendapatkan sedikit energi dari Ki Bayanaka. Sanggageni mengusap matanya yang mengembun. Memang benar ia tadi mengusir tiga ekor burung pemakan bangkai yang sudah mengintai mereka berdua. Entah bagaimana jadinya bila ia datang terlambat sekejap saja. Mungkin Arya dan Rara Anjani sudah menjadi mangsa. “Bagaimana dengan Rara Anjani? Dia sudah tak bergerak lagi, bukan?” “Diam lah, Arya!” potong Ki Bayanaka. “Aku butuh konsentrasi, dia akan aku obati setelah kau! Lagi
Hembusan angin menandai perginya Legawa bersama Arya dan Rara Anjani. Sanggageni dan Ki Bayanaka berdiri dengan gagahnya menyandang pedang dan toya andalan. Mereka yakin batu besar itu tak akan mampu membunuh Pendekar Kembar dari Utara itu. Setiap suara angin yang terdengar seolah menghalangi pendengaran pada runtuhan batu kecil, tanda dari dua orang terbangun. “Menurutmu apa kita bisa memenangi pertarungan ini lagi, Braja?” bisik Ki Bayanaka. “Kau itu hanya menua, Kakanda. Kemampuanmu tak banyak berubah!” balas Sanggageni. Ia maju selangkah setelah melihat batu sebesar kepalan tangan runtuh dan masuk ke dalam jurang. “Ayolah, Braja. Kau selalu membesarkan hatiku. Padahal di pertarungan kau yang selalu mengambil banyak peran dan melindungiku.” “Sudah, nanti saja berdebatnya, Kakanda!” seru Sanggageni. Benar saja, mendadak terdengar retakan pada batu sebesar kereta kuda itu. Batu itu terbelah bersamaan dengan munculnya dua lesatan hitam ke atas dan turun menghantam bumi. Getarannya
Arya dan Rara Anjani terbaring lemah di beranda rumah Ki Bayanaka. Arya sudah tampak lebih baik. Wajahnya sudah tidak pucat lagi. Sedang perempuan di sebelahnya justru sudah dapat menggerakkan beberapa bagian tubuhnya. Hembusan angin yang kuat menerpa jendela kamar Jenar hingga tertutup dengan keras. Gadis itu mendekat dan membuka daun jendelanya. Tak ada tanda akan adanya angin besar. Kemungkinan ini akibat kedatangan atau kepergian Legawa. Mata Jenar segera tertuju pada sepasang tubuh yang tergeletak di beranda rumahnya. “Apa itu Arya? Lalu siapa perempuan itu?” lirihnya sejenak. Tungkainya segera bergerak cepat untuk memeriksa siapa kedua orang itu dan bagaimana kondisinya. Jenar sampai di beranda saat Rara Anjani membuka matanya. Sekilas ia menatap selir mendiang raja itu namun segera teralihkan pada kekasihnya. Kalau saja kondisi Arya lebih baik, ia akan menanyakan langsung pada perempuan itu. “Siapa kau? Dimana aku? Apakah Arya baik-baik saja? Dia tidak mati, bukan?” cecar Ra
“Ampun Gusti, hamba hanya diminta untuk menjemput Gusti,” ucap prajurit itu begitu santun. Belum ada sebelumnya seorang prajurit bertindak demikian pada Jenar. “Baik lah, aku akan datang bersama Ayahandaku. Sampaikan pada para pembesar di sana,” ujar Jenar mencoba untuk tetap tenang. Meski ia sama sekali tak terbiasa memberikan titah. “Sendika, Gusti! Hamba mohon pamit.” Prajurit itu mengatupkan telapak tangan di kening lalu tetap dalam posisi bersimpuhnya menuruni anak tangga. Ia baru berdiri tegak saat tungkainya sudah menapak di tanah. Rara Anjani berusaha sekuat tenaga untuk bangkit. Ia harus tahu siapa sebenarnya Jenar. Gadis yang mengaku putri dari pelatih prajurit ini sepertinya menyimpan banyak hal tentang jati diri. Kalau memang benar Jenar berkedudukan tinggi, seharusnya ia lah yang menyebutnya Gusti. Bukan sebaliknya. “Jenar, siapa sebenarnya kau ini?” lirih Rara Anjani sembari menahan sakit di sendi-sendinya. “Aku putri Ki Bayanaka, Gusti....” “Berhenti memanggilku Gu
“Ayahanda?” seru Jenar dan Arya bersamaan namun mengacu pada orang yang berbeda. Ki - Bayanaka, Sanggageni dan Legawa muncul di tengah-tengah mereka setelah terpaan angin. “Jenar! Kemari! Lepaskan pelukanmu!” titah Ki Bayanaka. Jenar terperanjat. Tak pernah ia lihat Ayahandanya berlaku sedemikian tegas padanya. Berdasar pada kenyataan dan takdirnya yang baru, ia memang memiliki hubungan kekerabatan dengan Arya. Bibi dan kemenakan, Jenar pikir tak masalah pada awalnya. Apa lagi ibunda Arya menikah dengan orang biasa. Namun hal ini tidak berlaku di kalangan istana. Mereka haram untuk saling mencintai. “Ki, apa yang terjadi? Ayahanda, bisa jelaskan padaku apa ini maksudnya?” Tentu saja Arya protes. Terakhir kali mereka berdua berada dalam satu waktu bersama, ayahanda masing-masing tidak mempermasalahkannya. Ki Bayanaka dan Sanggageni saling pandang. Jika saja Jenar tidak menjadi pewaris tahta, maka tak ada masalah dengan hubungan mereka berdua. Kedua pria itu sama-sama tak kuasa untuk
“Kau tahu sendiri bagaimana kesaktian mereka, bukan? Bahkan Braja kini memiliki ilmu serupa Cundhamani milik putranya itu!” ujar Ki Wungkung begitu kesal. “Jadi, Ksatria Cundhamani itu anaknya Braja dari Rakajiwa?” tanya Prabu Warasena begitu terheran. Bagaimana seorang Ksatria yang diyakini akan mengembalikan tatanan keseimbangan dunia persilatan keturunan dari orang yang berulang kali mengalahkannya dahulu. “Aku pun baru mengetahuinya tadi. Kau segera cari pendekar sakti untuk merebut kembali Ksatria Cundhamani!” titah Ki Wungkung. “Tapi, Guru....” “Apa tidak ada orang sakti di Candikapura yang luas ini? Hah?” hardik Ki Wungkung tak ingin muridnya itu berdalih terlalu jauh. “Tapi satu-satunya orang yang mampu menandingi orang-orang Rakajiwa itu hanya dirimu, Guru.” Prabu Warasena menunjuk gurunya dengan ibu jari. Mengambil hati orang tua ini begitu dibutuhkan demi terus mengukuhkan pengaruhnya di Candikapura dan daerah-daerah sekelilingnya. “Diam kau! Ini masalah serius! Aku ta
“Tak mengapa, Gusti. Hamba hanya tak menyangka Ibunda Jenar berasal dari sana,” kilah Ki Bayanaka. Pria tua itu berpikir dalam diamnya. Berarti pada masa pemerintahan Prabu Wirajaya, Candikapura yang dahulu bernama Candrapurwa sudah ditaklukkan oleh Astagina. Namun mungkin sesuai dengan model pemerintahannya, penaklukannya lebih ke arah kerjasama politik. Dan Kudeta Ranajaya bisa jadi memicu kudeta di Candrapurwa pula. “Bisakah aku menziarahi pusara orang tuaku, Paman Tumenggung?” tanya Jenar. “Tentu saja, Gusti!” jawab Tumenggung Ramatungga tegas. Sedang kedua matanya melirik dua orang Penasihat yang dari tatap matanya tak menyukai ide Jenar untuk ziarah ke Dirgagiri. Namun tentu mereka tak berani menolak keinginan calon ratu ini, dari pada Astagina harus kembali dikuasai orang dzalim. “Mari, antarkan aku ke Dirgagiri!” “Sendika, Gusti. Tapi Gusti, hamba mohon maaf tak bisa membawa Ki Bayanaka. Sedang hamba pun juga tak bisa mengantar Gusti untuk masuk ke Dirgagiri. Tempat itu te
“Apa yang kau lakukan, Tama?” tanya Suta dengan mata yang menyalang. Selain mencampuri pertarungannya, Tama juga malah bersimpuh pada gadis yang mengaku anak mendiang Raja ini. “Suta, berlutut!” teriak Tama. Namun Suta justru berjalan cepat menghampiri rekannya itu dan memaksanya berdiri. “Apa kau sudah gila?” “Kau yang gila! Lihat lah perisai yang aku lemparkan tadi!” seru Tama sambil menunjuk perisai besi yang tergeletak di tanah. Suta mengernyitkan kening dan mendapati ada benda yang menancap di sana. Namun benda itu segera menghilang dan berpindah tempat di genggaman Jenar. “I-tu ... Suji Pati?” Tama menganga dan terbelalak bersamaan. Ia tak menyangka akan menyaksikan ilmu legendaris yang telah lama hilang itu. “Tunggu apa lagi? Cepat berlutut!” lirih Tama tak sabar. Lelaki itu segera memukul belakang lutut rekannya hingga Suta terpaksa berlutut. “Ampuni kami, Gusti. Kami tak tahu siapa Gusti. Mohon sebutkan hukuman untuk kami.” Suta memohon sembari mengatupkan telapak tangan