“Benar, Gusti. Pada saat terjadi kudeta itu, seorang abdi datang kepada hamba sambil menggendong bayi perempuan. Dia hamba rawat hingga sekarang. Apa yang terjadi, Gusti?” tanya Ki Bayanaka. Ia merasa ada hal janggal yang akan menimpa Jenar. “Kudeta apa yang kau maksud, Ki Bayanaka?” cerca seorang Punggawa berpangkat menengah. Pria itu bertolak pinggang dengan pongahnya. Ia lupa bahwa pria tua di hadapan mereka adalah saksi hidup pergantian kekuasaan yang dipaksakan itu. “Birawa! Bersikap lah santun terhadap orang yang lebih tua darimu!” hardik Tumenggung Ramatungga. Pria seusia Ki Bayanaka itu bahkan belum kembali ke wilayahnya sejak pengangkatan Arya karena mengunjungi keluarganya di Astagina. “Mengapa aku harus bersikap santun pada pria tua yang berkhianat ini, Kakanda Tumenggung?” teriak Birawa masih penuh dengan kesombongan. Tumenggung Ramatungga menghela napasnya. Memang benar kata pendahulu. Sesuatu yang salah bila dilakukan oleh orang banyak secara terus-menerus akan beruba
“Apa yang terjadi, Arya? Mengapa kau tak kuasa melawan mereka berdua?” tanya Rara Anjani setelah mendapati Arya tersungkur tak jauh dari kakinya. Padahal dua pria berjubah hitam itu hanya bersenjatakan pedang kayu. “Aku pun tak tahu, Rara. Yang aku tahu kayu Sarayu bukan lah kayu biasa,” ucap Arya seraya bangkit memegangi dadanya. “Lalu apa rencanamu?” Rara Anjani mulai memasang kuda-kuda. Selendang sudah ia lilitkan beberapa kali hingga cukup kuat serupa tongkat. Paling tidak mampu menangkis serangan sebuah pedang kayu. “Aku akan menyibukkan mereka sekali lagi. Kau cari lah celah di tempat ini. Tak mungkin sebuah tempat tak memiliki pintu keluar,” ujar Arya dan mengambil posisi Rara Anjani untuk bersiap menyerang kembali. “Belum juga menyerah, Tuan?” Pria sebelah kanan meletakkan pedang kayu di pundaknya. Sebuah bahasa tubuh yang lagi-lagi begitu meremehkan musuhnya. “Sepertinya aku harus merebut pedang itu,” batin Arya. “Sudah aku bilang, tanpa busurmu dan logam, kau hanya rema
Jenar menatap wajah ayahandanya tak percaya. Pria tua yang selalu menceritakan bagaimana rupa seorang ibu itu kini menunduk lesu. Gadis itu berusaha mencari sorot mata teduh penuh ketenagan itu dari ayahandanya. Namun yang ia dapati adalah bola mata cembung yang meneteskan air mata. “Apa yang Ayahanda katakan? Bayi perempuan itu aku, bukan?” Jenar mengguncangkan bahu Ki Bayanaka yang masih tertunduk lesu. Pria tua itu mengurai air mata dan menghirup cairan dalam rongga hidungnya. Ia berkata, “Ya, dan aku tak tahu siapa orang tuamu....” Ki Bayanaka menghela napas berat. “Sampai hari ini.” “Dan aku tak peduli siapa orang tuaku sesungguhnya! Cukup lah Ayahanda sebagai orang tuaku!” pekik Jenar. Gadis itu bangkit dan berusaha untuk masuk ke dalam rumah. Namun Ki Bayanaka mencegah dengan menggenggam pergelangan tangan putrinya. “Jenar, dengarkan Ayah,” lirih Ki Bayanaka. “Ayahanda ingin mengembalikan aku pada orang tua kandungku, bukan? Apa maksudnya ini, Ayahanda? Aku anak yang tak di
Arya sudah tak kuasa lagi menggerakkan kedua kakinya. Energinya sudah begitu banyak terkuras. Sedang Rara Anjani pun tak jauh berbeda. Tanpa luka dalam, perempuan itu sudah begitu kesulitan mengatur napasnya. Mereka berdua berada di sebuah lembah dengan tepian curam di sebelah kiri. “Tidak, Rara ... Aku tak kuat,” lirih Arya dengan napas tersengal. Dadanya naik turun dengan cepat. Pemuda itu bersandar pada dinding batu cadas yang teraliri air dari atas. Sesekali ia teguk air itu setelah ia kumpulkan di telapak tangan. “Terserah kau, sejak kejadian tadi malam pun sebenarnya aku sudah pasrah,” ucap perempuan itu seraya duduk di sisi Arya yang terkulai. “Aku tak peduli bila pun kali ini kita akan tertangkap dan mati.” Arya memejamkan kedua matanya. Tak seperti luka luar yang segera sembuh, luka dalamnya harus segera diobati. Hal yang sama saat ia terkena tendangan Patih Waradhana tempo hari. Namun untuk mencapai Astagina dan meminta pertolongan pada Ki Bayanaka, ia rasa adalah suatu ha
“Arya!” “Ayahanda?” lirih Arya seraya memaksa untuk membuka matanya. “Apa yang terjadi? Kakanda!” seru Sanggageni setelah dilanda panik melihat kondisi putranya. Ki Bayanaka mengerti maksud Sanggageni. Pria itu segera memeriksa kondisi Arya dan Rara Anjani. Tanpa berkata apa pun, Ki Bayanaka segera memberikan pemindahan energi ke tubuh Arya. Telapak tangannya yang hangat segera memendarkan aura merah ke dada pemuda itu. “Aku kira kalian burung pemakan bangkai,” lirih Arya lagi. Kali ini ucapnya lebih jelas karena sudah mendapatkan sedikit energi dari Ki Bayanaka. Sanggageni mengusap matanya yang mengembun. Memang benar ia tadi mengusir tiga ekor burung pemakan bangkai yang sudah mengintai mereka berdua. Entah bagaimana jadinya bila ia datang terlambat sekejap saja. Mungkin Arya dan Rara Anjani sudah menjadi mangsa. “Bagaimana dengan Rara Anjani? Dia sudah tak bergerak lagi, bukan?” “Diam lah, Arya!” potong Ki Bayanaka. “Aku butuh konsentrasi, dia akan aku obati setelah kau! Lagi
Hembusan angin menandai perginya Legawa bersama Arya dan Rara Anjani. Sanggageni dan Ki Bayanaka berdiri dengan gagahnya menyandang pedang dan toya andalan. Mereka yakin batu besar itu tak akan mampu membunuh Pendekar Kembar dari Utara itu. Setiap suara angin yang terdengar seolah menghalangi pendengaran pada runtuhan batu kecil, tanda dari dua orang terbangun. “Menurutmu apa kita bisa memenangi pertarungan ini lagi, Braja?” bisik Ki Bayanaka. “Kau itu hanya menua, Kakanda. Kemampuanmu tak banyak berubah!” balas Sanggageni. Ia maju selangkah setelah melihat batu sebesar kepalan tangan runtuh dan masuk ke dalam jurang. “Ayolah, Braja. Kau selalu membesarkan hatiku. Padahal di pertarungan kau yang selalu mengambil banyak peran dan melindungiku.” “Sudah, nanti saja berdebatnya, Kakanda!” seru Sanggageni. Benar saja, mendadak terdengar retakan pada batu sebesar kereta kuda itu. Batu itu terbelah bersamaan dengan munculnya dua lesatan hitam ke atas dan turun menghantam bumi. Getarannya
Arya dan Rara Anjani terbaring lemah di beranda rumah Ki Bayanaka. Arya sudah tampak lebih baik. Wajahnya sudah tidak pucat lagi. Sedang perempuan di sebelahnya justru sudah dapat menggerakkan beberapa bagian tubuhnya. Hembusan angin yang kuat menerpa jendela kamar Jenar hingga tertutup dengan keras. Gadis itu mendekat dan membuka daun jendelanya. Tak ada tanda akan adanya angin besar. Kemungkinan ini akibat kedatangan atau kepergian Legawa. Mata Jenar segera tertuju pada sepasang tubuh yang tergeletak di beranda rumahnya. “Apa itu Arya? Lalu siapa perempuan itu?” lirihnya sejenak. Tungkainya segera bergerak cepat untuk memeriksa siapa kedua orang itu dan bagaimana kondisinya. Jenar sampai di beranda saat Rara Anjani membuka matanya. Sekilas ia menatap selir mendiang raja itu namun segera teralihkan pada kekasihnya. Kalau saja kondisi Arya lebih baik, ia akan menanyakan langsung pada perempuan itu. “Siapa kau? Dimana aku? Apakah Arya baik-baik saja? Dia tidak mati, bukan?” cecar Ra
“Ampun Gusti, hamba hanya diminta untuk menjemput Gusti,” ucap prajurit itu begitu santun. Belum ada sebelumnya seorang prajurit bertindak demikian pada Jenar. “Baik lah, aku akan datang bersama Ayahandaku. Sampaikan pada para pembesar di sana,” ujar Jenar mencoba untuk tetap tenang. Meski ia sama sekali tak terbiasa memberikan titah. “Sendika, Gusti! Hamba mohon pamit.” Prajurit itu mengatupkan telapak tangan di kening lalu tetap dalam posisi bersimpuhnya menuruni anak tangga. Ia baru berdiri tegak saat tungkainya sudah menapak di tanah. Rara Anjani berusaha sekuat tenaga untuk bangkit. Ia harus tahu siapa sebenarnya Jenar. Gadis yang mengaku putri dari pelatih prajurit ini sepertinya menyimpan banyak hal tentang jati diri. Kalau memang benar Jenar berkedudukan tinggi, seharusnya ia lah yang menyebutnya Gusti. Bukan sebaliknya. “Jenar, siapa sebenarnya kau ini?” lirih Rara Anjani sembari menahan sakit di sendi-sendinya. “Aku putri Ki Bayanaka, Gusti....” “Berhenti memanggilku Gu