Laura yang mendengar suara Gavin segera melangkahkan tubuhnya pelan menuju tempat di mana Gavin berada. Laura melihat Gavin berdiri di depan pintu. Laura menghampiri Gavin. Laura berdiri di depan Gavin dan mengulurkan laporan yang diminta Gavin.
Laura mendongakkan kepalanya saat merasa ada jemari yang menyentuh dagunya. Laura terkesiap. Saat kesadaran Laura datang, Laura segera memberontak. Dia dapat merasakan bau alkohol dari mulut Gavin. Laura tahu dirinya sekarang berada dalam bahaya. Gavin segera mendekatkan wajahnya. Laura menggelengkan kepalanya. Otaknya tahu apa yang akan terjadi. Dan tebakannya benar.
Gavin menciummya.
***
Laura memberontak. Ciuman itu akhirnya terlepas. Air mata Laura mengalir. Ciuman pertamanya telah hilang. Laura menggosok kasar bibirnya. Seolah hendak menghilangkan bekas Gavin di bibirnya.
Laura hendak berlari, namun Gavin lebih gesit. Gavin menarik Laura dan membenturkannya ke dinding. Gavin meletakkan tangannya di samping kepala Laura. Tubuh Gavin menghimpit Laura. Gavin menunduk hendak mencium Laura. Laura memalingkan kepalanya. Alhasil, bibir Gavin mendarat di pipi Laura.
"Kak sadar, Kak." Pinta Kaura
Gavin menggeram, tangan kirinya digunakannya untuk mencengkram rahang Laura. Gavin membenturkan bibirnya ke bibir Laura. Laura merasakan rasa asin yang Laura duga darah dari bibirnya yang sobek.
"Kak, cukup." Laura memukul-mukul dada Gavin sekuat yang dia bisa. Air mata Laura mengalir tanpa henti. Gavin masih tak menghiraukannya.
"Berhenti, Kak. Aku mohon." Ujar Laura saat Gavin melepaskan ciumannya.
Laura menyesal telah meninggalkan ponselnya di ruang tamu tadi.
Tangan Laura semakin brutal memukul Gavin saat bibir Gavin menelusuri rahang hingga lehernya. Gavin yang kesal dengan tangan nakal Laura menangkup kedua tangannya dan dia lingkarkan pada tubuhnya. Tangan kirinya menahan kedua tangan Laura di belakang punggung Laura. Posisi itu semakin membuat mereka menempel.
Laura meliukkan tubuhnya menghindari bibir Gavin. Tangan kananya ia gunakan untuk membuka kancing baju Laura. Tubuh Laura semakin memberontak. Air matanya mengalir.
"Kak, cukup." Ucap Laura disela isakannya. "Tolong lepasin aku." Mohon Laura. "Kakak mau apa? Tolong lepasin, Kak."
Gavin menatap Laura dengan mata tak fokusnya. Tangan kiri Gavin melepaskan kedua tangan Laura yang tadi ditahannya di balik punggung tegapnya. Kedua tangannya kini fokus melepas kancing depan Laura. Tangan Laura yang terbebas berusaha menggagalkan usahanya.
Laura menggeleng. Laura benar-benar dalam bahaya. Dia panik. Tak bisa berpikir apapun. Otaknya kosong. Dia ingin melarikan diri, tapi tidak tahu caranya. Otaknya tidak bisa diajak bekerja sama.
Kini semua kancing blouse Laura sudah terlepas. Tangan Gavin kembali ke bahu Laura. Gavin hendak memisahkan blouse itu dari tubuh Laura.
Plakkk
Laura melebarkan matanya. Matanya menatap tangan kanannya dan pipi Gavin yang memerah secara bergantian. Tangan kiri Gavin terangkat. Dia menyentuh pipinya yang sedikit perih. Gavin tersenyum, bukan senyum manis. Tapi senyum evil yang benar-benar menakutkan.
"Maaf,” cicit Laura.
"Mau main kasar?" Tanya Gavin dengan smirk evil yang masih melekat di bibirnya.
Mendengar hal itu Laura langsung menggeleng. Dia benar-benar takut dengan Gavin sekarang. Dia lebih suka melihat Gavin yang dingin dan kaku daripada Gavin dengan senyum evil seperti ini.
"Maaf... Tolong lepasin aku, Kak." Ucap Laura.
"Gue bakal lepasin lo." Ucap Gavin. Laura menatap Gavin dengan lega. "Setelah kita main." Ucapan Gavin membuat otak Laura terpaksa bekerja cepat.
Laura menginjak kaki Gavin dan lari menuju ruang tamu. Dia segera mengambil ponsel dan menghubungi seseorang. Dia menekan nama teratas di history callnya dan segera keluar.
Selangkah sebelum Laura mencapai pintu, Gavin mencekal tangan Laura dan kembali menghimpit Laura di pintu. Tangan kiri Gavin merebut ponsel Laura dan melihat layar ponsel tersebut. Mata Gavin berkilat marah begitu melihat nama Bagas terpampang di layar tersebut. Sebelum panggilan diangkat, Gavin membanting ponsel Laura hingga pecah.
"Jangan bikin gue marah, Laura!" Bentakan Gavin membuat Laura menciut.
"Lepasin aku, Kak! Aku punya salah apa?" Ucap Laura dengan berani. Namun, begitu melihat mata Gavin yang berkilat karena marah dan gairah, nyali Laura kembali menciut.
"Nggak akan. Lo tanya salah lo? Salah lo disukai Bagas." Ucap Gavin sebelum menyeret Laura menuju kamarnya. Laura memberontak dan meronta. Gavin yang sudah habis kesabaran segera memanggul Laura di pundak seperti membopong karung beras. Laura memukuli punggung Gavin. Walaupun Gavin berjalan dengan sedikit sempoyongan, tapi dia masih bisa menahan Laura.
Gavin membanting Laura ke kasur dan dengan cepat dia mengunci pintu kamarnya dan membuangnya sembarangan. Gavin mendekati Laura yang telah telentang dengan blouse yang tak terkancing dan nafas yang terengah. Laura segera beranjak dari kasur dan menghindari Gavin sejauhnya. Namun tetap saja ruang untuk Laura menjauhi Gavin sangat terbatas.
Gavin yang kesal sebab sejak tadi mengitari kamar untuk menangkap Laura, mendengus dan melompati kasur untuk menangkap Laura. Dia segera mambanting Laura begitu Laura tertangkap olehnya. Dia menindihi tubuh Laura. Laura masih saja meronta, walau sebenarnya dia telah lelah. Air matanya bahkan sudah tak lagi menetes.
"Aku gak bakal ngelaporin kakak ke polisi dan akan lupain kejadian ini kalo kakak lepasin aku sekarang." Ucap Laura sambil terengah karena bibir Gavin yang kembali bersarang di lehernya.
Gavin mengangkat kepalanya menatap Laura. "Laporin!" Tantang Gavin. "Yang penting gue udah nikmatin lo."
Laura menggeleng. "Jangan, Kak." Laura memukul-mukul tangan Gavin yang sedang menelusuri tubuhnya.
"Aku bakal laporin kakak ke polisi." Teriak Laura.
"Laporin." Ucap Gavin. "Gue bakal buat lo nanggung malu seumur hidup dan dikucilkan semua orang. Bahkan gue nggak yakin ada cowok yang mau sama lo. Begitu gue di penjara. Cuma tiga-empat tahun setelah itu gue bebas. Tapi lo? Cewek murah dan bekas akan selalu nempel di balik punggung lo." Ucap Gavin serius. "Selamanya." Desis Gavin tepat di depan telinga Gavin.
Tangis Laura semakin mengencang. Gavin benar. Semua yang diucapkan oleh Gavin benar. Gavin memang dipenjara. Namun setelah itu bebas. Sedangkan Laura. Orang akan memandang Laura sebagai wanita penggoda dan murahan. Victim blamming yang ada di Indonesia menjadikan wanita yang seharusnya menjadi korban, malah disalahkan. Mereka selalu menyalahkan wanita korban pemerkosaan karena dianggap mereka yang menggoda terlebih dahulu. Padahal tidak sedikit yang memang benar-benar korban. Seperti Laura saat ini. Apa bisa Laura disebut penggoda, padahal dia mengenakan blus panjang serta jeans panjang?
"Lakuin apa yang pengen Kak Gavin lakuin. Tapi bunuh aku, Kak setelah itu." Lirih Laura. Buat apalagi dia hidup kalau dirinya saja sudah hancur?
"Bukan itu tujuan gue. Kalo lo mati, gue rugi." Bisik Gavin di telinga Laura.
Tuhan, apa salah yang sudah kuperbuat? Batin Laura mendesah, meratapi nasibnya yang malang. Tolong aku, Tuhan.
Laura terkesiap merasakan benda asing yang memasuki alat vitalnya. Sejak kapan celananya sudah terlepas? Laura menggeleng, sekuat mungkin dia menahan suara menjijikkan yang hendak keluar dari mulutnya.
"Kak, berhenti." Ucap Laura dengan nada terputus. Wajah Laura sudah dipenuhi air mata. Laura terlalu lelah. Alhasil pemberontakannya semakin melemah. Laura kini benar-benar pasrah.
Di otaknya saat ini ada mama dan papanya yang menatapnya kecewa. Hatinya sangat hancur. Bagaimana jika orang tuanya tahu? Laura bisa membayangkan betapa kecewanya mereka saat mengetahui anaknya sudah hancur.
Di bawah sana Gavin tersenyum puas. Laura yang tak lagi memberontak memudahkan aksinya. Laura memalingkan kepalanya, dia tak ingin melihat apa yang akan dilakukan Gavin.
"Argh!" Teriak Laura yang terdengar kesakitan dan pilu menggema. Tangisan Laura kembali terdengar. Dia sudah benar-benar hancur. Dia sudah berbeda.
Dia sudah kehilangan mahkota yang selama 17 tahun ini dijaganya dengan baik. Laura sudah berbeda. Dia bukan lagi Laura yang dulu. Dia sudah kehilangan impiannya. Bayangan masa depan yang indah sudah lenyap. Bahkan mungkin, dia akan kehilangan teman, sahabat, dan keluarganya jika mereka tahu yang sebenarnya.
Selamat Kak Gavin. Batin Laura pilu. Selamat karena Kakak sudah menghancurkan hidupku.
Mata Laura memberat. Laura tak lagi mempedulikan Gavin yang sepertinya belum puas menghancurkan Laura. Laura memejamkan matanya. Dia berharap ini hanyalah mimpi. Jika ini bukan mimpi, Laura berharap saat bangun nanti sudah ada malaikat pencabut nyawa yang menantinya. Toh, dia sudah hancur, untuk apa lagi dia hidup?
"Tidur dan selamat menikmati hidupmu yang baru, Cewek Bekas." Ucap Gavin sebelum tidur di sampingnya.
Air mata Laura mengalir. Dia belum sepenuhnya tidur dan masih bisa mendengarkan ucapan tajam Gavin. Batin dan fisik Laura benar-benar sakit. Dia butuh istirahat dan akhirnya dia benar-benar tertidur. Beristirahat sejenak sebelum memulai hidup yang berbeda.
Tuhan, tolong cabut nyawaku sedetik sebelum aku terbangun dari mimpi buruk ini. Batin Laura sebelum alam mimpi menjemputnya.
Selamat Kak Gavin. Batin Laura pilu.Selamat karena Kakak sudah menghancurkan hidupku.Mata Laura memberat. Laura tak lagi mempedulikan Gavin yang sepertinya belum puas menghancurkan Laura. Laura memejamkan matanya. Dia berharap ini hanyalah mimpi. Jika ini bukan mimpi, Laura berharap saat bangun nanti sudah ada malaikat pencabut nyawa yang menantinya. Toh, dia sudah hancur, untuk apa lagi dia hidup?"Tidur dan selamat menikmati hidupmu yang baru, Cewek Bekas." Ucap Gavin sebelum tidur di sampingnya.Air mata Laura mengalir. Dia belum sepenuhnya tidur dan masih bisa mendengarkan ucapan tajam Gavin. Batin dan fisik Laura benar-benar sakit. Dia butuh istirahat dan akhirnya dia benar-benar tertidur. Beristirahat sejenak sebelum memulai hidup yang berbeda.Tuhan, tolong cabut nyawaku sedetik sebelum aku terbangun dari mimpi buruk ini. Batin Laura sebelum alam mimpi menjemputnya.***Laura menggerakkan tubuhnya yan
"Lo abis nangis?" Tanya Mella curiga. Bagas pun menatap Laura dengan tatapan curiga. "Eh, iya. Nggak. Eh." Laura kelabakan menjawabnya. Mata Mella dan Bagas semakin memincing. "Itu... Aku abis maraton. Iya maraton drakor." Ucap Laura. Mella dan Bagas hanya mengangguk mencoba percaya. "Eh mending aku ke minimarket dulu. Beli cemilan." Mereka mengangguk. Laura berjuang menormalkan cara jalannya. Sedikit sulit. Pangkal pahanya masih terasa sedikit nyeri, walau tak senyeri kemarin. Laura bernafas lega begitu sudah keluar dari gerbang sederhana. Dengan langkah pelan dia berjalan menuju minimarket yang ada di ujung gangnya. Setelah membeli beberapa cemilan, Laura keluar dari mini market. Tubuh Laura menegang. Wajah Laura berubah pias. Air mata sudah memupuk di kelopak matanya. "Hai." *** "Hai,” ucap Gavin dengan tangan yang dimasukkan ke dalam sakunya. Laura menunduk dan menjauhi Gavin. Dengan langk
"Lo kek nyembunyiin sesuatu. Keknya lo banyak pikiran deh. Nggak mau share?" Mella masih memfokuskan dirinya dengan cemilan dan laptop. Laura meremas tangannya. Ucapan Mella membuat Laura kembali mengingat hari itu.Aku dilecehin, Mell. Aku dilecehin sama orang yang kamu kagumi. Ingin sekali Laura meneriakkan kalimat itu. Tapi Laura takut jika dia bilang ke Mella, akan ada orang lagi yang mengetahuinya. "Nggak ada, Mell.” "Ra,” ucap Mella, dia sudah memfokuskan dirinya pada Laura. "Gue sahabat lo. Lo bisasharemasalah lo ke gue. Gue gak bakal ninggalin lo. Gimanapun keadaan lo. Gue bakal bantuin lo.That's best friend for.” Laura menitikkan air matanya. Andai dia bisa mengungkapkan semuanya. Tapi Laura terlalu takut. Dia takut Mella menjauhinya. "Aku terharu,” Laura menghapus matanya dengan berlebihan. Mella memukul lengan atas Laura sebal. "But thanksMell. Aku bakal cerita apapu
"Anaknya papa cowok ganteng?" Tanya Dara.Bagas mengacak rambut adiknya gemas. "Masih kecil udah mikirin cowok ganteng. Ini kakak juga ganteng.”Dara menyingkirkan tangan Bagas kesal. "Aku bosen liat wajah kakak.” Dengusnya."Eh, nama anak papa siapa?"***Langit sudah gelap, Laura masih setia menatap langit kamarnya. Dia memikirkan tingkah Gavin yang aneh. Otak Laura kembali mengulang kejadian sore tadi."Mau buktiin gue bukan gay?" desis GavinLaura menggeleng, matanya kembali mengembun dan siap menurunkan air mata. Laura takut Gavin akan melakukan lagi hal yang sore itu ia lakukan. Laura sungguh tak ingin dilecehkan lagi."Kenapa nangis?" ucap Gavin tepat di depan wajah Laura. Laura dapat merasakan embusan nafas Gavin di wajahnya."Maaf,” Laura semakin menekan kepalanya ke pintu. Dia ingin menjauhkan kepalanya dari Gavin. Namun ruangnya terbatas.Gavin s
"Ayo, Ra. Makan.” Bagas mempersilahkan Laura.Laura terpaksa makan. Bagas memperhatikan Laura yang sedang makan dengan gelisah. "Kenapa?" Tanya Bagas.Laura tersedak karena terkejut. Bagas segera menyodorkan minuman ke Laura. "Eh itu, ayo pulang,” Laura segera menghabiskan makanannya dan berdiri. Bagas berdiri meninggalkan makanannya yang masih dimakan separuhnya."Kenapa buru-buru?" Tanya Bagas saat mereka sudah diperjalanan."Itu…” Laura memeras otaknya. "Aku ditunggu tukang yang mau benerin kran bocor.”Bagas menatap Laura aneh. Seolah-olah Laura telah mengatakan hal yang tak mungkin. Tapi Bagas hanya memilih diam.Ponsel Laura kembali bergetar. Seolah sudah menebak siapa yang memanggilnya, Laura segera mengangkat panggilan itu. [Gue sampe.] Dan panggilan dimatikan.Tubuh Laura kembali menegang.***Entah Laura harus merasa lega atau justru ta
“Lo nggak hamil kan?” tangan Laura yang sedang mengobati lutut Gavin menjadi kaku. Laura menggeleng. “Aku udah minum pil pencegah hamil,” lirih Laura. Gavin mengangguk. “Bagus. Gue nggak mau lo hamil.” Laura memandang rumah sederhana di depannya. Di rumah sederhana dan asri ini, banyak sekali duka di dalamnya. Dia meninggalkan Gavin di dalam dan memesan ojol. Ponsel Laura berdering. Dia melihat ada pesan dari Mella. Laura mengernyitkan alisnya melihat foto yang dikirimkan Mella. Mella:Send a picture Ini keluarganya Kak Bagas. Fyi, nyokapnya baru aja nikah lagi. Laura memusatkan perhatiannya pada ayah tiri Bagas. Dia benar-benar tidak asing dengan wajahnya. Baru saja Laura hendak memikirkan wajah ayah tiri Bagas, ojol yang dipesannya sudah datang. *** Sekolah sudah memulai tahun ajaran baru. Laura dan Mella berjalan dengan wajah sumri
"Jangan mukul Kak Gavin lagi,” ucap Laura tajam dengan mata yang mengkristal.Laura berbalik dan memapah Gavin. Gavin tersenyum puas. Dia bisa melihat ketiga orang yang dibencinya hancur."Kalian jangan ganggu Kak Gavin lagi. Udah cukup kalian nyakitin Kak Gavin sama Tante Shanti,” setelah itu mereka benar-benar keluar.Sebelum melangkahkan kakinya melewati pintuprivate room, Laura menengok ke belakang. Laura dapat melihat wajah kacau Bagas. Bagas menatap Laura kecewa.Maafin aku, Kak. Bukannya aku mau membela Kak Gavin, tapi aku membela Tante Shanti.***Laura menghapus air matanya. Dia menatap ponsel yang sedari tadi berdering. Ingin sekali mengangkatnya, tapi dia ragu. Laura merasa sangat bersalah.Ponsel Laura berhenti berdering. Kini ada notifikasi pesan.Kak Bagas:Lo sama Gavin?Bisa ketemu besok?
"Gavin, Mama gimana?" Gavin mengangkat kepalanya. Dia memandang Geo tajam dengan mata merah dan basahnya. "Puas?" Geo menatap Gavin bingung dan khawatir. Gavin tak pernah menangis. Apa yang terjadi sampai Gavin menangis seperti ini. "Wanita murahan itu udah membunuh calon adikku,” desis Gavin tajam. Geo terkejut. Dia menatap Vega tak percaya. Vega menangis sesenggukan. Satu air mata Geo menetes. Dia bahkan tidak tahu kalau Shanti hamil. "A... Aku kehilangan anakku?" Geo masih tak percaya. "Pergi. Jangan pernah temui kami lagi,” desis Gavin. "Mulai saatini,kami bukan lagi bagian dari Alastair.” "Gavin...” "Pergi!" teriak Gavin. *** Sudah 3 hari sejak kejadian malam itu, Gavin sama sekali tak menghubunginya. Bukannya Laura ingin, tapi dia khawatir dengan keadaan Gavin. Ingin sekali Laura menghubungi Gavin,
Suara tepukan tangan terdengar meriah. Tangan Gavin mengelus surai lembut Laura yang tampak terharu. Di depan sana, di atas panggung, Davi berdiri dengan penuh percaya diri karena meraih predikat sebagai lulusan terbaik di taman kanak-kanak. Nama Gavin dipanggil untuk mendampingi Davi di atas panggung. “Kamu aja yang naik ke panggung.” Gavin menepukkan tangannya pada telapak tangan Laura yang menggenggam erat karena terlalu antusias.Laura menoleh. “Kak Gavin aja. Semuanya yang di atas ditemenin ayahnya.”“Aku mau videoin kamu di sini. Kamu aja yang naik.”Laura menatap Gavin dengan wajah terharu. “Terima kasih,” ujar Laura sebelum beranjak dari duduknya dan menghampiri Davi. Sebelum berdiri di belakang Davi, Laura mengecup puncak kepala Davi dan menggumamkan beberapa kata selamat sehingga wajah Davi terlihat lebih berseri.Gavin menatap dua sosok kesayangannya dari kursi wali murid. Dalam bayangannya, Gavin tidak pernah bermimpi berada di fase seperti ini. Jika boleh, Gavin ingin me
Di samping itu semua, Laura sangat terharu dengan interaksi antara Geo dan Gavin. pasangan ayah-anak tersebut beberapa kali melakukan interaksi, meskipun kecanggungan masih terasa di sana. Paling tidak, Laura tidak lagi melihat kebencian di mata Gavin saat menatap Sang Ayah. Laura menjadi saksi bagaimana beberapa hari ini Gavin mencoba berdamai dengan masa lalunya. Sejak perceraian Geo, hubungan suami dan ayah mertuanya itu sedikit membaik. Bahkan, Gavin juga menerima permintaan maaf Vega meskipun dirinya tidak ingin sama sekali berhubungan dengan mantan ibu tirinya itu.***Kembali lagi ke waktu dua hari setelah Laura keluar dari rumah sakit, Laura dan Gavin duduk berdua di depan rumah Laura. Geo, ayah Gavin, baru saja kembali dari rumah Laura sebab ada beberapa hal yang perlu beliau diskusikan bersama Arkan. Di sanalah Laura tahu bahwa antara Geo dan Vega sudah tidak ada lagi hubungan pernikahan karena secara resmi sudah bercerai.“Kak Gavin…” Laura menjeda ucapannya. Jujur saja, d
Punggung Laura yang tegang kini mulai mengendur. “Jangan hari ini ya, Kak?” pinta Laura pada Gavin.Gavin menganggukkan kepalanya. Tangannya masih belum berhenti untuk mengelus tengkuk Laura. “Hari ini aku cuma mau denger cerita tentang kamu dan Davi yang masih belum aku tau.”Malam itu, Laura dan Gavin habiskan untuk membahas banyak sekali hal. Bukan hanya Laura, Gavin juga menceritakan tentang kesehariannya selama dia bersekolah di luar negeri. Laura merasa sangat antusias mendengar cerita dari Gavin tentang masa kuliah karena dia tidak bisa merasakan masa itu dulu. Jika ditanyakan menyesal atau tidak, Laura tidak menyesal. Baginya, menjadi ibu yang baik untuk Davi sudah membuatnya sangat puas.***Laura dan Gavin menata barang-barangnya di rumah baru mereka. Laura sangat berterima kasih kepada Gavin saat lelaki itu mengatakan bahwa dirinya sudah menyiapkan rumah untuk ditinggalinya bertiga. Gavin juga sangat mempertimbangkan lokasinya untuk perkembangan Davi. Gavin memilih lokasi d
“Abis sarapan aku mau ngajak kamu buat nyiapin berkas buat akad, takutnya nanti Davi kecapean kalo ikut kita.” Laura hanya menganggukkan kepalanya paham saat menerima penjelasan Davi. Gavin membukakan pintu belakang mobil dan mempersilakan Laura masuk. Laura hanya diam menurut saat Gavin yang biasanya memilih untuk menyetir sendiri mobil saat bersamanya, hari ini menggunakan supir. Begitu mobil melaju, Gavin langsung merebahkan kepalanya ke arah Laura. Tubuhnya juga dia dekatkan hingga menempel penuh dengan Laura. “Kak Gavin jangan gini, ah. Malu.” Laura berbisik pada Gavin karena takut menyinggung supir Gavin. “Aku kangen banget,” ujar Gavin yang semakin menempelkan tubuh mereka. *** Laura dan Gavin sudah menyelesaikan beberapa berkas yang dibutuhkan untuk menikah pada empat hari mendatang. Tentu saja banyak uang yang harus Gavin keluarkan agar proses yang dibutuhkan lancar dan cepat. Atas permintaan Laura, akad akan dilakukan secara sederhana di rumahnya. Tidak serta merta menur
Vega berdiri dan mendekatkan dirinya pada Geo yang menatapnya dengan datar. “Mas, apapun keputusanmu, aku terima. Kalo kamu mau ceraiin aku juga aku terima, Mas. Asalkan kamu bisa maafin aku.”“Kamu bisa ngembaliin semuanya, nggak? Bisa bikin Shanti hidup dan maafin aku lagi? Bisa bikin Gavin nggak benci aku lagi? Bisa bikin semuanya balik normal lagi. Kalo kamu bisa, aku maafin kamu.”“Mas, aku nyesel, aku minta maaf.” Vega menggumamkannya berkali-kali dengan air mata yang tak hentinya mengalir dari kedua matanya.Geo menghembuskan nafasnya dengan berat. “Jelasin semuanya ke Gavin tanpa ada yang kamu tutupi. Setelah itu, saya akan ngajuin perceraian kita. Saya nggak bisa nikah sama orang jahat seperti kamu.” Geo mulai mengembalikan gaya bahasa seperti dulu dan Vega hanya bisa pasrah.***Dua hari berlalu dan Laura hari ini keluar dari rumah sakit. Dari tadi, Gavi sudah disibukkan dengan administrasi. Sebelumnya, Arkan sudah ingin mengurusnya, namun dengan tegas Gavin menolaknya. Bagi
Dunia Geo terasa runtuh pada saat membaca berkas dari rumah sakit yang menyatakan bahwa Vega tengah mengandung. Meskipun Geo tidak mengingat sama sekali apa yang terjadi di malam itu, dirinya tetap harus mempertanggung-jawabkannya. Geo menghembuskan nafasnya panjang, semua ini terasa berat baginya.Geo tidak sanggup jika harus mengatakannya pada Shanti dan Gavin. Dirinya belum siap, tidak akan siap jika kedua orang itu harus membencinya. Mata Geo memanas, hatinya sangat hancur saat dirinya membayangkan bagaimana reaksi Shanti dan Gavin.“Aku nggak masalah kalau kita harus nikah siri dan menyembunyikannya dari Shanti, Mas.”“Keluar.” Hanya satu kata itu yang bisa Geo ucapkan.“Mas, aku-”“Saya bilang keluar, Vega!” tegas Geo dengan nada tinggi. Vega akhirnya mengangguk sedih dan memilih untuk keluar dari ruangan Geo. Vega memberikan sedikit ruang pada Geo. Namun, hanya ada satu pilihan pada saat ini, yaitu Geo menikahinya.“Maafin aku, Shanti.”***“Ma, aku kemaren denger Mama nangis
Geo menghembuskan nafasnya berat. Lagi dan lagi, rasa bersalah karena tidak bisa menyelamatkan sahabatnya itu kembali menghantam hati Geo. Sebab dirinya, Dara dan Bagas, anak pertama Egi harus kehilangan peran ayah. “Baiklah,” ujar Geo dengan memaksakan senyumnya.“Makasih ya.” Vega memberikan senyum terbaiknya kepada Geo yang hanya dibalas anggukan singkat dari Geo.“Saya kabari Shanti dulu,” ujar Geo tanpa memberikan banyak atensi pada Vega.Geo bergerak gelisah dengan tangan memandangi layar ponselnya. Di sana, terdapat nama kontak “Soul” dan dibubuhkan emoji hati di sampingnya. Sedari tadi, kontak Shanti hanya berdering tanpa diangkat oleh empunya.Menyerah, Geo memilih untuk mengetikkan pesan pada Shanti bahwa dirinya tidak pulang untuk malam ini karena ada beberapa pekerjaan yang harus segera diselesaikannya. Untungnya, sebelum kematian Egi, Geo memang sudah sering menginap di kantor karena memang banyak pekerjaan yang hars segera diselesaikannya karena tenggat waktu yang sudah
Ciuman itu terhenti dengan Laura yang terengah-engah dan segera meraup oksigen yang ada di sekelilingnya. Berbeda dengan Laura, Gavin sama sekali terlihat biasa saja. Bahkan, tangan Gavin sekarang bergerak untuk membersihkan bibir Laura yang basah akibat saliva mereka berdua.“Faktanya emang kamu nggak nolak ciuman dari aku, Ra.”Laura menghembuskan nafasnya lelah. Berbicara dengan Gavin membuatnya tidak pernah bisa berkutik. Gavin dengan segala argumennya membuat Laura kalah. Selain itu, aura dominan yang menguar dari tubuh Gavin membuat siapa pun akan memilih diam daripada semakin kalah. “Terserah kak Gavin aja deh.”“Oh iya, Ra. Kamu kudu belajar pernafasan lagi, deh.”“Kenapa emangnya?” tanya Laura yang sedikit bingung dengan ucapan Gavin yang tiba-tiba dan sangat tak terduga itu.“Biar kita kalo ciuman bisa lebih lama.”***Vega POVAku berjalan menuju salah satu kamar di rumah sakit dengan kaki yang lemas. Setelah mendapatkan telpon dari pihak rumah sakit, serta merta hatiku dil
Tangan kiri Gavin yang sedari tadi diam dan tidak ikut mengelus rambut Laura beralih untuk mencubit pipi Laura dengan lembut. Tangan Laura terangkat untuk melindungi pipinya dari serangan Gavin. Meski begitu, Gavin masih memiliki cela untuk mencubit pipi Laura. Bahkan, sekarang Gavin beralih untuk mencubit hidung mancung Laura.“Kak Gavin, stop it,” ujar Laura dengan geli. Gavin terkekeh dan menghentikan cubitannya pada Laura.“I wanna kiss you so bad,” bisik Gavin dengan suara lirihnya. Bahkan saat ini, wajah Gavin berada tepat di atas wajah Laura. Bergerak sedikit saja, bibir Laura pasti akan menyentuh bibir milik Gavin.Wajah Laura rasanya terbakar melihat tatapan Gavin yang sangat intens padanya. Jantung Laura terasa berdebar. “Apa Kak Gavin bakal natap aku terus? Bukannya di film kalo orang ciuman bakal nutup matanya?” batin Laura menjerit. Dengan perlahan, Laura menutup matanya, mencoba untuk mengabaikan Gavin yang masih menatapnya dengan intens.Tubuh Laura semakin kaku saat me