Selamat Kak Gavin. Batin Laura pilu. Selamat karena Kakak sudah menghancurkan hidupku.
Mata Laura memberat. Laura tak lagi mempedulikan Gavin yang sepertinya belum puas menghancurkan Laura. Laura memejamkan matanya. Dia berharap ini hanyalah mimpi. Jika ini bukan mimpi, Laura berharap saat bangun nanti sudah ada malaikat pencabut nyawa yang menantinya. Toh, dia sudah hancur, untuk apa lagi dia hidup?
"Tidur dan selamat menikmati hidupmu yang baru, Cewek Bekas." Ucap Gavin sebelum tidur di sampingnya.
Air mata Laura mengalir. Dia belum sepenuhnya tidur dan masih bisa mendengarkan ucapan tajam Gavin. Batin dan fisik Laura benar-benar sakit. Dia butuh istirahat dan akhirnya dia benar-benar tertidur. Beristirahat sejenak sebelum memulai hidup yang berbeda.
Tuhan, tolong cabut nyawaku sedetik sebelum aku terbangun dari mimpi buruk ini. Batin Laura sebelum alam mimpi menjemputnya.
***
Laura menggerakkan tubuhnya yang terasa remuk. Dia merasakan pergerakan kecil di sisi yang lain ranjang. Langsung terjaga. Dia menolehkan kepalanya ke samping.
Air mata Laura menetes begitu mengingat apa yang telah terjadi padanya beberapa jam lalu. Laura memalingkan mukanya saat bertatapan dengan mata elang Gavin. Laura mencengkram erat selimut saat Gavin lewat di hadapannya dengan memegangi kepalanya.
Gavin melirik Laura tajam sebelum masuk kamar mandi. Laura menunduk, menghindari tatapan Gavin. Setelah Gavin memasuki kamar mandi, Laura kembali meneteskan air matanya.
Di dalam kamar mandi Gavin memukuli kepalanya. Merutuki kebodohannya. Bagainama bisa dia kalap seperti itu tadi. Dia merasa sangat bersalah dan menyesal. Tidak harusnya Gavin merusak Laura hanya karena dendamnya pada ibu Bagas.
Alkohol sialan. Umpat Gavin.
Setelah ini apa? Gavin tidak tahu apa yang akan dilakukannya setelah ini. Bodoh! Dia kembali memukul kepalanya.
Laura beranjak dari ranjang, memunguti pakaiannya yang sudah sedikit koyak. Dengan cepat Laura mengancingi blousenya. Laura meringis menahan perih di pangkal pahanya. Laura tidak kuat menahan perih saat memakai celana jeansnya.
Laura menarik nafas dalam-dalam. Dengan hati-hati dia memakai celananya. Laura berdiri dengan bertumpu pada nakas di samping ranjang.
Dia berjalan dengan tertatih dan bertopang pada tembok. Sekilas dia menatap ranjang. Di sana ada bercak darah. Bukti nyata dia bukan lagi wanita sempurna.
Jangan cengeng, Ra. Semuanya udah terjadi. Laura mencoba menguatkan dirinya.
Omong kosong! Kamu sekarang wanita kotor, Ra. Ingat itu. Sebagian lain dari dirinya mencemooh dirinya sendiri.
Gavin yang sudah selesai membersihkan dirinya masih setia berdiri di depan pintu kamar mandi. Tangannya bersidekap memandangi Laura yang kesusahan berjalan menuju pintu, dengan sesekali mengelap air matanya. Dia bingung harus memperlakukan Laura seperti apa.
Setelah perjuangan yang melelahkan, akhirnya Laura sampai di pintu kamar Gavin. Laura menurunkan handle pintu. Mata Laura memanas saat dia tidak bisa membuka pintu. Dengan kasar dia menaikturunkan handle pintu. Dia ingin segera keluar dari kamar laknat ini.
Laura yang lelah dan kesakitan mendudukkan tubuhnya di sofa dekat pintu kamar Gavin. Mata Laura melotot melihat Gavin mendekat ke arahnya. Laura memojokkan dirinya di sofa. Air matanya menetes kembali.
Ingin sekali Laura tidak menangis, tapi saat menatap wajah itu, hati Laura hancur. Hatinya menjadi was-was dan waspada jika ada Gavin. Dia takut Gavin akan kembali melecehkannya.
Gavin menatapnya datar. Tanpa bersalah dia duduk di ujung sofa dan tidak menghiraukan Laura yang tengah ketakutan di ujung sofa lainnya. Gavin melirik Laura yang memeluk tubuhnya sendiri. Melindungi tubuhnya dari Gavin.
"A... Aku mau pulang." Ucap Laura dengan lirih.
Gavin melirik Laura sebentar. Setelah itu mengambil ponselnya yang ada di meja depannya. Lalu matanya terfokus pada ponsel. Tak menghiraukan Laura seolah Laura memang tak ada di sampingnya.
"Tolong bukain pintunya." Ucap Laura pelan.
"Nggak." Ucap Gavin singkat tanpa mengalihkan pandangannya dari ponsel. Laura menatap Gavin tak percaya. Dia tak habis pikir dengan jalan pikiran Gavin.
"Ka... Kamu mau apa lagi?" Tanya Laura takut-takut. Gavin menatap Laura dalam dan menyimpan ponselnya di meja. Laura semakin menempelkan tubuhnya di pinggiran sofa. Menatap waspada pada Gavin.
"Bersihin diri lo." Ucap Gavin.
"Aku mau pulang." Ulang Laura.
"Bersihin diri lo. Besok gue anter pulang."
Laura menggeleng. Dia tak setuju dengan ucapan Gavin. "A... Aku mau pulang sekarang."
Gavin menghembuskan nafasnya kesal. "Oke. Lo pulang sekarang. Gue bakal minta Bagas nganter lo."
Laura menggeleng. Dia tidak mau Bagas tau keadaannya seperti ini. Dia tidak mau ada yang mengetahui bahwa dia sudah jadi wanita kotor. Cukup dia, Gavin dan Tuhan yang tahu.
"Jangan! Aku mohon lupain kejadian tadi. A... Aku gak bakal laporin Kakak ke polisi. Tapi jangan bilang siapa-siapa." Pinta Laura. "Sekarang biarin aku pergi, Kak. Aku mohon."
Gavin menyeringai, dia sudah memiliki kartu Laura. Dia akan membuat Laura menuruti keinginannya. "Pulang besok."
Bukan apa-apa, dia tidak ingin Laura melakukan hal yang nekat jika dia pulang sekarang. Gavin sama sekali tidak tahu ketakutan Laura saat ini. Jika saja Gavin tahu, dia akan mengantar pulang sekarang. Rasanya Laura ingin meninggal karena tidak kuat menahan rasa takut ini. Anggaplah Laura berlebihan, namun memang itu yang dirasakan Laura.
"Nggak, Kak. Aku mau pulang sekarang. Please, Kak." Laura menangkupkan tangannya di depan dada dan menunduk.
Gavin menatap Laura sebentar. Setelah itu mengambil ponselnya dan menghubungi seseorang. Gavin menekan tombol loadspeaker. [Halo, Vin. Ada apa?]
Mata Laura berkabut. Dia sangat hafal dengan suara itu. Laura menggeleng. Jantung Laura berdegup kencang.
Gavin menunjukkan smirk evil. "Gue denger lo lagi deket sama Laura, anak sekretaris." Ucap Gavin dengan menatap lurus Laura. Terdengar kekehan Bagas.
Dia masih menggeleng. Memohon pada Gavin untuk memutuskan panggilannya tanpa suara. Gavin menyeringai.
[Tumbenan lo ngurusin kayak gini.]
"Soalnya gue udah-" ucapan Gavin terhenti karena mulutnya dibekap Laura. Laura menggeleng dengan tatapan memohon.
Tangan Gavin terangkat, menuntun tangan Laura yang membekap mulutnya untuk menutup speaker ponselnya. "Jadi?" Tanya Gavin memastikan.
Dengan terpaksa Laura mengangguk. "Aku pulang besok." Ucap Laura lirih.
Gavin tersenyum puas. Dia membebaskan ponselnya dari tangan Laura. Mematikan loudspeaker dan mendekatkannya pada telinganya.
[Lo udah apa?] Tanya Bagas mendesak.
"Oh itu, gue udah nunggu laporan LPJnya." Ucap Gavin dengan menyeringai. Setelah basa basi sedikit Gavin mengakhiri panggilannya.
Sebetulnya Gavin benar-benar malas menghubungi Bagas. Tapi demi melancarkan misinya, dia menurunkan sedikit egonya untuk menghubungi Bagas.
"Bersihin diri lo." Gavin menatap Laura tajam. Laura menurut. Pelan-pelan dia menjalankan tubuhnya. Karena masih sakit di pangkal pahanya membuatnya harus bertumpu pada dinding. Gavin menyandarkan punggungnya di sandaran sofa. Memperhatikan Laura yang sedang kesusahan berjalan tanpa niat membantunya.
Setelah Laura memasuki kamar mandi, Gavin keluar kamar. Dengan cepat dia mengemudikan motornya ke salah satu butik terdekat. Gavin membeli beberapa baju dengan acak dan segera kembali ke rumah.
Saat sampai rumah, kamar mandi masih tertutup. Tanda bahwa Laura masih belum keluar dari kamar mandi. Gavin melirik jam di tangannya.
Udah setengah jam lebih. Batin Gavin.
***
Di dalam kamar mandi, Laura mendudukkan dirinya di bawah guyuran shower. Laura menggosok-gosokkan tubuhnya dengan sabun. Dia benar-benar ingin menghilangkan bekas Gavin di tubuhnya. Dia merasa benar-benar kotor. Walaupun dia telah menghabiskan separuh botol sabun, tetap saja Laura merasa kotor. Laura menangis di bawah shower. Lagi-lagi dia meratapi nasibnya yang menjijikkan.
Laura tersentak saat mendengar pintu kamar mandi digedor dari luar. "Laura! Keluar atau gue masuk!" Teriak orang yang sudah menjadikan dirinya wanita kotor.
***
Seharian Laura hanya dikurung di kamar. Dan seharian itu pula Laura hanya diam dan sesekali menangis meratapi nasibnya. Padahal Laura tahu dia jarang sekali menangis. Namun untuk sekarang, entah lah, air matanya seolah tak mau berhenti mengalir. Laura ingin menghubungi Mella atau siapapun, tapi ponselnya sudah rusak dibanting Gavin kemarin. Lagi pula, apa yang harus dibicarakannya pada Mella? Tidak mungkin dia mengatakan pada Mella bahwa dia sudah kotor. Dia tak ingin Mella menjauhinya.
Laura beranjak dari sofa dan menuju cermin. Dia melihat pantulan dirinya. Mengerikan. Batinnya. Mata sembab sebab terlalu banyak menangis. Bibir kering. Tubuh penuh bekas merah akibat cakarannya pada tubuhnya. Dia mengamati lehernya. Terlihat ada beberapa kissmark yang sudah samar di lehernya. Air matanya menetes lagi.
Laura ingin segera keluar dari sini. Namun setiap Gavin keluar kamar dia akan selalu menguncinya. Entah apa yang dipikirkannya. Laura masih belum bisa menebak.
Terdengar suara kunci diputar, lalu Gavin masuk kamar dan kembali mengunci pintu kamar. Gavin memberikan ponsel Laura yang sepertinya sudah diservis. Dia juga meletakkan sekotak pizza di meja. Laura berdiri kaku di pojok kamar. Dia takut Gavin melecehkannya lagi seperti kemarin.
"Makan." Titah Gavin.
Laura diam. Dia menatap Gavin dengan penuh waspada. Dia benar-benar tak ingin mendekati Gavin. Dia takut.
"Nurut atau gue ulangi kejadian kemaren?"
"Brengsek!" Umpat Laura pelan. Seumur-umur dia tak pernah mengumpat. Inilah pertama kalinya.
"I heard." Ucap Gavin dingin.
***
Semenjak Gavin mengantar Laura menuju rumahnya, Laura hanya bergelung di ranjang kasurnya. Menangis terisak dengan wajah dia benamkan ke bantal. Beruntung orang tuanya bekerja di luar kota. Dia tak perlu mengarang alasan.
Laura bahkan mematikan ponselnya. Dia tak ingin ada seorangpun yang mengganggunya. Laura hanya ingin menangisi hidupnya hingga dia tertidur dan kalau bisa tidak pernah terbangun.
Tok tok tok
Laura mengangkat kepalanya mendengar pintunya digedor paksa. "Ra, buka pintunya!" Terdengar teriakan Mella di luar. "Ra!" Pintu kembali digedor.
"Ra, buka atau gue dobrak!" Laura membelalakkan matanya. Itu suara Kak Bagas. Air mata Laura kembali menetes. Seandainya kemarin Bagas lebih cepat mengangkat panggilannya, mungkin tidak mungkin menjadi seperti ini. "Ra, gue bakal beneran dobrak pintu lo!" Ucapan Bagas membuat Laura semakin panik.
Laura memutar otaknya cepat. Dia harus mencari alasan atas mata sembabnya. Dengan cepat Laura menyalakan laptopnya. Dia memilih secara acak drama korea yang ada di sana. Jaga-jaga jika Mella memasuki kamarnya.
"Eh iya, Mell, Kak Bagas. Bentar!" Teriakku. Setelah menata laptop dan cemilan, dia membukakan pintu rumah.
"Ngapain?" Tanya Laura gugup. Dia mempersilahkan Mella dan Bagas untuk masuk.
"Lo abis nangis?" Tanya Mella curiga. Bagas pun menatap Laura dengan tatapan curiga.
"Eh, iya. Nggak. Eh." Laura kelabakan menjawabnya. Mata Mella dan Bagas semakin memincing.
"Itu... Aku abis maraton. Iya maraton drakor." Ucap Laura. Mella dan Bagas hanya mengangguk mencoba percaya. "Eh mending aku ke minimarket dulu. Beli cemilan." Mereka mengangguk. Laura berjuang menormalkan cara jalannya. Sedikit sulit. Pangkal pahanya masih terasa sedikit nyeri, walau tak senyeri kemarin.
Laura bernafas lega begitu sudah keluar dari gerbang sederhana. Dengan langkah pelan dia berjalan menuju minimarket yang ada di ujung gangnya. Setelah membeli beberapa cemilan, Laura keluar dari mini market.
Tubuh Laura menegang. Wajah Laura berubah pias. Air mata sudah memupuk di kelopak matanya.
"Hai."
"Lo abis nangis?" Tanya Mella curiga. Bagas pun menatap Laura dengan tatapan curiga. "Eh, iya. Nggak. Eh." Laura kelabakan menjawabnya. Mata Mella dan Bagas semakin memincing. "Itu... Aku abis maraton. Iya maraton drakor." Ucap Laura. Mella dan Bagas hanya mengangguk mencoba percaya. "Eh mending aku ke minimarket dulu. Beli cemilan." Mereka mengangguk. Laura berjuang menormalkan cara jalannya. Sedikit sulit. Pangkal pahanya masih terasa sedikit nyeri, walau tak senyeri kemarin. Laura bernafas lega begitu sudah keluar dari gerbang sederhana. Dengan langkah pelan dia berjalan menuju minimarket yang ada di ujung gangnya. Setelah membeli beberapa cemilan, Laura keluar dari mini market. Tubuh Laura menegang. Wajah Laura berubah pias. Air mata sudah memupuk di kelopak matanya. "Hai." *** "Hai,” ucap Gavin dengan tangan yang dimasukkan ke dalam sakunya. Laura menunduk dan menjauhi Gavin. Dengan langk
"Lo kek nyembunyiin sesuatu. Keknya lo banyak pikiran deh. Nggak mau share?" Mella masih memfokuskan dirinya dengan cemilan dan laptop. Laura meremas tangannya. Ucapan Mella membuat Laura kembali mengingat hari itu.Aku dilecehin, Mell. Aku dilecehin sama orang yang kamu kagumi. Ingin sekali Laura meneriakkan kalimat itu. Tapi Laura takut jika dia bilang ke Mella, akan ada orang lagi yang mengetahuinya. "Nggak ada, Mell.” "Ra,” ucap Mella, dia sudah memfokuskan dirinya pada Laura. "Gue sahabat lo. Lo bisasharemasalah lo ke gue. Gue gak bakal ninggalin lo. Gimanapun keadaan lo. Gue bakal bantuin lo.That's best friend for.” Laura menitikkan air matanya. Andai dia bisa mengungkapkan semuanya. Tapi Laura terlalu takut. Dia takut Mella menjauhinya. "Aku terharu,” Laura menghapus matanya dengan berlebihan. Mella memukul lengan atas Laura sebal. "But thanksMell. Aku bakal cerita apapu
"Anaknya papa cowok ganteng?" Tanya Dara.Bagas mengacak rambut adiknya gemas. "Masih kecil udah mikirin cowok ganteng. Ini kakak juga ganteng.”Dara menyingkirkan tangan Bagas kesal. "Aku bosen liat wajah kakak.” Dengusnya."Eh, nama anak papa siapa?"***Langit sudah gelap, Laura masih setia menatap langit kamarnya. Dia memikirkan tingkah Gavin yang aneh. Otak Laura kembali mengulang kejadian sore tadi."Mau buktiin gue bukan gay?" desis GavinLaura menggeleng, matanya kembali mengembun dan siap menurunkan air mata. Laura takut Gavin akan melakukan lagi hal yang sore itu ia lakukan. Laura sungguh tak ingin dilecehkan lagi."Kenapa nangis?" ucap Gavin tepat di depan wajah Laura. Laura dapat merasakan embusan nafas Gavin di wajahnya."Maaf,” Laura semakin menekan kepalanya ke pintu. Dia ingin menjauhkan kepalanya dari Gavin. Namun ruangnya terbatas.Gavin s
"Ayo, Ra. Makan.” Bagas mempersilahkan Laura.Laura terpaksa makan. Bagas memperhatikan Laura yang sedang makan dengan gelisah. "Kenapa?" Tanya Bagas.Laura tersedak karena terkejut. Bagas segera menyodorkan minuman ke Laura. "Eh itu, ayo pulang,” Laura segera menghabiskan makanannya dan berdiri. Bagas berdiri meninggalkan makanannya yang masih dimakan separuhnya."Kenapa buru-buru?" Tanya Bagas saat mereka sudah diperjalanan."Itu…” Laura memeras otaknya. "Aku ditunggu tukang yang mau benerin kran bocor.”Bagas menatap Laura aneh. Seolah-olah Laura telah mengatakan hal yang tak mungkin. Tapi Bagas hanya memilih diam.Ponsel Laura kembali bergetar. Seolah sudah menebak siapa yang memanggilnya, Laura segera mengangkat panggilan itu. [Gue sampe.] Dan panggilan dimatikan.Tubuh Laura kembali menegang.***Entah Laura harus merasa lega atau justru ta
“Lo nggak hamil kan?” tangan Laura yang sedang mengobati lutut Gavin menjadi kaku. Laura menggeleng. “Aku udah minum pil pencegah hamil,” lirih Laura. Gavin mengangguk. “Bagus. Gue nggak mau lo hamil.” Laura memandang rumah sederhana di depannya. Di rumah sederhana dan asri ini, banyak sekali duka di dalamnya. Dia meninggalkan Gavin di dalam dan memesan ojol. Ponsel Laura berdering. Dia melihat ada pesan dari Mella. Laura mengernyitkan alisnya melihat foto yang dikirimkan Mella. Mella:Send a picture Ini keluarganya Kak Bagas. Fyi, nyokapnya baru aja nikah lagi. Laura memusatkan perhatiannya pada ayah tiri Bagas. Dia benar-benar tidak asing dengan wajahnya. Baru saja Laura hendak memikirkan wajah ayah tiri Bagas, ojol yang dipesannya sudah datang. *** Sekolah sudah memulai tahun ajaran baru. Laura dan Mella berjalan dengan wajah sumri
"Jangan mukul Kak Gavin lagi,” ucap Laura tajam dengan mata yang mengkristal.Laura berbalik dan memapah Gavin. Gavin tersenyum puas. Dia bisa melihat ketiga orang yang dibencinya hancur."Kalian jangan ganggu Kak Gavin lagi. Udah cukup kalian nyakitin Kak Gavin sama Tante Shanti,” setelah itu mereka benar-benar keluar.Sebelum melangkahkan kakinya melewati pintuprivate room, Laura menengok ke belakang. Laura dapat melihat wajah kacau Bagas. Bagas menatap Laura kecewa.Maafin aku, Kak. Bukannya aku mau membela Kak Gavin, tapi aku membela Tante Shanti.***Laura menghapus air matanya. Dia menatap ponsel yang sedari tadi berdering. Ingin sekali mengangkatnya, tapi dia ragu. Laura merasa sangat bersalah.Ponsel Laura berhenti berdering. Kini ada notifikasi pesan.Kak Bagas:Lo sama Gavin?Bisa ketemu besok?
"Gavin, Mama gimana?" Gavin mengangkat kepalanya. Dia memandang Geo tajam dengan mata merah dan basahnya. "Puas?" Geo menatap Gavin bingung dan khawatir. Gavin tak pernah menangis. Apa yang terjadi sampai Gavin menangis seperti ini. "Wanita murahan itu udah membunuh calon adikku,” desis Gavin tajam. Geo terkejut. Dia menatap Vega tak percaya. Vega menangis sesenggukan. Satu air mata Geo menetes. Dia bahkan tidak tahu kalau Shanti hamil. "A... Aku kehilangan anakku?" Geo masih tak percaya. "Pergi. Jangan pernah temui kami lagi,” desis Gavin. "Mulai saatini,kami bukan lagi bagian dari Alastair.” "Gavin...” "Pergi!" teriak Gavin. *** Sudah 3 hari sejak kejadian malam itu, Gavin sama sekali tak menghubunginya. Bukannya Laura ingin, tapi dia khawatir dengan keadaan Gavin. Ingin sekali Laura menghubungi Gavin,
Gavin menggeram dan menjauhkan kepalanya dari Laura. Kepalanya sangat pusing karena meredam emosi. Dia menatap Laura tajam. Ingin sekali dia melampiaskan kemarahannya pada Laura, tapi dia tidak ingin kembali merusak Laura. Dia menghembuskan nafasnya kasar. Harusnya Laura bukan dijadikan alat untuk membalaskan dendamnya. “Pergi dan jangan muncul di depan gue lagi,” sentaknya. Laura membeku. Dia ingin meninggalkan Gavin, tapi rasa kemanusiaan seolah menahannya. Dia ingin menolong Gavin. Bagaimana mungkin dirinya meninggalkan orang yang sedang berduka? “Pergi atau gue bikin lo semakin jijik sama diri lo.” Setelah mendengar ancaman Gavin, Laura segera memaksakan dirinya untuk berlari walau tubuhnya sangat lemas ketakutan. Dia tahu, Gavin tidak akan main-main dengan ucapannya. Dia berjanji tidak akan muncul dihadapan Gavin sampai kapan pun. Cukup sampai di sini saja dia mencampuri urusan Gavin. *** "Eh Ra, sebelum pulang nanti beli pembalut
Suara tepukan tangan terdengar meriah. Tangan Gavin mengelus surai lembut Laura yang tampak terharu. Di depan sana, di atas panggung, Davi berdiri dengan penuh percaya diri karena meraih predikat sebagai lulusan terbaik di taman kanak-kanak. Nama Gavin dipanggil untuk mendampingi Davi di atas panggung. “Kamu aja yang naik ke panggung.” Gavin menepukkan tangannya pada telapak tangan Laura yang menggenggam erat karena terlalu antusias.Laura menoleh. “Kak Gavin aja. Semuanya yang di atas ditemenin ayahnya.”“Aku mau videoin kamu di sini. Kamu aja yang naik.”Laura menatap Gavin dengan wajah terharu. “Terima kasih,” ujar Laura sebelum beranjak dari duduknya dan menghampiri Davi. Sebelum berdiri di belakang Davi, Laura mengecup puncak kepala Davi dan menggumamkan beberapa kata selamat sehingga wajah Davi terlihat lebih berseri.Gavin menatap dua sosok kesayangannya dari kursi wali murid. Dalam bayangannya, Gavin tidak pernah bermimpi berada di fase seperti ini. Jika boleh, Gavin ingin me
Di samping itu semua, Laura sangat terharu dengan interaksi antara Geo dan Gavin. pasangan ayah-anak tersebut beberapa kali melakukan interaksi, meskipun kecanggungan masih terasa di sana. Paling tidak, Laura tidak lagi melihat kebencian di mata Gavin saat menatap Sang Ayah. Laura menjadi saksi bagaimana beberapa hari ini Gavin mencoba berdamai dengan masa lalunya. Sejak perceraian Geo, hubungan suami dan ayah mertuanya itu sedikit membaik. Bahkan, Gavin juga menerima permintaan maaf Vega meskipun dirinya tidak ingin sama sekali berhubungan dengan mantan ibu tirinya itu.***Kembali lagi ke waktu dua hari setelah Laura keluar dari rumah sakit, Laura dan Gavin duduk berdua di depan rumah Laura. Geo, ayah Gavin, baru saja kembali dari rumah Laura sebab ada beberapa hal yang perlu beliau diskusikan bersama Arkan. Di sanalah Laura tahu bahwa antara Geo dan Vega sudah tidak ada lagi hubungan pernikahan karena secara resmi sudah bercerai.“Kak Gavin…” Laura menjeda ucapannya. Jujur saja, d
Punggung Laura yang tegang kini mulai mengendur. “Jangan hari ini ya, Kak?” pinta Laura pada Gavin.Gavin menganggukkan kepalanya. Tangannya masih belum berhenti untuk mengelus tengkuk Laura. “Hari ini aku cuma mau denger cerita tentang kamu dan Davi yang masih belum aku tau.”Malam itu, Laura dan Gavin habiskan untuk membahas banyak sekali hal. Bukan hanya Laura, Gavin juga menceritakan tentang kesehariannya selama dia bersekolah di luar negeri. Laura merasa sangat antusias mendengar cerita dari Gavin tentang masa kuliah karena dia tidak bisa merasakan masa itu dulu. Jika ditanyakan menyesal atau tidak, Laura tidak menyesal. Baginya, menjadi ibu yang baik untuk Davi sudah membuatnya sangat puas.***Laura dan Gavin menata barang-barangnya di rumah baru mereka. Laura sangat berterima kasih kepada Gavin saat lelaki itu mengatakan bahwa dirinya sudah menyiapkan rumah untuk ditinggalinya bertiga. Gavin juga sangat mempertimbangkan lokasinya untuk perkembangan Davi. Gavin memilih lokasi d
“Abis sarapan aku mau ngajak kamu buat nyiapin berkas buat akad, takutnya nanti Davi kecapean kalo ikut kita.” Laura hanya menganggukkan kepalanya paham saat menerima penjelasan Davi. Gavin membukakan pintu belakang mobil dan mempersilakan Laura masuk. Laura hanya diam menurut saat Gavin yang biasanya memilih untuk menyetir sendiri mobil saat bersamanya, hari ini menggunakan supir. Begitu mobil melaju, Gavin langsung merebahkan kepalanya ke arah Laura. Tubuhnya juga dia dekatkan hingga menempel penuh dengan Laura. “Kak Gavin jangan gini, ah. Malu.” Laura berbisik pada Gavin karena takut menyinggung supir Gavin. “Aku kangen banget,” ujar Gavin yang semakin menempelkan tubuh mereka. *** Laura dan Gavin sudah menyelesaikan beberapa berkas yang dibutuhkan untuk menikah pada empat hari mendatang. Tentu saja banyak uang yang harus Gavin keluarkan agar proses yang dibutuhkan lancar dan cepat. Atas permintaan Laura, akad akan dilakukan secara sederhana di rumahnya. Tidak serta merta menur
Vega berdiri dan mendekatkan dirinya pada Geo yang menatapnya dengan datar. “Mas, apapun keputusanmu, aku terima. Kalo kamu mau ceraiin aku juga aku terima, Mas. Asalkan kamu bisa maafin aku.”“Kamu bisa ngembaliin semuanya, nggak? Bisa bikin Shanti hidup dan maafin aku lagi? Bisa bikin Gavin nggak benci aku lagi? Bisa bikin semuanya balik normal lagi. Kalo kamu bisa, aku maafin kamu.”“Mas, aku nyesel, aku minta maaf.” Vega menggumamkannya berkali-kali dengan air mata yang tak hentinya mengalir dari kedua matanya.Geo menghembuskan nafasnya dengan berat. “Jelasin semuanya ke Gavin tanpa ada yang kamu tutupi. Setelah itu, saya akan ngajuin perceraian kita. Saya nggak bisa nikah sama orang jahat seperti kamu.” Geo mulai mengembalikan gaya bahasa seperti dulu dan Vega hanya bisa pasrah.***Dua hari berlalu dan Laura hari ini keluar dari rumah sakit. Dari tadi, Gavi sudah disibukkan dengan administrasi. Sebelumnya, Arkan sudah ingin mengurusnya, namun dengan tegas Gavin menolaknya. Bagi
Dunia Geo terasa runtuh pada saat membaca berkas dari rumah sakit yang menyatakan bahwa Vega tengah mengandung. Meskipun Geo tidak mengingat sama sekali apa yang terjadi di malam itu, dirinya tetap harus mempertanggung-jawabkannya. Geo menghembuskan nafasnya panjang, semua ini terasa berat baginya.Geo tidak sanggup jika harus mengatakannya pada Shanti dan Gavin. Dirinya belum siap, tidak akan siap jika kedua orang itu harus membencinya. Mata Geo memanas, hatinya sangat hancur saat dirinya membayangkan bagaimana reaksi Shanti dan Gavin.“Aku nggak masalah kalau kita harus nikah siri dan menyembunyikannya dari Shanti, Mas.”“Keluar.” Hanya satu kata itu yang bisa Geo ucapkan.“Mas, aku-”“Saya bilang keluar, Vega!” tegas Geo dengan nada tinggi. Vega akhirnya mengangguk sedih dan memilih untuk keluar dari ruangan Geo. Vega memberikan sedikit ruang pada Geo. Namun, hanya ada satu pilihan pada saat ini, yaitu Geo menikahinya.“Maafin aku, Shanti.”***“Ma, aku kemaren denger Mama nangis
Geo menghembuskan nafasnya berat. Lagi dan lagi, rasa bersalah karena tidak bisa menyelamatkan sahabatnya itu kembali menghantam hati Geo. Sebab dirinya, Dara dan Bagas, anak pertama Egi harus kehilangan peran ayah. “Baiklah,” ujar Geo dengan memaksakan senyumnya.“Makasih ya.” Vega memberikan senyum terbaiknya kepada Geo yang hanya dibalas anggukan singkat dari Geo.“Saya kabari Shanti dulu,” ujar Geo tanpa memberikan banyak atensi pada Vega.Geo bergerak gelisah dengan tangan memandangi layar ponselnya. Di sana, terdapat nama kontak “Soul” dan dibubuhkan emoji hati di sampingnya. Sedari tadi, kontak Shanti hanya berdering tanpa diangkat oleh empunya.Menyerah, Geo memilih untuk mengetikkan pesan pada Shanti bahwa dirinya tidak pulang untuk malam ini karena ada beberapa pekerjaan yang harus segera diselesaikannya. Untungnya, sebelum kematian Egi, Geo memang sudah sering menginap di kantor karena memang banyak pekerjaan yang hars segera diselesaikannya karena tenggat waktu yang sudah
Ciuman itu terhenti dengan Laura yang terengah-engah dan segera meraup oksigen yang ada di sekelilingnya. Berbeda dengan Laura, Gavin sama sekali terlihat biasa saja. Bahkan, tangan Gavin sekarang bergerak untuk membersihkan bibir Laura yang basah akibat saliva mereka berdua.“Faktanya emang kamu nggak nolak ciuman dari aku, Ra.”Laura menghembuskan nafasnya lelah. Berbicara dengan Gavin membuatnya tidak pernah bisa berkutik. Gavin dengan segala argumennya membuat Laura kalah. Selain itu, aura dominan yang menguar dari tubuh Gavin membuat siapa pun akan memilih diam daripada semakin kalah. “Terserah kak Gavin aja deh.”“Oh iya, Ra. Kamu kudu belajar pernafasan lagi, deh.”“Kenapa emangnya?” tanya Laura yang sedikit bingung dengan ucapan Gavin yang tiba-tiba dan sangat tak terduga itu.“Biar kita kalo ciuman bisa lebih lama.”***Vega POVAku berjalan menuju salah satu kamar di rumah sakit dengan kaki yang lemas. Setelah mendapatkan telpon dari pihak rumah sakit, serta merta hatiku dil
Tangan kiri Gavin yang sedari tadi diam dan tidak ikut mengelus rambut Laura beralih untuk mencubit pipi Laura dengan lembut. Tangan Laura terangkat untuk melindungi pipinya dari serangan Gavin. Meski begitu, Gavin masih memiliki cela untuk mencubit pipi Laura. Bahkan, sekarang Gavin beralih untuk mencubit hidung mancung Laura.“Kak Gavin, stop it,” ujar Laura dengan geli. Gavin terkekeh dan menghentikan cubitannya pada Laura.“I wanna kiss you so bad,” bisik Gavin dengan suara lirihnya. Bahkan saat ini, wajah Gavin berada tepat di atas wajah Laura. Bergerak sedikit saja, bibir Laura pasti akan menyentuh bibir milik Gavin.Wajah Laura rasanya terbakar melihat tatapan Gavin yang sangat intens padanya. Jantung Laura terasa berdebar. “Apa Kak Gavin bakal natap aku terus? Bukannya di film kalo orang ciuman bakal nutup matanya?” batin Laura menjerit. Dengan perlahan, Laura menutup matanya, mencoba untuk mengabaikan Gavin yang masih menatapnya dengan intens.Tubuh Laura semakin kaku saat me