"Anaknya papa cowok ganteng?" Tanya Dara.
Bagas mengacak rambut adiknya gemas. "Masih kecil udah mikirin cowok ganteng. Ini kakak juga ganteng.”
Dara menyingkirkan tangan Bagas kesal. "Aku bosen liat wajah kakak.” Dengusnya.
"Eh, nama anak papa siapa?"
***
Langit sudah gelap, Laura masih setia menatap langit kamarnya. Dia memikirkan tingkah Gavin yang aneh. Otak Laura kembali mengulang kejadian sore tadi.
"Mau buktiin gue bukan gay?" desis Gavin
Laura menggeleng, matanya kembali mengembun dan siap menurunkan air mata. Laura takut Gavin akan melakukan lagi hal yang sore itu ia lakukan. Laura sungguh tak ingin dilecehkan lagi.
"Kenapa nangis?" ucap Gavin tepat di depan wajah Laura. Laura dapat merasakan embusan nafas Gavin di wajahnya.
"Maaf,” Laura semakin menekan kepalanya ke pintu. Dia ingin menjauhkan kepalanya dari Gavin. Namun ruangnya terbatas.
Gavin s
"Ayo, Ra. Makan.” Bagas mempersilahkan Laura.Laura terpaksa makan. Bagas memperhatikan Laura yang sedang makan dengan gelisah. "Kenapa?" Tanya Bagas.Laura tersedak karena terkejut. Bagas segera menyodorkan minuman ke Laura. "Eh itu, ayo pulang,” Laura segera menghabiskan makanannya dan berdiri. Bagas berdiri meninggalkan makanannya yang masih dimakan separuhnya."Kenapa buru-buru?" Tanya Bagas saat mereka sudah diperjalanan."Itu…” Laura memeras otaknya. "Aku ditunggu tukang yang mau benerin kran bocor.”Bagas menatap Laura aneh. Seolah-olah Laura telah mengatakan hal yang tak mungkin. Tapi Bagas hanya memilih diam.Ponsel Laura kembali bergetar. Seolah sudah menebak siapa yang memanggilnya, Laura segera mengangkat panggilan itu. [Gue sampe.] Dan panggilan dimatikan.Tubuh Laura kembali menegang.***Entah Laura harus merasa lega atau justru ta
“Lo nggak hamil kan?” tangan Laura yang sedang mengobati lutut Gavin menjadi kaku. Laura menggeleng. “Aku udah minum pil pencegah hamil,” lirih Laura. Gavin mengangguk. “Bagus. Gue nggak mau lo hamil.” Laura memandang rumah sederhana di depannya. Di rumah sederhana dan asri ini, banyak sekali duka di dalamnya. Dia meninggalkan Gavin di dalam dan memesan ojol. Ponsel Laura berdering. Dia melihat ada pesan dari Mella. Laura mengernyitkan alisnya melihat foto yang dikirimkan Mella. Mella:Send a picture Ini keluarganya Kak Bagas. Fyi, nyokapnya baru aja nikah lagi. Laura memusatkan perhatiannya pada ayah tiri Bagas. Dia benar-benar tidak asing dengan wajahnya. Baru saja Laura hendak memikirkan wajah ayah tiri Bagas, ojol yang dipesannya sudah datang. *** Sekolah sudah memulai tahun ajaran baru. Laura dan Mella berjalan dengan wajah sumri
"Jangan mukul Kak Gavin lagi,” ucap Laura tajam dengan mata yang mengkristal.Laura berbalik dan memapah Gavin. Gavin tersenyum puas. Dia bisa melihat ketiga orang yang dibencinya hancur."Kalian jangan ganggu Kak Gavin lagi. Udah cukup kalian nyakitin Kak Gavin sama Tante Shanti,” setelah itu mereka benar-benar keluar.Sebelum melangkahkan kakinya melewati pintuprivate room, Laura menengok ke belakang. Laura dapat melihat wajah kacau Bagas. Bagas menatap Laura kecewa.Maafin aku, Kak. Bukannya aku mau membela Kak Gavin, tapi aku membela Tante Shanti.***Laura menghapus air matanya. Dia menatap ponsel yang sedari tadi berdering. Ingin sekali mengangkatnya, tapi dia ragu. Laura merasa sangat bersalah.Ponsel Laura berhenti berdering. Kini ada notifikasi pesan.Kak Bagas:Lo sama Gavin?Bisa ketemu besok?
"Gavin, Mama gimana?" Gavin mengangkat kepalanya. Dia memandang Geo tajam dengan mata merah dan basahnya. "Puas?" Geo menatap Gavin bingung dan khawatir. Gavin tak pernah menangis. Apa yang terjadi sampai Gavin menangis seperti ini. "Wanita murahan itu udah membunuh calon adikku,” desis Gavin tajam. Geo terkejut. Dia menatap Vega tak percaya. Vega menangis sesenggukan. Satu air mata Geo menetes. Dia bahkan tidak tahu kalau Shanti hamil. "A... Aku kehilangan anakku?" Geo masih tak percaya. "Pergi. Jangan pernah temui kami lagi,” desis Gavin. "Mulai saatini,kami bukan lagi bagian dari Alastair.” "Gavin...” "Pergi!" teriak Gavin. *** Sudah 3 hari sejak kejadian malam itu, Gavin sama sekali tak menghubunginya. Bukannya Laura ingin, tapi dia khawatir dengan keadaan Gavin. Ingin sekali Laura menghubungi Gavin,
Gavin menggeram dan menjauhkan kepalanya dari Laura. Kepalanya sangat pusing karena meredam emosi. Dia menatap Laura tajam. Ingin sekali dia melampiaskan kemarahannya pada Laura, tapi dia tidak ingin kembali merusak Laura. Dia menghembuskan nafasnya kasar. Harusnya Laura bukan dijadikan alat untuk membalaskan dendamnya. “Pergi dan jangan muncul di depan gue lagi,” sentaknya. Laura membeku. Dia ingin meninggalkan Gavin, tapi rasa kemanusiaan seolah menahannya. Dia ingin menolong Gavin. Bagaimana mungkin dirinya meninggalkan orang yang sedang berduka? “Pergi atau gue bikin lo semakin jijik sama diri lo.” Setelah mendengar ancaman Gavin, Laura segera memaksakan dirinya untuk berlari walau tubuhnya sangat lemas ketakutan. Dia tahu, Gavin tidak akan main-main dengan ucapannya. Dia berjanji tidak akan muncul dihadapan Gavin sampai kapan pun. Cukup sampai di sini saja dia mencampuri urusan Gavin. *** "Eh Ra, sebelum pulang nanti beli pembalut
Laura mengambil ponselnya dan mengeluarkansim carddi sana. Dia bertekad akan menjalani hidupnya yang baru. Maafin aku, Mell. Bukannya aku nggak nganggep kamu sahabat. Tapi aku terlalu takut kamu membenciku. Setelah itu Laura membuangsim cardnya. Selamat datang di kehidupan baru kita,Baby. Laura berjalan di trotoar. Dia mengelus perut datarnya sayang. Sesekali dia menghapus air matanya. Kepalanya sedikit pusing. Mungkin dia kelelahan dan kelaparan. "Laura?" "Kak Angin?" *** Laura membuka matanya. Kepalanya pusing sekali. Laura melihat sekelilingnya. Dia sedang berada di sebuah kamar.Kamar siapa ini? Laura memejamkan matanya, mengingat apa yang sudah terjadi sebelum dia pingsan tadi. Oh, mungkin ini kamar adiknya Angin. Laura hendak turun dari ranjang, namun pintu kapar itu terbuka. Di sana ada gadis mungkin saja seusianya.
Laura segera mendudukan pantatnya di sofa sederhana Oma. Dia memijat pelan pinggangnya. "Kamu cape?" Laura tersenyum. "Dikit, Oma.” Oma pergi ke dapur dan membawa minyak urut. Dia duduk di samping Laura. Oma mengangkat kaki Laura agar meniban pahanya. "Eh, Oma. Nggak usah,” Laura merasa tidak sopan. Oma menggeleng dan memijat kaki Laura. "Harusnya kamu nggak usah ikut. Hamil dengan usia sekamu ini rentan banget. Oma nggak mau cicit Oma kenapa-napa.” Laura terharu. Dia menahan air matanya yang hendak menetes. "Aku nggak papa kok, Oma. Aku suka bantuin Oma.” Oma melanjutkan pijatannya dan sesekali bercerita tentang anak-anaknya yang bekerja di luar kota. Oma punya dua anak yang sudah menikah, tapi mereka sangat jarang, bahkan tidak pernah pulang. Mereka hanya rutin mengirim uang setiap bulan. Padahal Oma masih bisa menghidupi dirinya sendiri. Laura juga menceritakan kehidupannya dulu. Mella dan Bagas, namun sama sekali tidak menyebut Gav
Bayi itu menendang lagi. Laura mengelus lembut. Tendangan ini terasa menyenangkan, tidak sakit seperti tadi. "Maaf ya, Sayang. Kamu pasti lelah ya.”"Bunda janji, kamu bakal ngerasa lengkap. Walaupun itu tanpa ayah. Bunda akan jadi bunda sekaligus ayah buat kamu. Tapi kamu janji, ya. Jangan nakal sama Bunda,” Laura mengelus perutnya lembut.***"Sorry,Ghan. Gue cuma anggep lo temen,” ucap Gavin.Wanita itu tersenyum pedih. "It's okay. Masih banyak waktu.”Gavin mengangkat bahunya tak acuh. Dia sangat malas menanggapi ucapan Meghan. Entah sudah berapa kali Gavin menolak Meghan, namun Meghan tak jera saja."Well, gue mauparty. Lo mau ikut?"Gavin menggeleng. Dia tak ingin minum-minuman keras atau party. Bukan karena dia cupu, namun karena Shanti selalu mewanti-wantinya dulu. Ya walaupun dia pernah melakukannya dan berakhir dengan menghancurkan masa depan La