Vega berdiri dan mendekatkan dirinya pada Geo yang menatapnya dengan datar. “Mas, apapun keputusanmu, aku terima. Kalo kamu mau ceraiin aku juga aku terima, Mas. Asalkan kamu bisa maafin aku.”“Kamu bisa ngembaliin semuanya, nggak? Bisa bikin Shanti hidup dan maafin aku lagi? Bisa bikin Gavin nggak benci aku lagi? Bisa bikin semuanya balik normal lagi. Kalo kamu bisa, aku maafin kamu.”“Mas, aku nyesel, aku minta maaf.” Vega menggumamkannya berkali-kali dengan air mata yang tak hentinya mengalir dari kedua matanya.Geo menghembuskan nafasnya dengan berat. “Jelasin semuanya ke Gavin tanpa ada yang kamu tutupi. Setelah itu, saya akan ngajuin perceraian kita. Saya nggak bisa nikah sama orang jahat seperti kamu.” Geo mulai mengembalikan gaya bahasa seperti dulu dan Vega hanya bisa pasrah.***Dua hari berlalu dan Laura hari ini keluar dari rumah sakit. Dari tadi, Gavi sudah disibukkan dengan administrasi. Sebelumnya, Arkan sudah ingin mengurusnya, namun dengan tegas Gavin menolaknya. Bagi
“Abis sarapan aku mau ngajak kamu buat nyiapin berkas buat akad, takutnya nanti Davi kecapean kalo ikut kita.” Laura hanya menganggukkan kepalanya paham saat menerima penjelasan Davi. Gavin membukakan pintu belakang mobil dan mempersilakan Laura masuk. Laura hanya diam menurut saat Gavin yang biasanya memilih untuk menyetir sendiri mobil saat bersamanya, hari ini menggunakan supir. Begitu mobil melaju, Gavin langsung merebahkan kepalanya ke arah Laura. Tubuhnya juga dia dekatkan hingga menempel penuh dengan Laura. “Kak Gavin jangan gini, ah. Malu.” Laura berbisik pada Gavin karena takut menyinggung supir Gavin. “Aku kangen banget,” ujar Gavin yang semakin menempelkan tubuh mereka. *** Laura dan Gavin sudah menyelesaikan beberapa berkas yang dibutuhkan untuk menikah pada empat hari mendatang. Tentu saja banyak uang yang harus Gavin keluarkan agar proses yang dibutuhkan lancar dan cepat. Atas permintaan Laura, akad akan dilakukan secara sederhana di rumahnya. Tidak serta merta menur
Punggung Laura yang tegang kini mulai mengendur. “Jangan hari ini ya, Kak?” pinta Laura pada Gavin.Gavin menganggukkan kepalanya. Tangannya masih belum berhenti untuk mengelus tengkuk Laura. “Hari ini aku cuma mau denger cerita tentang kamu dan Davi yang masih belum aku tau.”Malam itu, Laura dan Gavin habiskan untuk membahas banyak sekali hal. Bukan hanya Laura, Gavin juga menceritakan tentang kesehariannya selama dia bersekolah di luar negeri. Laura merasa sangat antusias mendengar cerita dari Gavin tentang masa kuliah karena dia tidak bisa merasakan masa itu dulu. Jika ditanyakan menyesal atau tidak, Laura tidak menyesal. Baginya, menjadi ibu yang baik untuk Davi sudah membuatnya sangat puas.***Laura dan Gavin menata barang-barangnya di rumah baru mereka. Laura sangat berterima kasih kepada Gavin saat lelaki itu mengatakan bahwa dirinya sudah menyiapkan rumah untuk ditinggalinya bertiga. Gavin juga sangat mempertimbangkan lokasinya untuk perkembangan Davi. Gavin memilih lokasi d
Di samping itu semua, Laura sangat terharu dengan interaksi antara Geo dan Gavin. pasangan ayah-anak tersebut beberapa kali melakukan interaksi, meskipun kecanggungan masih terasa di sana. Paling tidak, Laura tidak lagi melihat kebencian di mata Gavin saat menatap Sang Ayah. Laura menjadi saksi bagaimana beberapa hari ini Gavin mencoba berdamai dengan masa lalunya. Sejak perceraian Geo, hubungan suami dan ayah mertuanya itu sedikit membaik. Bahkan, Gavin juga menerima permintaan maaf Vega meskipun dirinya tidak ingin sama sekali berhubungan dengan mantan ibu tirinya itu.***Kembali lagi ke waktu dua hari setelah Laura keluar dari rumah sakit, Laura dan Gavin duduk berdua di depan rumah Laura. Geo, ayah Gavin, baru saja kembali dari rumah Laura sebab ada beberapa hal yang perlu beliau diskusikan bersama Arkan. Di sanalah Laura tahu bahwa antara Geo dan Vega sudah tidak ada lagi hubungan pernikahan karena secara resmi sudah bercerai.“Kak Gavin…” Laura menjeda ucapannya. Jujur saja, d
Suara tepukan tangan terdengar meriah. Tangan Gavin mengelus surai lembut Laura yang tampak terharu. Di depan sana, di atas panggung, Davi berdiri dengan penuh percaya diri karena meraih predikat sebagai lulusan terbaik di taman kanak-kanak. Nama Gavin dipanggil untuk mendampingi Davi di atas panggung. “Kamu aja yang naik ke panggung.” Gavin menepukkan tangannya pada telapak tangan Laura yang menggenggam erat karena terlalu antusias.Laura menoleh. “Kak Gavin aja. Semuanya yang di atas ditemenin ayahnya.”“Aku mau videoin kamu di sini. Kamu aja yang naik.”Laura menatap Gavin dengan wajah terharu. “Terima kasih,” ujar Laura sebelum beranjak dari duduknya dan menghampiri Davi. Sebelum berdiri di belakang Davi, Laura mengecup puncak kepala Davi dan menggumamkan beberapa kata selamat sehingga wajah Davi terlihat lebih berseri.Gavin menatap dua sosok kesayangannya dari kursi wali murid. Dalam bayangannya, Gavin tidak pernah bermimpi berada di fase seperti ini. Jika boleh, Gavin ingin me
Laura's POV "Apa sih, Mell? Aku nggak mau jadi panitia prom night." Aku masih berusaha membebaskan tanganku dari cengkraman dan tarikan sahabatku. "Udahlah, Ra. Daftar doang. Kan nggak ada jaminan lo bakal keterima." "No, tetep aja ada kemungkinan aku bakal keterima jadi panitia, kan? Males banget ngurusin acara orang." "Emang lo ga mau apa deket sama Kak Gavin?" Tanya Mella. Aku memutar bola mataku malas karena mendengar Mella selalu memuja ketua OSIS tahun lalu itu. Apa sih hebatnya dia? Ganteng sih, tapi kalo suka buat onar kan gak banget. Batinku. Heran ya, apa murid di sini cuma liat dari penampilan aja? Masa Kak Gavin yang terkenal pembuat onar itu bisa jadi ketua OSIS sih. "Iya deh iya, lo kan sukanya yang pendiem, kutu buku, lempeng. Kenapa lo nggak deketin si Tian tuh. Kayaknya dia tipe lo banget." Aku memelototi Mella yang kini tengah cekikikan. Dengan segera aku mengetuk-ngetuk kepalaku beg
Aku segera menyodorkan ponselku pada Mella setelah aku mendapatkan pesan yang sangat mengejutkan ini. Mella pun melebarkan matanya. Dan menatapku tak percaya. Bahkan, saat inipun aku juga sama tidak percayanya dengan Mella.BagasatyaA_:Sabtu ada acara?***Laura turun dari angkot dan segera memasuki gerbang sekolah dengan langkah santai. Telinganya yang tersumpalearphonemembuatnya tak bisa mendengar keramaian di sekitarnya. Laura memang orang yang lumayan supel dan ramah. Namun terkadang dia juga membutuhkan ketenangan. Dan hanya musik klasik yang bisa menenangkannya.Laura memasuki kelas dengan santai. Dia langsung duduk di bangku tengah dekat dengan jendela. Setelah melepasearphone, Laura mengecek aplikasi Whatsappnya. Bibirnya melengkungkan sebuah senyuman.Kak Bagas:Udah sampe?
Laura kembali menangkap pemandangan Gavin yang sedang menatap ke arah Bagas. Matanya terbelalak begitu dia menatap Gavin yang tengah menyeringai ke arahnya. Dengan cepat Laura mengalihkan pandangannya. Bukan karena tak suka dengan senyum Gavin, hanya saja itu bukan senyum manis membuat hati berdebar kencang. Melainkan senyum menyeramkan yang dapat membangkitkan bulu kuduk. Seolah-olah dia memiliki sebuah rencana misterius.Jantung Laura berdetak kencang. Apa yang mau dilakukan Kak Gavin ke padanya? Atau lebih tepatnya, apa yang akan Kak Gavin lakukan pada Kak Bagas?Laura merasa selama ini Gavin dan Bagas tidak memiliki masalah. Kedua teman baiknya, Rey dan Thomas pun sepertinya tidak memiliki masalah dengan Bagas. Bahkan sepertinya, Laura tidak pernah menangkap momen mereka bersama, entah itu berteman maupun bertengkar. Jadi kenapa?Eh kenapa aku jadi kepo?Laura menggeleng."Hei, Ra.Are you okay?" Bagas mengibaskan