Aku segera menyodorkan ponselku pada Mella setelah aku mendapatkan pesan yang sangat mengejutkan ini. Mella pun melebarkan matanya. Dan menatapku tak percaya. Bahkan, saat inipun aku juga sama tidak percayanya dengan Mella.
BagasatyaA_:
Sabtu ada acara?
***
Laura turun dari angkot dan segera memasuki gerbang sekolah dengan langkah santai. Telinganya yang tersumpal earphone membuatnya tak bisa mendengar keramaian di sekitarnya. Laura memang orang yang lumayan supel dan ramah. Namun terkadang dia juga membutuhkan ketenangan. Dan hanya musik klasik yang bisa menenangkannya.
Laura memasuki kelas dengan santai. Dia langsung duduk di bangku tengah dekat dengan jendela. Setelah melepas earphone, Laura mengecek aplikasi Whatsappnya. Bibirnya melengkungkan sebuah senyuman.
Kak Bagas:
Udah sampe?
Laura:
Ini aku baru nyampe, Kak.Memang, semenjak insiden Laura menabrak Bagas lalu Bagas mengirimkan direct message padanya, mereka saling menukar nomor telepon. Laura tak sabar menunggu besok. Hari di mana dia dan Bagas akan kencan. Laura tersipu sendiri saat berpikir akan kencan dengan Bagas. Padahal belum tentu Bagas menganggap pergi dengan Laura besok adalah kencan.
"Aduh duh, yang lagi seneng dapet respon dari prince charming-nya."
"Apaan sih?" Laura memukul pelan lengan Mella yang sekarang duduk di sampingnya.
"Scroll up aja terus tuh room chat." Sindir Mella. Laura hanya memeletkan lidahnya.
"Sirik ae!" Ledek Laura.
***
Laura pagi-pagi buta sudah bangun dan membersihkan tubuh dan rumahnya. Laura mencocokkan beberapa baju di tubuhnya. Kenapa tiba-tiba bajunya tidak ada yang cocok ya? Batin Laura kesal. Aku harus pake baju apa ya?
Laura mengambil ponselnya dan segera men-dial Mella. Di dering ketiga Mella mengangkat panggilannya.
[Halo?]
"Halo, Mel. Bisa ke rumah aku nggak?"
[Ngapain?]
Laura menggaruk rambutnya yang tak gatal. "Itu... Em... Aku bingung mau pake baju apa buat jalan sama Kak Bagas."
[Ya Tuhan, Ra. Ini masih jam 6. Lo janjian jam 10 kan?]
Laura mengangguk. "Emm... Tapi aku kan harus siap-siap, Mel."
Laura dapat mendengar Mella menghembuskan nafasnya kesal. [Jam 8 gue ke sana. Sekarang sarapan dulu, gih. Lo ganggu gue sarapan aja.]
Laura menghembuskan nafasnya pasrah. "Iya deh iya."
Setelah memutuskan panggilannya, Laura segera keluar dari kamar dan menuju dapur. Dengan gesit dia memasak nasi goreng. Setelah memakan nasi goreng dengan cepat, Laura kembali ke kamarnya dan membersihkan kamarnya yang berantakan oleh baju.
***
Laura segera menuju ke pintu depan begitu mendengar pintu rumah diketuk. Laura menyambut Mella dengan senang dan segera menarik Mella menuju kamarnya. "Aku bingung harus pake baju apa?"
"Emang lo mau diajak ke mana?"
Laura nyengir. "Nggak tau."
Mella memutar bola matanya malas. "Pake yang kasual aja ya, biar nggak keliatan lo ngebet diajak jalan sama dia."
Laura mengangguk. Walaupun dia memang sudah lama membayangkan jalan dengan Bagas, dia tetap harus jual mahal. Laura memandang Mella yang sedang serius memilah pakaiannya. Soal fashion, hanya Mella yang dapat diandalkannya.
Setelah setengah jam Mella berkutat dengan lemarinya, akhirnya pilihan jatuh pada rok tutu selutut berwarna light blue bercorak floral lembut dipadukan dengan sweater salem. Laura segera mengganti pakaiannya dan berdecak kagum. Dia memuji setelan yang dipilihkan oleh Mella. Setelan itu terlihat cocok pada Laura. Wajah Laura yang memiliki aura kalem dan lembut semakin memancarkan auranya dengan pakaian yang lembut ini.
Mella menarik Laura dan mendudukkannya di meja rias. Dia berdecak. "Lo tuh udah SMA tapi cuma punya bedak sama lip balm?"
Laura tersenyum. "Gue bukan lo ya yang suka coret-coret muka."
"Untung lo sahabat gue." Mela segera mengeluarkan berbagai make up yang dibawanya.
Dengan telaten Mella memberikan beberapa sentuhan di wajahnya. Tidak berlebihan namun dapat membuat wajah Laura lebih segar. Mella tersenyum puas melihat hasil karyanya.
"Aku deg-degan." Ucap Laura kala persiapannya selesai dan tengah menunggu Bagas menjemputnya.
"Jangankan lo, gue aja deg-degan. Nggak nyangka lo bisa jalan sama Kak Bagas."
Laura tertawa.
Tawa Laura terhenti kala ponselnya berbunyi. "Halo, Kak."
...
"Oh, iya, Kak. Bentar lagi aku keluar."
...
"Oke, bentar ya, Kak."
"Semangat!" Mella mengepalkan tangannya dan mengangkatnya tinggi-tinggi. "Nanti gue kunci rumah lo."
Laura mengangguk dan menghembuskan nafasnya panjang guna menetralisir jantungnya yang menggila. "Aku jalan dulu."
***
Keheningan menyelimuti Laura dan Kak Bagas yang tengah fokus menyetir mobil. Laura duduk dengan tegang di kursi penumpang. Laura merasa, Bagas sering melirik ke arahnya.
Jangan PD dong, Ra. Rapalnya dalam hati.
Laura segera menengokkan kepalanya begitu mendengar kekehan Bagas. "Nggak usah tegang gitu dong, Ra." Bagas mengacak rambut Laura pelan.
Tanpa sadar Laura menahan nafasnya. "Nafas, Ra." Ingat Bagas yang masih menahan tawa. "Gue gak macem-macem kok, calm down."
Sedikit demi sedikit Laura menghembuskan nafasnya. "Aku gugup tau, Kak." Akunya.
Tawa Bagas makin mengencang. Laura memberengutkan bibirnya kesal. Aku beneran gugup, Kak. Nggak peka banget sih. Ingin rasanya Laura meneriakkan itu di depan Bagas.
"Biasa aja kali. Emang gue ngapain?"
"Ya secara gitu loh, Kak. Aku diajak jalan sama Kak Bagas."
Bagas menatap Laura. "Biasa aja kali, Ra." Laura yang ditatap seperti itu oleh Bagas makin salah tingkah.
"Udah ah, Kak. Nyetir sana. Jangan liatin." Laura menutupi mukanya yang merona malu.
Bagas terkekeh dan kembali fokus menyetir. Laura masih setia menutup wajahnya dengan tangan dan sesekali melirik Bagas dari sela jemarinya.
Laura mengagumi wajah fokus Bagas dari samping. Dia akui Bagas memang tak setampan dan setenar Gavin. Namun, wajah tampan Bagas perlu diperhitungkan. Anggota club futsal dan ketua jurnalis membuat Bagas tetap menjadi satu dari beberapa anak yang kerap diperbincangkan oleh siswi di Newtonian High School.
Kekaguman Laura tentang Bagas terpaksa buyar begitu melihat wajah Bagas yang sangat dekat dengan wajahnya. Laura—yang terkejut—menarik kepalanya dan terantuk kaca di sampingnya.
"Auh." Laura menggosok kepalanya yang sedikit sakit. "Kak Bagas ngapain sih, deket-deket? Mau macem-macem ya?" Tanya Laura sebal.
"Yang ada lo mau ngapain? Liatin gue segitunya."
"Eh." Pipi Laura memanas. Rasanya ingin menguburkan dirinya sekarang juga. Ternyata dia kepergok mengagumi Bagas. Bagas mengacak rambut Laura gemas dan keluar dari mobil.
Pipi Laura kembali memanas. Dia langsung keluar mobil mengikuti Bagas dari belakang. Dengan sengaja Bagas memelankan langkahnya dan mensejajarkan dirinya dengan Laura. Lagi dan lagi, Laura dibuat merona oleh tingkah manis Bagas.
Laura dan Bagas menuju salah satu pusat perbelanjaan terbesar di Jakarta. Mereka berjalan beriringan dan segera menuju bioskop. Dengan pelan Bagas menggenggam tangan Laura.
Laura terkesiap dan merona begitu melihat tangannya yang digenggam oleh Bagas. Mimpi apa aku semalem? Batin Laura menjerit kesenangan.
"Mau nonton apa?"
Bagas yang menggenggam tangan Laura sedikit menyentak tangan Laura, mengembalikan kesadaran Laura. "Eh, iya. Apa, Kak?" Tanya Laura malu. Laura lagi-lagi kepergok sedang melamun.
Bagas tersenyum. "Tadi gue tanya, lo mau nonton apa?"
"Eh, itu. Terserah Kak Bagas aja deh. Aku nurut." Bagas mengangkat alisnya sebentar. Setelah itu mengangguk dan menarik Laura untuk membeli tiket.
"Makan dulu, ya. Masih lama." Ucap Bagas ketika melihat dua tiket yang digenggamnya. Laura hanya menganggukkan kepalanya mengiyakan ajakan Bagas. Saking senangnya Laura, dia tidak bisa berpikir apa-apa dan mengiyakan semua ajakan Bagas.
Setelah sama-sama memesan makanan, mereka berbincang. Sedikit demi sedikit Laura mengusir perasaan gugupnya. Sekuat tenaga Laura menetralisir detakan jantungnya yang berdetak dengan kurang ajar.
Laura mengedarkan pemandangannya dan matanya tak sengaja bertumbukan dengan sepasang mata elang. Laura segera memutuskan kontak mata. Dahi Laura mengerut. Kak Gavin?
Laura kembali memastikan kembali penglihatannya. Matanya masih menemukan Gavin yang terang-terangan melihat ke arahnya—lebih tepatnya ke arah Bagas—dan menghiraukan gadis yang sejak tadi bercerita di depannya. Gadis yang Laura yakini sebagai Alice, siswi yang "katanya" tercantik seangkatan. Bagas yang membelakangi Gavin nampak tak menyadari tengah diperhatikan oleh Gavin.
Laura mengerutkan dahinya. Kenapa Kak Gavin natap Kak Bagas kayak gitu? Apa mereka punya masalah ya? Tapi apa?
Sekali lagi Laura menatap Gavin. Matanya terbelalak begitu dia menatap Gavin yang tengah tersenyum ke arahnya. Dengan cepat dia mengalihkan pandangannya. Bukan karena tak suka dengan senyum Gavin, hanya saja itu bukan senyum manis yang membuat orang lain meleleh. Namun Gavin menunjukkan senyum yang menyeramkan. Seolah-olah dia memiliki sebuah rencana misterius.
Jantung Laura berdetak kencang. Apa yang mau dilakukan Kak Gavin ke padanya? Atau lebih tepatnya, apa yang akan Kak Gavin lakukan pada Kak Bagas? Batin Laura bertanya-tanya.
Laura merasa selama ini Gavin dan Bagas tidak memiliki masalah. Kedua teman baiknya, Rey dan Thomas pun sepertinya tidak memiliki masalah dengan Bagas. Jadi ada apa?
Eh kenapa aku jadi kepo? Laura menggeleng.
"Hei, Ra. Are you okay?" Bagas mengibaskan tangannya di depan wajah Laura.
Laura tersenyum canggung. "Kak Bagas bilang apa?"
"Besok gue jemput, ya?"
"Eh?" Laura mengedipkan matanya.
Laura kembali menangkap pemandangan Gavin yang sedang menatap ke arah Bagas. Matanya terbelalak begitu dia menatap Gavin yang tengah menyeringai ke arahnya. Dengan cepat Laura mengalihkan pandangannya. Bukan karena tak suka dengan senyum Gavin, hanya saja itu bukan senyum manis membuat hati berdebar kencang. Melainkan senyum menyeramkan yang dapat membangkitkan bulu kuduk. Seolah-olah dia memiliki sebuah rencana misterius.Jantung Laura berdetak kencang. Apa yang mau dilakukan Kak Gavin ke padanya? Atau lebih tepatnya, apa yang akan Kak Gavin lakukan pada Kak Bagas?Laura merasa selama ini Gavin dan Bagas tidak memiliki masalah. Kedua teman baiknya, Rey dan Thomas pun sepertinya tidak memiliki masalah dengan Bagas. Bahkan sepertinya, Laura tidak pernah menangkap momen mereka bersama, entah itu berteman maupun bertengkar. Jadi kenapa?Eh kenapa aku jadi kepo?Laura menggeleng."Hei, Ra.Are you okay?" Bagas mengibaskan
Baik Laura maupun Mella, mereka merasa gugup saat melewati koridor lantai 3. Tidak sedikit kakak kelas menggoda mereka. Memang koridor kelas 12 ini terkenal seram. Hanya anak anak kelas 11 dan 10 yang memiliki mental baja yang dapat melewatinya. Oke itu lebay. Tapi melewati koridor itu saat sedang jam pelajaran memang menantang maut. Laura dan Mella mungkin hanya beberapa kali melewaatinya karena ruang ekskul yang memang berada di sana. Itupun saat pulang sekolah dan tidak ada orang di lorong.Plat kelas 12 IPA 3 telah terlihat. Dengan pelan mereka melintasi pintu. Bu Ratih mengisyaratkan pada Mella dan Laura agar menyimpan buku-buku yang dibawa oleh mereka di atas meja guru. Setelah pamit pada Bu Ratih, Mella dan Laura segera keluar dari kelas tersebut dengan menundukkan kepalanya karena takut dan gugup.Laura merasa sedang diperhatikan. Dari ujung matanya Laura mencari orang yang sekiranya memperhatikannya. Nafas Laura tertahan. Di sana. Di bangku paling bel
"Sendiri aja, Mas. Itu ada Pak Tono." Mella menunjuk Pak Tono saat Geri menawari untuk mengantarkannya.Geri mengangguk. "Udah ah. Yuk pulang." Geri menggandeng tangan Sandra.Laura dan Mella berdiri. Mereka berjalan mendekati mobilnya. Di dalam mobil Laura dan Mella masih menceritakan kehidupan Sandra dan Geri. Mereka terlihat romantis."Tapi kasian, udah 2 tahun nikah tapi belum dapet anak."Laur mengangguk maklum. "Masih 2 tahun. Ya kita doain aja."***Laura dan Mella sedang mempersiapkan diri menuju tempatprom. Laura melirik Mella kesal. Mella tak mau kalah, dia pun melirik Laura kesal, namun setelah itu menampakkan senyum puas. Laura mendengus, menatap pantulan wajahnya di kaca mobil. Laura memang memuji keterampilan Mella dalam merias. Walaupun tadi Laura sempat kukuh dengan pendiriannya yangno make up. Sedangkan Mella denganmake up no make up. Dan akhirnya dimenangkan oleh Mella setelah pe
Laura yang mendengar suara Gavin segera melangkahkan tubuhnya pelan menuju tempat di mana Gavin berada. Laura melihat Gavin berdiri di depan pintu. Laura menghampiri Gavin. Laura berdiri di depan Gavin dan mengulurkan laporan yang diminta Gavin.Laura mendongakkan kepalanya saat merasa ada jemari yang menyentuh dagunya. Laura terkesiap. Saat kesadaran Laura datang, Laura segera memberontak. Dia dapat merasakan bau alkohol dari mulut Gavin. Laura tahu dirinya sekarang berada dalam bahaya. Gavin segera mendekatkan wajahnya. Laura menggelengkan kepalanya. Otaknya tahu apa yang akan terjadi. Dan tebakannya benar.Gavin menciummya.***Laura memberontak. Ciuman itu akhirnya terlepas. Air mata Laura mengalir. Ciuman pertamanya telah hilang. Laura menggosok kasar bibirnya. Seolah hendak menghilangkan bekas Gavin di bibirnya.Laura hendak berlari, namun Gavin lebih gesit. Gavin menarik Laura dan membenturkannya ke dinding. Gavin meletakkan tangannya di sam
Selamat Kak Gavin. Batin Laura pilu.Selamat karena Kakak sudah menghancurkan hidupku.Mata Laura memberat. Laura tak lagi mempedulikan Gavin yang sepertinya belum puas menghancurkan Laura. Laura memejamkan matanya. Dia berharap ini hanyalah mimpi. Jika ini bukan mimpi, Laura berharap saat bangun nanti sudah ada malaikat pencabut nyawa yang menantinya. Toh, dia sudah hancur, untuk apa lagi dia hidup?"Tidur dan selamat menikmati hidupmu yang baru, Cewek Bekas." Ucap Gavin sebelum tidur di sampingnya.Air mata Laura mengalir. Dia belum sepenuhnya tidur dan masih bisa mendengarkan ucapan tajam Gavin. Batin dan fisik Laura benar-benar sakit. Dia butuh istirahat dan akhirnya dia benar-benar tertidur. Beristirahat sejenak sebelum memulai hidup yang berbeda.Tuhan, tolong cabut nyawaku sedetik sebelum aku terbangun dari mimpi buruk ini. Batin Laura sebelum alam mimpi menjemputnya.***Laura menggerakkan tubuhnya yan
"Lo abis nangis?" Tanya Mella curiga. Bagas pun menatap Laura dengan tatapan curiga. "Eh, iya. Nggak. Eh." Laura kelabakan menjawabnya. Mata Mella dan Bagas semakin memincing. "Itu... Aku abis maraton. Iya maraton drakor." Ucap Laura. Mella dan Bagas hanya mengangguk mencoba percaya. "Eh mending aku ke minimarket dulu. Beli cemilan." Mereka mengangguk. Laura berjuang menormalkan cara jalannya. Sedikit sulit. Pangkal pahanya masih terasa sedikit nyeri, walau tak senyeri kemarin. Laura bernafas lega begitu sudah keluar dari gerbang sederhana. Dengan langkah pelan dia berjalan menuju minimarket yang ada di ujung gangnya. Setelah membeli beberapa cemilan, Laura keluar dari mini market. Tubuh Laura menegang. Wajah Laura berubah pias. Air mata sudah memupuk di kelopak matanya. "Hai." *** "Hai,” ucap Gavin dengan tangan yang dimasukkan ke dalam sakunya. Laura menunduk dan menjauhi Gavin. Dengan langk
"Lo kek nyembunyiin sesuatu. Keknya lo banyak pikiran deh. Nggak mau share?" Mella masih memfokuskan dirinya dengan cemilan dan laptop. Laura meremas tangannya. Ucapan Mella membuat Laura kembali mengingat hari itu.Aku dilecehin, Mell. Aku dilecehin sama orang yang kamu kagumi. Ingin sekali Laura meneriakkan kalimat itu. Tapi Laura takut jika dia bilang ke Mella, akan ada orang lagi yang mengetahuinya. "Nggak ada, Mell.” "Ra,” ucap Mella, dia sudah memfokuskan dirinya pada Laura. "Gue sahabat lo. Lo bisasharemasalah lo ke gue. Gue gak bakal ninggalin lo. Gimanapun keadaan lo. Gue bakal bantuin lo.That's best friend for.” Laura menitikkan air matanya. Andai dia bisa mengungkapkan semuanya. Tapi Laura terlalu takut. Dia takut Mella menjauhinya. "Aku terharu,” Laura menghapus matanya dengan berlebihan. Mella memukul lengan atas Laura sebal. "But thanksMell. Aku bakal cerita apapu
"Anaknya papa cowok ganteng?" Tanya Dara.Bagas mengacak rambut adiknya gemas. "Masih kecil udah mikirin cowok ganteng. Ini kakak juga ganteng.”Dara menyingkirkan tangan Bagas kesal. "Aku bosen liat wajah kakak.” Dengusnya."Eh, nama anak papa siapa?"***Langit sudah gelap, Laura masih setia menatap langit kamarnya. Dia memikirkan tingkah Gavin yang aneh. Otak Laura kembali mengulang kejadian sore tadi."Mau buktiin gue bukan gay?" desis GavinLaura menggeleng, matanya kembali mengembun dan siap menurunkan air mata. Laura takut Gavin akan melakukan lagi hal yang sore itu ia lakukan. Laura sungguh tak ingin dilecehkan lagi."Kenapa nangis?" ucap Gavin tepat di depan wajah Laura. Laura dapat merasakan embusan nafas Gavin di wajahnya."Maaf,” Laura semakin menekan kepalanya ke pintu. Dia ingin menjauhkan kepalanya dari Gavin. Namun ruangnya terbatas.Gavin s
Suara tepukan tangan terdengar meriah. Tangan Gavin mengelus surai lembut Laura yang tampak terharu. Di depan sana, di atas panggung, Davi berdiri dengan penuh percaya diri karena meraih predikat sebagai lulusan terbaik di taman kanak-kanak. Nama Gavin dipanggil untuk mendampingi Davi di atas panggung. “Kamu aja yang naik ke panggung.” Gavin menepukkan tangannya pada telapak tangan Laura yang menggenggam erat karena terlalu antusias.Laura menoleh. “Kak Gavin aja. Semuanya yang di atas ditemenin ayahnya.”“Aku mau videoin kamu di sini. Kamu aja yang naik.”Laura menatap Gavin dengan wajah terharu. “Terima kasih,” ujar Laura sebelum beranjak dari duduknya dan menghampiri Davi. Sebelum berdiri di belakang Davi, Laura mengecup puncak kepala Davi dan menggumamkan beberapa kata selamat sehingga wajah Davi terlihat lebih berseri.Gavin menatap dua sosok kesayangannya dari kursi wali murid. Dalam bayangannya, Gavin tidak pernah bermimpi berada di fase seperti ini. Jika boleh, Gavin ingin me
Di samping itu semua, Laura sangat terharu dengan interaksi antara Geo dan Gavin. pasangan ayah-anak tersebut beberapa kali melakukan interaksi, meskipun kecanggungan masih terasa di sana. Paling tidak, Laura tidak lagi melihat kebencian di mata Gavin saat menatap Sang Ayah. Laura menjadi saksi bagaimana beberapa hari ini Gavin mencoba berdamai dengan masa lalunya. Sejak perceraian Geo, hubungan suami dan ayah mertuanya itu sedikit membaik. Bahkan, Gavin juga menerima permintaan maaf Vega meskipun dirinya tidak ingin sama sekali berhubungan dengan mantan ibu tirinya itu.***Kembali lagi ke waktu dua hari setelah Laura keluar dari rumah sakit, Laura dan Gavin duduk berdua di depan rumah Laura. Geo, ayah Gavin, baru saja kembali dari rumah Laura sebab ada beberapa hal yang perlu beliau diskusikan bersama Arkan. Di sanalah Laura tahu bahwa antara Geo dan Vega sudah tidak ada lagi hubungan pernikahan karena secara resmi sudah bercerai.“Kak Gavin…” Laura menjeda ucapannya. Jujur saja, d
Punggung Laura yang tegang kini mulai mengendur. “Jangan hari ini ya, Kak?” pinta Laura pada Gavin.Gavin menganggukkan kepalanya. Tangannya masih belum berhenti untuk mengelus tengkuk Laura. “Hari ini aku cuma mau denger cerita tentang kamu dan Davi yang masih belum aku tau.”Malam itu, Laura dan Gavin habiskan untuk membahas banyak sekali hal. Bukan hanya Laura, Gavin juga menceritakan tentang kesehariannya selama dia bersekolah di luar negeri. Laura merasa sangat antusias mendengar cerita dari Gavin tentang masa kuliah karena dia tidak bisa merasakan masa itu dulu. Jika ditanyakan menyesal atau tidak, Laura tidak menyesal. Baginya, menjadi ibu yang baik untuk Davi sudah membuatnya sangat puas.***Laura dan Gavin menata barang-barangnya di rumah baru mereka. Laura sangat berterima kasih kepada Gavin saat lelaki itu mengatakan bahwa dirinya sudah menyiapkan rumah untuk ditinggalinya bertiga. Gavin juga sangat mempertimbangkan lokasinya untuk perkembangan Davi. Gavin memilih lokasi d
“Abis sarapan aku mau ngajak kamu buat nyiapin berkas buat akad, takutnya nanti Davi kecapean kalo ikut kita.” Laura hanya menganggukkan kepalanya paham saat menerima penjelasan Davi. Gavin membukakan pintu belakang mobil dan mempersilakan Laura masuk. Laura hanya diam menurut saat Gavin yang biasanya memilih untuk menyetir sendiri mobil saat bersamanya, hari ini menggunakan supir. Begitu mobil melaju, Gavin langsung merebahkan kepalanya ke arah Laura. Tubuhnya juga dia dekatkan hingga menempel penuh dengan Laura. “Kak Gavin jangan gini, ah. Malu.” Laura berbisik pada Gavin karena takut menyinggung supir Gavin. “Aku kangen banget,” ujar Gavin yang semakin menempelkan tubuh mereka. *** Laura dan Gavin sudah menyelesaikan beberapa berkas yang dibutuhkan untuk menikah pada empat hari mendatang. Tentu saja banyak uang yang harus Gavin keluarkan agar proses yang dibutuhkan lancar dan cepat. Atas permintaan Laura, akad akan dilakukan secara sederhana di rumahnya. Tidak serta merta menur
Vega berdiri dan mendekatkan dirinya pada Geo yang menatapnya dengan datar. “Mas, apapun keputusanmu, aku terima. Kalo kamu mau ceraiin aku juga aku terima, Mas. Asalkan kamu bisa maafin aku.”“Kamu bisa ngembaliin semuanya, nggak? Bisa bikin Shanti hidup dan maafin aku lagi? Bisa bikin Gavin nggak benci aku lagi? Bisa bikin semuanya balik normal lagi. Kalo kamu bisa, aku maafin kamu.”“Mas, aku nyesel, aku minta maaf.” Vega menggumamkannya berkali-kali dengan air mata yang tak hentinya mengalir dari kedua matanya.Geo menghembuskan nafasnya dengan berat. “Jelasin semuanya ke Gavin tanpa ada yang kamu tutupi. Setelah itu, saya akan ngajuin perceraian kita. Saya nggak bisa nikah sama orang jahat seperti kamu.” Geo mulai mengembalikan gaya bahasa seperti dulu dan Vega hanya bisa pasrah.***Dua hari berlalu dan Laura hari ini keluar dari rumah sakit. Dari tadi, Gavi sudah disibukkan dengan administrasi. Sebelumnya, Arkan sudah ingin mengurusnya, namun dengan tegas Gavin menolaknya. Bagi
Dunia Geo terasa runtuh pada saat membaca berkas dari rumah sakit yang menyatakan bahwa Vega tengah mengandung. Meskipun Geo tidak mengingat sama sekali apa yang terjadi di malam itu, dirinya tetap harus mempertanggung-jawabkannya. Geo menghembuskan nafasnya panjang, semua ini terasa berat baginya.Geo tidak sanggup jika harus mengatakannya pada Shanti dan Gavin. Dirinya belum siap, tidak akan siap jika kedua orang itu harus membencinya. Mata Geo memanas, hatinya sangat hancur saat dirinya membayangkan bagaimana reaksi Shanti dan Gavin.“Aku nggak masalah kalau kita harus nikah siri dan menyembunyikannya dari Shanti, Mas.”“Keluar.” Hanya satu kata itu yang bisa Geo ucapkan.“Mas, aku-”“Saya bilang keluar, Vega!” tegas Geo dengan nada tinggi. Vega akhirnya mengangguk sedih dan memilih untuk keluar dari ruangan Geo. Vega memberikan sedikit ruang pada Geo. Namun, hanya ada satu pilihan pada saat ini, yaitu Geo menikahinya.“Maafin aku, Shanti.”***“Ma, aku kemaren denger Mama nangis
Geo menghembuskan nafasnya berat. Lagi dan lagi, rasa bersalah karena tidak bisa menyelamatkan sahabatnya itu kembali menghantam hati Geo. Sebab dirinya, Dara dan Bagas, anak pertama Egi harus kehilangan peran ayah. “Baiklah,” ujar Geo dengan memaksakan senyumnya.“Makasih ya.” Vega memberikan senyum terbaiknya kepada Geo yang hanya dibalas anggukan singkat dari Geo.“Saya kabari Shanti dulu,” ujar Geo tanpa memberikan banyak atensi pada Vega.Geo bergerak gelisah dengan tangan memandangi layar ponselnya. Di sana, terdapat nama kontak “Soul” dan dibubuhkan emoji hati di sampingnya. Sedari tadi, kontak Shanti hanya berdering tanpa diangkat oleh empunya.Menyerah, Geo memilih untuk mengetikkan pesan pada Shanti bahwa dirinya tidak pulang untuk malam ini karena ada beberapa pekerjaan yang harus segera diselesaikannya. Untungnya, sebelum kematian Egi, Geo memang sudah sering menginap di kantor karena memang banyak pekerjaan yang hars segera diselesaikannya karena tenggat waktu yang sudah
Ciuman itu terhenti dengan Laura yang terengah-engah dan segera meraup oksigen yang ada di sekelilingnya. Berbeda dengan Laura, Gavin sama sekali terlihat biasa saja. Bahkan, tangan Gavin sekarang bergerak untuk membersihkan bibir Laura yang basah akibat saliva mereka berdua.“Faktanya emang kamu nggak nolak ciuman dari aku, Ra.”Laura menghembuskan nafasnya lelah. Berbicara dengan Gavin membuatnya tidak pernah bisa berkutik. Gavin dengan segala argumennya membuat Laura kalah. Selain itu, aura dominan yang menguar dari tubuh Gavin membuat siapa pun akan memilih diam daripada semakin kalah. “Terserah kak Gavin aja deh.”“Oh iya, Ra. Kamu kudu belajar pernafasan lagi, deh.”“Kenapa emangnya?” tanya Laura yang sedikit bingung dengan ucapan Gavin yang tiba-tiba dan sangat tak terduga itu.“Biar kita kalo ciuman bisa lebih lama.”***Vega POVAku berjalan menuju salah satu kamar di rumah sakit dengan kaki yang lemas. Setelah mendapatkan telpon dari pihak rumah sakit, serta merta hatiku dil
Tangan kiri Gavin yang sedari tadi diam dan tidak ikut mengelus rambut Laura beralih untuk mencubit pipi Laura dengan lembut. Tangan Laura terangkat untuk melindungi pipinya dari serangan Gavin. Meski begitu, Gavin masih memiliki cela untuk mencubit pipi Laura. Bahkan, sekarang Gavin beralih untuk mencubit hidung mancung Laura.“Kak Gavin, stop it,” ujar Laura dengan geli. Gavin terkekeh dan menghentikan cubitannya pada Laura.“I wanna kiss you so bad,” bisik Gavin dengan suara lirihnya. Bahkan saat ini, wajah Gavin berada tepat di atas wajah Laura. Bergerak sedikit saja, bibir Laura pasti akan menyentuh bibir milik Gavin.Wajah Laura rasanya terbakar melihat tatapan Gavin yang sangat intens padanya. Jantung Laura terasa berdebar. “Apa Kak Gavin bakal natap aku terus? Bukannya di film kalo orang ciuman bakal nutup matanya?” batin Laura menjerit. Dengan perlahan, Laura menutup matanya, mencoba untuk mengabaikan Gavin yang masih menatapnya dengan intens.Tubuh Laura semakin kaku saat me