Laura kembali menangkap pemandangan Gavin yang sedang menatap ke arah Bagas. Matanya terbelalak begitu dia menatap Gavin yang tengah menyeringai ke arahnya. Dengan cepat Laura mengalihkan pandangannya. Bukan karena tak suka dengan senyum Gavin, hanya saja itu bukan senyum manis membuat hati berdebar kencang. Melainkan senyum menyeramkan yang dapat membangkitkan bulu kuduk. Seolah-olah dia memiliki sebuah rencana misterius.
Jantung Laura berdetak kencang. Apa yang mau dilakukan Kak Gavin ke padanya? Atau lebih tepatnya, apa yang akan Kak Gavin lakukan pada Kak Bagas?
Laura merasa selama ini Gavin dan Bagas tidak memiliki masalah. Kedua teman baiknya, Rey dan Thomas pun sepertinya tidak memiliki masalah dengan Bagas. Bahkan sepertinya, Laura tidak pernah menangkap momen mereka bersama, entah itu berteman maupun bertengkar. Jadi kenapa?
Eh kenapa aku jadi kepo? Laura menggeleng.
"Hei, Ra. Are you okay?" Bagas mengibaskan tangannya di depan wajah Laura yang sedang melamun.
Laura tersenyum canggung. "Kak Bagas bilang apa?"
"Besok gue jemput, ya?"
"Eh?" Laura mengedipkan matanya.
***
"Ra!" Laura tersentak karena mendapat tepukan yang cukup keras di bahunya.
Laura mencabut earphone yang melekat di telinganya dengan kesal. "Apa sih, Mell? Main pukul aja." Seru Laura.
"Kita keterima jadi panitia!" Pekik Mella senang. Alih-alih senang, Laura hanya memutar bola matanya dan melanjutkan langkahnya.
"Ih... Lo nggak mau tau bagian lo?"
"Emang apa?" Tanya Laura malas.
"Lo sekretaris dua. Terus gue sie acara. Sama kayak Kak Bagas." Ucap Mella semangat. "Oh ya, gimana ngedate lo kemaren?"
Pipi Laura sontak memanas. "Awh... Ada yang malu-malu nih. You're blushing, Ra." Goda Mella sambil menoel-noel pipi Laura.
"Apaan sih, Mell. Udah ah mau ke kelas."
Sepanjang perjalanan Mella tak henti-hentinya menggoda Laura. Laura yang pipinya tengah merona berjalan dengan cepat menuju kelasnya. Laura langsung duduk di bangkunya dan kembali larut dalam musik klasik favoritnya, tak menghiraukan Mella yang ada di sampingnya.
***
Pelajaran berlangsung sebagaimana mestinya. Laura yang tengah menyalin catatan tak menyadari bahwa jam istirahat sudah berbunyi. Mella menyenggol-senggol Laura meminta perhatiannya. Laura mengacuhkan Mella dan tetap fokus pada catatannya.
"Ayo dong, Ra. Udah istirahat nih." Bujuk Mella sambil menarik-narik seragam Laura.
"Kamu duluan aja. Aku nitip siomay kayak biasanya ya." Ucap Laura tanpa memindahkan tatapannya pada Mella.
"Kita sekarang itu rapat, Ra. Rapat perdana buat prom."
"Aku males banget, nih. Too lazy." Keluh Laura.
"Eh jangan males. Posisi lo tuh important. Sekretaris dua." Ingat Mella.
Dengan ogah-ogahan Laura beranjak dari duduknya. "Jangan lesu gitu dong." Laura menganggukkan kepalanya malas. Setelah itu, dengan langkah santai mereka menuju ruang OSIS untuk rapat. Walaupun awalnya tak ingin terlibat menjadi panitia prom night, Laura tahu bahwa sekarang dia sudah dipilih dan itu artinya Laura punya tanggung jawab atas keberhasilan acara prom night tahun ini.
***
Laura menyimak rapat dengan seksama dan sesekali mencatat hal-hal yang dianggapnya penting. Rapat kali ini Laura belajar banyak dari Linda. Bagaimana menjadi sekretaris yang baik. Ternyata bukan hanya skill menulis yang diperlukan untuk menjadi sekretaris, melainkan harus menjadi pendengar yang baik dan dengan cepat dapat memilah hal yang penting dan tak penting dalam rapat.
Di ujung meja, Gavin yang Laura akui memiliki kharisma yang kuat semakin bersinar karena memimpin rapat ini dengan penuh wibawa. Keputusan Gavin adalah mutlak. Yang lagi-lagi Laura akui sebagai keputusan yang terbaik. Tak jarang Gavin menengahi dan dapat menemukan solusi yang cepat dan efisien begitu ada anggota yang berdebat.
Andai saja sifat Gavin selalu seperti ini. Pasti Laura akan mendeklarasikan diri sebagai fans nomor satu Gavin. Namun sayangnya, sifat Gavin yang nakal, dan suka pembuat onar membuat Laura ilfeel padanya.
"Oke, sekarang kita bahas tema prom." Ucap Gavin. "Ada yang punya usulan?" Ruang OSIS langsung ramai oleh usulan dan sanggahan para anggota. Laura hanya diam memperhatikan karena dia memang tak punya usulan apa-apa untuk acara ini.
"Cukup!" Ucap Gavin tegas. Suara yang tadi saling menyahut langsung hilang bagai di telan bumi.
"Gue bakal nanya per sie. Kalian rundingin dulu usulan kalian. Lima belas menit lagi kita bahas" Ucap Gavin.
"Kita nggak ditanyain kan, Kak?" Tanya Laura pada Linda.
"Nggak," ucap Linda. "Eh lo katanya lagi deket sama Bagas ya?" Tanya Linda.
Ucapan Linda membuat pipi Laura memanas. "Nggak kok, Kak."
"Nggak masalah lagi. Btw, gue sepupu Bagas loh." Ucap Linda.
"Apa sih, Kak. Nggak kok. Biasa aja." Linda tertawa. Namun setelah itu dia tidak mengucapkan apapun lagi. Linda kembali disibukkan dengan kertas yang ada di depannya.
Mata Laura bergerak asal. Dia melihat Bagas yang ada berada lumayan jauh darinya. Bagas terlihat sangat rupawan saat dia dengan serius berdiskusi dengan teman sedivisinya. Tak mau lama-lama mengagumi Bagas. Laura kembali menyapu ruang OSIS. Seumur-umur dia tak pernah bermimpi untuk masuk ruang OSIS. Dari dulu dia tak ingin menjadi OSIS karena orang tuanya melarang. Laura disuruh fokus belajar dan tak boleh mengikuti kegiatan yang dapat mengganggu sekolahnya. Dan jelas OSIS tak cocok untuknya. Menurut pengamatannya, anggota OSIS itu selalu sibuk. Oh, mungkin Gavin—selaku ketua OSIS—pengecualian. Lihatlah sekarang, dia bahkan menyalakan rokoknya dengan santai. Padahal peraturannya, para siswa Newtonian High School tidak boleh merokok. Tapi dia dengan seenaknya merokok, bahkan di ruang OSIS. Tentu tidak ada yang berani menegurnya. Tidak ada yang ingin mencari masalah dengan Gavin and the genk. Bahkan dulu, di tengah sibuknya kegiatan OSIS, dia masih sering menjadi pemimpin tawuran dan suka mengganggu guru.
"Oke." Satu kata dari Gavin dapat membuat ruangan menjadi senyap. "Sie acara, apa konsep kalian?"
Laura sempat menangkap pandangan meremehkan dari Gavin begitu Bagas berdiri dan menjelaskan konsep prom night dari sie acara.
"Jadi kita bakal buat kayak garden party. Selain itu kita juga akan membuat pesta topeng. Setiap siswa yang mengikuti prom harus memakai topeng yang udah disediakan dan mengenakan pakaian sesuai dress code." Setelah Bagas menyelesaikan ucapannya, dia duduk dan diiringi oleh tepukan riuh.
Setelah menanyai setiap sie. Linda dan Laura mencatat setiap konsep yang diajukan oleh tiap-tiap sie. Setelah membaca catatan dari Linda dan Laura, Gavin terlihat sedikit berpikir, Gavin menghembuskan nafasnya. "Jadi konsep prom kita di taman dan nusantara modern. Sebelum prom kita bakal buat konser amal dan uang akan disumbangkan ke warga sekitar. Di konser kita buat bazar yang isinya karya kelas 12 dan untuk dress code kita pake cocktail. Tapi, setiap kelas nanti ada perwakilan buat fashion show pake baju yang ada identitas adat. Setuju?" Tanpa menunggu jawaban, Gavin segera duduk diiringi tepuk tangan meriah dari panitia prom.
Keren. Batin Laura. Dengan mudahnya dia menggabungkan semua konsep. Laura lagi-lagi sedikit dibuat kagum oleh Gavin. Namun, kekaguman Laura akan Gavin masih kalah dengan kekagumannya pada sosok yang kini tengah melempar senyum padanya. Laura membalasnya dengan senyum canggung.
"Cie yang saling senyum-senyuman." Laura segera menundukkan kepalanya begitu mendengar suara Linda. "Udah malunya. Yuk ke kelas." Laura segera merapikan kertas-kertas yang ada di hadapannya dan keluar dari ruang OSIS.
Laura keluar dari ruang OSIS dan menemui Mella yang telah menunggunya. "Gila gila, tadi Kak Gavin kece banget." Ucap Mella dengan mata menerawang. Ingin sekali Laura memutar bola matanya. Namun dia juga mengagumi sosok Gavin tadi.
Mella menatap Laura heran, "Tumben diem. Biasanya langsung julidin gue kalo gue bahas Kak Gavin." Mella menudingkan telunjuknya ke Laura. "Jangan-jangan lo berpaling dari prince charming lo ya?"
Kini Laura benar-benar memutar bola matanya. "Tadi emang gue sempet kagum sama Kak Gavin, tapi tetep gue sukanya sama Kak Bagas." Ucap Laura bangga.
Mereka berjalan beriringan menuju kelas. Di koridor, mereka bertemu Bu Ratih yang terlihat kesusahan membawa tumpukan buku. Mereka berjalan mendekati Bu Ratih.
"Ada yang bisa saya bantu, Bu?" Tanya Mella sopan.
"Oh iya, tolong ibu ya. Bawakan ke kelas 12 IPA 3." Bu Ratih langsung menyodorkan buku pada Mella. Laura mengambil setengah dan membawanya. Mereka mengikuti Bu Ratih dari belakang.
"Asal lo tau, Ra. 12 IPA 3 itu kelasnya Kak Gavin."
Laura diam tanpa mau menjawab ucapan Mella. Mella pun sepertinya tidak memasalahkan hal tersebut. Dalam diam mereka melajukan langkahnya menaiki tangga menuju lantai 3.
Mereka merasa gugup saat melewati koridor lantai 3. Banyak kakak kelas yang terang-terangan menatap ke arah mereka, bahkan ada beberapa yang menggoda mereka. Mereka tak pernah melewati koridor lantai 3 saat ramai. Biasanya mereka menginjakkan kaki di lantai 3 jika pelajaran telah usai. Memang di lantai 3 ini dikhususkan untuk semua kelas lantai 3 dan beberapa ruang ekskul.
Plat kelas 12 IPA 3 telah terlihat. Dengan pelan mereka melintasi pintu. Bu Ratih mengisyaratkan agar Mella dan Laura menyimpan buku-buku itu di atas meja guru. Setelah pamit pada Bu Ratih, Mella dan Laura segera keluar dari kelas tersebut dengan menundukkan kepalanya takut.
Laura merasakan dirinya diperhatikan. Dari ujung matanya Laura mencari orang yang melihatnya. Nafas Laura tertahan. Di sana. Di bangku paling belakang pojok. Ada sepasang mata elang yang menatapnya dengan tajam. Tak lupa bibirnya yang menyunggingkan senyuman. Bulu kuduk Laura meremang. Sedetik kemudian Laura memutuskan kontak mata dan berjalan cepat.
Senyuman misterius itu lagi. Batin Laura.
Baik Laura maupun Mella, mereka merasa gugup saat melewati koridor lantai 3. Tidak sedikit kakak kelas menggoda mereka. Memang koridor kelas 12 ini terkenal seram. Hanya anak anak kelas 11 dan 10 yang memiliki mental baja yang dapat melewatinya. Oke itu lebay. Tapi melewati koridor itu saat sedang jam pelajaran memang menantang maut. Laura dan Mella mungkin hanya beberapa kali melewaatinya karena ruang ekskul yang memang berada di sana. Itupun saat pulang sekolah dan tidak ada orang di lorong.Plat kelas 12 IPA 3 telah terlihat. Dengan pelan mereka melintasi pintu. Bu Ratih mengisyaratkan pada Mella dan Laura agar menyimpan buku-buku yang dibawa oleh mereka di atas meja guru. Setelah pamit pada Bu Ratih, Mella dan Laura segera keluar dari kelas tersebut dengan menundukkan kepalanya karena takut dan gugup.Laura merasa sedang diperhatikan. Dari ujung matanya Laura mencari orang yang sekiranya memperhatikannya. Nafas Laura tertahan. Di sana. Di bangku paling bel
"Sendiri aja, Mas. Itu ada Pak Tono." Mella menunjuk Pak Tono saat Geri menawari untuk mengantarkannya.Geri mengangguk. "Udah ah. Yuk pulang." Geri menggandeng tangan Sandra.Laura dan Mella berdiri. Mereka berjalan mendekati mobilnya. Di dalam mobil Laura dan Mella masih menceritakan kehidupan Sandra dan Geri. Mereka terlihat romantis."Tapi kasian, udah 2 tahun nikah tapi belum dapet anak."Laur mengangguk maklum. "Masih 2 tahun. Ya kita doain aja."***Laura dan Mella sedang mempersiapkan diri menuju tempatprom. Laura melirik Mella kesal. Mella tak mau kalah, dia pun melirik Laura kesal, namun setelah itu menampakkan senyum puas. Laura mendengus, menatap pantulan wajahnya di kaca mobil. Laura memang memuji keterampilan Mella dalam merias. Walaupun tadi Laura sempat kukuh dengan pendiriannya yangno make up. Sedangkan Mella denganmake up no make up. Dan akhirnya dimenangkan oleh Mella setelah pe
Laura yang mendengar suara Gavin segera melangkahkan tubuhnya pelan menuju tempat di mana Gavin berada. Laura melihat Gavin berdiri di depan pintu. Laura menghampiri Gavin. Laura berdiri di depan Gavin dan mengulurkan laporan yang diminta Gavin.Laura mendongakkan kepalanya saat merasa ada jemari yang menyentuh dagunya. Laura terkesiap. Saat kesadaran Laura datang, Laura segera memberontak. Dia dapat merasakan bau alkohol dari mulut Gavin. Laura tahu dirinya sekarang berada dalam bahaya. Gavin segera mendekatkan wajahnya. Laura menggelengkan kepalanya. Otaknya tahu apa yang akan terjadi. Dan tebakannya benar.Gavin menciummya.***Laura memberontak. Ciuman itu akhirnya terlepas. Air mata Laura mengalir. Ciuman pertamanya telah hilang. Laura menggosok kasar bibirnya. Seolah hendak menghilangkan bekas Gavin di bibirnya.Laura hendak berlari, namun Gavin lebih gesit. Gavin menarik Laura dan membenturkannya ke dinding. Gavin meletakkan tangannya di sam
Selamat Kak Gavin. Batin Laura pilu.Selamat karena Kakak sudah menghancurkan hidupku.Mata Laura memberat. Laura tak lagi mempedulikan Gavin yang sepertinya belum puas menghancurkan Laura. Laura memejamkan matanya. Dia berharap ini hanyalah mimpi. Jika ini bukan mimpi, Laura berharap saat bangun nanti sudah ada malaikat pencabut nyawa yang menantinya. Toh, dia sudah hancur, untuk apa lagi dia hidup?"Tidur dan selamat menikmati hidupmu yang baru, Cewek Bekas." Ucap Gavin sebelum tidur di sampingnya.Air mata Laura mengalir. Dia belum sepenuhnya tidur dan masih bisa mendengarkan ucapan tajam Gavin. Batin dan fisik Laura benar-benar sakit. Dia butuh istirahat dan akhirnya dia benar-benar tertidur. Beristirahat sejenak sebelum memulai hidup yang berbeda.Tuhan, tolong cabut nyawaku sedetik sebelum aku terbangun dari mimpi buruk ini. Batin Laura sebelum alam mimpi menjemputnya.***Laura menggerakkan tubuhnya yan
"Lo abis nangis?" Tanya Mella curiga. Bagas pun menatap Laura dengan tatapan curiga. "Eh, iya. Nggak. Eh." Laura kelabakan menjawabnya. Mata Mella dan Bagas semakin memincing. "Itu... Aku abis maraton. Iya maraton drakor." Ucap Laura. Mella dan Bagas hanya mengangguk mencoba percaya. "Eh mending aku ke minimarket dulu. Beli cemilan." Mereka mengangguk. Laura berjuang menormalkan cara jalannya. Sedikit sulit. Pangkal pahanya masih terasa sedikit nyeri, walau tak senyeri kemarin. Laura bernafas lega begitu sudah keluar dari gerbang sederhana. Dengan langkah pelan dia berjalan menuju minimarket yang ada di ujung gangnya. Setelah membeli beberapa cemilan, Laura keluar dari mini market. Tubuh Laura menegang. Wajah Laura berubah pias. Air mata sudah memupuk di kelopak matanya. "Hai." *** "Hai,” ucap Gavin dengan tangan yang dimasukkan ke dalam sakunya. Laura menunduk dan menjauhi Gavin. Dengan langk
"Lo kek nyembunyiin sesuatu. Keknya lo banyak pikiran deh. Nggak mau share?" Mella masih memfokuskan dirinya dengan cemilan dan laptop. Laura meremas tangannya. Ucapan Mella membuat Laura kembali mengingat hari itu.Aku dilecehin, Mell. Aku dilecehin sama orang yang kamu kagumi. Ingin sekali Laura meneriakkan kalimat itu. Tapi Laura takut jika dia bilang ke Mella, akan ada orang lagi yang mengetahuinya. "Nggak ada, Mell.” "Ra,” ucap Mella, dia sudah memfokuskan dirinya pada Laura. "Gue sahabat lo. Lo bisasharemasalah lo ke gue. Gue gak bakal ninggalin lo. Gimanapun keadaan lo. Gue bakal bantuin lo.That's best friend for.” Laura menitikkan air matanya. Andai dia bisa mengungkapkan semuanya. Tapi Laura terlalu takut. Dia takut Mella menjauhinya. "Aku terharu,” Laura menghapus matanya dengan berlebihan. Mella memukul lengan atas Laura sebal. "But thanksMell. Aku bakal cerita apapu
"Anaknya papa cowok ganteng?" Tanya Dara.Bagas mengacak rambut adiknya gemas. "Masih kecil udah mikirin cowok ganteng. Ini kakak juga ganteng.”Dara menyingkirkan tangan Bagas kesal. "Aku bosen liat wajah kakak.” Dengusnya."Eh, nama anak papa siapa?"***Langit sudah gelap, Laura masih setia menatap langit kamarnya. Dia memikirkan tingkah Gavin yang aneh. Otak Laura kembali mengulang kejadian sore tadi."Mau buktiin gue bukan gay?" desis GavinLaura menggeleng, matanya kembali mengembun dan siap menurunkan air mata. Laura takut Gavin akan melakukan lagi hal yang sore itu ia lakukan. Laura sungguh tak ingin dilecehkan lagi."Kenapa nangis?" ucap Gavin tepat di depan wajah Laura. Laura dapat merasakan embusan nafas Gavin di wajahnya."Maaf,” Laura semakin menekan kepalanya ke pintu. Dia ingin menjauhkan kepalanya dari Gavin. Namun ruangnya terbatas.Gavin s
"Ayo, Ra. Makan.” Bagas mempersilahkan Laura.Laura terpaksa makan. Bagas memperhatikan Laura yang sedang makan dengan gelisah. "Kenapa?" Tanya Bagas.Laura tersedak karena terkejut. Bagas segera menyodorkan minuman ke Laura. "Eh itu, ayo pulang,” Laura segera menghabiskan makanannya dan berdiri. Bagas berdiri meninggalkan makanannya yang masih dimakan separuhnya."Kenapa buru-buru?" Tanya Bagas saat mereka sudah diperjalanan."Itu…” Laura memeras otaknya. "Aku ditunggu tukang yang mau benerin kran bocor.”Bagas menatap Laura aneh. Seolah-olah Laura telah mengatakan hal yang tak mungkin. Tapi Bagas hanya memilih diam.Ponsel Laura kembali bergetar. Seolah sudah menebak siapa yang memanggilnya, Laura segera mengangkat panggilan itu. [Gue sampe.] Dan panggilan dimatikan.Tubuh Laura kembali menegang.***Entah Laura harus merasa lega atau justru ta
Suara tepukan tangan terdengar meriah. Tangan Gavin mengelus surai lembut Laura yang tampak terharu. Di depan sana, di atas panggung, Davi berdiri dengan penuh percaya diri karena meraih predikat sebagai lulusan terbaik di taman kanak-kanak. Nama Gavin dipanggil untuk mendampingi Davi di atas panggung. “Kamu aja yang naik ke panggung.” Gavin menepukkan tangannya pada telapak tangan Laura yang menggenggam erat karena terlalu antusias.Laura menoleh. “Kak Gavin aja. Semuanya yang di atas ditemenin ayahnya.”“Aku mau videoin kamu di sini. Kamu aja yang naik.”Laura menatap Gavin dengan wajah terharu. “Terima kasih,” ujar Laura sebelum beranjak dari duduknya dan menghampiri Davi. Sebelum berdiri di belakang Davi, Laura mengecup puncak kepala Davi dan menggumamkan beberapa kata selamat sehingga wajah Davi terlihat lebih berseri.Gavin menatap dua sosok kesayangannya dari kursi wali murid. Dalam bayangannya, Gavin tidak pernah bermimpi berada di fase seperti ini. Jika boleh, Gavin ingin me
Di samping itu semua, Laura sangat terharu dengan interaksi antara Geo dan Gavin. pasangan ayah-anak tersebut beberapa kali melakukan interaksi, meskipun kecanggungan masih terasa di sana. Paling tidak, Laura tidak lagi melihat kebencian di mata Gavin saat menatap Sang Ayah. Laura menjadi saksi bagaimana beberapa hari ini Gavin mencoba berdamai dengan masa lalunya. Sejak perceraian Geo, hubungan suami dan ayah mertuanya itu sedikit membaik. Bahkan, Gavin juga menerima permintaan maaf Vega meskipun dirinya tidak ingin sama sekali berhubungan dengan mantan ibu tirinya itu.***Kembali lagi ke waktu dua hari setelah Laura keluar dari rumah sakit, Laura dan Gavin duduk berdua di depan rumah Laura. Geo, ayah Gavin, baru saja kembali dari rumah Laura sebab ada beberapa hal yang perlu beliau diskusikan bersama Arkan. Di sanalah Laura tahu bahwa antara Geo dan Vega sudah tidak ada lagi hubungan pernikahan karena secara resmi sudah bercerai.“Kak Gavin…” Laura menjeda ucapannya. Jujur saja, d
Punggung Laura yang tegang kini mulai mengendur. “Jangan hari ini ya, Kak?” pinta Laura pada Gavin.Gavin menganggukkan kepalanya. Tangannya masih belum berhenti untuk mengelus tengkuk Laura. “Hari ini aku cuma mau denger cerita tentang kamu dan Davi yang masih belum aku tau.”Malam itu, Laura dan Gavin habiskan untuk membahas banyak sekali hal. Bukan hanya Laura, Gavin juga menceritakan tentang kesehariannya selama dia bersekolah di luar negeri. Laura merasa sangat antusias mendengar cerita dari Gavin tentang masa kuliah karena dia tidak bisa merasakan masa itu dulu. Jika ditanyakan menyesal atau tidak, Laura tidak menyesal. Baginya, menjadi ibu yang baik untuk Davi sudah membuatnya sangat puas.***Laura dan Gavin menata barang-barangnya di rumah baru mereka. Laura sangat berterima kasih kepada Gavin saat lelaki itu mengatakan bahwa dirinya sudah menyiapkan rumah untuk ditinggalinya bertiga. Gavin juga sangat mempertimbangkan lokasinya untuk perkembangan Davi. Gavin memilih lokasi d
“Abis sarapan aku mau ngajak kamu buat nyiapin berkas buat akad, takutnya nanti Davi kecapean kalo ikut kita.” Laura hanya menganggukkan kepalanya paham saat menerima penjelasan Davi. Gavin membukakan pintu belakang mobil dan mempersilakan Laura masuk. Laura hanya diam menurut saat Gavin yang biasanya memilih untuk menyetir sendiri mobil saat bersamanya, hari ini menggunakan supir. Begitu mobil melaju, Gavin langsung merebahkan kepalanya ke arah Laura. Tubuhnya juga dia dekatkan hingga menempel penuh dengan Laura. “Kak Gavin jangan gini, ah. Malu.” Laura berbisik pada Gavin karena takut menyinggung supir Gavin. “Aku kangen banget,” ujar Gavin yang semakin menempelkan tubuh mereka. *** Laura dan Gavin sudah menyelesaikan beberapa berkas yang dibutuhkan untuk menikah pada empat hari mendatang. Tentu saja banyak uang yang harus Gavin keluarkan agar proses yang dibutuhkan lancar dan cepat. Atas permintaan Laura, akad akan dilakukan secara sederhana di rumahnya. Tidak serta merta menur
Vega berdiri dan mendekatkan dirinya pada Geo yang menatapnya dengan datar. “Mas, apapun keputusanmu, aku terima. Kalo kamu mau ceraiin aku juga aku terima, Mas. Asalkan kamu bisa maafin aku.”“Kamu bisa ngembaliin semuanya, nggak? Bisa bikin Shanti hidup dan maafin aku lagi? Bisa bikin Gavin nggak benci aku lagi? Bisa bikin semuanya balik normal lagi. Kalo kamu bisa, aku maafin kamu.”“Mas, aku nyesel, aku minta maaf.” Vega menggumamkannya berkali-kali dengan air mata yang tak hentinya mengalir dari kedua matanya.Geo menghembuskan nafasnya dengan berat. “Jelasin semuanya ke Gavin tanpa ada yang kamu tutupi. Setelah itu, saya akan ngajuin perceraian kita. Saya nggak bisa nikah sama orang jahat seperti kamu.” Geo mulai mengembalikan gaya bahasa seperti dulu dan Vega hanya bisa pasrah.***Dua hari berlalu dan Laura hari ini keluar dari rumah sakit. Dari tadi, Gavi sudah disibukkan dengan administrasi. Sebelumnya, Arkan sudah ingin mengurusnya, namun dengan tegas Gavin menolaknya. Bagi
Dunia Geo terasa runtuh pada saat membaca berkas dari rumah sakit yang menyatakan bahwa Vega tengah mengandung. Meskipun Geo tidak mengingat sama sekali apa yang terjadi di malam itu, dirinya tetap harus mempertanggung-jawabkannya. Geo menghembuskan nafasnya panjang, semua ini terasa berat baginya.Geo tidak sanggup jika harus mengatakannya pada Shanti dan Gavin. Dirinya belum siap, tidak akan siap jika kedua orang itu harus membencinya. Mata Geo memanas, hatinya sangat hancur saat dirinya membayangkan bagaimana reaksi Shanti dan Gavin.“Aku nggak masalah kalau kita harus nikah siri dan menyembunyikannya dari Shanti, Mas.”“Keluar.” Hanya satu kata itu yang bisa Geo ucapkan.“Mas, aku-”“Saya bilang keluar, Vega!” tegas Geo dengan nada tinggi. Vega akhirnya mengangguk sedih dan memilih untuk keluar dari ruangan Geo. Vega memberikan sedikit ruang pada Geo. Namun, hanya ada satu pilihan pada saat ini, yaitu Geo menikahinya.“Maafin aku, Shanti.”***“Ma, aku kemaren denger Mama nangis
Geo menghembuskan nafasnya berat. Lagi dan lagi, rasa bersalah karena tidak bisa menyelamatkan sahabatnya itu kembali menghantam hati Geo. Sebab dirinya, Dara dan Bagas, anak pertama Egi harus kehilangan peran ayah. “Baiklah,” ujar Geo dengan memaksakan senyumnya.“Makasih ya.” Vega memberikan senyum terbaiknya kepada Geo yang hanya dibalas anggukan singkat dari Geo.“Saya kabari Shanti dulu,” ujar Geo tanpa memberikan banyak atensi pada Vega.Geo bergerak gelisah dengan tangan memandangi layar ponselnya. Di sana, terdapat nama kontak “Soul” dan dibubuhkan emoji hati di sampingnya. Sedari tadi, kontak Shanti hanya berdering tanpa diangkat oleh empunya.Menyerah, Geo memilih untuk mengetikkan pesan pada Shanti bahwa dirinya tidak pulang untuk malam ini karena ada beberapa pekerjaan yang harus segera diselesaikannya. Untungnya, sebelum kematian Egi, Geo memang sudah sering menginap di kantor karena memang banyak pekerjaan yang hars segera diselesaikannya karena tenggat waktu yang sudah
Ciuman itu terhenti dengan Laura yang terengah-engah dan segera meraup oksigen yang ada di sekelilingnya. Berbeda dengan Laura, Gavin sama sekali terlihat biasa saja. Bahkan, tangan Gavin sekarang bergerak untuk membersihkan bibir Laura yang basah akibat saliva mereka berdua.“Faktanya emang kamu nggak nolak ciuman dari aku, Ra.”Laura menghembuskan nafasnya lelah. Berbicara dengan Gavin membuatnya tidak pernah bisa berkutik. Gavin dengan segala argumennya membuat Laura kalah. Selain itu, aura dominan yang menguar dari tubuh Gavin membuat siapa pun akan memilih diam daripada semakin kalah. “Terserah kak Gavin aja deh.”“Oh iya, Ra. Kamu kudu belajar pernafasan lagi, deh.”“Kenapa emangnya?” tanya Laura yang sedikit bingung dengan ucapan Gavin yang tiba-tiba dan sangat tak terduga itu.“Biar kita kalo ciuman bisa lebih lama.”***Vega POVAku berjalan menuju salah satu kamar di rumah sakit dengan kaki yang lemas. Setelah mendapatkan telpon dari pihak rumah sakit, serta merta hatiku dil
Tangan kiri Gavin yang sedari tadi diam dan tidak ikut mengelus rambut Laura beralih untuk mencubit pipi Laura dengan lembut. Tangan Laura terangkat untuk melindungi pipinya dari serangan Gavin. Meski begitu, Gavin masih memiliki cela untuk mencubit pipi Laura. Bahkan, sekarang Gavin beralih untuk mencubit hidung mancung Laura.“Kak Gavin, stop it,” ujar Laura dengan geli. Gavin terkekeh dan menghentikan cubitannya pada Laura.“I wanna kiss you so bad,” bisik Gavin dengan suara lirihnya. Bahkan saat ini, wajah Gavin berada tepat di atas wajah Laura. Bergerak sedikit saja, bibir Laura pasti akan menyentuh bibir milik Gavin.Wajah Laura rasanya terbakar melihat tatapan Gavin yang sangat intens padanya. Jantung Laura terasa berdebar. “Apa Kak Gavin bakal natap aku terus? Bukannya di film kalo orang ciuman bakal nutup matanya?” batin Laura menjerit. Dengan perlahan, Laura menutup matanya, mencoba untuk mengabaikan Gavin yang masih menatapnya dengan intens.Tubuh Laura semakin kaku saat me