Laura kembali menangkap pemandangan Gavin yang sedang menatap ke arah Bagas. Matanya terbelalak begitu dia menatap Gavin yang tengah menyeringai ke arahnya. Dengan cepat Laura mengalihkan pandangannya. Bukan karena tak suka dengan senyum Gavin, hanya saja itu bukan senyum manis membuat hati berdebar kencang. Melainkan senyum menyeramkan yang dapat membangkitkan bulu kuduk. Seolah-olah dia memiliki sebuah rencana misterius.
Jantung Laura berdetak kencang. Apa yang mau dilakukan Kak Gavin ke padanya? Atau lebih tepatnya, apa yang akan Kak Gavin lakukan pada Kak Bagas?
Laura merasa selama ini Gavin dan Bagas tidak memiliki masalah. Kedua teman baiknya, Rey dan Thomas pun sepertinya tidak memiliki masalah dengan Bagas. Bahkan sepertinya, Laura tidak pernah menangkap momen mereka bersama, entah itu berteman maupun bertengkar. Jadi kenapa?
Eh kenapa aku jadi kepo? Laura menggeleng.
"Hei, Ra. Are you okay?" Bagas mengibaskan tangannya di depan wajah Laura yang sedang melamun.
Laura tersenyum canggung. "Kak Bagas bilang apa?"
"Besok gue jemput, ya?"
"Eh?" Laura mengedipkan matanya.
***
"Ra!" Laura tersentak karena mendapat tepukan yang cukup keras di bahunya.
Laura mencabut earphone yang melekat di telinganya dengan kesal. "Apa sih, Mell? Main pukul aja." Seru Laura.
"Kita keterima jadi panitia!" Pekik Mella senang. Alih-alih senang, Laura hanya memutar bola matanya dan melanjutkan langkahnya.
"Ih... Lo nggak mau tau bagian lo?"
"Emang apa?" Tanya Laura malas.
"Lo sekretaris dua. Terus gue sie acara. Sama kayak Kak Bagas." Ucap Mella semangat. "Oh ya, gimana ngedate lo kemaren?"
Pipi Laura sontak memanas. "Awh... Ada yang malu-malu nih. You're blushing, Ra." Goda Mella sambil menoel-noel pipi Laura.
"Apaan sih, Mell. Udah ah mau ke kelas."
Sepanjang perjalanan Mella tak henti-hentinya menggoda Laura. Laura yang pipinya tengah merona berjalan dengan cepat menuju kelasnya. Laura langsung duduk di bangkunya dan kembali larut dalam musik klasik favoritnya, tak menghiraukan Mella yang ada di sampingnya.
***
Pelajaran berlangsung sebagaimana mestinya. Laura yang tengah menyalin catatan tak menyadari bahwa jam istirahat sudah berbunyi. Mella menyenggol-senggol Laura meminta perhatiannya. Laura mengacuhkan Mella dan tetap fokus pada catatannya.
"Ayo dong, Ra. Udah istirahat nih." Bujuk Mella sambil menarik-narik seragam Laura.
"Kamu duluan aja. Aku nitip siomay kayak biasanya ya." Ucap Laura tanpa memindahkan tatapannya pada Mella.
"Kita sekarang itu rapat, Ra. Rapat perdana buat prom."
"Aku males banget, nih. Too lazy." Keluh Laura.
"Eh jangan males. Posisi lo tuh important. Sekretaris dua." Ingat Mella.
Dengan ogah-ogahan Laura beranjak dari duduknya. "Jangan lesu gitu dong." Laura menganggukkan kepalanya malas. Setelah itu, dengan langkah santai mereka menuju ruang OSIS untuk rapat. Walaupun awalnya tak ingin terlibat menjadi panitia prom night, Laura tahu bahwa sekarang dia sudah dipilih dan itu artinya Laura punya tanggung jawab atas keberhasilan acara prom night tahun ini.
***
Laura menyimak rapat dengan seksama dan sesekali mencatat hal-hal yang dianggapnya penting. Rapat kali ini Laura belajar banyak dari Linda. Bagaimana menjadi sekretaris yang baik. Ternyata bukan hanya skill menulis yang diperlukan untuk menjadi sekretaris, melainkan harus menjadi pendengar yang baik dan dengan cepat dapat memilah hal yang penting dan tak penting dalam rapat.
Di ujung meja, Gavin yang Laura akui memiliki kharisma yang kuat semakin bersinar karena memimpin rapat ini dengan penuh wibawa. Keputusan Gavin adalah mutlak. Yang lagi-lagi Laura akui sebagai keputusan yang terbaik. Tak jarang Gavin menengahi dan dapat menemukan solusi yang cepat dan efisien begitu ada anggota yang berdebat.
Andai saja sifat Gavin selalu seperti ini. Pasti Laura akan mendeklarasikan diri sebagai fans nomor satu Gavin. Namun sayangnya, sifat Gavin yang nakal, dan suka pembuat onar membuat Laura ilfeel padanya.
"Oke, sekarang kita bahas tema prom." Ucap Gavin. "Ada yang punya usulan?" Ruang OSIS langsung ramai oleh usulan dan sanggahan para anggota. Laura hanya diam memperhatikan karena dia memang tak punya usulan apa-apa untuk acara ini.
"Cukup!" Ucap Gavin tegas. Suara yang tadi saling menyahut langsung hilang bagai di telan bumi.
"Gue bakal nanya per sie. Kalian rundingin dulu usulan kalian. Lima belas menit lagi kita bahas" Ucap Gavin.
"Kita nggak ditanyain kan, Kak?" Tanya Laura pada Linda.
"Nggak," ucap Linda. "Eh lo katanya lagi deket sama Bagas ya?" Tanya Linda.
Ucapan Linda membuat pipi Laura memanas. "Nggak kok, Kak."
"Nggak masalah lagi. Btw, gue sepupu Bagas loh." Ucap Linda.
"Apa sih, Kak. Nggak kok. Biasa aja." Linda tertawa. Namun setelah itu dia tidak mengucapkan apapun lagi. Linda kembali disibukkan dengan kertas yang ada di depannya.
Mata Laura bergerak asal. Dia melihat Bagas yang ada berada lumayan jauh darinya. Bagas terlihat sangat rupawan saat dia dengan serius berdiskusi dengan teman sedivisinya. Tak mau lama-lama mengagumi Bagas. Laura kembali menyapu ruang OSIS. Seumur-umur dia tak pernah bermimpi untuk masuk ruang OSIS. Dari dulu dia tak ingin menjadi OSIS karena orang tuanya melarang. Laura disuruh fokus belajar dan tak boleh mengikuti kegiatan yang dapat mengganggu sekolahnya. Dan jelas OSIS tak cocok untuknya. Menurut pengamatannya, anggota OSIS itu selalu sibuk. Oh, mungkin Gavin—selaku ketua OSIS—pengecualian. Lihatlah sekarang, dia bahkan menyalakan rokoknya dengan santai. Padahal peraturannya, para siswa Newtonian High School tidak boleh merokok. Tapi dia dengan seenaknya merokok, bahkan di ruang OSIS. Tentu tidak ada yang berani menegurnya. Tidak ada yang ingin mencari masalah dengan Gavin and the genk. Bahkan dulu, di tengah sibuknya kegiatan OSIS, dia masih sering menjadi pemimpin tawuran dan suka mengganggu guru.
"Oke." Satu kata dari Gavin dapat membuat ruangan menjadi senyap. "Sie acara, apa konsep kalian?"
Laura sempat menangkap pandangan meremehkan dari Gavin begitu Bagas berdiri dan menjelaskan konsep prom night dari sie acara.
"Jadi kita bakal buat kayak garden party. Selain itu kita juga akan membuat pesta topeng. Setiap siswa yang mengikuti prom harus memakai topeng yang udah disediakan dan mengenakan pakaian sesuai dress code." Setelah Bagas menyelesaikan ucapannya, dia duduk dan diiringi oleh tepukan riuh.
Setelah menanyai setiap sie. Linda dan Laura mencatat setiap konsep yang diajukan oleh tiap-tiap sie. Setelah membaca catatan dari Linda dan Laura, Gavin terlihat sedikit berpikir, Gavin menghembuskan nafasnya. "Jadi konsep prom kita di taman dan nusantara modern. Sebelum prom kita bakal buat konser amal dan uang akan disumbangkan ke warga sekitar. Di konser kita buat bazar yang isinya karya kelas 12 dan untuk dress code kita pake cocktail. Tapi, setiap kelas nanti ada perwakilan buat fashion show pake baju yang ada identitas adat. Setuju?" Tanpa menunggu jawaban, Gavin segera duduk diiringi tepuk tangan meriah dari panitia prom.
Keren. Batin Laura. Dengan mudahnya dia menggabungkan semua konsep. Laura lagi-lagi sedikit dibuat kagum oleh Gavin. Namun, kekaguman Laura akan Gavin masih kalah dengan kekagumannya pada sosok yang kini tengah melempar senyum padanya. Laura membalasnya dengan senyum canggung.
"Cie yang saling senyum-senyuman." Laura segera menundukkan kepalanya begitu mendengar suara Linda. "Udah malunya. Yuk ke kelas." Laura segera merapikan kertas-kertas yang ada di hadapannya dan keluar dari ruang OSIS.
Laura keluar dari ruang OSIS dan menemui Mella yang telah menunggunya. "Gila gila, tadi Kak Gavin kece banget." Ucap Mella dengan mata menerawang. Ingin sekali Laura memutar bola matanya. Namun dia juga mengagumi sosok Gavin tadi.
Mella menatap Laura heran, "Tumben diem. Biasanya langsung julidin gue kalo gue bahas Kak Gavin." Mella menudingkan telunjuknya ke Laura. "Jangan-jangan lo berpaling dari prince charming lo ya?"
Kini Laura benar-benar memutar bola matanya. "Tadi emang gue sempet kagum sama Kak Gavin, tapi tetep gue sukanya sama Kak Bagas." Ucap Laura bangga.
Mereka berjalan beriringan menuju kelas. Di koridor, mereka bertemu Bu Ratih yang terlihat kesusahan membawa tumpukan buku. Mereka berjalan mendekati Bu Ratih.
"Ada yang bisa saya bantu, Bu?" Tanya Mella sopan.
"Oh iya, tolong ibu ya. Bawakan ke kelas 12 IPA 3." Bu Ratih langsung menyodorkan buku pada Mella. Laura mengambil setengah dan membawanya. Mereka mengikuti Bu Ratih dari belakang.
"Asal lo tau, Ra. 12 IPA 3 itu kelasnya Kak Gavin."
Laura diam tanpa mau menjawab ucapan Mella. Mella pun sepertinya tidak memasalahkan hal tersebut. Dalam diam mereka melajukan langkahnya menaiki tangga menuju lantai 3.
Mereka merasa gugup saat melewati koridor lantai 3. Banyak kakak kelas yang terang-terangan menatap ke arah mereka, bahkan ada beberapa yang menggoda mereka. Mereka tak pernah melewati koridor lantai 3 saat ramai. Biasanya mereka menginjakkan kaki di lantai 3 jika pelajaran telah usai. Memang di lantai 3 ini dikhususkan untuk semua kelas lantai 3 dan beberapa ruang ekskul.
Plat kelas 12 IPA 3 telah terlihat. Dengan pelan mereka melintasi pintu. Bu Ratih mengisyaratkan agar Mella dan Laura menyimpan buku-buku itu di atas meja guru. Setelah pamit pada Bu Ratih, Mella dan Laura segera keluar dari kelas tersebut dengan menundukkan kepalanya takut.
Laura merasakan dirinya diperhatikan. Dari ujung matanya Laura mencari orang yang melihatnya. Nafas Laura tertahan. Di sana. Di bangku paling belakang pojok. Ada sepasang mata elang yang menatapnya dengan tajam. Tak lupa bibirnya yang menyunggingkan senyuman. Bulu kuduk Laura meremang. Sedetik kemudian Laura memutuskan kontak mata dan berjalan cepat.
Senyuman misterius itu lagi. Batin Laura.
Baik Laura maupun Mella, mereka merasa gugup saat melewati koridor lantai 3. Tidak sedikit kakak kelas menggoda mereka. Memang koridor kelas 12 ini terkenal seram. Hanya anak anak kelas 11 dan 10 yang memiliki mental baja yang dapat melewatinya. Oke itu lebay. Tapi melewati koridor itu saat sedang jam pelajaran memang menantang maut. Laura dan Mella mungkin hanya beberapa kali melewaatinya karena ruang ekskul yang memang berada di sana. Itupun saat pulang sekolah dan tidak ada orang di lorong.Plat kelas 12 IPA 3 telah terlihat. Dengan pelan mereka melintasi pintu. Bu Ratih mengisyaratkan pada Mella dan Laura agar menyimpan buku-buku yang dibawa oleh mereka di atas meja guru. Setelah pamit pada Bu Ratih, Mella dan Laura segera keluar dari kelas tersebut dengan menundukkan kepalanya karena takut dan gugup.Laura merasa sedang diperhatikan. Dari ujung matanya Laura mencari orang yang sekiranya memperhatikannya. Nafas Laura tertahan. Di sana. Di bangku paling bel
"Sendiri aja, Mas. Itu ada Pak Tono." Mella menunjuk Pak Tono saat Geri menawari untuk mengantarkannya.Geri mengangguk. "Udah ah. Yuk pulang." Geri menggandeng tangan Sandra.Laura dan Mella berdiri. Mereka berjalan mendekati mobilnya. Di dalam mobil Laura dan Mella masih menceritakan kehidupan Sandra dan Geri. Mereka terlihat romantis."Tapi kasian, udah 2 tahun nikah tapi belum dapet anak."Laur mengangguk maklum. "Masih 2 tahun. Ya kita doain aja."***Laura dan Mella sedang mempersiapkan diri menuju tempatprom. Laura melirik Mella kesal. Mella tak mau kalah, dia pun melirik Laura kesal, namun setelah itu menampakkan senyum puas. Laura mendengus, menatap pantulan wajahnya di kaca mobil. Laura memang memuji keterampilan Mella dalam merias. Walaupun tadi Laura sempat kukuh dengan pendiriannya yangno make up. Sedangkan Mella denganmake up no make up. Dan akhirnya dimenangkan oleh Mella setelah pe
Laura yang mendengar suara Gavin segera melangkahkan tubuhnya pelan menuju tempat di mana Gavin berada. Laura melihat Gavin berdiri di depan pintu. Laura menghampiri Gavin. Laura berdiri di depan Gavin dan mengulurkan laporan yang diminta Gavin.Laura mendongakkan kepalanya saat merasa ada jemari yang menyentuh dagunya. Laura terkesiap. Saat kesadaran Laura datang, Laura segera memberontak. Dia dapat merasakan bau alkohol dari mulut Gavin. Laura tahu dirinya sekarang berada dalam bahaya. Gavin segera mendekatkan wajahnya. Laura menggelengkan kepalanya. Otaknya tahu apa yang akan terjadi. Dan tebakannya benar.Gavin menciummya.***Laura memberontak. Ciuman itu akhirnya terlepas. Air mata Laura mengalir. Ciuman pertamanya telah hilang. Laura menggosok kasar bibirnya. Seolah hendak menghilangkan bekas Gavin di bibirnya.Laura hendak berlari, namun Gavin lebih gesit. Gavin menarik Laura dan membenturkannya ke dinding. Gavin meletakkan tangannya di sam
Selamat Kak Gavin. Batin Laura pilu.Selamat karena Kakak sudah menghancurkan hidupku.Mata Laura memberat. Laura tak lagi mempedulikan Gavin yang sepertinya belum puas menghancurkan Laura. Laura memejamkan matanya. Dia berharap ini hanyalah mimpi. Jika ini bukan mimpi, Laura berharap saat bangun nanti sudah ada malaikat pencabut nyawa yang menantinya. Toh, dia sudah hancur, untuk apa lagi dia hidup?"Tidur dan selamat menikmati hidupmu yang baru, Cewek Bekas." Ucap Gavin sebelum tidur di sampingnya.Air mata Laura mengalir. Dia belum sepenuhnya tidur dan masih bisa mendengarkan ucapan tajam Gavin. Batin dan fisik Laura benar-benar sakit. Dia butuh istirahat dan akhirnya dia benar-benar tertidur. Beristirahat sejenak sebelum memulai hidup yang berbeda.Tuhan, tolong cabut nyawaku sedetik sebelum aku terbangun dari mimpi buruk ini. Batin Laura sebelum alam mimpi menjemputnya.***Laura menggerakkan tubuhnya yan
"Lo abis nangis?" Tanya Mella curiga. Bagas pun menatap Laura dengan tatapan curiga. "Eh, iya. Nggak. Eh." Laura kelabakan menjawabnya. Mata Mella dan Bagas semakin memincing. "Itu... Aku abis maraton. Iya maraton drakor." Ucap Laura. Mella dan Bagas hanya mengangguk mencoba percaya. "Eh mending aku ke minimarket dulu. Beli cemilan." Mereka mengangguk. Laura berjuang menormalkan cara jalannya. Sedikit sulit. Pangkal pahanya masih terasa sedikit nyeri, walau tak senyeri kemarin. Laura bernafas lega begitu sudah keluar dari gerbang sederhana. Dengan langkah pelan dia berjalan menuju minimarket yang ada di ujung gangnya. Setelah membeli beberapa cemilan, Laura keluar dari mini market. Tubuh Laura menegang. Wajah Laura berubah pias. Air mata sudah memupuk di kelopak matanya. "Hai." *** "Hai,” ucap Gavin dengan tangan yang dimasukkan ke dalam sakunya. Laura menunduk dan menjauhi Gavin. Dengan langk
"Lo kek nyembunyiin sesuatu. Keknya lo banyak pikiran deh. Nggak mau share?" Mella masih memfokuskan dirinya dengan cemilan dan laptop. Laura meremas tangannya. Ucapan Mella membuat Laura kembali mengingat hari itu.Aku dilecehin, Mell. Aku dilecehin sama orang yang kamu kagumi. Ingin sekali Laura meneriakkan kalimat itu. Tapi Laura takut jika dia bilang ke Mella, akan ada orang lagi yang mengetahuinya. "Nggak ada, Mell.” "Ra,” ucap Mella, dia sudah memfokuskan dirinya pada Laura. "Gue sahabat lo. Lo bisasharemasalah lo ke gue. Gue gak bakal ninggalin lo. Gimanapun keadaan lo. Gue bakal bantuin lo.That's best friend for.” Laura menitikkan air matanya. Andai dia bisa mengungkapkan semuanya. Tapi Laura terlalu takut. Dia takut Mella menjauhinya. "Aku terharu,” Laura menghapus matanya dengan berlebihan. Mella memukul lengan atas Laura sebal. "But thanksMell. Aku bakal cerita apapu
"Anaknya papa cowok ganteng?" Tanya Dara.Bagas mengacak rambut adiknya gemas. "Masih kecil udah mikirin cowok ganteng. Ini kakak juga ganteng.”Dara menyingkirkan tangan Bagas kesal. "Aku bosen liat wajah kakak.” Dengusnya."Eh, nama anak papa siapa?"***Langit sudah gelap, Laura masih setia menatap langit kamarnya. Dia memikirkan tingkah Gavin yang aneh. Otak Laura kembali mengulang kejadian sore tadi."Mau buktiin gue bukan gay?" desis GavinLaura menggeleng, matanya kembali mengembun dan siap menurunkan air mata. Laura takut Gavin akan melakukan lagi hal yang sore itu ia lakukan. Laura sungguh tak ingin dilecehkan lagi."Kenapa nangis?" ucap Gavin tepat di depan wajah Laura. Laura dapat merasakan embusan nafas Gavin di wajahnya."Maaf,” Laura semakin menekan kepalanya ke pintu. Dia ingin menjauhkan kepalanya dari Gavin. Namun ruangnya terbatas.Gavin s
"Ayo, Ra. Makan.” Bagas mempersilahkan Laura.Laura terpaksa makan. Bagas memperhatikan Laura yang sedang makan dengan gelisah. "Kenapa?" Tanya Bagas.Laura tersedak karena terkejut. Bagas segera menyodorkan minuman ke Laura. "Eh itu, ayo pulang,” Laura segera menghabiskan makanannya dan berdiri. Bagas berdiri meninggalkan makanannya yang masih dimakan separuhnya."Kenapa buru-buru?" Tanya Bagas saat mereka sudah diperjalanan."Itu…” Laura memeras otaknya. "Aku ditunggu tukang yang mau benerin kran bocor.”Bagas menatap Laura aneh. Seolah-olah Laura telah mengatakan hal yang tak mungkin. Tapi Bagas hanya memilih diam.Ponsel Laura kembali bergetar. Seolah sudah menebak siapa yang memanggilnya, Laura segera mengangkat panggilan itu. [Gue sampe.] Dan panggilan dimatikan.Tubuh Laura kembali menegang.***Entah Laura harus merasa lega atau justru ta