"Lo kek nyembunyiin sesuatu. Keknya lo banyak pikiran deh. Nggak mau share?" Mella masih memfokuskan dirinya dengan cemilan dan laptop.
Laura meremas tangannya. Ucapan Mella membuat Laura kembali mengingat hari itu. Aku dilecehin, Mell. Aku dilecehin sama orang yang kamu kagumi. Ingin sekali Laura meneriakkan kalimat itu. Tapi Laura takut jika dia bilang ke Mella, akan ada orang lagi yang mengetahuinya. "Nggak ada, Mell.”
"Ra,” ucap Mella, dia sudah memfokuskan dirinya pada Laura. "Gue sahabat lo. Lo bisa share masalah lo ke gue. Gue gak bakal ninggalin lo. Gimanapun keadaan lo. Gue bakal bantuin lo. That's best friend for.”
Laura menitikkan air matanya. Andai dia bisa mengungkapkan semuanya. Tapi Laura terlalu takut. Dia takut Mella menjauhinya. "Aku terharu,” Laura menghapus matanya dengan berlebihan. Mella memukul lengan atas Laura sebal. "But thanks Mell. Aku bakal cerita apapun sama kamu. Apapun.” Kecuali kejadian sore itu. Lanjut Laura dalam hati. Lalu mereka berpelukan dan tertawa bersama.
Gedoran pintu membuat mereka mengurai pelukan. "Aku liat dulu, ya,” Laura segera keluar dan membuka pintu.
Tubuh Laura menegang begitu melihat tamu di hadapannya. "K... Kak Gavin?"
***
Gavin diam. Laura menatap Gavin yang terlihat berantakan. Persis seperti Gavin hari itu. Laura memundurkan tubuhnya. Dengan panik Laura hendak menutup pintu. Gavin menahan pintu agar tak tertutup.
Gavin memasuki rumah dan menarik Laura agar ikut masuk dengannya. Tubuh Laura kaku. Dia hanya menuruti Gavin.
Gavin duduk di sofa sederhana Laura. Dia menarik Laura agar duduk di sebelahnya. Gavin sedikit menggeser tubuhnya menjauh dan menidurkan tubuhnya di sofa sempit itu. Paha Laura dijadikannya bantal dan kaki menggantung karena sofa Laura tidak cukup panjang untuk tubuh Gavin yang jangkung.
Tangan Gavin menuntun tangan Laura untuk mengelus rambutnya. Tangan Laura masih kaku. Laura meringis saat Gavin mencengkram kuat tangan Laura. Memerintahkan Laura untuk mengelus kepala Gavin. Dengan gerakan kaku Laura mengelus kepala Gavin. Gavin menutup mata merasakan usapan kaku di kepalanya.
"Siapa, Ra?" Tubuh Laura semakin menegang. Dia lupa ada Mella di dalam kamarnya. Laura menghentikan usapan di kepala Gavin.
Gavin membuka matanya saat merasakan usapan di kepalanya berhenti. Dia menatap tajam Laura. Laura menatap Gavin memohon.
"Kak, pulang ya.” Pinta Laura. "Ada temen aku di kamar,” ucapnya lirih. Takut ucapannya membuat Gavin marah.
"Nggak peduli,” ucap Gavin dan kembali menutup matanya.
"Ra, gue keluar ya,” teriak Mella sekali lagi.
Laura semakin panik. Wajahnya pias. Dia takut Mella mencium hal yang tidak-tidak antara Laura dan Gavin. Laura berdiri mendadak. Gerakan tiba-tiba itu membuat kepala Gavin terantuk sofa. Laura segera menarik Gavin dan memasukkan Gavin ke kamar orang tuanya. Laura terpaksa, karena tidak ada lagi kamar di rumahnya selain kamarnya dan kamar orang tuanya.
"Kak, di sini dulu ya. Jangan keluar kamar. Aku mohon,” Laura menangkupkan tangannya di depan dada. Wajahnya menunduk, memohon pada Gavin. Gavin mengangkat sebelah alisnya. Tanpa menjawab, Gavin menidurkan diri di ranjang. "Makasih,” ucap Laura dan segera keluar kamar. Dia takut kejadian yang tak diinginkan terulang kembali.
"Ra, lo ngapain di kamar tante? Bukannya tadi ada tamu?"
"Eh itu, tadi ada tukang sampah minta uang bulanan. Jadi aku ambil uang di kamar mama.” Good liar, Ra. Ringis Laura.
Setelah itu, mereka menonton tv dan merumpi hal-hal yang ada di sekolah. "Lo ada masalah apa sih, Ra?"
Laura sedikit tersentak, "kenapa kamu bilang begitu?" Bukannya menjawab, Laura malah kembali bertanya.
Mella memandang Laura aneh. Suasana menjadi hening. Mereka sibuk dengan pikiran mereka sendiri.
"Lo tau gak, Ra?"
"Nggak,” ucap Laura tak acuh sambil mengganti channel TV. Sesekali matanya melirik pintu kamar orang tuanya. Takut Gavin tekat keluar dari sana.
"Ih... Ini tentang Kak Gavin.” Tubuh Laura menegang. Pasalnya, kamar orang tuanya tidak kedap suara. Orang di balik sana pasti akan mendengar. Semoga Mella tidak mengatakan hal aneh-aneh. "Doi ikut tes beasiswa London loh,” Laura memutar otaknya. Dia harus mencari topik baru. Mella dan gosip tentang Gavin tak pernah ada habisnya.
"Kamu sama Leon gimana?"
"Dia belum nembak nembak kan kesel. Oh ya, Ra. Kak Gavin suka sama siapa ya? Gue nggak pernah denger berita dia deket sama cewek ya.”
Laura meremas tangannya. Dia takut Gavin akan marah karena menjadi objek gosipnya dan Mella. Lagi-lagi dia memeras otaknya. "Kayaknya kode dari kamu kurang keras deh buat Leon. Mending kamu mikirin kode buat Leon deh. Jangan gosip dulu. Aku bantuin mikir deh.”
"Masalah kecil. Gue udah ahli. Tapi ya, Ra, kok gue curiga deh kalo Kak Gavin itu gay. Orang secantik Kak Alice aja ditolak. Mungkin seleranya itu bukan cewek cantik kali ya, tapi cowok berotot,” Mella terkekeh dan tidak menyadari bahwa Laura semakin panik. Dia bisa membayangkan wajah marah Gavin.
Kak Gavin bukan gay, Mell. Dia udah ngelecehin aku. Dia udah ngerusak aku, Mell. Sahabat kamu. Teriak Laura dalam hati.
"Ra, gue pulang dulu deh,” Laura panik. Lebih baik menjadikan Gavin sebagai objek rumpi namun Mella tetap di sini. Dari pada ditinggal berdua bersama Gavin di tempat tertutup.
"Ja-jangan-jangan. Aku di sini dulu aja. Eh mending kita ke mall aja yuk. Aku juga bosen nih di rumah,” Laura takut karena ada Gavin di sini.
"Nggak ah. Gue pulang dulu, ya. Udah cape nih,” Mella membersihkan sampah bungkus snack dan keluar rumah.
Laura mengantar Mella sampai depan rumah. Setelah Mella masuk ke mobil, Laura memasuki rumah dan menutupnya. Laura membalikkan tubuhnya dan terkejut melihat Gavin yang bersandar pada bingkai pintu. Laura takut. Dia hanya bisa diam mematung tanpa berani menatap Gavin.
"Kenapa? Gay gak tertarik sama cewek kan? Gay nggak bakal ngapa-ngapain cewek kan?" Tubuh Laura menegang. Gavin menghampirinya dengan wajah dingin. Gavin berdiri tepat di depan Laura. Dia dapat merasakan nafas Laura di dadanya. Tangan Gavin mengulur, mengunci pintu dan menyimpannya di saku jeansnya. "Gue tunjukin apa yang bisa dilakuin gay.” Desis Gavin di telinga Laura.
Laura menggeleng, matanya sudah memanas hendak mengeluarkan cairannya. Laura menolak bibir Gavin yang hendak menciumnya. "Kenapa nggak bilang ke temen lo apa yang udah gue lakuin?"
"Maaf.” Lirih Laura dengan suara yang sudah parau.
"Emang gue mau ngapain?"
Laura menggeleng. Dia takut. Tubuh Laura memucat. "Biar tau gue bukan gay.”
"Maaf.” Entah apa kesalahan Laura. Namun dia hanya tidak ingin membuat Gavin semakin murka. Air matanya sudah mengalir. Matanya menyiratkan permohonan dan ketakutan.
"Kenapa nggak bilang sama temen lo gue udah pernah rasain tubuh lo?" Gavin mencium ujung bibir Laura. Laura semakin bergetar ketakutan. Air matanya sudah tidak menetes, tapi pipinya masih basah dengan jejak air mata. "Kenapa nggak bilang kalo gue udah cicipin lo?"
Gavin sedikit menjauhkan wajahnya. "Apa ternyata lo juga mikir kalo gue gay?" Laura menggeleng kuat. Dia sangat ketakutan. Berkali-kali dia meminta maaf, tapi Gavin tak peduli.
"Mau bukti gue bukan gay?" Desis Gavin di telinga Laura sambil membelai pipi Laura.
***
Selama di perjalanan, Mella memikirkan keadaan Laura. Laura memang tersenyum dan berlagak seperti biasanya. Namun mereka bukan setahun dua tahun kenal, mereka sudah bersahabat sejak SMP, Mella tahu, ada yang Laura sembunyikan. Mella sedih, dia merasa Laura tidak lagi percaya padanya.
Mella mengembuskan nafasnya kesal. Dia mengambil ponsel di sling bagnya dan menekan nama di sana.
"Halo, Kak Bagas.”
[Halo, Mell. Jadi gimana Laura?]
"Aku juga nggak tau. Keknya emang lagi ada masalah deh.”
[Lo nggak tau apa masalahnya?]
"Nggak tau,” ucap Mella putus asa.
Di seberang sana Bagas sedang berpikir keras. [Keknya masalahnya besar.] Gumam Bagas.
Mella mengangguk setuju. "Laura nggak pernah nyembunyiin masalahnya dari aku. Baru kali ini,” keluhnya. "Kayaknya kita harus nyelidiki sendiri deh.”
[Gue juga mikir gitu.]
"Nyelidiki dari mana ya?" Tanya Mella lebih pada dirinya. "Eh, Kak!" Panggil Mella.
Bagas berdehem. "Apa Laura nggak marah kalo dia tau kita terlalu mencampuri urusannya?"
***
Bagas meletakkan ponselnya di nakas dan membanting tubuhnya di ranjang. Mata Bagas memandangi langit-langit kamar. Otaknya sedang mengumpulkan kemungkinan-kemungkinan masalah yang saat ini sedang Laura alami. Namun hasilnya kosong. Dia tidak bisa memikirkan apapun.
"Bagas, ayo makan dulu,” teriakan mamanya membuat Bagas segera turun dan menuju ruang makan.
Mama, Dara -adiknya- dan papa tirinya sudah menunggunya di meja makan. Bagas segera duduk dan menyendokkan makanannya. Mereka makan dengan diam.
"Aku besok berangkat. Setelah aku pulang dari Surabaya, kita makan malem bareng anak papa,” ucap papa tirinya.
Bagas hanya mengangguk. Dia juga penasaran dengan anak dari papa tirinya. Dia tahu kalau anak dari papanya tak setuju dengan pernikahan mereka.
Terbukti saat akad mereka dua tahun lalu, dia tak datang. Pun dengan resepsi yang digelar dua minggu lalu, dia tak lagi datang. Bagas sebenarnya bingung. Apa susahnya menerima pernikahan kedua orang tuanya.
Bagas masih belum mengerti dengan saudara tirinya itu. Kenapa mempermasalahkan pernikahan mama dan papa tirinya, padahal mereka sama-sama single parent? Bukankah harusnya anak tiri papanya itu senang punya ibu tiri? Agar dia merasakan kasih sayang seorang ibu lagi. Agar rasa rindu pada mendiang ibunya terobati.
"Anaknya papa cowok ganteng?" Tanya Dara.
Bagas mengacak rambut adiknya gemas. "Masih kecil udah mikirin cowok ganteng. Ini kakak juga ganteng.”
Dara menyingkirkan tangan Bagas kesal. "Aku bosen liat wajah kakak.” Dengusnya.
"Eh, nama anak papa siapa?"
"Anaknya papa cowok ganteng?" Tanya Dara.Bagas mengacak rambut adiknya gemas. "Masih kecil udah mikirin cowok ganteng. Ini kakak juga ganteng.”Dara menyingkirkan tangan Bagas kesal. "Aku bosen liat wajah kakak.” Dengusnya."Eh, nama anak papa siapa?"***Langit sudah gelap, Laura masih setia menatap langit kamarnya. Dia memikirkan tingkah Gavin yang aneh. Otak Laura kembali mengulang kejadian sore tadi."Mau buktiin gue bukan gay?" desis GavinLaura menggeleng, matanya kembali mengembun dan siap menurunkan air mata. Laura takut Gavin akan melakukan lagi hal yang sore itu ia lakukan. Laura sungguh tak ingin dilecehkan lagi."Kenapa nangis?" ucap Gavin tepat di depan wajah Laura. Laura dapat merasakan embusan nafas Gavin di wajahnya."Maaf,” Laura semakin menekan kepalanya ke pintu. Dia ingin menjauhkan kepalanya dari Gavin. Namun ruangnya terbatas.Gavin s
"Ayo, Ra. Makan.” Bagas mempersilahkan Laura.Laura terpaksa makan. Bagas memperhatikan Laura yang sedang makan dengan gelisah. "Kenapa?" Tanya Bagas.Laura tersedak karena terkejut. Bagas segera menyodorkan minuman ke Laura. "Eh itu, ayo pulang,” Laura segera menghabiskan makanannya dan berdiri. Bagas berdiri meninggalkan makanannya yang masih dimakan separuhnya."Kenapa buru-buru?" Tanya Bagas saat mereka sudah diperjalanan."Itu…” Laura memeras otaknya. "Aku ditunggu tukang yang mau benerin kran bocor.”Bagas menatap Laura aneh. Seolah-olah Laura telah mengatakan hal yang tak mungkin. Tapi Bagas hanya memilih diam.Ponsel Laura kembali bergetar. Seolah sudah menebak siapa yang memanggilnya, Laura segera mengangkat panggilan itu. [Gue sampe.] Dan panggilan dimatikan.Tubuh Laura kembali menegang.***Entah Laura harus merasa lega atau justru ta
“Lo nggak hamil kan?” tangan Laura yang sedang mengobati lutut Gavin menjadi kaku. Laura menggeleng. “Aku udah minum pil pencegah hamil,” lirih Laura. Gavin mengangguk. “Bagus. Gue nggak mau lo hamil.” Laura memandang rumah sederhana di depannya. Di rumah sederhana dan asri ini, banyak sekali duka di dalamnya. Dia meninggalkan Gavin di dalam dan memesan ojol. Ponsel Laura berdering. Dia melihat ada pesan dari Mella. Laura mengernyitkan alisnya melihat foto yang dikirimkan Mella. Mella:Send a picture Ini keluarganya Kak Bagas. Fyi, nyokapnya baru aja nikah lagi. Laura memusatkan perhatiannya pada ayah tiri Bagas. Dia benar-benar tidak asing dengan wajahnya. Baru saja Laura hendak memikirkan wajah ayah tiri Bagas, ojol yang dipesannya sudah datang. *** Sekolah sudah memulai tahun ajaran baru. Laura dan Mella berjalan dengan wajah sumri
"Jangan mukul Kak Gavin lagi,” ucap Laura tajam dengan mata yang mengkristal.Laura berbalik dan memapah Gavin. Gavin tersenyum puas. Dia bisa melihat ketiga orang yang dibencinya hancur."Kalian jangan ganggu Kak Gavin lagi. Udah cukup kalian nyakitin Kak Gavin sama Tante Shanti,” setelah itu mereka benar-benar keluar.Sebelum melangkahkan kakinya melewati pintuprivate room, Laura menengok ke belakang. Laura dapat melihat wajah kacau Bagas. Bagas menatap Laura kecewa.Maafin aku, Kak. Bukannya aku mau membela Kak Gavin, tapi aku membela Tante Shanti.***Laura menghapus air matanya. Dia menatap ponsel yang sedari tadi berdering. Ingin sekali mengangkatnya, tapi dia ragu. Laura merasa sangat bersalah.Ponsel Laura berhenti berdering. Kini ada notifikasi pesan.Kak Bagas:Lo sama Gavin?Bisa ketemu besok?
"Gavin, Mama gimana?" Gavin mengangkat kepalanya. Dia memandang Geo tajam dengan mata merah dan basahnya. "Puas?" Geo menatap Gavin bingung dan khawatir. Gavin tak pernah menangis. Apa yang terjadi sampai Gavin menangis seperti ini. "Wanita murahan itu udah membunuh calon adikku,” desis Gavin tajam. Geo terkejut. Dia menatap Vega tak percaya. Vega menangis sesenggukan. Satu air mata Geo menetes. Dia bahkan tidak tahu kalau Shanti hamil. "A... Aku kehilangan anakku?" Geo masih tak percaya. "Pergi. Jangan pernah temui kami lagi,” desis Gavin. "Mulai saatini,kami bukan lagi bagian dari Alastair.” "Gavin...” "Pergi!" teriak Gavin. *** Sudah 3 hari sejak kejadian malam itu, Gavin sama sekali tak menghubunginya. Bukannya Laura ingin, tapi dia khawatir dengan keadaan Gavin. Ingin sekali Laura menghubungi Gavin,
Gavin menggeram dan menjauhkan kepalanya dari Laura. Kepalanya sangat pusing karena meredam emosi. Dia menatap Laura tajam. Ingin sekali dia melampiaskan kemarahannya pada Laura, tapi dia tidak ingin kembali merusak Laura. Dia menghembuskan nafasnya kasar. Harusnya Laura bukan dijadikan alat untuk membalaskan dendamnya. “Pergi dan jangan muncul di depan gue lagi,” sentaknya. Laura membeku. Dia ingin meninggalkan Gavin, tapi rasa kemanusiaan seolah menahannya. Dia ingin menolong Gavin. Bagaimana mungkin dirinya meninggalkan orang yang sedang berduka? “Pergi atau gue bikin lo semakin jijik sama diri lo.” Setelah mendengar ancaman Gavin, Laura segera memaksakan dirinya untuk berlari walau tubuhnya sangat lemas ketakutan. Dia tahu, Gavin tidak akan main-main dengan ucapannya. Dia berjanji tidak akan muncul dihadapan Gavin sampai kapan pun. Cukup sampai di sini saja dia mencampuri urusan Gavin. *** "Eh Ra, sebelum pulang nanti beli pembalut
Laura mengambil ponselnya dan mengeluarkansim carddi sana. Dia bertekad akan menjalani hidupnya yang baru. Maafin aku, Mell. Bukannya aku nggak nganggep kamu sahabat. Tapi aku terlalu takut kamu membenciku. Setelah itu Laura membuangsim cardnya. Selamat datang di kehidupan baru kita,Baby. Laura berjalan di trotoar. Dia mengelus perut datarnya sayang. Sesekali dia menghapus air matanya. Kepalanya sedikit pusing. Mungkin dia kelelahan dan kelaparan. "Laura?" "Kak Angin?" *** Laura membuka matanya. Kepalanya pusing sekali. Laura melihat sekelilingnya. Dia sedang berada di sebuah kamar.Kamar siapa ini? Laura memejamkan matanya, mengingat apa yang sudah terjadi sebelum dia pingsan tadi. Oh, mungkin ini kamar adiknya Angin. Laura hendak turun dari ranjang, namun pintu kapar itu terbuka. Di sana ada gadis mungkin saja seusianya.
Laura segera mendudukan pantatnya di sofa sederhana Oma. Dia memijat pelan pinggangnya. "Kamu cape?" Laura tersenyum. "Dikit, Oma.” Oma pergi ke dapur dan membawa minyak urut. Dia duduk di samping Laura. Oma mengangkat kaki Laura agar meniban pahanya. "Eh, Oma. Nggak usah,” Laura merasa tidak sopan. Oma menggeleng dan memijat kaki Laura. "Harusnya kamu nggak usah ikut. Hamil dengan usia sekamu ini rentan banget. Oma nggak mau cicit Oma kenapa-napa.” Laura terharu. Dia menahan air matanya yang hendak menetes. "Aku nggak papa kok, Oma. Aku suka bantuin Oma.” Oma melanjutkan pijatannya dan sesekali bercerita tentang anak-anaknya yang bekerja di luar kota. Oma punya dua anak yang sudah menikah, tapi mereka sangat jarang, bahkan tidak pernah pulang. Mereka hanya rutin mengirim uang setiap bulan. Padahal Oma masih bisa menghidupi dirinya sendiri. Laura juga menceritakan kehidupannya dulu. Mella dan Bagas, namun sama sekali tidak menyebut Gav