Home / Romansa / Crown / Changed

Share

Changed

Author: fish.tro
last update Last Updated: 2024-10-29 19:42:56

"Lo abis nangis?" Tanya Mella curiga. Bagas pun menatap Laura dengan tatapan curiga.

"Eh, iya. Nggak. Eh." Laura kelabakan menjawabnya. Mata Mella dan Bagas semakin memincing.

"Itu... Aku abis maraton. Iya maraton drakor." Ucap Laura. Mella dan Bagas hanya mengangguk mencoba percaya. "Eh mending aku ke minimarket dulu. Beli cemilan." Mereka mengangguk. Laura berjuang menormalkan cara jalannya. Sedikit sulit. Pangkal pahanya masih terasa sedikit nyeri, walau tak senyeri kemarin.

Laura bernafas lega begitu sudah keluar dari gerbang sederhana. Dengan langkah pelan dia berjalan menuju minimarket yang ada di ujung gangnya. Setelah membeli beberapa cemilan, Laura keluar dari mini market.

Tubuh Laura menegang. Wajah Laura berubah pias. Air mata sudah memupuk di kelopak matanya.

"Hai."

***

"Hai,” ucap Gavin dengan tangan yang dimasukkan ke dalam sakunya.

Laura menunduk dan menjauhi Gavin. Dengan langkah cepat Laura meninggalkan mini market. Laura meremas kresek yang dijinjingnya, mencoba meredakan ketakutan yang merajainya.

"Laura.” Bukannya berhenti, Laura malah mempercepat langkahnya. Tak peduli pangkal pahanya yang masih sedikit nyeri. "Laura Apsara Nawa!" Nada dingin dan tajam itu membuat bulu kuduk Laura meremang dan menegang. Laura merasakan ada orang yang mendekatinya. Napas Laura tercekat merasakan tangan kasar yang menarik tangan kirinya.

Tanpa penolakan Laura membalikkan tubuhnya dan mengekori Gavin. Tangan kanan Laura masih mencengkram kreseknya. Laura berkali-kali menghembuskan nafasnya untuk menetralkan ketakutannya.

"Naik!" Ucap Gavin setelah mereka berada di samping motor ninja.

"Eh itu,” Laura bingung bagaimana mengatakannya. Bagian “itu”nya masih sakit. Apalagi, dia selalu gemetar apabila berdekatan dengan Gavin. Pasalnya tadi Gavin mengantarnya dengan mobil.

"Naik!" Ulang Gavin dengan penuh penekanan.

Laura berpegangan pada saddle belakang motor. Dia takut jika harus berpegangan pada tubuh Gavin. Dia benar-benar ketakutan jika berhubungan dengan Gavin.

Gavin memberhentikan motornya di depan gerbang rumah Laura. Laura turun dan langsung melesat masuk rumah. Dia akan merasa aman jika ada Mella dan Bagas. Laura menengokkan kepalanya ke belakang. Gavin duduk di atas motor. Memperhatikan gerak geriknya. Laura segera masuk rumah dan menutup rumahnya dengan keras.

Mella dan Bagas menatap Laura aneh. "Eh itu tadi ada orang gila masuk gang,” Laura bergidik pura-pura takut. Setelah itu dia meletakkan cemilannya di meja.

Mella bercerita banyak tentang hubungannya dengan Leon. Sedangkan Bagas hanya diam menatap Laura. Laura sendiri pura-pura antusias dengan cerita Mella. Dalam hati dia menimang-nimang, apakah dia harus menceritakan tentang Gavin pada Mella?

Mella dan Bagas pamit saat langit sudah gelap. Laura mengantarkan mereka sampai teras. Setelah itu, Laura menutup pintunya dan bersandar di sana. Suasana yang sepi membuatnya kembali meratapi nasib.

Laura mencoba mengenyahkan bayangan kemarin sore dan menuju dapur untuk memasak air. Mandi air hangat mungkin bisa merilekskan tubuh dan pikirannya. Dia benar-benar ingin merilekskan otaknya. Perih di pangkal pahanya sudah menyamar.

Setelah mandi, Laura kembali rebahan di kamar. Laura memaksakan matanya terpejam. Dia ingin tidur dengan nyenyak.

***

Keesokan paginya, Laura terbangun dengan kepala pening. Laura berdiri dengan memegang kepalanya yang sangat berat. Efek terlalu lama tertidur.

Ponselnya berdering, Laura mengambil ponselnya dan menerima panggilan. "Halo, Ma? Tumben telfon?"

[Halo, sayang. Nggak tau ni dari kemaren hati mama kok nggak enak ya. Kamu nggak ada masalah, kan?]

Air mata Laura menetes. Dia membekap mulutnya untuk meredam isakan. Insting orang tua memang kuat. Laura menjauhkan ponselnya dan menghirup nafas dalam-dalam. "Laura nggak papa kok, Ma. Cuma ini, kecapean aja abis ngurus prom kemaren.”

"Oh, ya udah kalo gitu. Kamu hati-hati ya. Jaga diri. Bulan depan Mama sama Papa pulang. Love you,” ucap Mama.

"Iya, Ma,” Laura mematikan ponselnya. Maafin Laura, Ma. Laura gagal jaga diri Laura. Isak Laura.

Laura menyadari sesuatu. Bagaimana kalau dia hamil? Dengan cepat Laura menuju kamar mandi. Setelah itu, dia mengambil dompet dan ponsel. Dia keluar rumah dan segera menuju apotek.

"Mbak ada obat buat nyegah kehamilan?"

***

Laura menatap pil after morning ditangannya. "89% berhasil, kan?" Ucapnya pada diri sendiri, teringat percakapannya dengan apoteker tadi. Laura mengambil segelas air dan meminum pil itu.

Laura mengambil ponselnya yang kembali berdering. Dia menatap layar ponselnya yang menunjukkan nomor tak dikenalnya. Dia menggeser ikon hijau.

"Halo?"

10 detik. Masih belum ada jawaban. Laura menatap layer ponselnya. Panggilan masih tersambung.

"Halo?"

[Jangan deket Bagas!] Laura membeku. Dia tau itu suara siapa.

"Ke... Kenapa, Kak?" Laura memberanikan dirinya bertanya. Gavin mematikan panggilannya tanpa menjawab pertanyaan Laura.

Laura menyimpan ponselnya. Dia menghembuskan nafasnya panjang. Gavin benar-benar bisa mengintimidasi Laura. Gavin selalu bisa membuat Laura ketakutan.

***

Gavin memaksa membuka matanya begitu merasakan sinar matahari menembus kamarnya. Gavin menegakkan tubuhnya. Matanya menatap fotonya dengan sang mama.

Shanti, mama Gavin, dalam foto itu terlihat sangat bahagia. Di sana, Gavin dan Shanti berpelukan dan Shanti tersenyum lebar, sedangkan Gavin hanya tersenyum tipis. Geo, papa Gavin, tidak masuk dalam bingkai foto itu karena dia yang mengambil gambarnya. Menatap fotonya dengan sang mama membuat Gavin merindukannya.

Gavin segera membersihkan diri dan bersiap. Gavin mengambil jaket dan kunci motor. Dia melajukan motor kawasaki 650 new hitamnya menuju rumah yang selama ini menenangkannya.

30 menit Gavin sampai di rumah sederhana yang terlihat asri. Gavin memarkirkan motornya dan dengan langkah pelan dia memasuki rumah itu. Gavin berdiri di ambang pintu dan mengamati wanita yang sedang menatap jendela dengan tatapan kosong.

Simbok datang dan mengajak Shanti ke kebun belakang. Gavin mengikuti mereka dengan masih menjaga jarak. Gavin ingin sekali memeluk Shanti, namun untuk saat ini dia cukup menatapnya dari jarak yang cukup.

Simbok dan Shanti sibuk menanam mawar dan beberapa sayuran. Gavin -yang berada di pintu belakang- tersenyum samar menatap wajah bahagia Shanti. Simbok menengok ke belakang, dia menyadari keberadaan Gavin. Gavin mengangguk pada Simbok.

Shanti melihat Simbok menengok ke belakang, ikut melongokkan kepalanya ke belakang. Mata Shanti memanas, air matanya menetes. Detik berikutnya dia histeris, menangis meraung.

"Pergi dari sini! Pergi! Puas kamu? Pergi!" Shanti meraung. Melempar Gavin apa pun yang di jangkaunya.

Wajah Gavin mengeras. Dia benci Geo. Geo yang membuat Shanti seperti ini. Gavin hendak menenangkan Shanti. Shanti semakin histeris. Dia berteriak-teriak.

"Pergi kamu, Mas Geo! Pergi aja sama Vega. Jangan ke sini lagi! Kamu udah hancurin aku! Pergi kamu, Mas! Aku kehilangan anak aku gara-gara kamu,” teriak Shanti.

Simbok segera menghampiri Gavin dan menuntunnya menuju halaman rumah. Simbok menatap Gavin penuh penyesalan. Gavin mengangguk, mengisyaratkan bahwa semua baik-baik saja. Dia tak tega menatap wajah keriput Simbok bersedih.

"Maaf ya, Mbok. Gara-gara Gavin, mama jadi kumat lagi,” ucap Gavin sebelum menaiki motornya.

Simbok mengangguk. Menunggu Gavin keluar dari pagar dan kembali memasuki rumahnya. Hendak menenangkan Sang Nyonya.

Gavin mengendarai motornya dengan cepat. Tangannya mencengkram stang motor dengan kuat, seakan ingin menghancurkannya. Dia berhenti di padepokan tempatnya berlatih. Setelah menyapa beberapa orang, Gavin menuju tempat latihan. Dia memukul-mukul samsak. Wajahnya memerah, dia meluapkan amarahnya.

Setelah selesai dengan samsaknya, Gavin merebahkan tubuhnya di lantai. Dia tak mempedulikan lantai yang kotor.  Nafasnya terengah-engah. Emosinya masih belum stabil. Setiap dia membayangkan lelaki yang dulu disebutnya papa, emosinya akan memuncak.

"Masalah lama?" Gavin membuka matanya merasakan ada orang yang ikut rebahan di sampingnya.

"Eh, lo Bang.” Dia menjabat tangan lelaki di sampingnya, masih dengan posisi telentang. "Iya.”

"Sori lancang nih. Menurut gue, lo masih peduli sama bokap lo.”

Gavin menatap lelaki ini tajam. "Maksud lo apa?"

Laki-laki itu mengedikkan bahunya tak acuh, matanya masih menerawang langit biru. "Kalo lo benci sama dia, lo gak bakal meduliin lagi. Terserah apa yang bakal dilakuin sama dia. Lo bakal anggap dia nggak ada,” ucapan lelaki itu menyentaknya. Dia benar.

"Gue pulang, Bang,” Gavin berdiri diikuti lelaki itu dan pergi. Gavin segera melajukan motornya dan dia belum ingin kembali ke rumah.

Di sini lah Gavin sekarang.

***

Mella memaksa Laura untuk menemaninya ke mall. Laura menolak. Mella masih memaksa Laura.

"Kamu kok maksa banget sih, Mell!" Bentak Laura.

Mella—yang masih berada di depan pintu rumah Laura—menatap Laura tak percaya. Selama ini Laura tak pernah membentaknya. Sekalipun dia memaksa Laura bahkan menyeretnya ke mall.

Laura sadar dirinya sudah kelewatan segera meminta maaf. "Maafin aku, Mell. Ya udah ayo. Aku siap-siap bent-"

"Nggak perlu, gue bisa sendiri kok,” Mella melambaikan tangannya dan membalikkan badan.

"Mell, maafin aku. Aku nggak sengaja. Bener,” Laura menarik tangan Mella. Meminta Mella menunggunya.

"Udah ah, Ra. Gue males,” Mella mengibaskan tangan Mella.

"Mell, please. Maafin aku dong,” Laura memelas. Mella melegang masuk ke rumah Laura. Laura menghembuskan nafasnya lega.

Laura meratapi dirinya di depan pintu. Membiarkan Mella yang sudah menjelajah rumahnya. Laura merasa dirinya mudah marah akhir-akhir ini. Efek kebanyakan pikiran. "Apa jangan-jangan aku mulai stres?" Tanya Laura pada dirinya. Laura menggeleng dan masuk rumah.

Mereka bergulung di ranjang dengan menonton drama Korea. Laura dan Mella diam, fokus pada drama yang ada di depannya. Mata Laura memang menatap laptop, tapi pikirannya melambung. Hatinya was-was menunggu bulan depan. Walaupun pil morning after itu 89% berhasil, dia takut dia masuk golongan 11% yang gagal. Berbagai kemungkinan dari yang terbaik hingga terburuk silih berganti memenuhi otaknya.

"Lo tau, Ra? Lo tuh berubah banget. Sejak lo ngga ada kabar abis rapat LPJ prom,” ucap Mella dengan mulut penuh dan mata masih terfokus pada laptop. Ucapan Mella menyadarkan Laura dari lamunannya.

"Berubah gimana? Biasa deh,” Laura mencoba menetralkan nada bicaranya agar tidak terdengar aneh.

"Ya berubah aja. Lo kek nyembunyiin sesuatu. Keknya lo banyak pikiran deh. Nggak mau share?" Mella masih memfokuskan dirinya dengan cemilan dan laptop.

Laura meremas tangannya. Ucapan Mella membuat Laura kembali mengingat hari itu. Aku dilecehin, Mell. Aku dilecehin sama orang yang kamu kagumi. Ingin sekali Laura meneriakkan kalimat itu. Tapi Laura takut jika dia bilang ke Mella, akan ada orang lagi yang mengetahuinya. "Nggak ada, Mell.”

"Ra,” ucap Mella, dia sudah memfokuskan dirinya pada Laura. "Gue sahabat lo. Lo bisa share masalah lo ke gue. Gue gak bakal ninggalin lo. Gimanapun keadaan lo. Gue bakal bantuin lo. That's best friend for.”

Laura menitikkan air matanya. Andai dia bisa mengungkapkan semuanya. Tapi Laura terlalu takut. Dia takut Mella menjauhinya. "Aku terharu,” Laura menghapus matanya dengan berlebihan. Mella memukul lengan atas Laura sebal. "But thanks Mell. Aku bakal cerita apapun sama kamu. Apapun.” Kecuali kejadian sore itu. Lanjut Laura dalam hati. Lalu mereka berpelukan dan tertawa bersama.

Gedoran pintu membuat mereka mengurai pelukan. "Aku liat dulu, ya,” Laura segera keluar dan membuka pintu.

Tubuh Laura menegang begitu melihat tamu di hadapannya. "K... Kak Gavin?"

Related chapters

  • Crown   Freak

    "Lo kek nyembunyiin sesuatu. Keknya lo banyak pikiran deh. Nggak mau share?" Mella masih memfokuskan dirinya dengan cemilan dan laptop. Laura meremas tangannya. Ucapan Mella membuat Laura kembali mengingat hari itu.Aku dilecehin, Mell. Aku dilecehin sama orang yang kamu kagumi. Ingin sekali Laura meneriakkan kalimat itu. Tapi Laura takut jika dia bilang ke Mella, akan ada orang lagi yang mengetahuinya. "Nggak ada, Mell.” "Ra,” ucap Mella, dia sudah memfokuskan dirinya pada Laura. "Gue sahabat lo. Lo bisasharemasalah lo ke gue. Gue gak bakal ninggalin lo. Gimanapun keadaan lo. Gue bakal bantuin lo.That's best friend for.” Laura menitikkan air matanya. Andai dia bisa mengungkapkan semuanya. Tapi Laura terlalu takut. Dia takut Mella menjauhinya. "Aku terharu,” Laura menghapus matanya dengan berlebihan. Mella memukul lengan atas Laura sebal. "But thanksMell. Aku bakal cerita apapu

  • Crown   Can't

    "Anaknya papa cowok ganteng?" Tanya Dara.Bagas mengacak rambut adiknya gemas. "Masih kecil udah mikirin cowok ganteng. Ini kakak juga ganteng.”Dara menyingkirkan tangan Bagas kesal. "Aku bosen liat wajah kakak.” Dengusnya."Eh, nama anak papa siapa?"***Langit sudah gelap, Laura masih setia menatap langit kamarnya. Dia memikirkan tingkah Gavin yang aneh. Otak Laura kembali mengulang kejadian sore tadi."Mau buktiin gue bukan gay?" desis GavinLaura menggeleng, matanya kembali mengembun dan siap menurunkan air mata. Laura takut Gavin akan melakukan lagi hal yang sore itu ia lakukan. Laura sungguh tak ingin dilecehkan lagi."Kenapa nangis?" ucap Gavin tepat di depan wajah Laura. Laura dapat merasakan embusan nafas Gavin di wajahnya."Maaf,” Laura semakin menekan kepalanya ke pintu. Dia ingin menjauhkan kepalanya dari Gavin. Namun ruangnya terbatas.Gavin s

  • Crown   Shocked

    "Ayo, Ra. Makan.” Bagas mempersilahkan Laura.Laura terpaksa makan. Bagas memperhatikan Laura yang sedang makan dengan gelisah. "Kenapa?" Tanya Bagas.Laura tersedak karena terkejut. Bagas segera menyodorkan minuman ke Laura. "Eh itu, ayo pulang,” Laura segera menghabiskan makanannya dan berdiri. Bagas berdiri meninggalkan makanannya yang masih dimakan separuhnya."Kenapa buru-buru?" Tanya Bagas saat mereka sudah diperjalanan."Itu…” Laura memeras otaknya. "Aku ditunggu tukang yang mau benerin kran bocor.”Bagas menatap Laura aneh. Seolah-olah Laura telah mengatakan hal yang tak mungkin. Tapi Bagas hanya memilih diam.Ponsel Laura kembali bergetar. Seolah sudah menebak siapa yang memanggilnya, Laura segera mengangkat panggilan itu. [Gue sampe.] Dan panggilan dimatikan.Tubuh Laura kembali menegang.***Entah Laura harus merasa lega atau justru ta

  • Crown   Sorry

    “Lo nggak hamil kan?” tangan Laura yang sedang mengobati lutut Gavin menjadi kaku. Laura menggeleng. “Aku udah minum pil pencegah hamil,” lirih Laura. Gavin mengangguk. “Bagus. Gue nggak mau lo hamil.” Laura memandang rumah sederhana di depannya. Di rumah sederhana dan asri ini, banyak sekali duka di dalamnya. Dia meninggalkan Gavin di dalam dan memesan ojol. Ponsel Laura berdering. Dia melihat ada pesan dari Mella. Laura mengernyitkan alisnya melihat foto yang dikirimkan Mella. Mella:Send a picture Ini keluarganya Kak Bagas. Fyi, nyokapnya baru aja nikah lagi. Laura memusatkan perhatiannya pada ayah tiri Bagas. Dia benar-benar tidak asing dengan wajahnya. Baru saja Laura hendak memikirkan wajah ayah tiri Bagas, ojol yang dipesannya sudah datang. *** Sekolah sudah memulai tahun ajaran baru. Laura dan Mella berjalan dengan wajah sumri

  • Crown   Hurt

    "Jangan mukul Kak Gavin lagi,” ucap Laura tajam dengan mata yang mengkristal.Laura berbalik dan memapah Gavin. Gavin tersenyum puas. Dia bisa melihat ketiga orang yang dibencinya hancur."Kalian jangan ganggu Kak Gavin lagi. Udah cukup kalian nyakitin Kak Gavin sama Tante Shanti,” setelah itu mereka benar-benar keluar.Sebelum melangkahkan kakinya melewati pintuprivate room, Laura menengok ke belakang. Laura dapat melihat wajah kacau Bagas. Bagas menatap Laura kecewa.Maafin aku, Kak. Bukannya aku mau membela Kak Gavin, tapi aku membela Tante Shanti.***Laura menghapus air matanya. Dia menatap ponsel yang sedari tadi berdering. Ingin sekali mengangkatnya, tapi dia ragu. Laura merasa sangat bersalah.Ponsel Laura berhenti berdering. Kini ada notifikasi pesan.Kak Bagas:Lo sama Gavin?Bisa ketemu besok?

  • Crown   Gone

    "Gavin, Mama gimana?" Gavin mengangkat kepalanya. Dia memandang Geo tajam dengan mata merah dan basahnya. "Puas?" Geo menatap Gavin bingung dan khawatir. Gavin tak pernah menangis. Apa yang terjadi sampai Gavin menangis seperti ini. "Wanita murahan itu udah membunuh calon adikku,” desis Gavin tajam. Geo terkejut. Dia menatap Vega tak percaya. Vega menangis sesenggukan. Satu air mata Geo menetes. Dia bahkan tidak tahu kalau Shanti hamil. "A... Aku kehilangan anakku?" Geo masih tak percaya. "Pergi. Jangan pernah temui kami lagi,” desis Gavin. "Mulai saatini,kami bukan lagi bagian dari Alastair.” "Gavin...” "Pergi!" teriak Gavin. *** Sudah 3 hari sejak kejadian malam itu, Gavin sama sekali tak menghubunginya. Bukannya Laura ingin, tapi dia khawatir dengan keadaan Gavin. Ingin sekali Laura menghubungi Gavin,

  • Crown   Soul

    Gavin menggeram dan menjauhkan kepalanya dari Laura. Kepalanya sangat pusing karena meredam emosi. Dia menatap Laura tajam. Ingin sekali dia melampiaskan kemarahannya pada Laura, tapi dia tidak ingin kembali merusak Laura. Dia menghembuskan nafasnya kasar. Harusnya Laura bukan dijadikan alat untuk membalaskan dendamnya. “Pergi dan jangan muncul di depan gue lagi,” sentaknya. Laura membeku. Dia ingin meninggalkan Gavin, tapi rasa kemanusiaan seolah menahannya. Dia ingin menolong Gavin. Bagaimana mungkin dirinya meninggalkan orang yang sedang berduka? “Pergi atau gue bikin lo semakin jijik sama diri lo.” Setelah mendengar ancaman Gavin, Laura segera memaksakan dirinya untuk berlari walau tubuhnya sangat lemas ketakutan. Dia tahu, Gavin tidak akan main-main dengan ucapannya. Dia berjanji tidak akan muncul dihadapan Gavin sampai kapan pun. Cukup sampai di sini saja dia mencampuri urusan Gavin. *** "Eh Ra, sebelum pulang nanti beli pembalut

  • Crown   Begin

    Laura mengambil ponselnya dan mengeluarkansim carddi sana. Dia bertekad akan menjalani hidupnya yang baru. Maafin aku, Mell. Bukannya aku nggak nganggep kamu sahabat. Tapi aku terlalu takut kamu membenciku. Setelah itu Laura membuangsim cardnya. Selamat datang di kehidupan baru kita,Baby. Laura berjalan di trotoar. Dia mengelus perut datarnya sayang. Sesekali dia menghapus air matanya. Kepalanya sedikit pusing. Mungkin dia kelelahan dan kelaparan. "Laura?" "Kak Angin?" *** Laura membuka matanya. Kepalanya pusing sekali. Laura melihat sekelilingnya. Dia sedang berada di sebuah kamar.Kamar siapa ini? Laura memejamkan matanya, mengingat apa yang sudah terjadi sebelum dia pingsan tadi. Oh, mungkin ini kamar adiknya Angin. Laura hendak turun dari ranjang, namun pintu kapar itu terbuka. Di sana ada gadis mungkin saja seusianya.

Latest chapter

  • Crown   CrOWN (2): Happily Ever After

    Suara tepukan tangan terdengar meriah. Tangan Gavin mengelus surai lembut Laura yang tampak terharu. Di depan sana, di atas panggung, Davi berdiri dengan penuh percaya diri karena meraih predikat sebagai lulusan terbaik di taman kanak-kanak. Nama Gavin dipanggil untuk mendampingi Davi di atas panggung. “Kamu aja yang naik ke panggung.” Gavin menepukkan tangannya pada telapak tangan Laura yang menggenggam erat karena terlalu antusias.Laura menoleh. “Kak Gavin aja. Semuanya yang di atas ditemenin ayahnya.”“Aku mau videoin kamu di sini. Kamu aja yang naik.”Laura menatap Gavin dengan wajah terharu. “Terima kasih,” ujar Laura sebelum beranjak dari duduknya dan menghampiri Davi. Sebelum berdiri di belakang Davi, Laura mengecup puncak kepala Davi dan menggumamkan beberapa kata selamat sehingga wajah Davi terlihat lebih berseri.Gavin menatap dua sosok kesayangannya dari kursi wali murid. Dalam bayangannya, Gavin tidak pernah bermimpi berada di fase seperti ini. Jika boleh, Gavin ingin me

  • Crown   CrOWN (2): Papa

    Di samping itu semua, Laura sangat terharu dengan interaksi antara Geo dan Gavin. pasangan ayah-anak tersebut beberapa kali melakukan interaksi, meskipun kecanggungan masih terasa di sana. Paling tidak, Laura tidak lagi melihat kebencian di mata Gavin saat menatap Sang Ayah. Laura menjadi saksi bagaimana beberapa hari ini Gavin mencoba berdamai dengan masa lalunya. Sejak perceraian Geo, hubungan suami dan ayah mertuanya itu sedikit membaik. Bahkan, Gavin juga menerima permintaan maaf Vega meskipun dirinya tidak ingin sama sekali berhubungan dengan mantan ibu tirinya itu.***Kembali lagi ke waktu dua hari setelah Laura keluar dari rumah sakit, Laura dan Gavin duduk berdua di depan rumah Laura. Geo, ayah Gavin, baru saja kembali dari rumah Laura sebab ada beberapa hal yang perlu beliau diskusikan bersama Arkan. Di sanalah Laura tahu bahwa antara Geo dan Vega sudah tidak ada lagi hubungan pernikahan karena secara resmi sudah bercerai.“Kak Gavin…” Laura menjeda ucapannya. Jujur saja, d

  • Crown   CrOWN(2): Move

    Punggung Laura yang tegang kini mulai mengendur. “Jangan hari ini ya, Kak?” pinta Laura pada Gavin.Gavin menganggukkan kepalanya. Tangannya masih belum berhenti untuk mengelus tengkuk Laura. “Hari ini aku cuma mau denger cerita tentang kamu dan Davi yang masih belum aku tau.”Malam itu, Laura dan Gavin habiskan untuk membahas banyak sekali hal. Bukan hanya Laura, Gavin juga menceritakan tentang kesehariannya selama dia bersekolah di luar negeri. Laura merasa sangat antusias mendengar cerita dari Gavin tentang masa kuliah karena dia tidak bisa merasakan masa itu dulu. Jika ditanyakan menyesal atau tidak, Laura tidak menyesal. Baginya, menjadi ibu yang baik untuk Davi sudah membuatnya sangat puas.***Laura dan Gavin menata barang-barangnya di rumah baru mereka. Laura sangat berterima kasih kepada Gavin saat lelaki itu mengatakan bahwa dirinya sudah menyiapkan rumah untuk ditinggalinya bertiga. Gavin juga sangat mempertimbangkan lokasinya untuk perkembangan Davi. Gavin memilih lokasi d

  • Crown   CrOWN (2): Official

    “Abis sarapan aku mau ngajak kamu buat nyiapin berkas buat akad, takutnya nanti Davi kecapean kalo ikut kita.” Laura hanya menganggukkan kepalanya paham saat menerima penjelasan Davi. Gavin membukakan pintu belakang mobil dan mempersilakan Laura masuk. Laura hanya diam menurut saat Gavin yang biasanya memilih untuk menyetir sendiri mobil saat bersamanya, hari ini menggunakan supir. Begitu mobil melaju, Gavin langsung merebahkan kepalanya ke arah Laura. Tubuhnya juga dia dekatkan hingga menempel penuh dengan Laura. “Kak Gavin jangan gini, ah. Malu.” Laura berbisik pada Gavin karena takut menyinggung supir Gavin. “Aku kangen banget,” ujar Gavin yang semakin menempelkan tubuh mereka. *** Laura dan Gavin sudah menyelesaikan beberapa berkas yang dibutuhkan untuk menikah pada empat hari mendatang. Tentu saja banyak uang yang harus Gavin keluarkan agar proses yang dibutuhkan lancar dan cepat. Atas permintaan Laura, akad akan dilakukan secara sederhana di rumahnya. Tidak serta merta menur

  • Crown   CrOWN (2): Clingy Gavin

    Vega berdiri dan mendekatkan dirinya pada Geo yang menatapnya dengan datar. “Mas, apapun keputusanmu, aku terima. Kalo kamu mau ceraiin aku juga aku terima, Mas. Asalkan kamu bisa maafin aku.”“Kamu bisa ngembaliin semuanya, nggak? Bisa bikin Shanti hidup dan maafin aku lagi? Bisa bikin Gavin nggak benci aku lagi? Bisa bikin semuanya balik normal lagi. Kalo kamu bisa, aku maafin kamu.”“Mas, aku nyesel, aku minta maaf.” Vega menggumamkannya berkali-kali dengan air mata yang tak hentinya mengalir dari kedua matanya.Geo menghembuskan nafasnya dengan berat. “Jelasin semuanya ke Gavin tanpa ada yang kamu tutupi. Setelah itu, saya akan ngajuin perceraian kita. Saya nggak bisa nikah sama orang jahat seperti kamu.” Geo mulai mengembalikan gaya bahasa seperti dulu dan Vega hanya bisa pasrah.***Dua hari berlalu dan Laura hari ini keluar dari rumah sakit. Dari tadi, Gavi sudah disibukkan dengan administrasi. Sebelumnya, Arkan sudah ingin mengurusnya, namun dengan tegas Gavin menolaknya. Bagi

  • Crown   CrOWN (2): Between Geo and Vega [Divorce]

    Dunia Geo terasa runtuh pada saat membaca berkas dari rumah sakit yang menyatakan bahwa Vega tengah mengandung. Meskipun Geo tidak mengingat sama sekali apa yang terjadi di malam itu, dirinya tetap harus mempertanggung-jawabkannya. Geo menghembuskan nafasnya panjang, semua ini terasa berat baginya.Geo tidak sanggup jika harus mengatakannya pada Shanti dan Gavin. Dirinya belum siap, tidak akan siap jika kedua orang itu harus membencinya. Mata Geo memanas, hatinya sangat hancur saat dirinya membayangkan bagaimana reaksi Shanti dan Gavin.“Aku nggak masalah kalau kita harus nikah siri dan menyembunyikannya dari Shanti, Mas.”“Keluar.” Hanya satu kata itu yang bisa Geo ucapkan.“Mas, aku-”“Saya bilang keluar, Vega!” tegas Geo dengan nada tinggi. Vega akhirnya mengangguk sedih dan memilih untuk keluar dari ruangan Geo. Vega memberikan sedikit ruang pada Geo. Namun, hanya ada satu pilihan pada saat ini, yaitu Geo menikahinya.“Maafin aku, Shanti.”***“Ma, aku kemaren denger Mama nangis

  • Crown   CrOWN (2): Between Geo and Vega (2)

    Geo menghembuskan nafasnya berat. Lagi dan lagi, rasa bersalah karena tidak bisa menyelamatkan sahabatnya itu kembali menghantam hati Geo. Sebab dirinya, Dara dan Bagas, anak pertama Egi harus kehilangan peran ayah. “Baiklah,” ujar Geo dengan memaksakan senyumnya.“Makasih ya.” Vega memberikan senyum terbaiknya kepada Geo yang hanya dibalas anggukan singkat dari Geo.“Saya kabari Shanti dulu,” ujar Geo tanpa memberikan banyak atensi pada Vega.Geo bergerak gelisah dengan tangan memandangi layar ponselnya. Di sana, terdapat nama kontak “Soul” dan dibubuhkan emoji hati di sampingnya. Sedari tadi, kontak Shanti hanya berdering tanpa diangkat oleh empunya.Menyerah, Geo memilih untuk mengetikkan pesan pada Shanti bahwa dirinya tidak pulang untuk malam ini karena ada beberapa pekerjaan yang harus segera diselesaikannya. Untungnya, sebelum kematian Egi, Geo memang sudah sering menginap di kantor karena memang banyak pekerjaan yang hars segera diselesaikannya karena tenggat waktu yang sudah

  • Crown   CrOWN (2): Between Geo and Vega (1)

    Ciuman itu terhenti dengan Laura yang terengah-engah dan segera meraup oksigen yang ada di sekelilingnya. Berbeda dengan Laura, Gavin sama sekali terlihat biasa saja. Bahkan, tangan Gavin sekarang bergerak untuk membersihkan bibir Laura yang basah akibat saliva mereka berdua.“Faktanya emang kamu nggak nolak ciuman dari aku, Ra.”Laura menghembuskan nafasnya lelah. Berbicara dengan Gavin membuatnya tidak pernah bisa berkutik. Gavin dengan segala argumennya membuat Laura kalah. Selain itu, aura dominan yang menguar dari tubuh Gavin membuat siapa pun akan memilih diam daripada semakin kalah. “Terserah kak Gavin aja deh.”“Oh iya, Ra. Kamu kudu belajar pernafasan lagi, deh.”“Kenapa emangnya?” tanya Laura yang sedikit bingung dengan ucapan Gavin yang tiba-tiba dan sangat tak terduga itu.“Biar kita kalo ciuman bisa lebih lama.”***Vega POVAku berjalan menuju salah satu kamar di rumah sakit dengan kaki yang lemas. Setelah mendapatkan telpon dari pihak rumah sakit, serta merta hatiku dil

  • Crown   CrOWN(2): Married

    Tangan kiri Gavin yang sedari tadi diam dan tidak ikut mengelus rambut Laura beralih untuk mencubit pipi Laura dengan lembut. Tangan Laura terangkat untuk melindungi pipinya dari serangan Gavin. Meski begitu, Gavin masih memiliki cela untuk mencubit pipi Laura. Bahkan, sekarang Gavin beralih untuk mencubit hidung mancung Laura.“Kak Gavin, stop it,” ujar Laura dengan geli. Gavin terkekeh dan menghentikan cubitannya pada Laura.“I wanna kiss you so bad,” bisik Gavin dengan suara lirihnya. Bahkan saat ini, wajah Gavin berada tepat di atas wajah Laura. Bergerak sedikit saja, bibir Laura pasti akan menyentuh bibir milik Gavin.Wajah Laura rasanya terbakar melihat tatapan Gavin yang sangat intens padanya. Jantung Laura terasa berdebar. “Apa Kak Gavin bakal natap aku terus? Bukannya di film kalo orang ciuman bakal nutup matanya?” batin Laura menjerit. Dengan perlahan, Laura menutup matanya, mencoba untuk mengabaikan Gavin yang masih menatapnya dengan intens.Tubuh Laura semakin kaku saat me

DMCA.com Protection Status